+ Add to Library
+ Add to Library

C6 Ternyata Dia

"Kamu di sini, Nak?" Soni membangunkan saat Carlos tercengang lagi karena ketidakhadirannya. Mereka berada di bar untuk minum. Setelah resepsi, mereka tinggal di sini sebagai teman.

Dia mengerjap ketika mendengar suara Soni, menatap teman-teman yang diam-diam memperhatikannya..

"Hah! Apa yang kamu bicarakan?"

Radit memberinya tatapan melengkung. "Kita sedang membicarakan apakah akan pulang besok atau tidak. Namun, bagi kami sepertinya kamu terlalu sibuk daripada mendengarkan."

"Oh, maaf." Carlos bersandar di kursinya. "Saya di sini aja."

Soni tersenyum menggoda. "Pasti ada hubungannya dengan wanita di resepsi tadi, ya kan?"

"Gadis apaan?" jawab Radit.

"Seorang gadis!"

"Siapa?"

"Apa sih? Gadis apa?" Rama bertanya lagi karena dia tidak menjawab.

"Dia cuma tetangga, tadi saya cuma nyapa dia aja.". Carlos menjawab.

"Kamu nyapa dia?" Renzo menghela napas. "Kenapa saya mencium sesuatu yang mencurigakan?"

Soni tertawa. "Karena Carlos gak pandai bersandiwara, haha."

Teman-temannya menertawakan apa yang dikatakan Soni.

"Alasan saya pengen tinggal gak ada hubungan sama dia. Ayah saya tadi telpon. Dia mau saya tinggal dan belajar gimana cara kelola sebuah resor."

"Oh." Soni terdengar kecewa. "Kirain ini ada hubungannya sama dia. Soalnya dia cantik."

Carlos melotot pada Soni. "Diam."

Soni terkekeh. "Kamu salah paham, Bro. Saya gak komentar lagi deh lebih jauh!"

Soni memutar matanya ke arah teman-temannya lalu minum dari gelas martininya.

"Bro, janganlah memaksakan diri," jelas Renzo. "Kalau kamu gak suka bisnis, maka gak usah maksain. Fotografi yang kamu sukai, lakukan itu saja."

"Saya gak punya pilihan. Saya anak satu-satunya, ingatkan?" jawabnya. "Lagi pula, saya juga gak maksain diri, cuma suka belajar aja tapi sudah mulai bosan juga."

Rama menghela napas. "Kalau kamu benar-benar mau belajar pasti gak akan bosan."

Carlos tercengang dengan apa kata Rama. Benar, dia suka fotografi itu sebabnya dia tidak bosan meski dia lakukan setiap hari. "Mungkin bisnis bukan bidang saya." Carlos berkata dalam dirinya sendiri.

"Mungkin?" Renzo tertawa. "Emang kayaknya bisnis benar-benar bukan bidangmu. Gak udah maksain. Ada alasan mengapa kamu jadi seorang fotografer dan alasan itu adalah karena kamu payah dalam bisnis."

"Saya tahu." Carlos meneguk martininya. "Hanya saja, saya telah melakukan apa yang saya inginkan. Saya tahu orang tua gak akan setuju kalo saya jadi fotografer, tetapi mereka tetap membiarkan. Mereka membiarkan karena mereka ingin saya bahagia. dan sekarang saatnya bagi saya untuk membayar."

"Kalau kamu ngelakuin ini hanya karena sudah waktunya membayar, maka kamu hanya akan menghancurkan perusahaan ayahmu."

Carlos menghela napas dalam-dalam. "Saya juga tahu itu. Itu sebabnya saya benar-benar mencoba yang terbaik untuk belajar. Saya gak mau mengecewakan mereka."

Radit tersenyum dan mengangkat gelas rumnya. "Mari kita bersorak untuk itu."

Carlos mengangkat gelasnya dan dengan datar berkata, "Ya. Bersorak buat saya."

####

Jingga merasa lemas saat bangun keesokan paginya. Mungkin karena dia tidak tidur nyenyak semalam, karena terkenang pria itu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan kesepakatan, dan berdoa agar saat pulang dia tidak akan pernah melihatnya lagi.

Dia malas beranjak bangun untuk mandi. Meskipun tubuhnya berat, dia tetap masuk.

Setelah mandi, dia mengenakan jeans denim dan blus hitam sederhana.

Saat turun dari penthouse, Sandi menemuinya di lobi Hotel.

"Nona Jingga, selamat pagi." kata Sandi sambil tersenyum. "Dengan senang hati saya memberi tahu Anda, bahwa pengantin baru mengirim kartu ucapan terima kasih."

Senyuman tersungging di bibirnya. "Itu bagus. Berarti mereka puas dengan layanan kita."

"Ya. Eh, seseorang menunggumu di kantor. Katanya penting!"

Jingga heran, "Hah? Siapa?"

"Dia bilang Nona tahu namanya."

Jingga tiba-tiba gugup. Apakah itu dia? "Yaudah. Saya akan menemuinya di kantor."

Dia berjalan ke kantornya. Ketika membuka pintu, dia dikejutkan oleh pria yang begitu pantas jika dijadikan santapan hiu.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Jingga bertanya dengan penuh semangat setelah menutup pintu kantor.

Pria itu melihat ke arahnya. "Saya punya masalah yang sangat penting untuk dibicarakan denganmu."

Jingga memelototinya. "Saya tahu kenapa kamu di sini. Lebih baik kamu pergi sekarang!"

Carlos tampak tercengang ketika mendengar kutukannya. "Wow ... Mulutmu sangat menjijikkan."

"Bodo amat!" Jingga berjalan ke kursi putarnya dan bergegas duduk di sana. "Apa yang sebenarnya kamu butuhkan?"

Carlos menatapnya sejenak, seperti sedang mencari sesuatu di wajahnya. "Kamu kok terlihat pucat, apa kamu baik-baik saja?"

Jingga tercengang. Apakah Carlos memperhatikan kantung matanya yang dia sembunyikan dengan concealer? Dia duduk tegak seraya mengangkat alisnya. "Saya baik-baik saja. Apa pedulimu!"

Carlos mengangkat bahu. Dia tidak percaya bahwa Jingga baik-baik saja, karena terlihat jelas di wajahnya tetapi Carlos tidak mengajukan pertanyaan lagi.

"Jadi," desisnya, "Apakah kamu ingat nama saya?"

Tiba-tiba ada getaran yang menggetarkan dadanya. "Y-Ya." Jingga berbohong.

Ujung bibirnya naik seolah-olah sedang memaksakkan senyum. "Benarkah? Kayaknya saya gak kurang yakin deh?"

Jingga tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dslam hatinya berkata, "Tolong otak, buatlah saya ingat! Tolong, jangan kecewakan saya! Tolong! Tolong!"

"Oke," Carlos bersandar di kursinya dan tersenyum padanya. "Siapa nama saya? Saya mau kamu ucapkan nama yang lengkap."

Jingga menarik napas panjang. "Anu ... Saya mmm, anu ..." Meskipun Jingga mengobrak-abrik otaknya, dia tetap tak bisa mengingatnya. Jingga menghela napas panjang. "Bagus!" Dengan marah melanjutkan. "Saya gak ingat. Saya mencoba, tapi saya gak begitu ingat. Tapi itu tidak memberimu hak buat cium saya!"

Carlos tidak bergerak atau mengatakan apa-apa. Dia hanya menatapnya dengan saksama dan berdiri setelahnya.

Jantung Jingga berdebar di dalam dadanya ketika Carlos mulai mengambil langkah ke arahnya. Dia mengepalkan tinjunya ketika Carlos berhenti di depannya beberapa rentang darinya.

Jingga menunggu langkah selanjutnya.

Bibirnya sedikit terbuka ketika Carlos mengulurkan tangan ke arahnya.

"Hai, nama saya Carlos Santana."

Dengan gugup dan cemas Jingga menerima jabat tangannya. Tangannya terasa hangat, tidak seperti tangannya yang dingin.

"Senang berkenalan denganmu."Jingga berkata dengan suara rendah. "Saya Jingga Amelia."

Jingga tiba-tiba menghela nafas ketika pemuda itu tiba-tiba menariknya mendekat dan mendekatkan wajah ke wajahnya. Bibirnya terbuka karena terkejut. Jantungnya berdetak liar di dalam dadanya. Tangannya terasa dingin dan berkeringat. Dia mengantisipasi langkah selanjutnya ketika Carlos membungkuk dan mencium bibirnya sepenuhnya.

Jingga menegang di kursinya. Dia tidak bisa bergerak saat merasakan bibir pemuda itu di bibirnya. Pikirannya menjadi hitam. Dia merasakan bibirnya kesemutan.

Carlos menarik diri setelah satu menit kemudian, mata cokelat cairnya yang menggoda menatap jauh ke dalam matanya. "Nama saya Carlos, jadi ingatlah selalu, Jingga. Karena jika lain kali kamu memanggil saya Tuan, saya akan menciummu lagi, dengan lebih panas."

Mata Jingga melebar mendengar apa yang Carlos katakan. Carlos melepaskan tangannya lalu berdiri tegak. "Saya mau pergi sekarang." Dia tersenyum pada Jingga seperti tidak ada yang terjadi. "Sampai ketemu lagi, Jingga!"

Jingga tidak bisa berbicara. Dia hanya mengikuti pandangan pemuda itu sampai dia keluar dari kantornya. Kemudian tangannya bergerak menyentuh bibirnya. Dia masih bisa merasakan bibir Carlos di atasnya. Ciuman itu membuatnya nafasnya tercekat dan itu membuat detak jantungnya menjadi sangat liar.

"Apa yang salah? Itu kan cuma ciuman biasa! Seharusnya gak akan mempengaruhi saya, sial! Ciuman kayak bukan sesuatu yang penting bagi dia!" ucap hati Jingga .

Dia menggeleng dengan keras untuk menghapus ingatan ciuman itu dari benaknya. Itu ciuman kedua mereka. Mengapa setiap kali menciumnya, tidak hilang dengan mudah dari pikirannya? Karena bingunga,, dia mengambil napas dalam-dalam dan menenangkan jantungnya yang masih berdetak sangat cepat.

"Ada sesuatu yang benar-benar salah dengan saya!" Carlos pasti bisa merasakannya!"

####

Sekarang adalah malam terakhir, Jingga sedang berada di pantai memandang ke laut ketika ponselnya berdering.

Dia mengambil ponsel dari saku celana pendek denim yang dikenakannya lalu melihat siapa yang menelepon. Ketika melihat bahwa itu dari ibunya, dia menatap ke udara dan menjawab panggilan itu. Apa lagi yang dibutuhkan dari ibu?

"Selamat malam, Bu. Ada butuh sesuatu?" Jingga bertanya tepat saat menjawab panggilan.

Ibunya tertawa di seberang sana. "Wah, kamu hebat, Sayang! Tau aja kalo ibu lagu butuh sesuatu, heheheh."

JIngga memutar matanya. "Ya iyalah. Ibu kan ibunya Jingga." Ada nada sarkasme dalam suaranya, tapi sepertinya ibh tidak menyadarinya.

"Sayang, Ibu cuma mau nanya kapan kamu pulang, sudah lama kamu berada di pulau itu selama sebulan." Ibunya berbicara dengan suara sedih.

"Kenapa suruh pulang, Bu? Jingga kan bukan sedang liburan, tapi lagi kerja!"

"Yah, mungkin sebaiknya kamu pulang karena ayah dan Ibu mau ngerayain ulang tahun pernikahan yang keempat puluh dan berencana mengadakan pesta. Kami ingin kamu ada di sini, Sayang."

"Oke,"bDia berkata, "saya akan ke sana."

"Nah gitu ding!" Ibunya terkekeh. "Pokoknya jangan lupa bawa pacar kamu ya?"

Jingga kembali keheranan. "Pacar apa?"

"Sayang, gak usah pura-pura lah. Ini waktu yang tepat untuk bertemu pacarmu. Jangan lupa bawa Carl Santana nanti. Ibu tunggu!"

Jingga tercengang mendengarnya. "Ya Tuhan! Apa yang harus saya lakukan sekarang? Padahal biasanya selalu bisa memberi tahu ibu bahwa saya sibuk!"

"Bu, dia sedang sibuk sekarang." Jingga berbohong. Rasanya asing menyebut nama pacarnya yang dimake up.

"Sayang, jika serius dan mencintaimu, dia akan meluangkan waktu untukmu." Ibunya tertawa pendek. "Halah, kamu tuh ya, Ibu masih mencari sesuatu untuk dipakai."

Tidak menunggu waktu lama, Jingga mematikan telepon. Dia mengambil napas dalam-dalam lalu mengembalikan ponsel ke saku celana. Mati! Apa yang akan dia lakukan? Pasti ibunya tidak akan berhenti menggoda untuk memasukkan pacar fiktifnya. Dan ketika dia menghadiri hari jadi mereka tanpa bantuan apa pun, ibunya pasti akan memaksanya kencan lagi secara buta.

Apa yang harus dilakukan? Apa yang harus dilakukan? Argh! Dia akan tertipu untuk memikirkan apa yang akan dia lakukan. Dia hanya bisa tidur.

Jingga berbalik dan hendak kembali ke Hotel ketika tiba-tiba melihat Carlos berdiri beberapa meter darinya. Apakah dia sudah di sana sebelumnya? Apakah dia mendengar mereka berbicara dengan ibunya?

Carlos terdiam. Apa lagi yang dibutuhkan dari dia?

"Hai," sapa Carlos dengan tersenyum.

"Hai." Jingga menjawab seraya memberi tangan, tetapi sebelum bisa melepaskannya, Carlos memegang tangannya.

"Apa kamu mau menghindar dari saya?"

Jingga menoleh dan tertawa terbahak-bahak. "Kenapa saya harus ngelakuin itu? Emangnya kamu siapa sehingga saya menghindsr? Mengapa saya mau buang waktu buat kamu?"

Carlos menyeringai. "Oh, entahlah, mungkin karena kamu tertarik sama saya. Maksudnya, kamu memang mau saya cium dari awal."

Rasanya ingin sekali Jingga meninju wajahnya yang tersenyum. Jika dia bukan tamu hotel, mungkin sudah ditinjunya dsri awal.

Jinga tertawa sinis, "Saya suka kamu?" Dia tertawa terbahak-bahak. Tawa yang menghina. "Wow, itu mah prasangka kamu aja. Saya gak suka kamu dan tidak akan pernah!"

Carlos mengangkat bahu, dia masih memiliki seringai bodoh di bibirnya. "Itu hanya firasat dan saya cuma menggodamu, tidak perlu menghina saya, Bidadsri!. Jangan dianggap serius."

Jingga memandangnya dengan buruk. "Apakah semuanya lelucon bagimu? Itu gak lucu."

Tatapan Carlos mengikuti tubuh gadis yang sedang surut itu. Jingga terlihat sangat marah padanya. Tidak ada yang salah dengan apa yang Jingga katakan.

Carlos hanya menggodanya. Dia hanya mengarang hal-hal yang dia katakan di sini. Dia hanya bercanda tapi sepertinya Jingga tidak menyukainya. Terlihat jelas dari cara Jingga menatapnya. Jingga menatap seperti ingin membunuhnya saat itu juga. Andai saja dia bisa ....

Dia menghela nafas lalu mulai berjalan menuju hotel.

Dalam perjalanannya ke Hotel, dia melewati kios bunga kecil. Dia mendekati stan bunga dan menunjuk ke buket bunga tulip.

"Saya mau yang itu."

Pramuniaga tersenyum padanya lalu mengambil bunga yang ditunjuk..

Ketika penyerahan bunga, Carlos melihat bunga itu terdapat selembar kertas kecil di dalam buket. Dia mengambilnya dan mengembalikannya ke sana. "Saya gak butuh kertas ini. Saya mau memberikan ini secara pribadi."

"Begitukah, Tuan?"

"Ya." Dia membayar bunga itu dan berjalan cepat menuju Hotel.

Saat memasuki hotel, dia langsung menuju ke lantai paling atas tempat penthouse di mana Jingga tinggal. Dia bahkan tidak perlu bertanya kepada resepsionis di mana kamar JIngga, dia tahu karena ayahnya berkata, para manajer tinggal di penthouse hotel, terutama jika hotel itu ada di resor. Dan Jingga adalah manajer.

Ketika dia masuk penthouse JIingga, dia mengetuk dan menarik napas dalam-dalam.

"Saya melakukan ini karena berutang maaf, dan telah menjadi brengsek." Carlos meyakinkan dirinya sendiri saat menunggu Jingga terbuka.

Ketika pintu penthouse terbuka, Carlos tersenyum.

Wajah gadis itu berkerut saat melihatnya. Seketika pengalaman yang sangat buruk terkenang. Mengapa Carlos tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya ketika mereka berdua bersama?

"Hei, ini bunga untukmu Dengar, saya minta maaf-"

"Saya gak bisa menerima bunga itu karena saya sudah punya pacar," jawab Jingga.

Bibir Carlos sedikit terbuka karena terkejut. Menurut pendapatnya, apa alasan dia memberinya bunga? Dan tunggu ... Apakah dia punya pacar? Kenapa tidak suka jika Jingga punya pacar? Aneh!

Yah, siapa pun dia, Carlos yakin pacarnya tidak baik untuknya. Pria zaman sekarang seperti hiu, mereka akan menggigit dan menggigit sampai tidak ada yang tersisa dan mereka akan meninggalkan seperti tidak terjadi apa-apa. Tidak terkecuali Carlos.

"Aduh?" Carlos tersenyum bodoh. "Emangnya siapa yang mau nembak kamu?"

Mata Jingga sipit karena kesal. Carlos ingin tertawa tapi dia menahan diri. Wajahnya yang marah membuat hari-harinya menyenangkan. Seandainya Jingga tahu, dia terlihat sangat cantik saat marah. Dan sedikit terlihat lucu.

Jingga memelototinya. "Sekadar informasi, nama pacar saya adalah Carlotes. Dia sempurna, tidak sepertimu yang brengsek. Jadi buang bungamu itu.Bodoh!"

Carolos membeku pada apa yang dia dengar. Sedetik kemudian, seringai merayap ke bibirnya. Menarik, siapa sangka? "Hmm." Dia mengambil langkah di antara mereka berdua. "Saya baru tahu kalau saya punya pacar."

Sangat berkilauan. " Apa?"

Carlos mengusapkan jarinya ke sisi pipinya dan mendekatkan mulutnya ke telinganya. "Nah, BIdadari, nama saya Carlotes Santana. Tapi saya lebih suka dipanggil Carlos biar pendek. Hanya keluarga saya dan sahabat yang memanggil saya Lotes, tapi sepertinya pacar saya juga, begitulah dia memanggil saya."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height