Perawan Tua Kesayangan CEO/C7 Sebuah Tekanan
+ Add to Library
Perawan Tua Kesayangan CEO/C7 Sebuah Tekanan
+ Add to Library

C7 Sebuah Tekanan

Jari Jingga bergerak cepat di keyboard laptopnya saat mengetik nama Carlotes Santana ke dalam kotak pencarian Gambar Google. Dia berani memotretnya di sana karena terlihat begitu terkenal.

Kegugupan yang dia rasakan saat menunggu foto-foto Carlotes keluar sangat luar biasa.

Napasnya tercekat di tenggorokannya dan dia merasa seperti ada yang menuangkan seember air dingin yang membekukan ketika gambar-gambar berbeda dari Carlos muncul di gambar Google.

"Ya ampun ...," gumamnya, "semoga ini mimli ...."

Dia mengklik web di Google untuk membaca biografinya.

Carlotes Santana adalah bujangan paling dicari di Asia. Dia seorang fotografer yang sangat baik dan terkenal dari National Geographic Channel. Dia lahir pada 15 juli 1991. Dia adalah fotografer paling terkemuka di Asia dan kini bersaing untuk menjadi fotografer terbaik di dunia.

Dia adalah anak tunggal dari Tn. dan Ny. Revan Santana, CEO dan pemilik jaringan Hotel dan Resor Santana di Asia.

Jingga segera mematikan laptopnya. Dia tidak bisa selesai membaca biografinya, karena tercekik saat membaca, dan tidak bisa bernapas.

Jingga tidak percaya dia sebodoh ini! Mengapa tidak menyadari bahwa dia dan bosnya memiliki nama belakang yang sama? Dan mengapa dia tidak tahu wajah Carlotes itu sebelum memberi tahu orang tuanya bahwa Carlos adalah pacarnya? Ah!

"Saya gak percaya ini! Ini gak mungkin terjadi sekarang! Terlalu memalukan! Sangat bodoh!" gerutunya.

Kemarin Tn. Santana memanggilnya. Dia bertanya apakah bisa mengajari putranya cara mengelola hotel. Tentu saja dia bilang ya! Jika dia tahu bahwa putranya dan Carlos adalah satu, dia tidak akan pernah setuju!

Dia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya.

Dia terkejut mendengar serangkaian ketukan keras dari pintu penthouse. Kemudian dengan hati-hati berjalan ke pintu dan membukanya. Hatinya jatuh ketika melihat Carlos. Dia dengan cepat menutup pintu tetapi Carlos memblokirbdengan lengannya.

"Wwoy!" teriak Carlos. "Buka pintunya, sialan!"

"Gak mau!" Jingga berteriak kembali dan meremas lengannya lebih keras. "Keluar dari ruangan saya!"

"Saya aja belum masuk!" Carlos berkata dengan jelas dalam suaranya yang menyakitkan. "Biarkan saya masuk, Wahai Pacar!"

Ketika Jingga mendengar kata pacar, dia mengutuk dirinya sendiri. Mengapa dia mengatakan di sini bahwa Carlotes adalah pacarnya tanpa mengetahui latar belakang Carlotes Santana? Bagaimana dia bisa begitu bodoh? Dia ingin mengubah dirinya sendiri dari kebodohan yang telah dia lakukan.

Dia berteriak kaget ketika Carlos tiba-tiba mendorong pintu hingga terbuka, menyebabkan dia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.

Jingga memelototi Carlos yang memasuki penthouse miliknya.

"Bisa gak sih gak ganggu waktu istirahat?" Jingga berkata sambil menggertakkan giginya.

Carlos menatapnya. "Kamu imut saat duduk di sana, tapi ...." Dia menawarkan tangan padanya, "kamu lebih manis kalau berdiri."

Jingga menjabat tangannya yang terulur lalu berdiri. Dia mengguncang kursi dan menatap pemuda itu dengan tatapan jahat. "Keluar!"

Carlos menggeleng. "Gak. Gak mau." Carlos berjalan menuju ruang tamu. "Saya, jika memasuki penthousemu, tidak ada salahnya, karena saya, memasuki penthouse yang ayah buatkan untuk saya." Dia menyeringai pada Jingga seperti kucing.

Dengan senang hati JIngga menutup pintu dan mengikuti pemuda itu ke ruang tamu.

Jingga menyilangkan lengannya di depan dada saat menyusul Carlos yang sedang duduk dengan nyaman di sofa panjang. "Apa yang kamu butuhkan?" Dia mengajukan pertanyaan yang mantap di sini.

Carlos menoleh padanya sambil tersenyum. "Emangnya gak boleh mengunjungi pacar?"

Mata Jingga menyipit mendengar apa yang dikatakan Carlotes. Apakah itu akan membuatnya menghadapi rasa malunya setiap menit? Lihat!

Rahang Jingga mengeras saat berjalan ke sofa yang bersebelahan dengan tempat duduk Carlos. "Sebenarnya apa sih yang kamu mau?" Dia bertanya, kali ini, suaranya sedikit lembut.

Carlos menatapnya sejenak lalu tersenyum. "Gak ada. Saya cuma mengunjungimu, wahai pacar, apa yang perlu diributkan?"

Jingga menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan rasa kesal pada pemuda di depannya.

"Saya sudah menjelaskan mengapa saya mempekerjakanmu." Carlos berkata dengan tegas. "Kamu masih kerja sama saya, Jingga, dan saya merasa dilecehkan." Bahasanya berlebihan dan menambah kekesalan Jingga. "Saya gak tahu bahwa seseorang menggunakan saya sebagai pacarnya, tanpa sepengetahuan saya. Kamu meresahkan-"

"Kamu yang melecehkan saya! Kamu cium saya-"

Dalam sekejap mata, Carlos bergerak dan menjepitnya di belakang sofa, memotong kata-katanya.

"Eh, maua ngapain kamu ...?" Suara Jingga melemah dan menghilang ketika dia menyadari bahwa bibir Carlos hanya tinggal beberapa inci dari bibirnya.

Carlos menatap jauh ke dalam matanya sejenak, sebelum menundukkan kepalanya untuk menangkap bibirnya yang sedikit terbuka.

Seolah-olah dia memiliki pikirannya sendiri ketika Jingga membukanya dan menanggapi ciuman hangat pemuda itu. Seperti kehilangan akal ketika bibirnya mulai bergerak dan Jingga menjawab dengan sepenuh hati.

Setiap gerakan bibir ke bibirnya membuat tubuhnya terbakar. Bibir Jingga seperti anggur favoritnya, memabukkannya.

Geraman rendah keluar dari mulutnya saat pria muda itu memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya. Ya, dia pernah berciuman sebelumnya, tapi tidak seperti ini. Perasaan lidah di dalam mulutnya adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Itu lebih dari yang bisa diterima oleh mulut perawannya.

Geramannya diikuti oleh telapak tangan Carlos di pinggangnya dan perlahan bergerak ke arah pahanya.

Geraman panjang keluar dari mulutnya saat tangannya bergerak ke tengah pahanya. Jingga tampak mengigau saat menikmati sensasi yang disebabkan oleh tangan Carlos di tengah pahanya.

Jingga mencengkeram bahu Carlos dan mengerang keras ketika sebuah jari masuk ke dalam celana dalamnya dan menyentuh basahnya.

"Kamu sangat basah, Jingga." Carlos berbisik di bibirnya. "Saya suka itu, tapi lebih baik saya pergi sebelum melakukan sesuatu yang akan kamu sesali."

Carlos mengeluarkan jari-jarinya dari gundukan itu lalu menjilati lapisan basah yang melapisi jari-jarinya. "Sampai jumpa, Jingga," katanya yang lalu pergi.

Sampai mendengar pintu penthouse ditutup, Jingga masih tidak bisa bergerak di kursinya.

Apa yang baru saja terjadi? Jingga berulang kali bertanya pada dirinya sendiri.

Dia masih bisa merasakan kewanitaannya yang basah. Dia masih bisa merasakan jari Carlos di sana. Seperti plakat rusak yang berulang kali membalas geramannya ke otaknya.

Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia membiarkan pemuda itu melakukan itu padanya? Bagaimana dia bisa cukup bodoh untuk membiarkannya menyentuh seperti itu?

Apa yang terjadi?

Hanya satu ciuman sudah mampu mencairkan amarahnya. Hanya satu ciuman sudah untuk membuatnya lupa kebodohannya. Hanya satu sentuhan dari pria kurang ajar itu, dia melupakan segalanya kecuali bibirnya di bibirnya dan tangannya yang terasa menyenangkan.

"Dia menyihir saya atau apa?"

Dia menggeleng dengan keras dan bangkit dari duduk di sofa. Dia turun dan pergi ke kamar mandi untuk mandi.

#####

Beberaap kemudian Jingga masih belum bisa melupakan apa yang terjadi pada mereka. Dia bersyukur karena tidak lagi melihat Carlos gentayangan di Pulau.

Apa sudah hilang?

Sesuatu dalam dirinya terasa sakit karena memikirkan itu. Dia menggeleng dengan keras untuk melupakan. Mengapa dia terluka memikirkan kepergiannya?

"Nona Jingga?" Suara datang belakang..

Dia segera berbalik ketika mendengar namanya. Heran ketika dia melihat seorang remaja laki-laki memegang satu buket bunga.

"Apa yang kamu butuhkan?" Jingga bertanya sambil matanya tertuju pada bunga yang dibawanya.

Pemuda itu menyerahkan sebuket bunga. "Ini."

Kerutan di keningnya semakin dalam. "Buat saya?"

"Ya. Itu buat kamu."

Ragu-ragu dia menerima bunga dan menatap pemuda itu, tetapi bunga itu lari.

Dia menatap bunga itu, bingung. Siapa yang memberikan ini padanya? Melihat kartu kecil yang terselip di dalam pompom bunga, dia mengambilnya dan membacanya.

Hai Jingga, saat kamu membaca ini, saya sudah berada di Jakarta. Saya hanya ingin meminta maaf karena mengganggumu dan atas apa yang terjadi di penthouse. Itu tidak seharusnya terjadi. Saya hanya menggodamu dan itu keluar kendali. Jadi saya pergi dan memutuskan untuk tidak pernah melihatmu lagi.

P.S. Rahasiamu aman kok sama saya.

Ini Carlos, saya ucapkan selamat tinggal dan semoga memiliki kehidupan yang baik ke depannya..

Sudah beberapa menit dia membaca surat Carlos tapi masih saja menatap kartu kecil itu. Dia tidak tahu apakah akan senang atau kesal dengan kepergiannya.

Dia seharusnya senang karena pemuda itu sudah tidak ada lagi di pulau ini. Karena tidak akan bertemu dengannya dan merasa canggung tentang apa yang terjadi. Namun, dia tidak berpikir bahwabitub hanya leluco, ssemuanya di sini, termasuk apa yang terjadi di penthouse.

Dia tidak ingin mengakuinya pada dirinya sendiri, tetapi itu menyakitkan jika benar bahwa itu hanya lelucon. Dia hampir tidak bisa tidur memikirkan apa yang telah terjadi tetapi itu hanya lelucon.

Bajingan!

Dia berjalan ke tempat sampah terdekat dan membuang bunga itu, lalu merobek surat sialan itu! Astaga! Lihat!

"Kamu marah atau apa?" Suara itu di belakangnya.

"Apa pedulimu!" Dia berteriak pada pembicara tetapi ketika dia berbalik dan mengenali pembicara, ekspresi wajahnya tiba-tiba melunak. "Maaf. Saya gak bermaksud meneriakimu."

Revi tersenyum. "Gak apa-apa. kayaknya kamu benci sama yang ngirim bunga itu, kalo gitu potong-potong aja bunga itu"

Jingga mengalihkan pandangannya ke bunga di tempat sampah ketika dia melihat kembali ke depan. "Ya. Menjengkelkan, karena orang yang memberikannya adalah alasan saay membuangnya."

"Haha pantesan."

Jingga tertawa kecil. "Ya, gitu lah-"

Jingga terputus ketika mendengar teleponnya berdering. Dengan cepat diraihnya ponsel dari saku celananya dan melihat siapa yang menelepon.

Dia mengutuk ketika tahu bahwa itu adalah ibunya.

Jingga pamit dari Revi lalu perlahan berjalan tanpa tujuan.

"Ya, Bu?" katanya menjawab panggilan itu.

"Sayang, Ibu telpon buat ngasih tahu bahwa hari jadi ayahmu dan Ibu bakal diadain minggu depan." Suara ibunya terdengar sangat bersemangat. "Ibu mau kamu berada di sini dua hari sebelum hari istimewa itu. Oke?"

"Oke."

Dia hanya menjawab agar percakapan mereka cepat berakhir.

"Mantap." Ibunya terkikik bagai remaja. "Jangan lupa bawa Carlotes Santana bersamamu. Ibu bilang sama bibi bahwa pacarmu adalah fotografer terkenal Carlotes dan mereka ingin bertemu."

Jingga hampir menjatuhkan rahangnya pada apa yang dia dengar. "Bu! Kenapa ngasih tau ke mereka?!" Sekarang, dia marah.

"Sayang," suaranya tenang. "Ibu gak cuma ngasih tahu mereka. Semua yang Ibu undang, juga Ibu kasih tau tentang kamu dan Carlotes."

Jingga tidak percaya apa yang dia dengar. "Ibu menyebarkan bahwa Carlotes Santana dan saya punya hubungan?!"

"Ya, Sayang. Jangan marah." Suara ibunya menenangkan tetapi tidak menenangkannya sama sekali, justru membuatnya marah.

"Itu memalukan, Bu!"

"Loh kenapa harus malu? Ibu justru bangga anak Ibu pacaran sama dia. Emang apa yang salah?"

Karena itu semua bohong!

Jingga menggigit bibir bawahnya karena kegugupan yang menjalar. "Bu, Carlotes mungkin gak bisa ikut-"

"Oh, tenang aja, Sayang. Dia pasti datang. Kalau enggak keluarga kita akan malu, ingat itu, Jingga. Dan kamu tahu Ibu kan? Ibu gak suka dipermalukan jadi lebih baik kamu bawa pacarmu ke pesta."

"Tapi Bu-"

"Gak ada tapi-tapian, Sayang." Ibunya berhenti sejenak seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakan selanjutnya. "Keluarga De Groove bakal menghadiri pesta, jadi sebaiknya kamu bawa Carlotes. Ibu gak mau dipermalukan untuk kedua kalinya karenamu."

Perutnya turun saat ibunya menyebut keluarga De Groove. Ini buruk. Sangat buruk! Malam yang mengerikan itu terulang kembali.

Dia bisa move on dari apa yang terjadi malam itu.

"Oke, Bu. Saya akan membawa Carlotes." Dia berkata dan mematikan panggilan.

Bahunya turun saat panggilan berakhir. Dia ingin menghukum dirinya sendiri. Dia ingin memarahi dan menginjak-injak dirinya sendiri tetapi dia tahu tidak akan terjadi apa-apa jika dia melakukan itu. Kebohongan yang dia pikir tidak berbahaya sekarang menyebar seperti racun; racun yang akan meracuni keluarganya jika mereka mengetahui kebenarannya.

Jika keluarga De Groove akan menghadiri Ulang Tahun orang tuanya, maka dia benar-benar harus membawa Carlotes bersamanya.

Dengan segala daya upaya.

Keluarga De Groove pernah sekali mempermalukan mereka karena Jingga. Dia tidak akan membiarkan keluarganya dipermalukan untuk kedua kalinya karena dia lagi.

Dia tidak punya pilihan selain memohon kepada Carlotes untuk menjadi pacar palsunya untuk satu malam. Dia akan melakukan apa saja asal Carlotes mau pergi bersamanya.

Dia akan melakukan apa yang diperlukan; dia bisa melakukan apa saja, bahkan jika harus merayu Carlotes.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height