+ Add to Library
+ Add to Library

C3 PKJ 3

Della menceritakan semuanya, kenapa dirinya sampai meninggalkan Bagas di sana. Susan dan Malik akhirnya mencoba mengerti dan membawa Della ke rumah orangtua Susan karena Bagas dititipkan di sana.

Mereka pun sampai di rumah orangtua Susan, dan kakak ipar Della itu langsung menjelaskan siapa Della pada ibunya, juga duduk permasalahan kenapa Della membuang Bagas.

Livia—ibu Susan pun mencoba memahami dan mengerti perasaan Della, wanita mana yang rela diduakan apalagi diselingkuhi.

"Sayang, maafin Mama. Mama udah pulang dan nggak akan meninggalkan kamu lagi," ucap Della pada Bagas yang sudah berada dalam gendongan. Della terus mengecup wajah tampan putranya.

Livia terkejut mendengar ucapan Della, apakah itu artinya wanita paruh baya itu akan kehilangan Bagas, bayi menggemaskan yang sudah menemani kesepiannya selama sebulan ini.

"Del, kamu akan bercerai dengan suamimu. Lalu setelah itu kamu akan ke mana?" tanya Susan.

"Entah, intinya aku hanya ingin bersama Bagas meski dia buah cinta kami dan ayahnya tidak menginginkan, tapi tetap saja dia itu putraku," jawab Della yang sebenarnya tidak memiliki rancangan kedepannya untuk dirinya juga Bagas.

Mendengar jawaban Della membuat Livia tersenyum lebar. Ia langsung berpindah duduk di sebelah Della seakan bersiap merayu agar wanita itu tidak membawa pergi Bagas.

"Kamu butuh pekerjaan buat menghasilkan uang, 'kan!" Livia menebak dan langsung mendapat jawaban sebuah anggukan dari Della.

Susan, Malik, dan Juan—ayah Susan, saling lempar tatapan, sepertinya mereka tahu arah pembicaraan Livia.

"Kalau kamu kerja nggak ada yang rawat Bagas dong!" Livia menebak lagi dan kini mendapat jawaban sebuah gelengan dari Della.

"Aku punya ide. Biar Bagas di sini, kamu bekerja di restoran punyaku saja, di sana lagi butuh pramusaji. Kalau perlu kamu tinggal di sini, juga tidak masalah." Livia memberi tawaran yang tampak menggiurkan. Bagi wanita itu, asal Bagas tidak dibawa pergi saja sudah cukup.

Della terlihat bingung, menatap Susan dan Malik secara bergantian seakan sedang meminta pendapat apakah dia harus mengambil tawaran itu.

Susan yang bisa menangkap maksud dari tatapan Della pun tersenyum, lantas berkata, "Terima saja, lagi bukankah sekarang kamu juga nggak punya siapa-siapa selain Bagas dan kami. Lagi pula, aku dan mamah juga kami semua sudah menganggap Bagas sebagai bagian keluarga kami."

Ucapan Susan mendapatkan sebuah anggukan dari Malik, Juan, dan Livia, mereka seakan mengiakan apa yang dikatakan oleh Susan.

Della menatap anggota keluarga itu secara bergantian, tidak menyangka jika bisa bertemu keluarga yang begitu baik. Akhirnya Della mengiakan tawaran Livia, itu tidak akan merugikannya, malah akan menjamin hidup putranya.

Setelah berbincang dengan kakak tiri dan keluarganya, Della pun istirahat karena sebenarnya lelah setelah perjalanan panjang menggunakan bus. Ia diberi tempat oleh Livia, wanita paruh baya itu sangat senang karena Della mau menerima tawarannya.

"Kamu pasti rindu Mama, ya?" tanya Della pada Bagas yang berbaring di sampingnya.

Della masih tak henti menciumi wajah menggemaskan putranya, tatapan Della masih menyiratkan sebuah kesedihan.

"Mama janji akan selalu menyayangi dirimu, biarlah papa durjanamu pergi, yang terpenting kita selalu bersama," ucap Della seraya menggesekkan hidung mereka.

"Mama akan selalu menyayangi dan tidak akan pernah membuatmu kekurangan sesuatu apapun, Mama janji."

Della menatap Bagas yang tertawa ala bayi, seakan mengerti dengan apa yang diucapkan dan membuat Della semakin bahagia, serta bisa melupakan kesedihannya.

***

Seorang pemuda tampak duduk berhadapan dengan pria paruh baya. Pemuda yang diperkirakan umur sekitar 26 tahunan, memakai jaket houdini berwarna hitam dengan wajah terlihat kusam.

"Mas, pulang ya!" ajak pria paruh baya.

"Pak Slamet, aku udah bilang nggak mau pulang!" kekeh pemuda itu.

"Kenapa, Mas? Kasihan nyonya sakit," ujar pria paruh baya itu.

"Pak Slamet, kalau mama mau nurutin apa yang aku inginkan, maka aku akan pulang. Pak Slamet tahukan bagaimana mama?" tanya pemuda itu balik.

Pria paruh baya yang dipanggil dengan nama Slamet itu menggaruk-garuk kepala, sudah tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk putra majikannya agar mau pulang.

Pemuda yang diajak bicara tampak berdiri, langsung memakai penutup kepala yang terdapat di houdini.

"Kalau mama setuju dengan keinginan aku, maka aku bakal pulang," kata pemuda itu lagi yang kemudian memilih berlalu pergi.

"Mas, Mas Dimas!" terika pria paruh baya itu seraya mengacak rambut karena stres.

Sudah berbulan-bulan Slamet disuruh membujuk dan membawa pulang putra majikannya yang bernama Dimas Anggara, tapi pada kenyataannya semua usahanya sia-sia. Dimas yang kesal dengan sikap dan keras kepalanya sang ibu, memilih meninggalkan rumah dan hidup alakadarnya di luaran sana.

***

Dimas terlihat berjalan ke sebuah gedung apartemen tua, melangkahkan kaki menaiki setiap anak tangga yang terdapat di sana. Ia sampai di lantai 5 gedung itu, berjalan menuju sebuah pintu yang terdapat di ujung koridor.

Baru saja akan mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, ternyata pemilik apartemen sudah membukanya terlebih dahulu.

"Mau ke mana kamu?" tanya Dimas ketika melihat gadis yang ada di hadapannya. Dimas memindai pakaian gadis itu, sangat minim dengan wajah ber-make up tebal.

"Biasalah, Dim. Kayak nggak tahu aja!" ujar gadis itu seraya membetulkan letak tali rantai tasnya di pundak.

"Naya, apa kamu nggak bisa berhenti? Jangan seperti ini!" cegah Dimas.

"Apa sih? Dia cinta aku, lalu kenapa aku harus berhenti?" tanya Kanaya tanpa dosa.

Dimas menyukai seorang gadis bernama Kanaya, tapi sayangnya gadis itu malah senang menjadi selingkuhan pria beristri. Kanaya sendiri memang tidak pernah menyesal menjadi seorang selingkuhan, asalkan dirinya bisa tetap mendapatkan uang untuk menunjang hidupnya.

Apalagi, pria yang menjadikannya selingkuhan selalu berkata manis dan berjanji akan menikahinya.

"Tapi dia sudah punya istri, Nay!" Dimas mencoba menasihati tapi selalu saja tak dianggap.

Kanaya memutar bola mata, sadar kalau perdebatan antara dirinya dan Dimas tidak akan ada akhir.

Kanaya tersenyum manis, lantas menyentuh sisi wajah Dimas dan mengusap perlahan.

"Kamu tahu aku sangat mencintainya, 'kan?" tanya Kanaya dan langsung mendapat sebuah anggukan dari Dimas.

"Aku juga tahu kamu menyukaiku," kata Kanaya lagi. "Lalu, bagaimana perasaanmu jika aku memintamu untuk berhenti mencintaiku?" tanya Kanaya yang sebenarnya mengandung jebakan.

"Aku tidak mau!" jawab Dimas cepat seraya menggenggam telapak tangan Kanaya yang masih di pipi.

Kanaya lagi-lagi tersenyum manis untuk memikat pemuda itu, membuat Dimas tidak pernah bisa berpaling meski cinta terus bertepuk sebelah tangan.

"Makanya, aku tidak akan pernah melarangmu berhenti mencintaiku. Aku membiarkanmu ada di sisiku, 'kan! Karena itu juga, biarkan aku mencintai pria itu, oke!"

Dimas hanya termangu, entah kenapa setiap Kanaya sudah berkata lembut dan menyentuh wajahnya. Ia seperti terhipnotis dan tidak bisa menolak apa yang diucapkan gadis itu.

"Aku tidak akan pulang malam ini, kalau kamu mau menginap di sini, silahkan!" Kanaya menepuk pelan sisi wajah Dimas, lantas meninggalkan pemuda itu.

Dimas menghela napas kasar, menatap punggung Kanaya yang berlalu.

"Kapan kamu akan melihatku? Andai mama tidak menentang aku menyukaimu, mungkin kamu bisa menyukaiku."

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height