+ Add to Library
+ Add to Library

C6 PKJ 6

Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della.

"Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas menggerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.

Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai.

"Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pemuda itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit.

"Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.

Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut pemuda itu dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan.

Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi kemudian menaruh dagunya di atas lengan.

"Kalau kami melepasmu, maka yang ada kamu akan membocorkan perihal kami mengincar wanita itu. Tenang saja! Setelah kami mengurus wanita gila itu, kami akan melepasmu dan tidak akan melaporkan pada pihak yang berwajib sesuai janji kami. Jadi, baik-baik di sini dan jangan macam-macam! Ingat, pabrik bibit lele milikmu, nasib masa depannya ada di tanganku!" Della mengangkat satu tangannya di depan wajah Dimas, kemudian meremas udara dengan ekspresi wajah geram.

Dimas membulatkan bola mata lebar, ingin bicara tapi tidak bisa karena mulutnya disumpal dengan kain. Della yang sadar akan hal itu pun mengambil kain yang menyumpal, membuat Dimas langsung terbatuk sesaat.

"Mau ngomong apa? Protes lagi, awas!" ancam Della kembali mengepalkan tangan lalu mengarahkannya ke depan wajah Dimas.

"Kamu ini psikopat atau apa, hah? Dari tadi yang dibahas pabrik lele terus! Mending aku mendekam dibalik jeruji, dari pada pabrik leleku kamu binasakan! Dasar sadis!" geram Dimas dengan perasaan kesal karena kalah terhadap wanita.

"Oh, boleh. Nanti aku akan urus masalah kamu masuk ke balik jeruji besi," kata Della santa.

"Aku memang psikopat, karena pria-pria seperti kalianlah yang membuatku jadi begini," lanjut Della mengiakan julukan yang dituduhkan padanya.

"Kenapa aku jadi ikut disalahkan?" tanya Dimas sedikit memprotes kata pria-pria yang artinya itu juga menyangkut dirinya.

Della mencebik kesal, bicara dengan pria cerewet memang tidak ada habisnya, lebih parah dari debat dengan emak-emak yang lagi rebutan barang diskonan.

"Karena gara-gara pria yang hanya memandang sebelah mata kepada seorang wanita. Tidak melihat mana yang tulus dan mana yang tidak, mengabaikan siapa yang setia, hingga tega melukai hanya demi kenikmatan sesaat. Kalian kira jika wanita diperlakukan seperti itu tidak akan berubah jadi psikopat, hah? Diselingkuhi saat kami tidak bisa melakukan hubungan intim, dengan alasan bahwa kami tidak menarik lagi setelah melahirkan, kalian kira kami tidak gila setelah itu!" Della terlampau kesal hingga akhirnya mengeluarkan apa yang dipendam selama ini.

Dimas tertegun dengan pengakuan Della, kemudian tertawa keras membuat Della terheran-heran dengan sikap Dimas.

"Heh, ngapain tertawa? Sudah nggak takut kalau pabrik bibit lelenya binasa?" tanya Della dengan sebuah penekanan di setiap kata.

Dimas menggeleng, lantas menatap sendu pada Della, hingga membuat wanita itu semakin bingung.

"Apa kalian pikir hanya wanita saja yang mengalami hal itu? Bagaimana dengan kami para pria? Apa kalian tahu rasanya dibandingkan dengan pria lain yang lebih kaya dan mapan? Kalian takkan tahu rasanya," ujar Dimas yang tentu saja membuat Della tertegun sesaat.

"Kamu ngomong apa, sih?" tanya Della menolak paham.

Dimas menatap Della yang takkan mengerti tentang perasaannya sebagai pria. Ia hampir gila karena cinta, hingga rela melakukan apapun demi gadis yang disukai, tapi yang didapat hanya kekecewaan. Meski begitu, bodohnya dia tetap mengikuti apa yang diinginkan oleh gadis yang sama sekali tidak mencintainya.

"Sudahlah, wanita bar-bar sepertimu tahu apa?" Dimas memalingkan wajah seakan enggan melihat wajah Della.

Della yang kesal dengan jawaban Dimas, langsung bangun dan menghentakkan kursi.

"Dasar pabrik lele yang tahunya tanam saham tapi tak tahu rasanya mengelola!" gerutu Della yang kemudian memilih meninggalkan Dimas.

"Eh, eh! Apa maksudnya itu? Apa maksudnya pabrik lele tahunya tanam saham, woi!" Teriakan Dimas tidak digubris Della yang memilih masuk kamar.

Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya.

"Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.

Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang.

"Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"

Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu.

"Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan.

"Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.

Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squishy, lembek dan halus

"Kenapa aku harus peduli?" Della ingin mengabaikan, tapi pada kenyataannya malah memasak dua poris makanan.

Dimas memejamkan mata menahan lapar, sejak pagi belum sempat sarapan dan sekarang disekap psikopat cantik yang entah akan memberinya makan atau tidak. Dimas menggerakkan kepala ke kanan dan kiri, sepertinya cacing di perut tidak mau diajak puasa.

"Sampai kapan aku akan menderita seperti ini?" tanyanya dalam hati.

Baru saja membayangkan nasib yang menimpa, Dimas terkejut mendengar suara Della.

"Makan!" Della menaruh sepiring nasi dengan lauk di atas kursi yang terdapat di hadapan Dimas.

Dimas memicingkan mata, lantas berdecak kesal. "Gimana bisa makan kalau tangan terikat!"

Della yang mendengar Dimas protes pun ikut berdecak. "Ck, sudah bagus aku beri makan, masih komplain!"

"Bukan komplain, dasar psikopat! Memangnya aku kudu makan menggunakan mulut!"

"Ya iyalah makan pakai mulut, mana ada makan pakai hidung!" ketus Della yang tidak mau kalah dan salah, meski dirinya salah.

Dimas begitu geram, ingin rasanya meremas mulut pedas Della kalau saja tangannya tidak terikat.

"Ya tahu! Tapi gimana bisa memasukkan ke mulut kalau tanganku saja terikat di belakang!" gerutunya. "Memangnya aku harus makan kayak ayam atau kucing!" geram Dimas melotot pada Della.

"Boleh dicoba!" Della malah mengiakan dengan santainya.

Della langsung meninggalkan Dimas dan memilih duduk di kursi meja makan, menikmati makan siang dengan sesekali melihat ke arah tawanannya itu.

"Ck, mending ditahan di penjara, setidaknya di sana tanganku tidak terikat!" gerutu Dimas sedikit keras, sengaja agar Della dengar dan terganggu.

Nasib kalau tertangkap memang seperti ini, selain diinterogasi dengan ancaman, ia harus mendapatkan penyiksaan juga, meski tidak secara fisik, tapi tidak bisa makan sudah cukup membuatnya frustasi. Apalagi jika cacing di perutnya sudah berteriak minta jatah.

"Buka mulutmu!" perintah Della yang tiba-tiba sudah mengambil piring jatah Dimas dan duduk di hadapan.

"Ngapain?" Dimas kebingungan melihat Della sudah duduk dihadapannya.

"Mau makan nggak! Bawel! Suara perutmu sampai seberang sana! Sangat mengganggu!" bentak Della dengan memasang wajah garang.

"Lepas tanganku saja, aku tidak akan kabur!" tawar Dimas yang sebenarnya malu kalau sampai disuapi, mau ditaruh mana mukanya.

Della menatap tajam pada Dimas, kemudian tersenyum mengejek.

"Memangnya aku percaya, buka mulut atau tidak sama sekali!" perinta Della sekali lagi.

Dimas melotot, tidak menyangka akan bertemu wanita yang sangat keras kepala. Akhirnya daripada tidak makan, lagi pula juga cacing di perut yang sudah berdemo tidak terkendali, akhirnya Dimas membuka mulutnya. Della menyuapi dengan kasar, hingga sendok pun membentur gigi.

"Kamu ini menyuapi apa menyiksa!" protes Dimas dengan mulut penuh.

"Makan tinggal makan, protes terus!" Della semakin menjejalkan makanan yang disuapkan ke Dimas, membuat mulut tawanannya itu benar-benar penuh dengan nasi.

Dimas tersedak, membuat Della langsung berdiri dan mengambil minum.

"Nih minum!" Della menyodorkan gelas berisi air, mendekatkan ke bibir Dimas agar bisa minum.

Della menghela napas kasar, merasa kenapa mengurus satu tawanan saja begitu merepotkan. Ia kembali duduk dan menatap Dimas, entah kenapa dia jadi teringat tentang cerita tawanannya.

"Kamu! Kenapa begitu setia dengan wanita itu? Kamu tahu kalau dia sudah tidak menganggapmu, bahkan hanya memanfaatkanmu saja!"

Dimas baru saja menelan seluruh makanan yang ada di rongga mulut dengan dorongan segelas air, lantas menatap tajam pada Della.

"Itu namanya pengorbanan, kamu akan tahu itu jika mencintai seseorang," ujar Dimas.

"Ck, kamu kira aku tidak tahu rasanya? Percuma berkorban banyak kalau ternyata diabaikan. Lebih baik tinggalkan saja, bukankah dia lebih menyukai pria kaya? Baik sama kamu saja karena ada maunya! Kamu jadi cowok harus bersikap tegas! Jangan mau dimanfaatkan!" Della menceramahi pemuda yang entah namanya siapa saja dia tidak tahu, karena tidak bertanya.

"Hanya orang bodoh yang menganggap itu pengorbanan, kalau bagiku, No! Itu namanya pembodohan cinta! Mengatasnamakan cinta tapi ternyata memanfaatkan semata!" imbuh Della yang langsung berdiri dari posisi duduknya.

Dimas membelalakkan mata mendengar ucapan Della, lantas terlihat berpikir, kemudian menatap punggung Della yang berjalan menuju dapur.

"Tunggu! Boleh aku minta sesuatu?" tanya Dimas yang membuat Della menghentikan langkah lantas kembali menoleh.

"Apa?" Della memasang wajah garang.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height