+ Add to Library
+ Add to Library

C8 PKJ 8

"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan.

"Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.

Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.

Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung.

"Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.

Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak memercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.

TOK! TOK! TOK!

Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita yang berniat merusak hubungannya dengan sang suami masuk ke dalam.

"Hei! Apa-apaan ini?" Kanaya berteriak kencang.

"Dim! Kenapa kamu antar mereka ke sini?" Kanaya baru sadar jika yang mendorongnya adalah Susan, orang yang ingin dihancurkan hidupnya.

"Maaf, Nay! Ini yang terbaik buat kamu," ucap Dimas yang bersalah karena sudah berkhianat demi kebaikan Kanaya.

Kanaya sadar jika sudah dikhianati oleh Dimas. Ia yang tidak terima lantas mengambil sebuah vas dan hendak memukul Susan dengan benda itu. Kanaya melayangkan vas yang ada di tangan tepat ke arah kepala Susan, karena kakak ipar Della itu berada tepat di hadapannya.

"Mati saja kau!" teriak Kanaya dengan tawa dan tatapan penuh dendam.

PRANG!!!

Della yang masih berdiri di dekat pintu terkejut, berlari hendak menghalau vas itu untuk Susan. Namun, langkahnya kurang lebar untuk bisa sampai di sana tepat waktu.

Susan memejamkan mata ketika Kanaya melayangkan vas bunga ke arahnya. Hingga suara benturan terdengar nyaring menggema di ruangan itu. Susan pun membuka mata dan melihat siapa yang berdiri di depannya, karena vas itu tidak mengenai dirinya.

"Dim!" teriak Della secara impulsif ketika melihat pemuda itu menghalau pukulan dari Kanaya.

Kanaya begitu terkejut, bukan hanya karena Dimas membawa dua wanita itu ke tempatnya, tapi kenapa Dimas rela menghalau vas itu untuk wanita yang menjadi musuhnya.

"Kamu gila, Dim!" teriak Kanaya yang terkejut juga kesal.

Dimas tersenyum getir, kepalanya terkena benturan dan sedikit mengalirkan darah. Ia menatap Kanaya. "Cukup, Nay! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Apa tidak bisa kamu mengabaikan dan menata diri, mencari pria yang benar-benar menginginkanmu dan bukan hanya untuk pemuasan nafsu sesaat!"

"Tahu apa kamu? Bukankah kamu bilang kalau mencintaiku? Kenapa sekarang malah menyerangku!" protes Kanaya yang masih tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Dimas. Bahkan Kanaya mengepalkan kedua telapak tangan karena geram.

Dimas berdiri tegap di hadapan Susan, sudah memantapkan hati untuk berubah. Cinta itu memang buta, tapi jika cinta itu membuat bodoh, maka itu tidak bisa diterima.

"Ada yang mengatakan padaku, cinta memang butuh pengorbanan, tapi jika dimanfaatkan dengan mengatasnamakan cinta, itu namanya pembodohan cinta!" ujar Dimas.

Della yang berdiri di belakang Susan pun tertegun dengan apa yang dikatakan Dimas, tidak menyangka jika Dimas akhirnya memahami perkataannya.

"Jadi, sekarang kamu sudah tidak mencintaiku dan ingin menusukku dari belakang, hah!" geram Kanaya dengan gigi yang bergemeretak menahan amarah.

Dimas menggeleng dengan seutas senyum. Ia yang terlalu bodoh mencintai Kanaya selama hampir lima tahun, dan sudah bertepuk sebelah tangan hampir dua kali dengan cara yang sama. Kanaya memilih pria yang lebih kaya, meski wanita itu tidak tahu serta tak mengenal siapa dan seperti apa kehidupan Dimas sebenarnya.

"Sepertinya apa yang aku rasakan bukanlah cinta, tapi lebih pada kekaguman yang menggila. Aku sadar jika apa yang dilakukan selama ini adalah salah. Jadi, kembalilah ke jalan yang benar, Nay! Masih banyak yang bisa menerima dirimu apa adanya!" ajak Dimas seraya mengulurkan tangan.

Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak.

"Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.

Dimas pasang badan untuk Susan untuk menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.

Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya ke belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta.

"Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan kelakuan Kanaya. Bukan hanya marah karena kelakuan Kanaya, tapi juga karena wanita gila itu hampir membuat celaka orang lain.

"Lepas! Kalian tidak akan tahu perasaanku! Kalian tidak pernah merasakan apa yang aku rasakan!" teriak Kanaya yang disusul dengan sebuah tangis yang menggema di seluruh ruangan itu.

Semua yang di sana tertegun dengan teriakan Kanaya, apalagi

"Bagaimana perasaan kalian ketika sudah mencintai begitu dalam dan menyerahkan segalanya lalu pria itu menikah dengan wanita lain, rasa dendam ini tidak bisa aku singkirkan! Aku hanya ingin wanita yang merebut kekasihku merasakan sama halnya dengan diriku, kenapa dia selalu menang? Kenapa?!" teriak Kanaya lagi.

Baik Susan maupun Dimas sama-sama tertegun dengan perkataan Kanaya. Memang akan sulit ketika seorang wanita sudah menyerahkan segalanya lantas dikhianati, tentu saja itu akan membuat siapa saja menggila. Susan menghela napas kasar, sepertinya tidak bisa menyalahkan sepenuhnya tindakan yang dilakukan Kanaya.

"Angkat tangan!!"

Susan, Della, Dimas, dan Kanaya terkejut ketika suara begitu tegas dan lantang terdengar di ruangan itu. Mereka menoleh ke arah pintu dan mendapati beberapa polisi sudah masuk.

Susan membeliakkan mata ketika melihat siapa yang masuk. Susan menghambur ke dalam pelukan suaminya, tidak menyangka jika Malik ada di sana.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Malik seraya membelai wajah Susan.

Susan menggelengkan kepala, mempererat pelukannya. Sejenak ia hampir merasa celaka dan takut tidak bisa melihat suaminya lagi.

Polisi yang dibawa Malik langsung menggelandang Kanaya, wanita itu dilaporkan atas tindakan penganiayaan dan juga ancaman. Malik yang menerima ancaman dari Kanaya langsung melapor ke kantor polisi, berbekal dari pesan yang langsung dilacak hingga diketahui lokasi Kanaya. Tadinya Malik tidak mau menggubris ancaman itu, tapi karena pernah melihat rekaman klub di mana Kanaya secara sengaja pingsan dan terlihat mondar-mandir diklub serta terlihat mencurigakan, membuat Malik percaya kalau wanita itulah yang berniat jahat.

Della bernapas lega, akhirnya semuanya selesai. Bisa menolong kakak iparnya membuat Della merasa senang. Dimas menatap Kanaya yang digelandang pergi, entah kenapa merasa kasihan, tapi bagaimanapun wanita itu juga sudah bersalah.

"Heh, kepalamu bagaimana?" tanya Della dengan tangan masih berkacak pinggang.

"Oh, tidak fatal. Aku tidak akan sampai gegar otak," jawab Dimas mengulas senyum seraya mengusap darah yang mengalir dari dahi ke sisi wajah.

Della mengeluarkan sapu tangan, lantas memberikannya pada Dimas. "Bersihkan dengan ini! Bawa ke dokter, kalau tidak punya uang nanti aku pinjamin," ledek Della.

"Menghina! Aku paling anti pinjam uang! Jangan salah, gini-gini aku--" Dimas menjeda ucapannya lantas mengatupkan bibirnya dalam-dalam.

"Kamu apa? Sok-sok'an mau pamer! Ck ... kalau nggak punya jangan pamer!" cibir Della yang langsung berjalan melewati Dimas dan menghampiri Susan.

Susan yang melihat Della dan Dimas berdebat pun hanya bisa tertawa kecil, keduanya terlihat lucu meski sedang berkelahi.

"Pulang Ah! Yuk San!" ajak Della yang melangkah lebih dulu.

Susan menatap pada Dimas yang terlihat masih mengusap darah akibat luka benturan yang didapat.

"Terima kasih karena sudah menolong dan membantu, jika butuh sesuatu kamu bisa datang padaku," kata Susan yang ingin membalas budi.

"Sama-sama," balas Dimas. "Sebenarnya tidak perlu sungkan, aku juga bersalah karena telah pernah hampir melukaimu," imbuh Dimas.

Susan mengangguk paham. Ia meminta Dimas menjadi saksi kalau Kanaya berniat jahat, berjanji tidak akan membawa nama Dimas.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height