+ Add to Library
+ Add to Library

C9 PKJ 9

Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata.

"Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.

Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri.

Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain.

"Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.

Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan.

"Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"

***

"Mas Dimas kepalanya kenapa?" tanya Pak Slamet ketika melihat kepala Dimas terluka.

"Lecet dikit, antar ke rumah sakit bentar baru pulang," jawab Dimas santai. Ia langsung masuk ke mobil yang dibawa sopir pribadi ibunya.

"Baik." Pak Slamet akhirnya melajukan mobil menuju rumah sakit untuk mengobati luka anak majikannya itu.

Dalam hati pria paruh baya itu bersyukur karena akhirnya Dimas mau pulang. Sudah hampir empat tahun Dimas tidak mau pulang, itu karena ibunya melarang Dimas berhubungan dengan Kanaya, gadis yang disukai Dimas dulu. Ibunya langsung over protektif ketika Dimas sering pergi dengan berpakaian biasa dan tak mau menggunakan mobil, bahkan meminta izin tinggal diluar hingga membuat ibunya marah besar.

"Nyonya pasti senang," gumam pria itu.

***

Dimas kembali ke rumah mewah keluarganya, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara keluarga Anggara, tentu saja Dimas begitu diperhatikan oleh ibunya—Salsa.

"Mas Dimas pulang, Nyonya!" Seorang pelayan langsung memberitahu majikannya ketika melihat Dimas turun dari mobil.

"Dimas pulang." Terlihat binar kebahagiaan di wajah wanita berumur 50 tahunan itu.

Salsa langsung turun dari ranjang, setelah sebelumnya terbaring lemah karena terus mencemaskan dan memikirkan keadaan Dimas.

"Masak makanan kesukaan Dimas, cepat!" perintah Salsa yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaan.

"Baik, Nyonya!" pelayan rumah Salsa langsung pergi ke dapur untuk melaksanakan perintah majikannya.

Salsa berjalan keluar kamar meski kakinya masih terasa lemas. Begitu bahagianya dia melihat wajah sang putra yang sangat dirindukan.

"Dimas!" panggil Salsa.

Dimas berjalan cepat ketika melihat Salsa, langsung memeluk tubuh wanita yang sudah melahirkannya itu.

"Akhirnya kamu pulang, sayang." Salsa begitu bersyukur karena Dimas mau pulang.

"Ya, maafin Dimas," ucap Dimas menyesal, terlebih ketika melihat wajah pucat ibunya.

Salsa melepas pelukan, menangkup kedua sisi wajah Dimas dan menatap sepuas-puasnya.

"Tidak apa-apa, kamu pulang saja sudah buat Mama senang. Nggak usah minta maaf," timpal Salsa.

Kedua manik mata Salsa berkaca karena bahagia, hingga tatapan tertuju pada kepala Dimas yang terluka.

"Kepalamu kenapa?" tanya Salsa cemas.

"Oh, tak sengaja terbentur," jawab Dimas yang tentu saja takkan mengatakan yang sejujurnya.

"Kok bisa! Sudah diperiksa? Parah nggak? Mama panggilkan dokter Johan buat periksa lagi!" Salsa memang terlalu over protektif terhadap Dimas.

"Nggak usah, Ma. Ini sudah diobati, Mama jangan khawatir."

Dimas terkadang merasa seperti anak kecil karena sikap Salsa. Dimas adalah anak laki-laki satu-satunya di rumah itu, sedangkan kakaknya semuanya perempuan. Karena itulah Dimas terkadang dianggap spesial, sebab keluarga sang ayah menginginkan anak laki-laki, sedangkan keluarga yang lain kebanyakan memiliki anak perempuan.

"Ya sudah, kamu mandi dulu. Setelah itu kita makan bersama."

Dimas hanya mengangguk, lantas memilih pergi ke kamarnya. Ia menatap ruangan itu, masih sama seperti saat ditinggalkan, tidak ada yang berubah.

Dimas baru saja selesai mandi, duduk di tepian ranjang seraya mengusap rambut yang basah dengan handuk kecil.

Ia menatap sapu tangan yang kini sudah bernoda merah, sapu tangan berwarna biru muda dengan gambar bunga krisan kecil di ujungnya.

"Kenapa aku tidak rela membuangnya?" Dimas mengambil dan mengamati sapu tangan itu.

"Dim, sudah mandi!" Salsa tampak masuk dan melihat Dimas yang sudah duduk, wanita itu membawa kotak obat.

"Sudah." Dimas buru-buru meletakkan sapu tangan yang dipegang ke nakas.

Salsa menghampiri Dimas, duduk di samping pemuda itu dan mulai membuka kotak obat.

"Biar Mama ganti perbannya," kata Salsa.

"Aku bisa sendiri, Ma."

"Udah diam!" Salsa tidak membiarkan Dimas mengganti perbannya sendiri.

Dimas akhirnya hanya bisa pasrah, membiarkan ibunya mengobati dan mengganti perban.

"Papamu masih di Singapore, jadi kita makan malam berdua," kata Salsa seraya mengobati perlahan luka Dimas.

"Mama sendirian terus di rumah?" tanya Dimas yang merasa bersalah, tahu betul kalau ayahnya sering melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.

"Mau bagaimana lagi? Mama khawatir, kalau tiba-tiba kamu pulang, terus tidak ada orang di rumah, nanti kamu pergi lagi," ujar Salsa. Sebenarnya ayah Dimas sudah meminta Salsa ikut, tapi ditolak dengan alasan menunggu Dimas pulang.

"Mama tidak usah memikirkan aku. Kalau memang pulang, aku pasti pulang," timpal Dimas.

Salsa menatap Dimas dengan seulas senyum, menyentuh sisi wajah tampan putranya.

"Ya sudah, pokoknya yang penting kamu sudah pulang," ucap Salsa seraya menepuk pelan kedua pundak Dimas, hingga tatapan tertuju pada sapu tangan di atas nakas.

"Sapu tangan kotor gitu, kok nggak dibuang, sih!" Salsa ingin mengambil sapu tangan di atas nakas.

"Jangan!" cegah Dimas yang membuat Salsa terkejut.

"Kenapa?" tanya wanita itu mengernyitkan dahi.

"Biar aku aja yang buang." Dimas langsung menyembunyikan sapu tangan itu di samping tubuh.

Salsa memicingkan mata, menatap curiga pada putranya.

"Kamu masih berhubungan dengan wanita itu?" Salsa terlihat tidak senang jika Dimas masih berhubungan dengan Kanaya.

"Nggak, Ma."

"Lalu, itu sapu tangan siapa? Kenapa tidak boleh dibuang?" tanya Salsa bertubi.

"Emm ... mau aku buang, nanti pasti aku buang," jawab Dimas memberi alasan.

"Yakin itu bukan dari wanita sialan itu?" tanya Salsa yang tak senang karena tahu bagaimana Kanaya.

Salsa pernah meminta orang menyelidiki siapa Kanaya, semenjak Dimas mengatakan menyukai gadis itu. Namun, saat orang suruhan Salsa mengatakan kalau Kanaya suka bersama pria berumur yang kaya, membuat wanita itu langsung berpikiran negatif dan tidak menyukai. Karena itulah Salsa menentang Dimas dekat dengan Kanaya.

"Ya, Ma. Sekarang aku sudah sadar dan tidak akan pernah lagi berhubungan dengan wanita itu," ujar Dimas meyakinkan. "Mama senang?" tanya Dimas kemudian.

Salsa menghela napas lega, setidaknya ketakutan tentang putranya menyukai wanita yang salah sudah berakhir.

"Baiklah, ayo turun buat makan!" ajak Salsa yang memilih berdiri terlebih dahulu.

Dimas memasukkan sapu tangan ke saku celana lantas mengekor pada Salsa.

***

Della baru saja bangun tidur, setelah diantar pulang Susan, wanita itu memilih langsung tidur karena merasa begitu lelah.

Della menguap dengan menggaruk-garuk kepala tidak gatal, sungguh tidak ada anggun-anggunnya sama sekali sebagai wanita.

"Jam berapa ini?" Della menengok ke jam dinding.

"Hmm ... jam enam."

Della memilih bangun, hendak mandi kemudian melihat Bagas karena siang ini tidak bekerja.

Della berjalan keluar dari kamar, hingga menoleh ke kanan dan hal pertama yang dilihat adalah kursi tempat dirinya menyekap Dimas. Dalam bayangan, ia masih melihat Dimas ada di sana.

"Hish ... apa-apaan coba?" Della menggeleng kepala cepat, bagaimana bisa masih memikirkan pemuda yang membuatnya sebal dan darah tinggi. Della pun mengabaikan dan memilih bergegas mandi agar bisa segera bertemu Bagas.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height