Pick You Up/C1 Prolog
+ Add to Library
Pick You Up/C1 Prolog
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Prolog

Rintik hujan yang berjatuhan pelan, menyapa bumi. Sebuah mobil hitam melintas dengan kecepatan sedang, membelah pekatnya malam.

Tiga pria dewasa yang entah dari mana, atau menuju ke mana. Dua di antaranya beradu argumen, saling berteriak mempertahankan ego masing-masing.

“Kau, dengarkan Ayah. Jangan membantah.” Pria tua dengan jas hitam itu menatap dengan tajam.

“Ayah tidak memikirkan perasaanku? Aku menolak, aku tidak akan menikahinya jika itu tujuanmu.” Pria muda dengan kemeja putih tidak mau kalah.

Tanpa sepengetahuan mereka, kabut pekat mulai menebal, mengganggu perjalanan. Jalan licin menjadi penghias, membuat sang sopir mempertajam mata dan kewaspadaan.

“Nikahi dia, hancurkan dia, tidak sulit kan?? Atau kau sudah mulai mencintainya?”

Saat sang ayah masih bertanya, dan belum mendapat jawaban. Mobil tergelincir tiba-tiba, semua tangan berpegangan pada apa yang ada. Mobil berputar dengan kecepatan tinggi, hingga akhirnya membentur pada batu tebing di pinggiran jalan.

Mobil terpental dan kembali berputar, membentur kembali pada batu besar pada sisi satunya. Mobil berhenti, dengan bentuk yang tak mulus lagi. Sang ayah yang duduk di belakang sopir, menoleh menatap putranya. Pria muda itu memejamkan mata.

Sang ayah meneteskan air mata, dia kesakitan, menahan rasa nyeri di separuh tubuhnya. Dia menatap kakinya, kakinya tak mampu bergerak, karena ada pintu mobil dan kursi kemudi yang mengimpitnya. Dia menangis.

Dadanya nyeri, dan beberapa saat kemudian dia terpejam. Dalam embusan nafas yang tercekat, dia berhenti. Berhenti berdetak, berhenti bergerak.

***

Aroma khas rumah sakit, tercium menyapa indra penciumannya sebelum dia membuka mata. Suara tangisan mengalun pelan di sisi kirinya.

“Bangunlah, Nak. Mama mohon.”

Suara kesedihan yang memaksanya membuka mata. Tapi, siapa yang menangis? Dia tidak mengenalinya.

“Davian? Kamu bangun, sayang?” Wanita tua dengan wajah sedihnya berdiri dan membelalakkan mata. Dia menggenggam tangan putranya, dan derai air matanya semakin deras.

“Davian? Siapa Davian?” gumam pria yang bernama Davian itu lirih sambil mengerutkan alis, dia menatap wanita tua di depannya.

“Dokter, Davian bangun.” Dia berteriak, bahagia. Hingga beberapa orang memasuki ruangan.

Beberapa orang berseragam putih itu memeriksa Davian, mengamati Davian dengan saksama. Indra penglihatan, kemampuan gerak, sudah 7 minggu pria ini tidak sadarkan diri.

“Siapa namamu?”

Davian menatap Dokter, seperti pria linglung yang kehilangan petunjuknya, Davian balik bertanya. “Nama?”

Sang Dokter mengangguk pasti.

“Nama,” gumam Davian lirih.

“Dok, apa yang terjadi dengan Davian?” Mama Davian, Titian Sokha Marshall. Menatap putranya dengan pandangan curiga.

“Sepertinya, kami harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut mengenai benturan yang terjadi di kepalanya saat kecelakaan, Nyonya. Kemungkinan Tuan Muda mengalami hilang ingatan.”

Titian kembali meneteskan air matanya, dia menunduk sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Berharap tangan itu dapat meredam suara isakannya.

Davian menatap Titian dengan wajah datarnya, dia masih bingung dengan yang terjadi. Wanita tua, Dokter, rumah sakit. Siapa mereka semua.

***

3 bulan kemudian.

“Kalian siap?” Teriak seorang wanita yang cukup tua pada deretan gadis yang berbaris di depannya.

Lakha mengangguk dengan mantap bersama temannya yang lain. Wanita itu mengenakan seragam maid sebuah mansion besar.

“Ingat, jangan memasuki kamar Tuan Muda kecuali Tania. Tania telah menjadi pelayan pribadi mulai hari ini, dia yang mengurusi Tuan Muda sepenuhnya. Jangan bicara saat bekerja kecuali di tanya, tetap fokus.”

“Siap, Nyonya,” jawab mereka serempak.

“Baik, mulai bekerja.”

Barisan gadis berseragam itu mulai berjalan menuju tempat mereka masing-masing. Tak terkecuali Lakha. Dia membersihkan almari pajangan di ruang tengah, dengan penuh kehati-hatian.

Suara derap langkah menghentikan gerakan Lakha, dia menatap sang pemilik suara melalui pantulan kaca almari di depannya. Sebuah ukiran Tuhan yang sempurna, yang berwujud sebagai pria kaya. Lakha tersenyum.

Langkah kaki itu mendekat, dia tahu Lakha memperhatikannya. “Kau menatapku?”

Lakha berbalik, dan langsung menunduk. Dia tidak menjawab, hanya terdiam.

“Di mana Bu Basman?” pria itu mempertanyakan hal lain, dan melupakan pertanyaannya sebelum ini.

“Di taman, Tuan. Saya akan memanggilnya untuk, Tuan.” Lakha berbalik dan berlari keluar dengan langkah kaki tanpa suara.

Davian duduk di sofa sambil menunggu.

Lakha berjalan keluar menuju taman. Dadanya berdegup sangat kencang. “Aku akan membuatmu mengingatku, mengingat tentang kita, sayang.” Lakha tersenyum, di sela langkah kakinya yang ringan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height