Pick You Up/C2 Aku harus berada lebih dekat
+ Add to Library
Pick You Up/C2 Aku harus berada lebih dekat
+ Add to Library

C2 Aku harus berada lebih dekat

Davian berdiri dan membanting baju di tangannya dengan kasar. Dia menatap Tania dengan tajam. "Berapa kali aku harus mengatakan padamu? Jika aku tidak suka dengan jenis kain baju ini." Davian menghela napas berat. "Di mana kamu saat aku memintamu membuang baju ini? Jawab!"

Tania menunduk, dia sudah menangis. Dia baru saja menyetrika baju itu, dan akan menggantungnya di clothing room. Baju yang dibanting Davian itu, adalah salah satu koleksi musim panas seorang perancang terkenal, Davian mendapatkannya dari Becca, sahabat kecil Davian.

"Apa karena aku pasien hilang ingatan, jadi kau pikir aku lupa dengan perintahku sendiri?" Davian mengeraskan rahangnya. "Tadi pagi, air mandi yang kau siapkan terlalu panas, sekarang baju. Harus berapa lama lagi aku bersabar padamu?"

Tania menunduk, jujur dia benar- benar tidak tahu, baju itu sudah ada di tumpukan baju kotor kemarin, dia hanya mencuci dan merapikannya saja. Tania terisak dalam keheningan.

Bu Basman yang mendengar keributan itu langsung masuk ke kamar Davian saat itu juga. "Selamat siang, Tuan." Bu Basman membungkukkan tubuhnya.

"Ganti pelayanku," ucap Davian tanpa melirik. Dia berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri dengan kasar. "Aku mau pelayan yang tidak bodoh seperti ini."

"Baik, Tuan. Kami permisi." Bu Basman menarik tangan Tania dengan paksa, dan keluar dari kamar itu. Bu Basman melepaskan cengkeraman tangannya sesaat, dan meninggalkan Tania, dia kembali masuk. "Permisi, Tuan. Dokter Danang sudah menunggu di ruang keluarga."

"Hmm."

Hanya gumaman yang terdengar, Bu Basman kembali menundukkan kepala. "Saya permisi."

Bu Basman keluar kamar, dan menutup pintu kamar itu pelan. Bu Basman kembali menggandeng Tania. Mereka berjalan menuju ruang para pelayan yang berjarak 50 meter dari kamar Davian. Perlu keluar dari rumah utama untuk tiba di sana.

Langkah kaki mereka terhenti di depan sebuah bangunan putih, para pelayan sedang beristirahat dari pekerjaan.

"Keluar semuanya." Teriakan Bu Basman menyadarkan mereka dari rasa lelah.

Para pelayan itu kembali berkumpul di depan ruangan. Tania masih setia dengan tangisannya, membuat semua mata iba menatapnya.

"Tuan Muda, menginginkan pelayan pribadi baru." Bu Basman menghela napas. "Sekarang aku tidak akan menunjuk lagi, tiap kali aku tunjuk kalian selalu bekerja setengah hati. Sekarang aku mau sukarela. Siapa yang bersedia menjadi pelayan pribadi, Tuan Muda."

Lakha menoleh, menatap teman-temannya. Tidak ada yang berani mengangkat wajah. Mereka semua terdiam, seolah menolak dan enggan menjadi pelayan Davian.

"Jika tidak ada yang mengajukan diri. Maka, aku akan memilih seperti biasanya." Bu Basman menegaskan nada bicaranya, dia menatap satu persatu gadis yang ada di depannya.

Lakha mengangkat tangan pada akhirnya. Semua pelayan menatapnya. Bu Basman menatap Lakha sesaat.

"Aku hitung sampai 3, jika tidak ada," belum sempat Bu Basman menyelesaikan ucapannya, Lakha maju satu langkah di berdiri tepat di depan Bu Basman.

"Saya, Bu. Saya bersedia." Lakha berucap dengan nada tanpa keraguan.

"Yang saya butuh kan pelayan profesional." Bu Basman tegas. "Bukan anak kemarin sore, yang menjadi pelayan menggunakan koneksi seperti kamu."

Bukan rahasia umum lagi, Lakha masuk ke rumah ini karena bantuan Mario, sepupu pemilik rumah ini.

"Saya akan buktikan jika saya bisa, Bu."

Bu Basman menyeringai. "Apa yang mau kamu buktikan?"

"Saya akan..."

"Bisa apa pelayan selundupan seperti kamu?" Bu Basman memotong ucapan Lakha.

"Setidaknya, beri Lakha kesempatan untuk hari ini saja, Bu," celetuk Tania.

Bu Basman menatap Tania dengan tajam, menghentikan semua yang akan Tania ucapkan, lalu beralih menatap Lakha dengan sedikit ragu. Dia berpikir keras, Bu Basman mengamati Lakha, dari atas hingga bawah. Gadis di depannya ini tidak memiliki sertifikat pelayan seperti standarnya selama ini, bagaimana mungkin dia memberikan gadis tanpa pengalaman ini kepada Tuan Mudanya.

Bu Basman menghela napas pelan. "Baiklah, aku beri kamu kesempatan hari ini. Jika ada komplain dari Tuan Muda, satu saja. Maka pelayan pribadi Tuan Muda harus salah satu dari kalian." Bu Basman menatap pelayan lainnya dengan tatapan tajam.

Semua bernapas lega. Begitu juga dengan Lekha, harapannya menjadi lebih dekat dengan Davian sekarang terwujud.

"Tuan Muda, kedatangan Dokter pribadinya. Tugas pertamamu, menyiapkan hidangan dan minuman untuk Tuan Muda, dan tamunya."

"Baik, Bu." Lakha menundukkan wajah sesaat, bersamaan dengan melangkahnya Bu Basman, menjauh.

"Kembali bekerja," teriak Bu Basman sebelum di menghilang di balik pintu.

Tania berjalan mendekati Lakha, begitu juga yang lain.

"Maaf, kami terlalu pengecut mengajukan diri." Seila, salah satu pelayan.

Lakha tersenyum saat semua menunjukkan wajah iba padanya. "Kenapa wajah kalian seperti itu? Aku memang ingin menjadi pelayan pribadi Tuan Muda, aku butuh gaji yang lebih besar." Lakha memaksakan diri tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya pada gadis di sekelilingnya.

"Kamu harus kuat, sabar." Tania menghela napas berat.

"Aku akan baik-baik saja. Berhenti menatapku iba." Lakha menatap satu persatu. "Sekarang ayo kita kembali bekerja, aku tidak mau Bu Basman kembali meneriaki kita."

"Kau benar. Ayo bubar, nanti Bu Basman mencari kita. Kita kehabisan waktu istirahat," ajak Seila pada yang lainnya.

Semua bubar, meneruskan pekerjaan masing-masing. Dan Lakha, gadis itu menuju dapur dan memanaskan air. Dia membuka biskuit kacang, dan menyusunnya rapi di piring kotak berwarna hitam. Dia menyedu teh hijau dengan gerakan sangat pelan.

Lakha selesai, dia membawa nampan tersebut ke rumah utama, menuju teras kamar Davian, di mana dia dan Dokternya sedang berbincang.

Lakha masuk setelah mengetuk pintu kamar dua kali. Dan berjalan tanpa menimbulkan suara, dia mendekat dan meletakkan biskuit dan teh hijau buatannya.

"Ada baiknya, kamu mengunjungi tempat-tempat yang kemungkinan akan memulihkan ingatanmu. Tapi, jangan memaksakan diri, kamu akan kelelahan nanti." Dokter yang terlihat masih muda itu menasihati Davian.

"Iya, Paman. Akan Vian lakukan. Masalah mimpi itu, aku minum obat tidur yang Paman berikan, tapi kenapa mimpi itu masih saja hadir?" Davian menatap Lakha sesaat, lalu menatap apa yang Lakha suguhkan.

Lakha membungkukkan badan, lalu undur diri dengan pelan.

Davian menatap biskuit dalam piring hitam, pemandangan yang terlihat tidak asing baginya.

"Soal mimpi, semua itu kembali ke kamu. Kamu harus semakin sering melakukan hal yang bisa meringankan pikiranmu. Jangan terlalu terbebani dengan kematian Ayahmu. Dia pasti akan sedih mengetahui kamu masih begitu memikirkannya."

Davian mengangkat wajah. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak akan bisa lepas dari beban, aku kehilangan ingatan, aku merasa asing di sekitar keluargaku, merasa asing di rumahku sendiri."

"Bersabar, Dav. Semua akan kembali seperti semula secara perlahan. Dengan kamu sudah mengingat Mamamu saja, itu sudah kemajuan yang bagus."

Lakha masih berdiri di balik pintu, mendengarkan dengan saksama, dia terdiam menghela napas pelan. Sekarang dia tahu, apa yang harus di lakukannya. Sedikit meningkatkan daya ingat Davian, terhadap dirinya.

Lakha melangkah, sekarang waktunya untuk tugas keduanya. Membersihkan seluruh kamar Davian.

Lakha meraih kemoceng dan kain lap, membersihkan satu persatu dengan pelan, tanpa menimbulkan suara pastinya. Lakha tahu, jika Davian membenci ada suara dari pekerjanya. Itulah salah satu alasan pria itu selalu marah, dan protes segala apa yang di lakukan pelayannya.

Lakha mulai menyalakan vacum cleaner otomatis, dan berpindah mengganti seprai, dan sarung bantalnya.

Davian memasuki kamar bersamaan dengan selesainya Lakha berbenah. Davian menatap ranjangnya sesaat, lalu menatap Lakha. "Kamu pelayan baruku?"

"Iya, Tuan." Lakha menghentikan langkah kakinya sambil memeluk seprai kotor. Dia menunduk dan membungkukkan badan sesaat.

"Oke. Lanjutkan pekerjaanmu." Davian melanjutkan langkahnya memasuki clothing room.

Lakha meneruskan langkahnya meninggalkan kamar Davian.

"Siapa namamu?" Pertanyaan Davian menghentikan Lakha.

Lakha masih di ambang pintu, dia berbalik secepatnya. "Saya Lakhaesa, Tuan. Panggil saja Lakha."

Davian mengangguk lalu menghilang di balik pintu clothing room.

Lakha menutup pintu pelan.

"Apa dia menanyakan namamu?" Kedatangan Seila mengejutkan, dan membuat Lakha kembali berhenti.

Lakha hanya menjawab dengan anggukan saja, lalu meneruskan langkahnya.

"Apa yang terjadi? Dia tidak pernah menanyakan nama pelayan." Seila memicingkan mata menatap pintu tertutup di depannya.

***

Di dalam ruangan, Davian berdiri terpaku memikirkan gadis yang baru saja menjadi pelayannya, kenapa kehadirannya membuat Davian sedikit merasa nyaman. Cara gadis itu menatapnya, walau hanya sekilas Davian tahu tatapan itu terlihat berbeda. Di melepas bajunya, menampakkan deretan roti sobek lukisan Tuhan dan usahanya hidup sehat.

Davian mengenakan kemeja biru tosca, pikirannya masih berkelana pada piring kotak berwarna hitam, dan warna seprai yang mengganggunya. Davian selesai dengan setelan yang membuatnya begitu tampak sempurna, lalu keluar meninggalkan kamarnya. Dia akan ke kantor sesuai permintaan Titian. Ini sudah berjalan selama 1 minggu. Waktu Davian sendiri yang menentukan, entah itu siang atau sore, asal Davian muncul di kantor. Untuk membiasakan diri, dan juga untuk penunjang ingatannya supaya cepat kembali.

Davian berjalan menuju mobil yang sudah menunggunya. Dia melihat Bu Basman, Davian menghentikan langkahnya, dan menatap Bu Basman. "Bu Basman."

Bu Basman yang menyadari Davian memanggilnya, seketika meninggalkan pekerjaannya, langsung menghampiri Davian. "Iya, Tuan."

"Katakan pada Lakha, aku akan kembali 3 jam lagi. Aku mau mandi saat tiba di rumah."

"Lakha?" Bu Basman sedikit terkejut, baru kali ini dia mendengar Davian menyebutkan nama pelayan selain dirinya.

"Iya, dia pelayan yang kau tugaskan menjadi pelayan pribadiku."

Bu Basman menundukkan kepala. "Baik, Tuan. Akan saya sampaikan."

"Terima kasih." Davian meninggalkan Bu Basman yang lagi-lagi terpukau.

Setelah kepergian Davian dari hadapannya, dia seketika berjalan ke ruang pelayan dengan langkah cepat. "Di mana Lakha?"

Bu Basman bertanya pada sebagian pelayan yang ada di situ.

"Di ruang cuci, Bu," jawab salah satunya.

Bu Basman berbalik dan melangkah menuju ruang cuci. Benar saja, Lakha di sana, dia sedang mencuci seprai dan sarung bantal milik Davian.

"Lakha." Bu Basman berdiri di belakang Lakha.

Lakha menoleh. "Iya, Bu."

"Tuan akan pulang 3 jam lagi, dia ingin kau siapkan air hangat untuk dia mandi saat pulang nanti." Bu Basman menatap Lakha tanpa berkedip.

"Baik, Bu." Lakha menundukkan kepala sesaat, lalu kembali pada cuciannya.

"Boleh aku bertanya sesuatu?" Bu Basman memicingkan mata.

Lakha kembali menghadap Bu Basman. "Silahkan."

"Siapa kamu??"

Lakha mengangkat alis. "Hah?? Maksud Bu Basman apa?"

Bu Basman tidak menjawab, dia terdiam untuk sesaat, hanya dengan menatap dan meneliti Lakha. "Lupakan." Ekspresi wanita itu kembali dingin. "Lanjutkan pekerjaanmu. Dan soal Tuan Muda, jangan lupa air mandinya 3 jam lagi. Sekalian siapkan makan malam untuknya."

"Iya, Bu."

Bu Basman keluar dari ruang cuci, kembali pada rutinitas wajibnya. Melangkahkan kaki sambil memutar otak, dia merasa ada yang aneh dengan gadis bernama Lakha, selain masuk rumah ini karena koneksi, dia pelayan pertama yang membuat Davian berubah seperti itu di hari pertamanya sebagai pelayan pribadi pria itu.

Di ruang cuci, Lakha bernapas lega, dia hampir saja berlari jika saja Bu Basman meneruskan pertanyaannya. Dia bukan seorang aktris yang mampu berakting, dia hanya wanita biasa yang tengah berusaha mendekat dan mengembalikan ingatan kekasihnya.

Itu saja.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height