Pick You Up/C3 Kenapa dia tidak pernah tersenyum?
+ Add to Library
Pick You Up/C3 Kenapa dia tidak pernah tersenyum?
+ Add to Library

C3 Kenapa dia tidak pernah tersenyum?

Lakha melangkah santai menuju kamar Davian, dia akan menyiapkan air hangat untuk Davian mandi. Dalam beberapa menit lagi pria itu akan datang.

Lakha masuk dan langsung menuju kamar mandi, sangat luas dan bersih. Lakha menyalakan air dan mengatur kombinasi supaya mendapat air hangat yang pas. Dia menyiapkan jubah mandi, dan handuk yang bersih.

Gerakannya terhenti saat suara langkah kaki memasuki ruangan, Lakha mendengar ada helaan napas berat di sela-sela langkah itu. Dia berbalik dan menyelesaikan persiapannya dalam sekejap.

Setelah selesai, Lakha keluar. Dia melewati clothing room, dan berakhir pada ranjang yang telah terdapat satu manusia yang sedang memejamkan mata di sana.

Lakha berhenti, menatapnya sesaat.

Lakha mendekat dengan perlahan. “Tuan. Airnya sudah siap,” ucap Lakha pelan.

Davian membuka matanya, dia menatap Lakha. “Aku sangat lelah, bisa bantu aku membuka baju??”

Lakha menelan salivanya, lalu mengangguk pelan. Dadanya berdegup sangat kencang. Davian bangun dan berdiri di depan Lakha, matanya mengarah pada gadis itu, meneliti apa yang menarik, hingga wajah gadis itu mengganggu pikirannya. Davian menghela napas pelan, dia ingat bagaimana dia menyaksikan gadis itu berdiri di belakang pintu sambil mendengar pembicaraannya dengan Dokter Danang, dan anehnya, Davian tidak marah seperti biasanya dia lakukan. Dia sangat penasaran, siapa dan apa tujuan gadis ini. Dan dia juga gadis yang sama dengan gadis yang tempo hari menatapnya di ruang tengah.

Lakha mengangkat tangannya, melepas jas yang melekat pada tubuh Davian, lalu meletakkannya di lengan. Tangannya kembali bekerja, melepas tiap kancing kemeja Davian.

Tok.. tok..

Sebuah ketukan yang menyelamatkan kritisnya hati Lakha saat ini. Dia mundur selangkah setelah melepas 4 kancing kemeja Davian.

Pintu terbuka, dan Bu Basman masuk kamar itu. Bu Basman membungkukkan badan. “Tuan, Nyonya besar menunggu untuk makan malam bersama.”

Davian menjawab dengan mengangkat tangannya, Bu Basman mundur dan kembali membungkukkan badan.

Setelah Bu Basman pergi Davian mendekat. “Lanjutkan pekerjaanmu.”

Lakha masih menundukkan wajah. Dia kembali melanjutkan melepas kancing kemeja Davian. Lakha melepasnya, dan kembali meletakkan di lengannya.

Lakha kembali menelan salivanya. Dia menggigit bibir bawahnya, matanya mengarah pada celana panjang Davian. Apakah aku juga yang harus melepasnya? Batinnya.

Davian tersenyum. “Kenapa berhenti?”

Lakha diam, dia kembali menggigit bibir bawahnya. Tangannya mendekat ragu.

Davian tersenyum. “Aku akan melepaskannya sendiri, siapkan baju untukku.” Davian melangkahkan kaki melewati Lakha, menuju kamar mandi. Dia menoleh, menatap Lakha. “Dan jangan ke mana-mana, aku mau kamu tetap di sini sampai aku selesai mandi.”

“Baik, Tuan.” Lakha membungkukkan badan sesaat.

Davian melanjutkan langkahnya, memasuki kamar mandi dan menikmati waktu berendam, melepaskan penat dan letihnya.

Lakha menghela napas pelan setelah Davian masuk kamar mandi. Lakha masuk ke clothing room, dan meletakkan setelan tersebut di antara baju yang lainnya dalam keranjang cuci, dia meletakkan keranjang itu di sudut ruangan.

Lakha berjalan pelan di depan deretan baju santai milik Davian. Memilihnya dengan pelan. Hingga matanya berhenti di satu titik. Bibirnya tersenyum tipis.

Lakha meraih kaos hitam berkerah, dengan gambar 2 hati berwarna putih pada bagian depannya. Dia menatap kaos itu, dan dengan tersipu malu dia kembali mengingat hari itu.

“Lihatlah,” ucap Lakha pada Davian. “Aku mau ini, kaos couple.”

“Apa pun yang kamu mau, sayang.” Davian mengelus lembut kepala Lakha.

Lakha membuyarkan lamunan kecilnya di masa lalu, di sebuah toko kecil yang menjual berbagai macam barang pasangan. Lakha mengambil celana putih selutut sebagai pasangan dari kaos itu.

Lakha meletakkan dengan rapi baju itu di atas nakas tengah clothing room.

Lakha meraih keranjang baju kotor yang semula dia abaikan. Memeluknya dengan erat dan berjalan keluar.

Dia meninggalkan ruangan, berjalan menjauh menuju ruang cuci. Lakha hanya meletakkannya saja di salah satu meja, dia berbalik dan kembali menuju kamar Davian.

Lakha masuk dengan langkah kaki tanpa suara, seperti biasanya.

“Kamu melupakan perintahku??”

Suara itu mengejutkannya. Dia menghentikan langkah dan menatap Davian sesaat, lalu menunduk. Dia tahu, dia di larang meninggalkan ruangan ini sebelum Davian selesai mandi. “Saya hanya mengantar cucian ke ruang cuci, Tuan.”

“Tapi intinya kamu keluar dari sini kan??” Davian melangkah mendekat, dengan tampilannya mengenakan jubah mandi, dan dengan rambut yang sedikit basah.

“Maaf, Tuan.” Lakha menunduk. Dia mencium aroma segar dari tubuh Davian.

“Baiklah, aku maafkan karena ini kesalahan pertamamu hari ini.” Davian mundur perlahan. “Aku akan memakai baju yang kamu siapkan, setelah itu bantu aku mengeringkan rambutku.” Davian berbalik dan meninggalkan Lakha.

Lakha terdiam di tempatnya berdiri. Hingga Davian keluar sudah dengan baju pilihannya. Bibir Lakha refleks tersenyum tipis. Dia mengikuti langkah kaki Davian yang menuju meja di sudut ruangan.

Pria duduk menghadap kaca di depannya. Lakha mengambil Hair dryer dari laci, lalu mulai mengeringkan rambut Davian. Davian menatap Lakha melalui pantulan di kaca di depannya. Lakha mulai menyisir rambut Davian pelan dengan jari tangannya.

Sesuatu yang sebenarnya tidak asing untuk Davian, jika dia mengingatnya.

Davian terdiam, menatap gadis yang sedang memanjakan rambutnya, membelainya dengan pelan. Gadis cantik yang mengusik hatinya, meninggalkan bekas yang sepertinya sudah mengeras di pikirannya. Davian masih mencari tahu, siapa dan kenapa gadis ini di sini. Apakah mungkin salah satu dari sepenggal ingatannya yang menghilang? Davian menghela napas pelan.

Proses pengeringan rambut selesai, Lakha menyisir rambut Davian. “Tuan, saya pasangkan pomade sekalian?”

“Kenapa bertanya??” Davian masih menatap Lakha melalui kaca.

“Maaf jika saya salah, Tuan. Saya hanya takut jika Tuan tidak suka memakai pomade. Saya hanya memastikannya.” Lakha menundukkan wajah.

Davian tersenyum. “Kamu takut?”

Lakha mengangguk pelan.

“Bagus. Aku lebih suka kamu bertanya terlebih dahulu saat kamu takut salah.” Davian berdiri, dia berbalik dan berhadapan dengan Lakha. Davian meraih dagu Lakha dan menengadahkan wajahnya. “Aku lebih suka tidak menggunakan pomade, terasa lebih ringan.” Davian tersenyum. Menatap mata teduh milik Lakha, yang seolah menariknya masuk lebih dalam.

Lakha menatap Davian, dia mengangguk pelan.

“Oke, lanjutkan pekerjaanmu. Siapkan makan malam untukku, dan setelah itu siapkan teh, aku akan minum teh bersama ibu setelah makan malam.” Davian melepas tangannya, lalu keluar dari kamar.

Lakha menghela napas pelan, dia menyentuh dadanya yang masih berdegup dengan kencang. Lakha kembali menghela napasnya sebelum dia beranjak pergi, meninggalkan kamar Davian dan menuju dapur utama.

Lakha perlu melewati ruang tengah dan ruang perpustakaan untuk sampai di dapur, di sana koki sedang bekerja sesuai tugas masing-masing. Lakha bingung harus memulai dari mana, dia langsung mengambil makanan, atau bertanya terlebih dahulu kepada salah satu koki. Lakha masih bergulat dengan pikirannya sendiri.

“Kamu Lakha, kan?”

Sebuah suara yang membuat Lakha menoleh dan menganggukkan kepala. Seorang wanita cantik dengan pakaian koki tersenyum padanya.

“Kata Bu Basman, pelayan pribadi Tuan Muda sekarang dirimu. Perkenalkan, aku Sisil. Kepala Koki di sini.” Wanita cantik bernama Sisil itu menundukkan kepala sesaat.

Lakha membalas dengan hal yang sama. “Saya Lakha.”

“Bu Basman sudah bercerita banyak tentangmu, tentang hari pertamamu, hari ini. Kamu cukup mencengangkan sebagai seorang pelayan selundupan.”

Lakha tersenyum pelan.

“Oke, kamu langsung ambil dan siapkan saja makan untuk Tuan Muda, kami menyiapkan beberapa menu untuk makan malam.” Sisil menoleh sesaat menatap meja yang menjajarkan beberapa makanan. “Mengingat Tuan Muda yang sangat membenci ada orang selain pelayan pribadinya menyiapkan makanan, jadi kamu harus mengambil dan menyiapkannya sendiri, tugas kami untuk Tuan Muda hanya sebatas memasak saja.”

Lakha kembali mengangguk mengerti. Davian mau segala macam masakan koki, tapi dia menolak orang lain menyiapkan makanannya, hanya pelayan pribadinya saja yang diizinkan. Baginya, terlalu banyak tangan akan mengurangi rasa dari makanan itu, dan lagi dia menolak mengambil lauk yang sama dengan siapa pun, termasuk anggota keluarganya sendiri, jadi makanannya tersaji selalu dalam keadaan terpisah dari yang lainnya.

Lakha mulai menyiapkan 2 piring, dan 2 mangkok hitam untuk sajiannya. Dia menatap jajaran menu itu sesaat. Dia mengambil satu ikan, dan memisahkan durinya secara perlahan.

“Apa yang kau lakukan? Tuan muda selalu menolak ikan, kenapa kamu malah menyiapkan itu, bodoh. Dan lagi, kamu merusak tampilan makanan kami.” Suara lantang Sisil sama sekali tak menghentikan kegiatan Lakha, dia seolah tuli saat ini.

Bi Basman yang menatap dari jauh semakin penasaran dengan identitas gadis itu, dia terlalu membuat banyak hal mengherankan di hari pertamanya sebagai pelayan pribadi Davian.

Lakha memasukkan ikan yang sudah terpisah dari durinya di mangkok yang dia siapkan, lalu menambahnya dengan sedikit kuah ikan tersebut. Setelah itu dia mengambil nasi yang dia letakkan pula pada mangkok hitamnya, sedang dua piring dia gunakan untuk meletakkan rumput laut kering dan potongan buah segar. Lakha selesai dengan sajiannya, lalu meletakkan 4 wadah itu ke dalam nampan besar. Dia membawa nampan tersebut ke meja makan.

Lakha berjalan dengan pelan dan hati-hati. Di sana Davian dan ibu nya sudah duduk dan saling berhadapan di kedua sisi meja yang panjangnya sekitar 3 meter itu. Lakha meletakkan makanan yang dia bawa dengan pelan di hadapan Davian.

Mata Davian tertuju pada potongan daging ikan, lalu menatap Lakha sesaat. Lakha tahu, tapi seolah tidak tahu. Dia meluruskan tubuhnya dan menyiapkan segelas air putih untuk Davian. “Terima kasih,” ucap Davian lirih.

Lakha tersenyum.

Titian mengerutkan alis, meski jaraknya duduk dan Davian duduk berjarak 3 meter lebih, tapi dia masih bisa mendengar ucapan terima kasih dari Davian. “Pelayan barumu?”

Davian menatap Titian dan mengangguk sesaat. “Iya, Ma. Namanya Lakha.”

“Selamat malam Nyonya.” Lakha membungkukkan badan.

Titian hanya mengangguk pelan sambil menatap Lakha sesaat, lalu kembali pada menu yang tersaji di depannya.

“Setelah ini, Mama mau minum teh di taman dengan Davian?” Davian menatap Titian mengharap jawaban.

“Baik, sayang.” Titian tersenyum teduh.

Lakha tersenyum sesaat saat bertemu mata dengan Davian, dan pria itu tersenyum juga saat menatapnya.

Lakha menundukkan kepala dan undur diri. Di melangkah keluar menuju dapur utama, guna menyiapkan teh yang Davian minta padanya.

Titian menatap punggung Lakha yang semakin menjauh, dia kembali menatap Davian sambil menikmati makan malamnya. “Kejutan untuk, Mama. Kamu memperkenalkan pelayanmu, dengan sebuah nama.”

“Kenapa harus kejutan?” Davian masih belum menyadari perubahan menonjolnya.

Titian tersenyum. “Ini pertama kalinya kamu mengenalkan pelayan pada Mama, dan lagi dengan sebuah nama. Bukankah itu hebat?”

Davian hanya menggelengkan kepala sambil meneruskan makannya, dia menikmati ikannya dengan lahap, begitu juga dengan menu yang lainnya.

***

Lakha membawa nampan teh menuju taman. Di sana, di kursi taman. Davian dan Titian sudah duduk manis sambil membicarakan banyak hal, terutama masalah perusahaan.

Lakha tiba, dia meletakkan mug kecil di depan Davian dan Titian, dan menuangkan tehnya dengan pelan. Davian menatap Lakha sesaat, lalu menoleh menatap Titian. “Teh buatannya sangat enak, Ma. Mama harus mencobanya.”

Titian mengerutkan alis, lalu menatap Lakha dalam. “Benarkah? Kamu tidak pernah sekalipun memuji buatan pelayanmu. Mama senang mendengarnya, berarti Lakha satu-satunya pelayan yang bisa memenuhi standartmu.”

Lakha tersenyum tipis, lalu menundukkan kapala. “Selamat menikmati Tuan Muda, Nyonya.” Lakha undur diri.

“Lakha,” panggil Titian. Mencegah Lakha meninggalkan mereka.

Lakha berbalik daan menatap Titian. “Iya, Nyonya.” Dia khawatir ada sesuatu yang akan membongkar jati dirinya.

Titian tersenyum hangat. “Terima kasih.” Titian menatap Davian. “Kamu wanita pertama dalam rumah ini yang mampu membuatnya tersenyum.”

Lakha mengerutkan alis. “Hah.” Lakha bingung.

Titian kembali menatap Lakha. “Lanjutkan pekerjaanmu, hubungi aku kapan pun kamu dalam kesulitan. Aku siap membantu sebisaku.”

Meski masih dalam mode bingung. Lakha membungkukkan badannya. “Terima kasih, atas kemurahan hati Nyonya.” Lakha undur diri. “Saya permisi.”

Dengan langkah pelan dia meninggalkan anak dan ibu itu. Lakha berjalan pelan melewati rumah utama untuk menuju ke ruang pelayan. Dia memikirkan kata Titian tadi. Kamu wanita pertama dalam rumah ini yang mampu membuatnya tersenyum. “Kenapa? Apa dia tidak pernah tersenyum? Seingatku, saat kami bersama dulu, dia selalu tertawa bebas.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height