Pick You Up/C4 Kami pernah dalam satu hubungan.
+ Add to Library
Pick You Up/C4 Kami pernah dalam satu hubungan.
+ Add to Library

C4 Kami pernah dalam satu hubungan.

“Lakha.” Davian baru saja memasuki kamarnya, dia menatap Lakha yang sedang merapikan tempat tidur, dan mengatur suhu kamar. Lakha menghentikan gerakannya, dia menoleh menghadap Davian dan menundukkan kepala. “Besok, kamu ada acara?” Davian menutup pintu lalu melangkah mendekat.

Lakha mengangkat wajahnya sebentar. “Saya harus bekerja, Tuan Muda.”

“Pekerjaanmu kan sebagai pelayanku. Berarti kamu harus bersiap, ikut aku besok ke Villa.” Davian duduk di pinggiran ranjangnya, sambil menatap Lakha.

“Villa?” Lakha sedikit melebarkan matanya. Davian mengangguk pelan. “Baik, Tuan.” Dengan ragu Lakha berucap pelan.

Davian tersenyum. “Bagus. Sekarang bantu aku cuci muka, sikat gigi, dan cuci kaki. Aku terlalu malas melangkahkan kaki menuju kamar mandi.”

Lakha menjawab dengan tundukkan kepala, dia berbalik melangkahkan kaki menuju kamar mandi, menyiapkan 3 mangkok air hangat untuk semua yang diminta Davian. Lakha kembali , dan meletakkan mangkok pertamanya di bawah, Lakha berlutut dan mengambil kaki Davian, meletakkan pelan ke pangkuannya.

Davian terus memperhatikan gadis itu, dan mempertanyakan dirinya yang tak bisa berhenti memikirkan Lakha. Davian mencari apa yang membuat pikirannya terganggu dengan wajah itu. Mungkin karena dia cantik? Atau memang prasangka awalku tentang keberadaannya di masa laluku?

Lakha selesai, dia kembali ke kamar mandi untuk mengambil mangkuk kedua. Lakha kembali dan memosisikan dirinya di hadapan Davian, dia berlutut di depan Davian lalu mulai menggosok gigi pria itu pelan.

Lakha tahu, Davian tak melepas tatapan matanya sama sekali. Lakha berlagak seolah tidak tahu, akan terlalu canggung jika membalas tatapan itu. Tidak dipungkiri, saat ini dadanya sedang berdegup kencang.

Lakha mendekatkan gelas, lalu Davian berkumur. Lakha mendekatkan mangkoknya untuk Davian membuang air kumur. Semua proses itu terasa lambat dan membuatnya semakin terimpit oleh suasana hening bersama Davian.

Kali ini, Lakha mencuci wajah Davian dengan lembut, dengan gerakan pelan membelai seluruh wajah Davian. Davian tak berhenti menatap Lakha dan gadis itu memainkan perannya, seolah tak tahu lalu meneruskan pekerjaan.

“Kenapa tidak menatap mataku?” Davian bersuara.

“Jika saya menatap mata, Tuan. Maka pekerjaan saya tidak akan selesai Tuan.” Lakha mengabaikannya dan meneruskan gerakan. Lakha selesai, dia mengoleskan krim pada wajah Davian.

Davian maju, dia akan mencium Lakha. Lakha menjauhkan wajahnya seketika. Untuk sesaat mereka saling menatap. Lakha menyadarkan diri, memutuskan pandangan lalu mengemasi handuk dan mangkok airnya. Dia berdiri lalu pergi ke kamar mandi.

Davian tersenyum tipis, dia berdiri lalu melepas bajunya. Lakha kembali sudah dengan baju tidur milik Davian. Dengan perlahan Lakha meletakkannya di atas ranjang. Dia mundur dan membungkukkan badan sesaat. “Selamat malam, Tuan Muda.”

“Pekerjaanmu belum selesai. Pakaikan bajunya untukku.”

Lakha mengurungkan niatnya, dia kembali maju lalu memakaikan baju untuk Davian. Mengancingnya satu persatu.

Tatapan Davian membuat napasnya terasa semakin berat. Davian mengangkat tangannya, menyentuh dahi, pelipis lalu pipi. Davian memainkan rambut Lakha dan menautkannya ke belakang telinga.

Lakha menahan napas saat tangan itu menyentuhnya. Jujur dia ingin menangis dan berteriak menanyakan kenapa Davian melupakan dia, tapi semua itu dia tahan, belum waktunya untuk itu. Akan ada saat di mana Davian akan mengingat sendiri, siapa dia, bagaimana hubungan mereka.

“Aku penasaran denganmu. Kau mengusikku.”

Lakha selesai. Dia mundur lalu membungkukkan badan. “Selamat malam, Tuan.”

Davian tersenyum, dia sadar telah diabakan oleh pelayannya. Davian duduk dan menatap Lakha yang trus menunduk sambil melangkah mundur. “Jangan lupa. Besok pagi kita berangkat. Siapkan semua keperluanku, dan keperluanmu sendiri.” Davian merebahkan diri.

“Baik, Tuan.”

Davian menutup mata bersamaan dengan Lakha yang pergi meninggalkan kamar itu. Dalam keremangan, Davian tersenyum dan mengingat bagaimana pipi Lakha memerah saat dia akan mencium tadi, maupun saat dia menyentuhnya tadi.

***

Pagi ini, semua berjalan sebagaimana biasanya. Lakha di sibukkan dengan mempersiapkan keperluan Davian selama di vila dan juga sarapan untuk Davian. Beruntung, dia sudah menyiapkan keperluannya sebelum tidur semalam.

Kini mereka sudah di mobil, dalam perjalanan panjang menuju vila. Lakha melihat Davian melalui kaca spion, pria itu tengah menatap luar, entah apa yang dipikirkannya, yang pasti ekspresi itu membuat Lakha ingin berlama-lama menatapnya.

Davian melirik spion, dia sadar jika sedang di perhatikan oleh Lakha, seketika Lakha juga mengalihkan tatapannya dan menghela napas pelan.

Lakha duduk di depan, di samping sopir. Davian duduk di belakang sendiri, terdiam menikmati pikirannya yang sedang menari bebas mencari jati diri.

Davian tersenyum, lalu kembali fokus pada bayangannya tadi. Tentang apa dan siapa yang terlibat di masa lalunya, tentang kemungkinan Lakha adalah salah satunya.

Perjalanan pajang ini memakan waktu dua jam, mereka tiba paling akhir. Sahabat Davian sebagian besar sudah di sini, di lihat dari jajaran mobil mewah di halaman vila.

Saat Davian melangkah memasuki vila, Lakha dan sopir mengeluarkan keperluan Davian, mereka membawanya masuk dan meletakkannya di kamar Davian.

Kedatangan mereka di sambut oleh tiga pria dan satu wanita. Mereka sahabat Davian, dari masih duduk di bangku SMA.

Adrian, salah satu dari ketiga pria sahabat Davian. Dia mengamati Lakha ketika gadis itu melewatinya. “Pelayan baru?” tanyanya singkat pada Davian.

Sesaat Davian menatap Lakha, dia menganggukkan kepala sambil ikut dudu bersama yang lainnya.

Selain Adrian, ada Samuel dan Gilang. Samuel datang dengan kekasihnya, Rachel. Sedang Gilang datang sendiri. Karena status jomblonya yang terlalu akut dan mengenaskan. Padahal dia seorang dokter, entah apa yang membuatnya kesulitan mendapat pasangan. Berbeda dengan Gilang, sosok tampan berkulit sedikit gelap yang bernama Adrian, dikenal play boy dan baru saja putus dengan kekasihnya yang ke lima dalam tahun ini.

“Terlalu cantik untuk ukuran pelayan.” Adrian kembali mengamati Lakha ketika gadis itu kembali melewatinya.

Gilang hanya memperhatikan Lakha sesaat, lalu kembali larut dalam game yang mengalihkan dunianya. Samuel dan Rachel tidak tertarik, mereka memilih selfi, saling menatap mesra dan saling bergelayut manja.

“Dia milikku. Jangan macam-macam.” Davian menatap Adrian dengan tajam.

“Elah, lihat doang langsung diplototin.” Adrian kembali fokus pada Lakha. “Wajahnya nggak asing.”

“Kenal? Atau nggak asing karena dia cantik?” Davian meraih ponselnya. Dia menundukkan kepala lalu fokus pada pesan yang diterimanya.

Adrian tertawa. “Mungkin juga? Mataku tidak bisa dibohongi ketika ada sosok cantik muncul di depanku.”

Becca melenggang masuk lalu duduk di samping Davian. “Hai, Dav.” Becca berganti menatap semua temannya di sini. “Hai semua.”

“Kalau sudah sampai, kenapa harus mengirimiku pesan?” Davian menatap Becca sesaat.

Becca tersenyum manja. “Kamu harus tahu kan jika aku tiba dengan selamat.”

Lakha kembali melewati mereka dengan membawa barang Davian dan memasukkan ke kamarnya. Davian menatap langkah kaki gadis itu hingga keluar lagi. “Buatkan aku teh,” ucap Davian ketika Lakha sudah melangkah mendekat.

“Baik, Tuan Muda.” Lakha melangkah ke dapur untuk menyiapkan teh untuk semua orang yang sedang duduk bersantai di sofa.

Adrian berdiri, dia mengikuti langkah Lakha ke dapur. Adrian duduk dan menatap Lakha tanpa berkedip. Dia mengamati segala apa yang Lakha lakukan, tatapan yang sejujurnya akan sangat mengganggu, tapi Lakha tidak peduli dengan tatapan itu.

Davian menatap aktivitas itu, dia mengeraskan rahang. Davian tidak suka dengan jenis tatapan yang Adrian tunjukkan, Davian mengepalkan kedua tangannya dengan kuat.

“Kenapa Dav?” tanya Becca, memecah fokus dan memaksanya menahan diri dari rasa yang entah apa artinya.

Davian menatap Becca sesaat. “Tidak apa-apa. Aku hanya memikirkan bagaimana makan malam kita. Kalian mau jika aku mengundang seseorang lagi? Dia akan menyiapkan makan malam kita nanti.” Davian menatap Gilang yang hanya mengangkat jempol sebagai tanda setuju darinya.

“Kami akan memakan apa pun asal enak.” Samuel mempersingkat ucapannya, lalu kembali bercanda dengan Rachel. Jenis bercanda pasangan yang saling mencinta.

Becca tersenyum. “Dia pasti setuju.” Becca menatap Adrian yang tersenyum manis, walau senyum itu masih saja di abaikan oleh Lakha.

Davian menghela napas, dia berdiri dan melangkah keluar. Davian menghubungi seorang koki kenalannya, yang tinggal tidak jauh dari sini.

Di dapur Lakha mengaduk tehnya pelan. Davian kembali, dia masuk ruangan dan menatap dapur, tempat Lakha menyiapkan teh, bersama tatapan Adrian untuk Lakha yang membuatnya tidak nyaman.

Davian menghela napas pelan lalu duduk di tempat semula.

Lakha datang dengan enam cangkir teh, lalu meletakkannya pelan di depan masing-masing manusia yang duduk di ruangan itu.

“Lakha.” Davian memanggil gadis itu saat akan berbalik pergi.

Lakha menghentikan langkahnya dan menatap Davian.

“Aku lelah, siapkan air mandi untukku.”

Lakha membungkukkan badan lalu memilih pergi. Meninggalkan sisa tatapan Adrian yang tak henti mengarah padanya.

Davian berdiri dan melangkah menuju kamar. “Kita bertemu lagi saat makan malam.”

Becca berdiri dan mendekat. “Boleh aku bersamamu, istirahat bersama, aku juga lelah setelah perjalanan jauh.” Dia melingkarkan tangannya di lengan Davian.

Davian melepas tangan Becca dari lengannya. “Aku ingin sendiri.” Davian melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Becca.

Adrian tersenyum melihat adegan yang tidak pernah berubah sejak dulu. Adrian berdiri lalu kembali ke sofa. “Sudahlah, menyerah saja. Kamu terlalu lama begini.”

Becca menatap Adrian sinis. “Aku juga akan istirahat. Sampai ketemu saat makan malam.” Becca berbalik lalu masuk ke kamarnya sendiri.

Adrian terkekeh. Dia meraih cangkir teh lalu meminumnya pelan, sambil pikirannya melayang memikirkan Lakha. Sosok yang tidak asing baginya, bukan karena dia cantik seperti pembicaraannya sebelumnya, tapi memang ada yang aneh. Wajah itu benar-benar tidak asing baginya, tapi di mana dan siapa, Adrian belum mengerti itu.

***

Davian memasuki kamarnya. Lakha sedang di kamar mandi, menyiapkan air panas yang pas untuk Davian mandi. Lakha juga menyiapkan handuk dan jubah mandi.

Lakha keluar kamar mandi, Davian sedang merebahkan tubuhnya di ranjang. Lakha melangkah mendekat. “Air hangatnya sudah siap, Tuan.”

Davian membuka mata dan duduk seketika. “Baik. Kamu juga istirahatlah. Sampai bertemu nanti malam.” Davian berdiri dan melangkah dengan malas menuju kamar mandi.

Lakha keluar dan memunguti gelas teh yang sudah kosong dan membawanya ke dapur. Di ruang tengah masih ada Adrian dan Gilang. Gilang masih bersama gamenya dan Adrian dengan tatapannya.

Adrian berdiri mengikuti Lakha ke dapur. “Davian tidak pernah bersikap seperti itu pada pelayannya. Aku tebak, kamu pasti lebih dari pelayan untuknya.” Adrian berdiri di samping Lakha dan menatapnya tajam. “Ada hubungan apa kamu sama Davian?”

Lakha menghela napas pelan, dia selesai mencuci cangkir. “Apa maksud Tuan. Saya pelayan Tuan Davian, tidak lebih.” Lakha menundukkan kepala. “Selamat istirahat, Tuan. Saya permisi.” Lakha memilih pergi dan berlalu dari hadapan Adrian.

Adrian tersenyum sambil menatap Lakha yang menjauh. “Gadis yang menarik,” gumamnya pelan.

Adrian berjalan kembali ke ruang tengah. Gilang berdiri lalu berjalan menaiki tangga.

“Ke mana?” Adrian menatap punggung Gilang.

“Tidur.” Gilang terus melangkah tanpa berbalik.

***

Matahari perlahan bersembunyi. Menyuguhkan langit jingga yang begitu memesona. Lakha masuk ke kamar Davian. Davian kini berdiri di balkon, menikmati sinar jingga yang mempu membuatnya merasa damai. Lakha menatap punggung itu dengan sedikit senyuman. Davian menoleh, menatap Lakha. Lakha menundukkan kepala seketika. Davian masuk dan mendekat. “Kokinya akan datang dua jam lagi. Siapkan meja makannya di taman.” Davian melirik jam. “Mungkin, kelompok pelayan juga sebentar lagi datang. Mereka akan membantumu. Aku juga meminta Rian mengambil meja kursi dari gudang penyimpanan.”

“Baik, Tuan.” Lakha kembali menundukkan kepala lalu keluar. Dia berjalan menuju taman, di sana sudah ada sang sopir yang membawa meja panjang bersama Gilang.

“Untuk kelengkapannya semua ada di gudang juga Pak Rian?”

Rian menatap Lakha. “Iya, Mbak. Untuk alat makan biasanya di bawa sama Koki dan teamnya.”

Lakha mengangguk mengerti. “Ya sudah, Lakha ke penyimpanan dulu.”

“Iya, Mbak.”

Lakha tersenyum lalu melangkah menuju penyimpanan. Dia membuka almari dan mengambil alas meja, tatakan lilin, serta penghias meja lainnya.

Lakha keluar lalu menata meja itu hingga terlihat cantik memesona. Di saat yang bersamaan tiga orang berpakaian putih tiba. Mereka menyapa Lakha, Rian dan Gilang sesaat, lalu bergegas menata meja untuk koki memasak nanti.

“Kapan Chef akan tiba?” Lakha melirik Rian sesaat.

“Mungkin 30 menit lagi, Mbak.”

Lakha kembali menganggukkan kepala mengerti. Dia ikut mengawasi apa saja dan bagaimana cara para pria berseragam itu menata meja untuk Koki.

Waktu berjalan dengan sangat cepat, semuanya sudah siap. Tampilan taman menjadi sangat indah, dengan hiasan lampu di setiap sudutnya.

Koki mulai melakukan ritualnya. Lakha masuk ke dalam vila untuk memastikan Davian telah siap tanpa kesulitan apa pun. Lakha melangkah dan berpapasan dengan Becca, Adrian, Samuel dam Rachel. Sedang Gilang, dia sudah ada di taman dan selalu di temani oleh gamenya.

Adrian menatap Lakha sambil tersenyum tipis. “Lakha.”

Lakha menghentikan langkahnya, dia berbalik lalu menatap Adrian sesaat. “Iya, Tuan.”

Adrian tersenyum, dia bebalik dan melangkah berlawanan dengan teman-temannya yang menuju taman. Adrian menghentikan langkahnya tepat di depan Lakha. “Buatkan aku teh hangat seperti tadi siang.”

“Baik, Tuan.” Lakha membungkukkan badan sesaat lalu bergegas pergi meninggalkan Adrian dan menuju kamar Davian.

Adrian tersenyum lalu meneruskan langkahnya yang sempat tertunda karena pelayan cantik itu.

Lakha mengatur napasnya sesaat sebelum mengangkat tangan untuk mengetuk pintu besar itu. Pintu di ketuk dua kali, tidak ada respons apa-apa. Perlahan Lakha memberanikan diri membuka pintu itu dan masuk dengan gerakan tanpa suara. Tidak ada Davian di sini, dia melangkah menuju kamar mandi, di sana terdengar gemercik air. Lakha bernapas lega, ternyata Davian masih baik-baik saja.

Lakha berbalik lalu melangkah menjauh.

“Ambilkan handuk untukku.”

Suara parau dari dalam kamar mandi itu menghentikan langkah Lakha. “Iya, Tuan.” Lakha menghela napas sesaat lalu berjalan menuju almari dan meraih handuk pada tumpukan yang paling bawah. Lakha berbalik sambil menundukkan kepala. Dia menyodorkan handuk itu tanpa berani mengangkat wajah, dia menutup mata.

Davian tersenyum, dia menerima handuk itu dan untuk sesaat tangannya mengelus kepala Lakha, lalu kembali masuk ke kamar mandi.

Lakha menyentuh kepalanya, yang menyisakan rasa elusan tangan Davian. Kamar mandi kembali terbuka, Lakha seketika kembali menunduk. Davian melewatinya dengan aroma sabun yang memberi ketenangan sendiri untuk Lakha.

“Di situ saja. Tunggu aku.” Davian melirik tempat Lakha berdiri sesaat lalu memulai mengenakan bajunya.

Lakha terdiam membeku, dia mengeraskan rahangnya menahan diri untuk tidak berbalik.

Beberapa menit kemudian, Davian selesai. Dia mendekati Lakha dan sedikit membungkuk untuk meletakkan wajahnya di pundak gadis itu. “Aku sudah selesai, ayo kita keluar.”

Lakha menganggukkan kepala pelan. Saat Davian kembali mengangkat wajahnya dan berjalan keluar, Lakha berbalik dan mengikuti langkah Davian.

Mereka memasuki taman, Davian seketika duduk di kursi tunggal di ujung meja. Lakha menuang air mineral ke gelas Davian. Lakha berjalan menuju meja koki setelahnya, dia meraih satu piring steik dan memotongnya menjadi bagian-bagian kecil.

“Aku hanya ingin pelayanku. Kalian layani mereka saja.” Davian menatap pelayan yang berdiri di sampingnya dengan maksud akan menuangkan wine ke gelas kosong Davian.

Pelayan itu mengurungkan niat, lalu menundukkan kepala sesaat. Dia beralih ke Becca.

Di tempatnya, Adrian menatap Lakha tanpa bosan, ada sesuatu yang menggelitik rasa penasarannya. Selain wajah yang seolah dia kenal, Lakha juga bertingkah tak asing. Adrian menjadi semakin tertarik kala gadis itu mengabaikan dan bersikap dingin padanya.

Lakha selesai menjadikan daging steik menjadi beberapa bagian. Lakha membawa piring itu dan meletakkannya di depan Davian.

Makan malam berjalan dengan sebagaimana mestinya. Hingga botol-botol wine hadir di antara mereka. Davian menegak wine kesayangannya ini dengan sekali teguk, di susul dengan yang lainnya. Alunan music klasik menjadi pengiring malam ini. Dan ketika malam mulai semakin larut, mereka semua telah terlena dengan angan masing-masing.

Becca memindah duduknya dekat dengan Davian. “Dav, mau bermalam denganku?” Becca tersenyum manja sambil menyentuh lengan Davian pelan.

Davian yang sedang merasakan pusing yang teramat di kepalanya, mengibaskan tangan hingga sentuhan Becca terlepas.

“Dav.” Becca merengek manja. Dia kembali berusaha menyentuh lengan Davian, meski adegan yang sama kembali terulang.

Davian menatap Lakha, dia mengangkat tangan melambaikan tangan. Dengan cepat Lakha mendekat. Davian memeluk tubuh Lakha seketika. Davian membenamkan wajahnya pada perut Lakha.

Adrian sedikit mengerutkan alis menatap adegan itu. Dia menghampiri Becca dan membantu gadis itu berdiri dan mengantarkannya ke kamar. Lakha sempat menundukkan kepala pada Adrian, pria itu melewati Lakha dan Davian dengan tatapan penuh tanya.

Setelah Adrian dan Becca menghilang. Lakha melepas pelukan Davian, dia jongkok. “Tuan, kita harus kembali ke kamar.”

Davian tersenyum. “Senang melihatmu lagi, Sayangku.” Entah alam bawah sadar mana yang membuatnya berkata seperti itu.

Lakha menyentuh pipi Davian pelan, dia menggigit bibir bawahnya.

Di ujung meja, Gilang belum mabuk. Dia masih bisa melihat dengan jelas adegan yang tersaji di depannya. Sebuah adegan yang pastinya tidak dimainkan oleh pelayan dan majikan. Gilang tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuhnya. Dia menengadahkan wajah lalu menatap bulan yang bersinar seolah mengumandangkan sedang menemani malamnya.

Di sisi yang lain. Ada Rachel dan Samuel. Mereka tengah asik dengan dunia mereka sendiri, saling mencium, bersentuhan dan melempar tawa.

Lakha melepas sentuhan tangannya di pipi Davian. Lakha berdiri lalu membantu Davian kembali ke kamarnya. Lakha menuntun Davian masuk, Lakha kesulitan karena tubuh Davian yang jauh lebih besar darinya.

Dengan usaha yang tidak mudah, akhirnya mereka tiba. Lakha membuka pintu kamar dan kembali menutupnya dengan entakkan kaki, dia menuntun Davian ke ranjang. Lakha berniat meletakkan tubuh Davian dengan pelan, tapi yang ada justru Davian jatuh ke ranjang dengan kasar.

Davian tersenyum sambil menatap Lakha lembut. “Aku merindukanmu.”

Lakha mengabaikannya. Dia menata posisi tidur Davian, lalu menyelimutinya dengan hangat.

Sesaat Lakha terdiam menatap Davian yang kini sedang memejamkan mata. Lakha menghela napas panjang. “Bolehkah aku mengatakan jika aku juga merinduknmu?” gumam Lakha pelan.

Lakha membenarkan posisi selimut, kembali menatap Davian sesaat. Lakha berdiri meilih meninggalkan kamar besar ini. Lakha menutup pintu pelan.

Di dalam ruangan. Davian membuka mata perlahan. “Dia merindukanku.” Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Jadi benar, kami pernah ada dalam satu hubungan.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height