Rahasia Sang CEO/C2 Seseorang Dari Masa Lalu
+ Add to Library
Rahasia Sang CEO/C2 Seseorang Dari Masa Lalu
+ Add to Library

C2 Seseorang Dari Masa Lalu

Christian baru saja menghabiskan malamnya dengan Clara, gadis istimewa miliknya. Clara sudah terbiasa dengan sikap dingin Christian selama beberapa bulan ini. Dia sendiri semakin tak peduli dengan sikap Christian yang seperti itu.

Perasaan benci yang dirasakannya pada awal pertemuan lambat laun menimbulkan benih-benih cinta di dalam hati Clara, meski dia tahu perasaan itu akan selamanya bertepuk sebelah tangan. Karena Christian bukan tipe laki-laki yang bisa bertahan dengan satu perempuan sampai kapan pun.

Berada di dekatnya saja, Clara sudah merasakan lebih dari bahagia. Walaupun dia tahu resikonya, cepat atau lambat ketika Christian merasa dia tak lagi istimewa baginya, maka dia harus siap untuk dicampakkan seperti barang usang yang tak lagi dibutuhkan.

Christian mengajak Clara keluar ke sebuah mall. Diajaknya Clara menuju sebuah butik mahal yang menjual barang-barang bermerk dengan harga selangit.

“Ambil yang kau butuhkan,” ucap Christian melepaskan pegangannya pada tangan Clara.

“Kau tak mau menemaniku ke dalam?” tanya Clara.

“Aku tak suka berlama-lama,” jawabnya singkat.

“Baiklah.”

“Bawa kartu ini, gunakan jika kau sudah menemukan barang yang kau mau,” ujar Christian lagi, seraya menyerahkan sebuah kartu platinum pada Clara. Ketika Clara masuk ke dalam butik, Christian memilih untuk berdiri di railing mall dan bersandar.

Lamunannya terhenti ketika didengar suara tangisan seorang anak laki-laki yang tak jauh dari tempatnya berdiri dan menunggu Clara.

Christian melihat seorang anak laki-laki berambut pirang keemasan, dengan bola mata berwarna hijau, dengan wajah menggemaskan sedang menangis kebingungan. Christian sedikit tertarik dan mulai mendekati anak laki-laki itu.

“Kenapa kau menangis?” tanya Christian dengan intonasi suara yang sangat lembut.

“Aku terpisah dari Mama,” jawab anak laki-laki itu sesekali menyeka ingus di hidungnya. Kedua matanya yang bulat terlihat lucu di mata Christian. Entah kenapa wajahnya mengingatkan pada dirinya sewaktu masih di usia yang sama dengan anak laki-laki itu.

“Mamamu meninggalkanmu?” tanya Christian sekali lagi.

Anak laki-laki itu menggeleng. Ujung lengan bajunya dijadikan lap untuk membersihkan kedua matanya yang sembab karena menangis.

“Aku melepaskan tangan mama lalu berjalan ke toko mainan. Mama tak sadar kalau aku sudah tak mengikutinya,” jawab anak itu dengan lancar.

“Kau mau ikut denganku? Kita ke bagian informasi, kita panggil mamamu, bagaimana?” ajak Christian pada anak kecil itu.

“Aku tak berani ikut orang asing.”

“Kenalkan namaku Christian,” kata Christian seraya mengulurkan tangannya.

“Jack,” balas anak kecil bernama Jack itu. Jack masih bingung, kepalanya terus mengikuti gerakan orang-orang yang melintas di depannya, berharap mamanya ada di antara kerumunan orang-orang yang hilir mudik.

“Kau mau ikuti saranku?” tanya Christian dengan sesungging senyum tipis yang jarang sekali diperlihatkannya. Senyuman itu terlihat begitu hangat. Jack merasa orang di hadapannya dapat dipercaya. Jack meraih tangan Christian.

Christian membawa Jack ke bagian informasi dan meminta pria yang sedang berada di consierge untuk memanggil ibu dari anak itu. Dia meminta untuk segera mengumumkannya. Entah mengapa Christian begitu senang melihat wajah imut Jack. Sesekali dia mengacak rambut Jack kemudian memainkan pipi bocah lelaki berusia enam tahun itu.

“Tuan, apa kau melihat anak lelaki ini?” tanya Audrey pada seorang lelaki tua yang melintas di sampingnya seraya memperlihatkan foto seorang anak laki-laki di handphonenya.

Lelaki tua yang ditanya Audrey menggeleng. Lemas rasanya lutut Audrey ketika tak satu pun orang yang ditanya menjawab tak pernah melihat sosok anak laki-laki yang ada pada foto.

“Astaga Jack. Aku harus mencarimu ke mana, kenapa kau melepaskan tangan mama,” desah Audrey frustasi. Anak laki-laki satu-satunya, kesayangannya yang selalu ada bersamanya, hilang tiga puluh menit yang lalu di antara keramaian dan hiruk pikuk.

Tak lama kemudian didengarnya suara panggilan dari pengeras suara di mall. Menyebutkan ada seorang anak laki-laki yang tersesat dan mencari ibunya.

Christian masih bersama Jack, diberikannya microphone yang berada di tangan laki-laki di bagian informasi kepada Jack.

“Kau panggil mamamu, dia pasti akan mengenali suaramu,” ujar Christian.

Jack menurut, diambil microphone yang disodorkan Christian padanya. Jack pun membuka suara, “Mama! Aku menunggu mama di bagian informasi. Mama, aku takut!”

Audrey yang mendengar suara Jack di pengeras suara, langsung menghambur menerobos keramaian. Dia berlari sekuat tenaga, mencari bagian informasi. Saat dia menemukan tempat yang ditujunya meski dari jarak 50 meter, dia tahu laki-laki yang sedang bersama Jack.

Wajah Audrey memucat seketika, dia tak mempercayai pemandangan yang ada di depan matanya. Kedua matanya memandang wajah Christian dengan penuh kebencian.

“Kenapa dia bisa bersama Jack?” ucap Audrey pada dirinya.

Sementara Christian masih terus menemani Jack, dia terlihat sangat peduli dengan anak laki-laki kecil itu, tak sedetik pun dilepasnya pegangan pada tangan Jack. Christian sendiri tak mengerti, ada perasaan hangat yang mengalir pada dirinya ketika tangan mungil itu menggenggam erat tangannya.

Audrey melangkah perlahan. Dia berharap, Christian tak mengingat wajahnya. Jika Christian masih mengingat wajahnya, maka habislah Audrey. Audrey merasakan kedua telapak tangannya menjadi sangat dingin perasaan gugup yang dihadapinya saat ini. Jantungnya berdegup sangat kencang.

Hanya tinggal satu meter lagi dia akan berhadapan langsung dengan laki-laki yang membuatnya hancur tanpa sisa dan menyisakan luka padanya dulu.

“Permisi,” ucap Audrey ketika sudah berada di hadapan Christian dan Jack.

“Ya? Apa kau ibu dari Jack?” tanya Christian tanpa rasa bersalah. Wajahnya menunjukkan dia tak mengenal perempuan cantik berambut panjang di hadapannya saat ini.

Audrey mengepalkan tangannya. Ah, seandainya saja kau tahu, Christian!

“Benar. Bisa berikan Jack padaku,” pinta Audrey menahan agar dia bisa menjaga emosinya saat ini. Suaranya sedikit bergetar.

Jack yang merasa senang melihat Audrey, langsung menghambur ke pelukan Audrey ketika Audrey membuka lebar kedua tangannya.

“Maafkan Mama,” kata Audrey kemudian mengecup kening Jack.

“Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Christian tiba-tiba. Sejak tadi, Christian terus memperhatikan wajah cantik di depannya tanpa berkedip. Dia merasa wajah itu sangat familiar, tapi dia lupa pernah bertemu di mana, atau hanya kebetulan saja mirip?

Audrey menggeleng cepat, kakinya ingin buru-buru pergi meninggalkan bagian informasi.

“Sebentar, aku seperti pernah melihatmu,” kata Christian sekali lagi membuat langkah Audrey semakin tertahan.

“Sudah kukatakan, kau tak mengenalku,” jawab Audrey cepat lalu menundukkan kepalanya.

Christian yakin dia pernah bertemu dengan Audrey sebelumnya. Keningnya mengerut menyatukan kedua alis tebal miliknya. Christian berusaha keras mengingat wajah Audrey.

“Aku ha-harus pergi. Terima kasih sudah menolong anakku,” pamit Audrey. Dia harus segera pergi, jangan sampai Christian mengingat apa pun. Jangan sampai!

Audrey menggendong Jack, kemudian dengan cepat berlalu dari hadapan Christian. Christian yang tadinya ingin mengejar Audrey membatalkan niatnya ketika tangan Clara menggamit lengannya.

“Kenapa kau ingin mengejar perempuan itu?” tanya Clara penasaran.

“Wajahnya tak asing. Aku seperti pernah melihatnya, tapi aku lupa kapan aku bertemu dengannya,” jawab Christian.

Sebenarnya Clara tak suka jika Christian membicarakan wanita lain, apalagi membicarakan percumbuannya dengan wanita-wanita semalam yang dibayarnya. Sangat memuakkan. Tapi apa yang bisa diperbuat Clara, dia sendiri bukan siapa-siapa bagi Christian. Hanya sebatas pelacur istimewa yang tertindas.

“Mungkin mantan kekasihmu,” sindir Clara agak cemburu.

“Aku tak pernah memiliki mantan. Sejak dulu aku tak pernah berhubungan serius dengan siapa pun. Kau tak perlu cemburu, karena suatu hari aku akan melepasmu. Jadi tak perlu menyindirku. Sindiranmu tak mempan, justru kalimatmu akan berbalik menyakiti dirimu sendiri,” balas Christian tak lebih pedasnya dari kata-kata Clara yang hanya beberapa kata.

‘Bajingan kau, Chris!’ batin Clara.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height