Random Husband/C2 Pertemuan Tak Terduga
+ Add to Library
Random Husband/C2 Pertemuan Tak Terduga
+ Add to Library

C2 Pertemuan Tak Terduga

Langit telah menghitam, tetapi lelaki berambut ikal yang tampan ini masih disibukkan dengan data-data pasiennya. Dirinya juga ingin pulang memejamkan mata melepas penat di ranjang kesayangannya. Namun, mau bagaimana lagi pekerjanya tak bisa ditinggalkan. Suara ketukan pintu menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Masuk,” ujar Vano santai sambil membolak-balikkan kertas dokumen riwayat penyakit para pasiennya.

Gadis bermata teduh dengan senyum manis melekat di sana membawa beberapa data-data yang harus diperiksa dokter rupawan itu.

“Dokter Vano, ini berkas riwayat pasien kamar 201,” ujar Syakira dengan suara cempreng khasnya. Lelaki itu langsung menerima berkas itu dan mengamatinya secara teliti.

“Terima kasih, kenapa kau masih berdiri di situ?” tanya Vano sekaligus dirinya ingin mengusir asistennya yang begitu kekanak-kanakan itu. Dia tak menyukai sifat Syakira dan ingin menjauh darinya, tapi apa boleh buat pihak rumah sakit menjadikan wanita itu sebagai asistennya.

“Maaf, Dokter. Akan tetapi, sepertinya ada seorang pasien yang mau periksa. Apa Dokter Vano tidak keberatan, jika memeriksanya sejenak?” tanya Syakira hati-hati.

Vano langsung melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Dirinya merasa aneh kenapa ada orang yang mau periksa saat sudah malam.

“Memangnya sakit apa dan kenapa mendadak sekali periksa jam segini?” tanya Vano penasaran.

“Katanya payudaranya sakit. Perempuan itu sebenarnya pasiennya Dokter Niken tapi beliau sudah dipindah tugaskan ke Denmark kan sekarang, sehingga wanita itu minta dicarikan dokter yang lain.” Syakira menjelaskan dengan santai.

Vano mengangguk.

“Ya, suruh dia masuk.”

Vano langsung menata berkas-berkasnya.

Akhirnya pasien itu masuk, betapa terkejutnya Vano melihat gadis yang mengenakan mantel itu. Dari banyak orang di dunia ini, kenapa harus wanita itu yang menjadi pasiennya. Pasti akan sangat merepotkan, pikirnya.

“Vano!” ujar Caca seraya tersenyum. Sementara Vano tetap memasang wajah datar.

“Jadi, kau dokter?” Tunjuk Caca tak percaya dengan wajah mencemooh.

“Kau tidak buta, kan? Tentu saja aku seorang dokter,” jawab Vano ketus. Caca langsung mengerucutkan bibirnya. Sampai kapan lelaki itu akan berkata ketus kepadanya, tanyanya dalam hati.

“Kau sakit apa? Cepat aku tak punya banyak waktu!” jelasnya menatapku sebal.

“Apa ada Dokter semenyebalkan ini kepada pasiennya,” gerutu Caca yang jelas didengar Vano. Namun, lelaki itu tak menanggapinya.

“Payudaraku sesak, perih, terdapat bercak merah kebiruan di sana.”

Vano mengangguk mengerti.

“Sejak kapan?” tanya Vano tanpa ekspresi.

Caca langsung menghitung dengan jarinya. Lalu, menunjukkan empat jarinya.

“Lalu, kau periksa dengan Niken karena sakit apa?” Vano bingung. Kalau Caca itu pasien Niken, pasti sudah jelas. Kalau dia pernah dioperasi karena Niken dokter bedah sama seperti Vano.

“Hanya check up takut kalau ada penyakit berbahaya menggerogoti tubuhku.”

Vano tersenyum masam.

“Kau pernah pasang implan?”

Caca tak terima dengan pertanyaan Vano barusan.

“Kau meragukan keindahan tubuhku, huh? Aku tak pernah pasang implan atau operasi plastik apa pun. Semuanya asli, aku bukan manusia plastik.” Meski suara Fransisca tetap stabil. Namun, Vano mengerti wanita di hadapannya itu marah.

Vano terkekeh.

“Santailah, aku hanya bertanya sebagai dokter bukan ingin merendahkanmu.”

Baik jujur ataupun bohong yang diucapkan Vano barusan, bagi Caca itu tetap saja merendahkannya. Dirinya paling tak suka disinggung perihal kecantikannya itu. Terserah orang ingin menghujatnya apa. Namun masalah keaslian fisiknya, memang ia tak pernah terima, jika dikatakan palsu.

“Terserah, aku pergi. Aku akan cari dokter lain. Lihat saja nanti! Kau akan jadi gelandangan, kalau aku bilang ke media bahwa Dokter Arvano Steven Gabrilio adalah dokter yang sangat buruk dalam melayani pasien.”

Vano menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, menghela napas sejenak sebelum berdiri mencegah kepergian Caca.

“Kau ini kekanak-kanakan hanya karena masalah sepele kau besar-besar kan sampai mau merusak nama baikku? Silahkan saja kau mau berbuat apa. Mana mungkin gadis kaya raya sepertimu tak mampu menghancurkan seorang dokter sepertiku. Namun, setidaknya aku lebih beruntung darimu, walau hanya jadi gelandangan karena penyakitmu ternyata sangat mengerikan, jika kau memang tak pernah menggunakan implan,” bohong Vano dengan raut wajah serius. Caca langsung membekap mulutnya tak percaya.

“Maksudmu apa, Van?” Caca menatap Vano ketakutan.

“Aku tak kuasa ingin mengatakannya, tapi itu sangat parah yang jelas payudaramu harus segera diangkat.”

Caca menggeleng-geleng kan kepalanya, “kau bohong. Itu tak mungkin, kan?” Caca menatap Vano penuh harap.

“Sayangnya itu kenyataannya.”

Caca langsung pingsan tak sadarkan diri. Tubuhnya ambruk ke ubin yang sangat dingin. Vano yang melihat itu langsung panik. Diguncangnya tubuh rapuh itu, tetapi tak ada sahutan dari sang empunya.

“Ca, bangun! Kau tak kenapa-kenapa. Aku hanya bercanda.” Vano menepuk-nepuk pelan pipi Caca. Namun, hasilnya nihil. Kulit gadis itu sangat dingin. Sepertinya dia memang benar-benar sakit.

Vano langsung menidurkan Caca di atas brankar. Ia langsung memeriksa kerja jantung gadis itu dengan stetoskopnya. Kerja jantungnya melambat. Dirinya mengambil tensi darah wanita itu yang ternyata menunjukkan bahwa tekanan darah gadis itu rendah.

Vano keluar mencari Syakira.

“Kira, tolong kamu carikan kamar yang kosong beserta infusnya sekalian!” teriak Vano begitu mendapati sosok Syakira.

“Kenapa, Dok?” tanya Syakira yang melihat raut wajah Vano yang terlihat cemas.

“Gadis itu pingsan. Tekanan darahnya rendah.”

Syakira mengerti. Ia langsung mencari kamar kosong dan menyiapkan peralatan medis lainnya.

Vano kembali ke ruang kerjanya dan menggendong Caca ke kamar inap.

“Dia sakit apa ya, Dok?”

“Sepertinya dirinya terlalu kelelahan dan kurang nutrisi.”

“Lalu, apa hubungannya dengan payudaranya yang sakit?”

“Itu beda lagi. Wanita ini suka memakai pakaian yang ketat dan kekecilan. Aku yakin pasti dia menggunakan crop top atau bra yang nge-press. Padahal aku sudah mengatakan jangan suka menggunakan pakaian yang ketat karena itu akan menyiksa tubuhnya.”

Syakira memandang nanar Vano. Dirinya bertanya-tanya siapa gadis itu kenapa pria yang ia cintai itu terlihat sangat mengenal wanita yang terbaring di atas brankar. Tak pernah dirinya melihat mimik wajah Vano yang sangat panik semenjak kematian Aira.

“Sepertinya Dokter sangat mengenalnya dan mengkhawatirkannya. Memang dia siapanya Dokter?” tanya Syakira dengan nada sebal.

Vano yang tersadar kalau asistennya itu mencoba menginterogasinya, mengenai hubungannya dengan Caca memilih tak menjawab.

“Itu bukan urusanmu. Dia itu siapaku. Kau bukan siapa-siapaku, jadi tak usah mencari tahu apa pun yang berhubungan denganku.”

“Aku hanya bertanya saja apa masalahnya? Aku bukan sedang meminta Dokter untuk membalas cintaku karena aku tahu Dokter sangat mencintai Aira sampai kapanpun.”

Vano yang mendengar nama Aira menjadi sensitif. Dirinya jadi mengingat kejadian masa lalu di mana wanita itu mengembuskan napas terakhirnya. Lelaki itu langsung pergi meninggalkan ruangan mencoba menghirup udara segar di taman.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height