Random Husband/C3 Tak Terduga
+ Add to Library
Random Husband/C3 Tak Terduga
+ Add to Library

C3 Tak Terduga

Caca membuka matanya perlahan-lahan. Dirinya kebingungan kenapa bisa berada di ruangan bercat putih itu dengan bau khas obat-obatan. Ditatapnya selang infus di tangan kanannya. Kemudian, diingatnya kembali apa yang terjadi sebelumnya.

Caca langsung menangis mengingat ucapan Vano yang mengatakan kondisinya sangat kritis. Dalam hatinya ia menyesal tak menikmati hidupnya dengan bersenang-senang kalau ternyata umurnya tak panjang lagi. Harinya selalu diwarnai dengan berkas yang menumpuk, pemotretan yang banyak, dan harus menciptakan banyak karya busana. Itu sungguh melelahkan. Mungkin benar dia bisa mempunyai banyak harta, terkenal, disanjung, dan dihormati.

Namun, apakah proses yang ia lewati semudah itu. Jawabannya tidak. Menjadi seorang pebisnis haruslah punya strategi pasar yang kuat, jika tidak akan gulung tikar. Caca harus mampu meyakinkan para investor dengan berbagai cara. Maka semua perilakunya harus dibentuk sebaik mungkin. Gadis itu harus memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Dirinya harus sabar menghadapi para koleganya, tak boleh tersulut amarah. Makanya, dia harus bicara lembut paling tidak stabil meski hatinya diselimuti amarah.

Belum lagi menjadi seorang desainer dan model. Perempuan ini harus memiliki selera fashion yang bagus dan selalu mengikuti perkembangannya. Pakaian yang melekat di tubuhnya harus terlihat menarik, meski sebenarnya tak nyaman dikenakan karena tuntutan profesi. Pola makannya juga harus diatur sebaik pula agar memiliki bentuk tubuh yang ideal. Gadis bermata hazel itu sudah berkerja keras untuk memiliki segalanya. Baik harta yang melimpah maupun fisik yang menawan. Tentu saja dia merasa sakit hati kalau dihina keindahan fisiknya itu buatan.

Suara derap langkah kaki memasuki ruang inap Fransisca membuat gadis itu tersadar kalau ada orang lain yang masuk. Segera ia hapus air mata yang mengalir. Berpura-pura tak terjadi apa-apa.

“Nona ini makan siang Anda,” ujar Syakira malas dengan senyum dipaksakan.

“Terima kasih. Kalau boleh tahu sebenarnya penyakit saya apa? Kenapa payudara saya harus diangkat?” tanya Caca dengan wajah tenang, meski hatinya menjerit ketakutan.

Syakira menatap heran Fransisca dengan kerutan di dahinya.

“Maksud Anda apa, ya?” tanya balik Syakira dengan dahi dikerutkan.

“Kata Vano penyakitku sangat kritis. Katanya payudaraku harus diangkat,” jelas Caca mengulang kembali ucapan Vano.

Syakira berpikir sejenak. Kemudian, sepintas ide jahil menyelusup di otaknya.

“Emh, Anda sakit kanker payudara stadium akhir. Menurut saya walau payudara Anda diangkat, umur Anda tetap tak akan bertahan lama. Hanya menghitung bulan, mungkin minggu, atau hari.” Syakira menjentikkan jarinya.

Caca menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Dirinya tak kuasa menahan tangis. Lagi-lagi air mata itu meluncur dengan bebas membanjiri wajah pucatnya.

“Maaf, saya permisi dulu.”

Syakira berjalan ke luar sambil menahan tawa.

Vano yang baru saja memeriksa pasiennya langsung masuk ke ruang inap Caca untuk memastikan gadis itu sudah sadar belum. Ternyata benar dugaannya, perempuan itu telah sadar dengan pandangan kosong menatap langit-langit. Wajah tirusnya terlihat semakin pucat. Netranya tampak memerah.

“Ca, kau habis menangis?” tanya Vano sambil memegang tangan kiri Caca untuk memeriksa suhu badan temannya itu.

Caca langsung menoleh menghadap Vano.

“Aku hanya wanita biasa yang bisa menangis karena cinta, Van,” sahut Caca asal dengan wajah fustrasi.

Vano mengangkat sebelah alisnya. Aneh, pikirnya.

“Kau patah hati?” tanya Vano tak yakin.

“Bukan. Aku sangat mencintai hidupku. Uang, takhta, properti. Aku tak sanggup meninggalkannya sekarang. Aku belum punya anak yang lucu-lucu. Oh tidak, menikah saja aku belum.”

Vano berdecak, lalu melipat kedua tangannya di depan dada. Seharusnya, ia tahu seorang Fransisca tidak mungkin patah hati karena tidak pernah percaya dengan cinta. Pasti di otaknya hanya ada takhta dan harta.

“Memangnya kau mau ke mana kok ditinggalin?” tanya Vano kebingungan.

“Van, kau sudah tahu umurku tak panjang lagi. Masih saja pura-pura tidak tahu. Aku tak pernah menduga mengidap penyakit kanker payudara, apalagi stadium akhir bahkan jika diangkat pun aku tetap akan mati.” Caca menatap Vano kesal.

Vano kebingungan kenapa gadis di hadapannya bisa berpikir seperti itu. Memang salah dirinya yang bercanda tidak tahu aturan, tetapi tak pernah ia duga kalau Caca bisa berpikir seperti itu.

“Aku bercanda kemarin. Kau tak mengidap penyakit berbahaya apa pun. Payudaramu tidak perlu diangkat. Jadi, kau tidak usah memikirkan hal yang aneh-aneh lagi itu akan membebani psikismu,” terang Vano dengan wajah datar tanpa berdosa.

“Tapi, kata asistenmu aku mengidap kanker dan umurku tak lama lagi,” terang Caca polos.

Vano yang mendengar itu kesal, kenapa Syakira malah menambah masalah. Kalau ada apa-apa dia juga yang repot. Meski kesal raut wajah Vano terlihat biasa-biasa saja.

“Kenapa kau mudah percaya sekali dengan kata-katanya? Bukankah kau bukan orang yang mudah percaya kepada orang lain. Sejak kapan kau mudah ditipu?” Vano menatap Caca tak percaya.

“Kau dokter dan dia perawat jadi aku percaya,” kata Caca sekenanya dengan nada lirih. Manik matanya menatap lurus ke arah wajah Vano.

“Aku minta maaf telah membohongimu. Akan tetapi, kau juga yang memulai mengancamku dengan kekuasaanmu. Anggap saja satu sama,” papar Vano dengan nada santai.

“Kau dulu yang mulai, Van. Kau bilang aku pakai implan.”

Caca tak terima, meski Vano sudah minta maaf. Bercandanya terlalu keterlaluan. Apalagi, lelaki itu malah menyalahkannya.

“Aku tidak salah untuk hal itu. Jika kau bukan pasiennya, aku juga akan bertanya hal yang sama karena hanya ada dua kemungkinan karena alergi setelah memakai implan atau menggunakan pakaian dalam yang ketat.”

“Kau kan bisa tanya hal yang kedua kalau salah baru tanya hal yang pertama.”

Vano menghela napas sejenak.

“Terserahlah, Ca. Aku kan bukan menuduhmu tapi bertanya untuk memastikan saja. Kau kan model dan operasi plastik itu sudah biasa untuk menunjang pekerjaan semacam itu. Siapa yang tahu kau pakai implan atau tidak. Aku kan tidak pernah melihatnya apalagi memegang. Apa aku harus memegangnya terlebih dahulu untuk memastikan itu implan atau tidak?”

Muka Vano sudah memerah. Terlihat sekali dirinya kesal, meski nada bicaranya rendah. Dari dulu mereka selalu berdebat seperti itu.

Caca langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidaklah, Van. Maafkan aku ya, kau jangan marah. Kita sama-sama salah. Damai, ya,” ujar Caca sambil mengembungkan pipinya yang dibuat seimut mungkin. Lalu, ia ulurkan tangannya. Namun, tak disambut oleh Vano.

“Lupakanlah, aku masih ada pasien. Kau makan bubur itu selagi hangat,” ujar Vano sebelum pergi tanpa mau menjabat tangan Caca.

Caca hanya tersenyum masam. Sudah biasa Vano memperlakukannya seperti itu.

***

Vano bohong, jika dia ada pasien. Sebenarnya dirinya capek dari semalam banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Jika lama-lama di dekat Caca hanya akan menguras emosi saja. Membuat kepalanya semakin pusing. Lelaki itu memilih untuk duduk menghirup udara segar di taman tetapi sialnya ada Syakira yang mengganggunya.

“Dokter, aku bawakan bekal untuk makan siang,” ujar Syakira lembut.

“Berhentilah membuat makan siang untukku. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah mencintaimu,” geram Vano mengingatkan akan ketidaksukaannya dengan perilaku Syakira selama ini.

Meski sudah mendengar kata-kata itu ribuan kali, tetap saja tak membuat Syakira mundur. Dirinya tak gentar sedikitpun. Ia malah semakin tertantang untuk mendapatkan hati Vano.

“Aku tahu. Tapi, cobalah ini. Aku membuatnya khusus untuk Dokter.”

“Berikan pada orang lain saja, aku tak lapar. Tolong jangan ganggu Caca. Kau keterlaluan mengatakan umurnya tak lama lagi.”

“Bukankah Dokter juga sama menipunya. Apa salahku berkata seperti itu?” tanya Syakira dengan nada tak bersalah. Tak ada sesal di hatinya.

“Itu beda dengan apa yang ada di otakmu. Gara-gara kau dia menangis sampai matanya sembab, wajahnya semakin pucat.”

Syakira menatap lekat Vano. Ia heran akan ucapan lelaki itu yang membela perempuan manja bernama Fransisca itu.

“Kenapa Dokter peduli sekali dengannya? Kalau aku yang menangis pasti Dokter tidak akan peduli.”

“Kau bukan siapa-siapaku untuk apa aku peduli.”

“Lalu, wanita itu siapanya Dokter sepertinya juga bukan siapa-siapanya Dokter, kan?”

“Kalau aku bilang dia calon istriku, calon ibu dari anak-anakku, apa kau puas?” Vano menatap Syakira dengan tatapan dingin.

Syakira menatap nanar Vano. Sementara lelaki itu hanya diam, bukannya tak peduli jika wanita itu menangis. Meski sebenarnya dia kasihan tapi kalau ia memperlihatkan rasa kasihannya itu pasti perempuan di hadapannya akan mengartikan lebih.

“Sejak kapan Dokter tertarik dengan bitch seperti itu.”

Rahang Vano mengeras. Tak pernah ia sangka asistennya akan berucap sekasar itu. Sebencinya lelaki ini pada Fransisca, dirinya tidak akan menyukai seseorang yang menyebut perempuan itu dengan kasar seperti yang diucapkan Syakira. Bagaimanapun, ia mengenal Fransisca dengan baik kalau perempuan itu adalah wanita baik-baik.

“Tutup mulutmu. Jangan asal bicara. Caca itu gadis baik-baik dari keluarga terhormat. Dia bukan wanita munafik sepertimu yang bersembunyi di wajah polos. Caca seribu kali lebih baik darimu.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height