Random Husband/C4 Antara Kita
+ Add to Library
Random Husband/C4 Antara Kita
+ Add to Library

C4 Antara Kita

-Yang saling mencintai belum tentu bisa bersama karena jodoh tidak bisa ditentang-

Cakrawala telah meredup tak seperti senyuman seorang gadis yang tengah memasuki ruang periksa. Vano yang melihat perempuan itu memasuki ruang kerjanya langsung tersenyum. Mereka saling berpelukan tanpa tahu kalau ada orang lain yang menitikkan air mata di balik pintu.

“Zif, aku tidak menyangka kau akan kembali kemari?” ujar Vano ramah.

Perempuan itu menunjukkan sebuah undangan berpita emas. Vano langsung menerima undangan itu. Dibacanya dengan seksama nama Ziffany yang tertera di sana.

“Kau sudah menikah. Hebat sekali padahal kita belum putus, loh,” canda Vano yang dibalas tawa.

Perempuan itu langsung mencubit lengan Vano gemas. Lelaki itu pura-pura mengaduh kesakitan.

“Kita sudah berakhir lama meski tanpa ada kata putus. Kita juga sudah membicarakan ini saat bertemu di Maldives beberapa bulan yang lalu.” Ziffany tersenyum sambil melipat tangannya di depan dada.

“Iya, aku tahu. Tak terasa waktu begitu cepat, padahal sepertinya kemarin kita baru mengenal, tapi sekarang kau sudah menikah. Aku turut senang mendengar berita pernikahanmu ini. Semoga langgeng, ya,” jawab Vano dengan raut wajah senang.

Vano tersenyum manis. Senyum itu yang selalu ia berikan pada Ziffany, mantan kekasihnya dulu sebagai senyum tanda kasihnya. Namun, kini senyuman itu hanya sebatas senyuman biasa untuk teman.

“Benar, lalu kapan kamu nyusul? Sudahlah menikah dengan Syakira saja, Van! Sudah berapa tahun kamu seperti ini? Bukalah hatimu untuk wanita lain.”

Vano menghela napas sejenak seraya memejamkan matanya.

“Pasti aku akan menikah secepatnya tapi bukan dengan Syakira. Aku sudah berusaha melupakannya tapi perpisahan kami terlalu menyakitkan. Betapa bodohnya diriku mengejar yang tak pasti, padahal hatiku memilih Aira bukan Rein. Kenapa aku baru sadar saat diakhir hayatnya?” Vano tersenyum miris dengan raut wajah penuh sesal.

Vano menitikkan air matanya mengingat detik-detik terahkir Aira, sahabatnya. Sekaligus perempuan yang ia cintai sampai saat ini. Ziffany mengerti luka Vano yang begitu dalam. Pasti sangat menyakitkan. Tatkala mencintai seseorang, tetapi terlambat menyadarinya, pikir Ziffany. Perempuan itu memegang bahu mantan kekasihnya untuk mencoba menenangkannya.

“Van, setidaknya kalian beruntung masih bisa mengatakan perasaan masing-masing, meski dipenghujung hayat hidup Aira. Itu pasti sakit sekali tapi hidup harus tetap berjalan, Van. Tuhan tidak akan salah memilih jodoh untuk umatnya. Aku yakin ada rencana yang indah dibalik peristiwa itu,” hibur Ziffany dengan nada lembut.

***

Di lain sisi Caca sedang mengumpat karena asistennya tidak bisa menjemputnya, sedangkan keluarganya sedang sibuk di luar kota dan negeri. Perempuan itu terpaksa mengemasi barang-barangnya sendiri. Beruntungnya kemarin asistennya membawakan koper bukan tas. Jadi, dia hanya mengeretnya. Sebelum pulang gadis bermata hazel ini hendak berpamitan dengan Vano. Namun di tengah jalan, dirinya bertemu dengan Syakira yang sepertinya tengah menangis.

“Perawat Sya,” panggil Caca.

Syakira langsung berhenti dengan tersenyum dipaksakan kepada Caca.

“Vano ada di ruangannya apa tidak?” tanya Caca ramah.

“Ada. Namun, sedang reuni mantan atau tepatnya CLBK. Sebaiknya jangan diganggu, nanti dia bisa marah,” jawab Syakira ketus.

Caca yang mendengar itu malah penasaran seperti apa mantan Vano. Diketuknya pintu kerja Vano antusias. Tak butuh waktu lama Vano mengizinkan dia masuk.

Dibukanya pintu itu. Betapa kagetnya dirinya melihat sosok gadis yang cantik seperti tokoh disneyland. Dijatuhkannya koper bewarna marun miliknya ke lantai.

Caca langsung berlari memeluk Ziffany. Perempuan yang dipeluk Caca itu juga membalas pelukannya.

“Zif, aku dengar kau kecelakaan dan meninggal beberapa tahun yang lalu. Kau tahu? Aku syok sekali saat itu, sayangnya aku masih di Jepang. Aku tak bisa pulang karena hujan salju,” ujar Caca seraya menangis.

Diusap punggung Caca oleh Ziffany.

“Aku baik-baik saja, Ca. Kau tak usah cemas.” Ziffany tersenyum bahagia melihat sahabatnya itu.

“Ehemm, kalian seperti sepasang kekasih yang lama tak bertemu kalau seperti itu,” celetuk Vano. Sontak Caca langsung melepaskan pelukannya. Begitupula Ziffany.

“Kau ini syirik saja, Van. Aku sangat bahagia melihat Fany karena dia satu-satunya teman perempuanku yang tulus,” kata Caca dengan santai diakhiri dengan senyuman sinis kepada Vano.

“Ziffany memang selalu baik kepada siapa pun. Lagipula, kau saja tidak pernah tulus kepada orang lain. Bagaimana orang mau tulus kepadamu?” tukas Vano dengan tatapan mencemooh.

Ziffany mencoba menengahi mereka agar tak beradu mulut lagi.

“Kalian bisa diam tidak. Dari dulu selalu seperti itu. Nanti, kalau jodoh tahu rasa.”

“Amin. Ayo diiyain aja, Ca. Biar ibu-ibu satu ini puas. Daripada kena ceramah,” ujar Vano asal.

“Van, ini serius! Aku doain kamu jodoh sama Caca.” Wajah Ziffany berubah menjadi kesal yang semula tenang.

“Iya, aku juga serius dengan ucapanku,” sahut Vano santai dengan wajah serius.

Caca memilih diam. Dirinya keheranan kepada teman satu angkatannya itu. Sementara mimik wajah Ziffany sudah berubah drastis dari tenang dengan penuh kerutan. Vano malah terkekeh melihat ekspresi wajah mantan kekasihnya. Ziffany yang sudah kesal langsung memukul Vano dengan tasnya.

“Zif, sakit.” Vano mengaduh keskitan sambil memegang lengannya yang dipukul Ziffany.

“Rasain! Suruh siapa bikin emosi!” Ziffany menjulurkan lidahnya, layaknya bocah berumur lima tahun yang baru saja mencuri permen dari temannya.

“Pantes kalian putus. Kekerasan mulu sih kayak Afra sama Justin. Aku bingung kenapa orang mencintai malah menyakiti,” ujar Caca yang langsung disambut dengan tatapan maut kedua temannya. Gadis itu meneguk salivanya, takut mereka marah. Dirinya langsung berjalan menjauh mengambil kopernya.

“Aku pamit pulang ya teman-teman.” Caca berjalan terburu-buru.

Ziffany tak membiarkan Caca pergi, ditarik syal perempuan itu. Caca takut menatap mata Ziffany yang sangat mengerikan kalau marah. Penampilannya saja yang terlihat anggun. Namun, kalau jiwa taekwondo-nya sudah keluar, Caca bisa apa?

“Kau bilang apa tadi, Ca?” tanya Ziffany dengan tatapan mautnya.

“Aku bilang kalian pasangan serasi saat pacaran, kenapa tidak balikkan saja?” Caca merubah kalimatnya disertai senyum ketakutan.

“Benarkah? Kau tahu aku tidak suka pembohong, kan?” Ziffany tersenyum menggoda Caca.

Tangan Caca sudah bergetar hebat karena ketakutan. Ia tatap mata indah di hadapannya dengan tatapan memohon ampun. Vano dan Ziffany menahan tawa mereka melihat ekspresi Caca.

“Zif, maaf. Jangan menatapku seperti itu. Kau tahu, sepertinya aku, sudah kencing di celana,” lirih Caca yang masih didengar Vano dan Ziffany. Sontak kedua orang itu langsung tertawa terpingkal-pingkal. Sungguh Caca sangat malu. Seumur hidupnya baru kali ini dia kencing di celana.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height