Random Husband/C5 Pengakuan
+ Add to Library
Random Husband/C5 Pengakuan
+ Add to Library

C5 Pengakuan

Caca membolak-balikan undangan pemberian Ziffany. Gadis bersurai indah itu kebingungan akan menghadiri resepsi pesta pernikahan teman lamanya atau tidak. Pasalnya dirinya masih malu dengan kejadian satu minggu yang lalu. Di mana ia kencing di celana karena ketakutan.

Satu wanita yang ia takuti hanya Ziffany. Masih teringat jelas gara-gara perempuan itu ia tak dapat berjalan selama dua bulan karena patah tulang. Waktu itu Caca terang-terangan mengatakan ingin melawan kemampuan bela diri Ziffany yang menurutnya masih dibawahnya. Tetapi kenyataan membutikan lain. Dirinya jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri di arena. Beruntungnya Ziffany itu adalah sahabatnya kalau tidak dirinya sudah hancur.

Caca kemarin tak bisa membayangkan, jika jiwa taekwondo perempuan cantik yang terlihat lugu, namun menipu itu muncul, lalu ia diserang begitu saja tanpa persiapan. Makanya ia sangat ketakutan kalau harus berakhir di rumah sakit lagi. Padahal dirinya baru saja sakit menjadi pasien inap. Itu sangat tidak lucu, pikirnya.

Gadis bermata hazel itu mengembuskan napas kasar sembari memilah pakaiannya. Dirinya sudah memutuskan untuk datang. Diambilnya pakaian tanpa lengan dengan blazer serta celana pendek bewarna putih pula. Surai bergelombangnya dibiarkan terurai. Lalu, ia kenakan make-up tipis tak seperti biasanya yang lumayan tebal. Bibirnya juga tak dipoles merah menyala.

Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di gedung resepsi Ziffany. Dengan senyuman khas mautnya, Caca berjalan anggun layaknya model di catwalk. Binar mata para pria menatapnya terpesona. Sementara para wanita menekuk wajahnya sebal. Kebanyakan mereka iri dengan kecantikan alami gadis berhazel itu.

Caca sudah biasa ditatap seperti itu baginya itu hal yang wajar. Tak perlu canggung atau merasa kikuk. Deru high heels yang bergesakan dengan lantai hingga menimbulkan suara ketukan menyadarkan model cantik ini bahwa ada orang lain yang berjalan di belakangnya.

Caca membalikkan badannya. Dirinya terperanjat kaget melihat sosok gadis dengan kalung berlapis laal di hadapannya. Ia lepaskan milineris berupa kacamata hitam yang bertengger di hidungnya untuk memastikan rupa itu.

“Hai! Apa kabar Nona Muda Fernandez?” sapa perempuan dengan rambut pirang membahana itu dengan senyum penuh dusta.

“Baik, seperti yang kau lihat.”

Caca tersenyum miring yang disambut senyuman lebar dengan mata menyipit si Pirang.

“Ohh, kudengar kau akan menikah. Tetapi, di mana calon suamimu kau tidak sendirian kan kemari?”

Caca kebingungan hendak menjawab apa, tetapi wajahnya dibuat setenang mungkin. Dirinya takut dihina oleh si Pirang itu jika tahu hubungannya dengan mantan tunangannya telah kandas karena pria itu memilih wanita lain.

“Nona Muda Fernandez, kau diam berarti kau memang datang sendiri. Apakah saking sibuknya kekasihmu itu? Bukankah kau itu penakluk pria yang katanya cantiknya setara seperti Aphordite dan kekuasaannya seimbang dengan Athena.” Itu bukan pujian melainkan hinaan. Caca mencoba tetap tenang. Ditatapnya wanita di depannya tanpa rasa takut dengan tatapan menusuk.

“Aku datang dengan calon suamiku. Pasti akan kutunjukkan. Lalu, mana kekasih kesayanganmu itu,” tantang Caca.

Gadis berambut pirang itu yang semula melipat tangannya di depan dada merubah posisinya. Di mana telunjuk jemari kanannya menuding ke arah pria berkulitan namun seksi dengan senyuman mengejek kepada Caca. Caca yang melihat ke arah itu tak percaya jika pria itu adalah kekasih si Pirang. Pasalnya lelaki itu adalah salah satu jajaran pejabat tinggi yang disegani.

“Mana buktinya?”

Perempuan itu tersenyum masam. Lalu, memanggil nama kekasihnya sambil melambai-lambaikan tangan kanannya yang dibalas pula oleh sang kekasih. Tak sampai di situ, wanita ini memberikan kiss bay yang dibalas pula oleh sang lelaki.

“Apa perlu aku panggilkan? Lalu, mana calon suamimu?”

“Tidak. Akan kutunjukkan.”

Caca memutar tubuhnya ke belakang. Dirinya berdoa dalam hati. Hanya ada satu yang ada di pikirannya, yaitu menunjuk salah satu tamu dengan acak. Ia pejamkan matanya untuk menuding siapa lelaki itu, namun dirinya membatalkannya, takut jika menunjuk dengan memejamkan mata malah mendapat yang tidak keruan.

Senyum mengembang terukir di bibirnya saat melihat siluet Vano. Dirinya dengan percaya diri menunjuk lelaki itu. Berharap Vano mau diajak kerja sama.

“Benarkah itu calon suamimu? Dokter Arvano, anak dari Dokter Gabriel yang sangat terkenal itu.”

Perempuan itu menatap Caca meremehkan.

“Kau tak percaya. Dia itu calon suamiku. Aku akan membawanya kemari,” tegas Caca dengan nada santai.

Caca melangkah dengan perlahan sebenarnya dirinya masih ragu. Namun, mau bagaimana lagi ia telah mengambil keputusan gila itu.

“Vano,” panggil Caca hati-hati.

Lelaki yang sedang meneguk jusnya itu langsung menghentikan aktivitasnya. Dipandangnya Caca. Dirinya tak kuasa menahan tawa melihat gadis yang satu pekan lalu kencing di celana di ruang praktiknya. Masih terbesit dengan jelas semua memori akan kejadian itu.

“Kenapa, Ca?” tanya Vano disertai senyuman.

“Aku mau minta tolong,” pinta Caca ragu.

“Kau mau minta tolong kepadaku untuk membelikan pampers?” ledek Vano disertai tawa.

Caca menghela napas. Menahan amarahnya. Belum apa-apa dia sudah mendapatkan ejekan apalagi jika dirinya mengutarakan isi pikirannya. Pasti lelaki itu akan tertawa terbahak-bahak diatas penderitaannya.

Caca langsung meletakkan jari telunjuknya di bibir Vano yang sukses membuat Vano terdiam.

“Van, aku serius,” rengek Caca.

Vano langsung meletakkan kembali tangan Caca pada awalnya.

“Mau minta tolong apa?” Vano menatap lekat Caca dengan tatapan lembut.

“Van, kau lihat ke ujung barat. Ada wanita berambut pirang.” Caca menunjuk ke si Pirang dengan malas.

Vano mengangguk, “lalu?”

“Aku mengatakan padanya kalau kau calon suamiku. Van, tolong berpura-puralah kalau kau kekasihku. Kali ini saja, bantu aku,” mohon Caca seraya meletakkan kedua tangan yang jemarinya saling direkatkan di depan dada.

“Aku sudah sering menolongmu dan kalau bisa pasti akan kubantu tanpa diminta. Namun, untuk yang satu ini aku tidak mau menolong. Ini kebohongan besar, maaf.” Vano menggeleng.

Wajah Caca meredup. Seharusnya, ia tahu kalau Vano tak akan menolongnya.

“Tapi, Van--”

“Tidak, sekali lagi tidak bisa. Permisi!” Vano langsung pergi meninggalkan Caca.

Gadis itu banar-benar menyesal merutuki kebodohannya. Dirinya kembali berjalan mendekati si Pirang.

“Ada apa dengan kekasihmu? Tadi, kulihat dia tertawa bahagia melihatmu. Lalu, kalian bicara sangat serius dan meninggalkanmu. Apa ada masalah?”

“Emhh, dia marah karena aku membeberkan hubungan kami. Dia tak mau ada orang yang tahu sampai hari pernikahan kami tiba karena dirinya tak suka hubungan asmara kami menjadi bahan konsumsi publik,” bohong Caca yang entah dipercaya si Pirang atau tidak.

“Oke, aku mengerti. Kutunggu undangan pernikahan kalian secepatnya, Senior.”

Caca mengembuskan napas lega. Dirinya terburu menyelamati Ziffany lalu pulang sebelum ada orang lain yang menginterogasi masalah percintaannya lagi. Namun, naasnya di depan gedung saat menelpon dirinya menabrak seorang pria sehingga ponselnya jatuh dan pecah sementara high heel-nya patah sebelah hingga kakinya terkilir. Beruntungnya dirinya menggunakan celana kalau tidak pasti roknya sudah tersingkap.

“Nona, kau tak apa-apa?” tanya lelaki berpakaian slim fit navy yang menabraknya.

“Kakiku sakit sekali.”

“Sepertinya kaki Anda terkilir. Anda bisa berdiri?”

Fransisca menggeleng.

“Kalau begitu biar saya gendong kalau tidak keberatan,” tawar lelaki itu. Fransisca berpikir sejenak sebelum dirinya mengiyakan. Sebenarnya tak masalah jika pria itu menggendongnya. Apalagi, pria itu sangat tampan dengan lesung pipit di pipinya.

“Iya, boleh.”

Pria itu hendak menggendong Caca namun ada seseorang yang memanggil lelaki itu. Membuatnya menghentikan aktivitasnya.

“Vano,” ujarnya.

Sontak Caca memutar kepalanya melihat Vano yang berjalan ke arah mereka.

“Lev, biar aku saja yang menggendongnya. Dia calon istriku,” ujar Vano diakhiri penekanan di dua kata terakhir.

Caca melototkan matanya ke arah Vano. Namun, pria itu pura-pura tidak tahu. Betapa kesalnya gadis itu disaat dirinya membutuhkan pengakuan lelaki itu namun penolakan yang ia dapatkan. Tetapi, malah disaat perempuan itu mendapatkan rejeki nomplok bisa berdekatan dengan pria tampan malah diakui. Pupus sudah harapannya mendapatkan lelaki yang baru saja menabraknya itu.

Vano langsung menggendong Caca.

“Maaf, aku tak sengaja menabrak kekasihmu. Btw, kau pintar sekali Van memilih calon istri. Sangat memesona.”

Vano tersenyum seraya berkata, “tentu saja. Aku mencari calon istri di tempat-tempat terhormat. Bukan sepertimu yang mencari wanita di diskotik untuk ditiduri saja.”

Pria bernama Levian itu tertawa renyah. Sementara Caca menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar ucapan Vano yang memang tajam kepada siapa pun yang tidak disukainya.

“Kau masih sama. Btw, aku akan pindah ke rumah sakit tempat kau bekerja untuk menggantikan Niken. Kita akan sering bertemu. Kuharap kita bisa bekerja sama.”

Vano hanya tersenyum miring.

“Emhh. Nona kalau kau tidak tahan dengan sikap Vano, kau bisa hubungi aku. Aku tahu sangat caranya memperlakukan wanita dengan baik dan lembut.”

Vano menatap Levian tajam. Lalu, pergi membawa Caca ke basement untuk mengambil mobilnya.

“Alamat apartemenmu di mana?” tanya Vano dengan nada datar.

Caca langsung mengeluarkan kartu nama di dompetnya.

“Kau bisa baca sendiri,” ujarnya sebal.

Vano menerima kartu itu lalu dibacanya.

“Van, kau itu keterlaluan. Saat aku menyuruhmu pura-pura menjadi calon suamiku di hadapan si Pirang kau tak mau. Giliran di depan cogan kau mengakuiku sebagai calon istrimu. Kau memang tak bisa melihatku senang, ya.”

“Aku hanya ingin melindungimu dari pria berengsek itu.”

“Dia sama sekali tak terlihat seperti pria berengsek. Tampan, menawan, lemah-lembut. Suami idaman,” ujar Caca seraya tersenyum membayangkan jika dirinya memiliki suami seperti itu.

“Jelas-jelas saja dia sudah menggodamu seperti itu. Tak selamanya pria berengsek terlihat berandalan dan tak selamanya yang terlihat berengsek itu berandalan. Jangan mudah ditipu dengan penampilan. Kalau sudah kena jerat tahu rasa, Ca.”

“Iya, Dokter Vano yang menyebalkan,” balas Caca dengan santai.

Tak di sangka mobil Vano mogok.

“Van, kenapa?” tanya Caca cemas.

“Sepertinya mobilku melindas paku. Aku tidak bawa ban cadangan, Ca.”

“Sial! Ponselku rusak. Aku tidak bisa menelpon asistenku. Tak mungkin jam sebelas malam masih banyak taksi kosong yang lewat.”

“Ponselku juga lowbatt.”

Caca menepuk jidatnya frustasi. Hari mulai larut. Sementara udara semakin mendingin apalagi sepertinya hujan akan turun.

“Van, bagaimana kita menginap di hotel saja. Di depan ada hotel tuh dekat restoran Perancis. Kau gendong aku lagi, ya.”

“Mimpi apa aku harus menggendong badak,” ujar Vano yang masih di dengar Caca. Namun, Caca memilih diam karena kondisi tak memungkinkan untuk berdebat.

Vano menggendong Caca di punggungnya. Dirinya berjalan perlahan-lahan karena banyak kendaraan bermuatan besar yang berlalu lalang. Butuh waktu lima belas menit untuk sampai di sana.

Vano mendudukkan Caca di sofa. Dirinya langsung memesan kamar namun sayangnya hanya ada satu kamar yang tersisa.

“Ca, bangun. Aku sudah memesan kamarnya tapi hanya ada satu kamar.” Vano menepuk-nepuk pipi Caca pelan yang tengah memejamkan matanya.

“Iya, aku dengar. Aku tidak tidur kok, Van.”

Vano kembali menggendong Caca. Lalu, mendudukkannya di sofa panjang.

“Ca, kau tidur di sofa. Aku tidur di ranjang.”

“Enak saja. Aku kan wanita dan kau pria. Seharusnya kau mengalah padaku. Kenapa tidak pesan extra bed saja?”

“Kau pikir aku bodoh. Tentu saja sudah. Tapi, tidak ada. Kau tidur di situ dan aku tidur di sana.” Tunjuk Vano bergantian.

“Tidak, aku tak mau tidur di sofa. Kau tidur di kamar mandi dan aku tidur di ranjang.”

“Heh, kau ini. Aku yang memesan dan membayar kamar tapi kau yang mengatur seenaknya saja.”

Caca tak mempedulikan ucapan Vano. Ia langsung berjingkat menuju ranjang. Vano yang melihat itu merasa kesal. Tadi, katanya perempuan itu tak bisa jalan, nyatanya walau dengan sebelah kaki dia bisa cepat merebahkan diri di ranjang.

“Ca, kau menipuku? Katanya tidak bisa berjalan.”

“Kakiku memang keseleo dan tidak bisa berjalan dengan benar. Jadi, aku tidak berbohong. Sudahlah mengalah padaku. Sekali ini saja.”

Vano langsung merebahkan tubuhnya di samping Fransisca. Lalu, dia topang kepalanya dengan tangan kanan dengan posisi miring menghadap Fransisca.

“Aku capek tidak ingin berdebat lagi karena besok jam sepuluh aku harus mengoperasi pasien. Pokoknya aku tetap mau tidur di ranjang ini.”

“Maaf, Van. Tapi, aku juga tidur di ranjang, ya. Aku tidur di sebelah sini,” ujar Caca terpaksa. Vano hanya mengangguk, lalu berbalik badan menghadap lampu tidur.

“Selamat malam, Van.”

“Selamat malam juga.”

Sudah satu jam, tetapi mata Caca tak kunjung terpejam. Meski dirinya sangat mengantuk. Sedari tadi dirinya mencari posisi yang nyaman. Namun, hasilnya nihil. Vano yang menyadari hal itu langsung berbalik badan. Ditariknya tubuh Caca ke pelukannya. Ia letakkan kepala Caca di dadanya sembari mengusap-usap surai bergelombang itu.

“Tidurlah, Ca. Bayangkan saja kau di tempat yang sangat indah dan nyaman.”

Caca terdiam tak menjawab ucapan Vano. Bukan karena ucapan atau perilaku lelaki itu. Akan tetapi, dikarenakan jantungnya berdegup kencang tak beraturan. Dirinya berpikir keras apa yang terjadi sekarang dengan jantungnya. Perasaan ini juga yang sering ia rasakan dulu saat dekat dengan Vano.

“Apa ini yang namanya jatuh cinta,” batin Caca.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height