Random Husband/C6 Ada Apa Dengan Hatimu?
+ Add to Library
Random Husband/C6 Ada Apa Dengan Hatimu?
+ Add to Library

C6 Ada Apa Dengan Hatimu?

Caca tengah fokus dengan pekerjaannya. Tema desain kali ini adalah gaun musim panas. Mungkin beberapa desainer membuat storyboard yang berisi sketsa ide-ide baru. Namun, Caca lebih memilih bekerja dengan sewing dummy.

Akhirnya, desain kasar Caca selesai. Setelah dua jam bereksperimen, meski masih banyak tahapan yang harus dirinya lakukan untuk membuat gaun yang sesungguhnya. Perempuan itu memilih berjalan keluar sejenak dari ruang kerjanya untuk mengisi perut. Dipilihnya rumah makan khas Perancis yang harganya tak perlu diragukan lagi kalau sangat fantastis.

Matanya menyipit tatkala melihat si Pirang juga ada di sana tengah menikmati Soupe a l’oignon alias sup bawang Perancis. Meski Caca tak dapat melihat dengan jelas makanan yang dipesan rivalnya itu, tetapi dia bisa menyimpulkan itu sup bawang karena aroma kental kaldu sapi dan bau bawang yang khas tercium kuat di hidungnya. Ia memilih untuk memutar balik haluan, meski perutnya menjerit minta diisi. Namun lelaki yang tempo hari tak sengaja menabraknya, menyapanya dengan raut wajah ceria.

“Nona! Anda juga berada di sini?” tanyanya halus dengan senyum yang menampilkan lesung pipit yang tampak manis.

“Iya, seperti yang Anda lihat.” Caca tersenyum ramah.

“Kalau begitu karena Nona ada di sini, saya traktir makan sebagai ucapan permintaan maaf.” Levian begitu bersemangat mengajak gadis di depannya itu untuk makan bersama.

Caca berpikir sejenak. Dirinya memutuskan untuk mengiyakan karena tidak enak. Lagipula, dia dapat menikmati makanan mahal tanpa mengeluarkan sepeser uang pun, meski dia mampu membayar.

“Ya, saya terima.”

Mereka memutuskan untuk duduk di sudut paling ujung sehingga bisa dengan jelas menikmati pemandangan kota yang ramai dipenuhi kendaraan itu. Caca langsung memesan Coq au Vin. Sementara lelaki di depannya memesan Bouillabaisse. Sedangkan untuk minumannya mereka memilih air putih saja dengan es batu karena masih siang jadi wine kurang cocok.

“Nona, kita belum berkenalan. Saya Levian Tubagus. Kalau Anda?” tanya Levian sambil mengulurkan tangannya.

“Benarkah Anda tidak mengenal saya. Saya Fransisca Fernandez,” jawab Caca sedikit sebal karena lelaki di depannya tidak mengenal dirinya yang seorang model.

“Ohh, jadi Anda model yang itu? Maaf saya pernah mendengar tapi kurang tahu. Sepertinya Anda sudah lama tak terlihat sebagai ambasador brand terkenal lagi,” ceplos Levian, pria ini memang cukup banyak tahu tentang model. Teman berkencannya kebanyakan model.

Memang benar ucapan lelaki itu kalau Caca tidak lagi menjadi model untuk produk terkenal sekarang. Dirinya masih aktif menjadi cover majalah tetapi hanya untuk majalah bisnis. Dia hanya menerima satu atau dua pemotretan saja setiap bulan karena perempuan ini memilih fokus untuk mengembangkan usaha butiknya. Usianya saja akan memasuki umur dua puluh sembilan yang tak lagi muda yang pastinya orang-orang lebih memilih gadis muda untuk mempromosikan produknya. Meski kenyataannya seperti itu, Caca tak suka dengan ucapan lelaki itu yang secara tak langsung mengatakan pamornya telah menurun.

“Apa seorang model harus selalu mempromosikan barang terkenal? Kalau sudah terkenal seharusnya tak membutuhkan model, kan? Lagipula, saya lebih tertarik menjadi desainer yang terlihat nyata karyanya.”

Levian terkekeh. Dirinya paham wanita seperti Fransisca Fernandez itu sangat angkuh. Gampang-gampang sulit ditaklukkan.

“Saya mengerti. Maaf, kalau Anda tersinggung. Wanita secantik Anda sangat sayang kalau marah meski tetap cantik, tapi sayang nanti jika terjadi penuaan diri,” rayu Levian dengan kedipan sebelah mata.

Caca tertawa renyah sambil mengambil hidangannya yang sudah datang.

“Sepertinya Anda sangat pandai merayu Tuan Levian. Sudah berapa wanita yang berhasil jatuh ke pelukan Anda?” ujar Caca sambil mengambil garpu dan sendok tanpa menatap Levian.

Levian mencoba menghitung dengan jari. Caca memperhatikannya sambil menikmati mengunyah makanannya.

“Banyak sekali. Sampai aku tak bisa menghitungnya. Setahuku hanya dengan tersenyum saja mereka sudah jatuh ke pelukanku.” Levian menopang dagunya dengan tangannya menghadap ke wajah Caca dan menatapnya lekat seraya tersenyum. Caca hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kau tidak makan? Nanti makananmu dingin, loh.”

“Tadinya, aku lapar. Saat melihatmu aku kenyang. Sangat indah menatapmu seperti ini.”

Caca meminum air putih sebelum tertawa. Ditatapnya lelaki itu balik dengan posisi yang sama seraya tersenyum pula.

“Apa kekasihmu tidak marah kalau tahu kau sedang merayuku?”

“Aku tidak punya kekasih. Itu sangat merepotkan. Kalau teman berkencan banyak sekali. Aku tertarik padamu, tetapi sayangnya kau milik Vano. Kalau bukan sudah kuseret ke altar.”

Caca kembali membenarkan posisinya ke semula seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru kali ini ia temui pria yang terang-terangan seperti itu. Sebelumnya mantan-mantan kekasihnya adalah orang yang cuek dan berwibawa meski sebenarnya berengsek.

“Kurasa kau lapar sehingga otakmu geser.” Caca mengambil sendok mengambil daging ikan di mangkok Levian. Kemudian, ia suapi pria itu. Lelaki itu langsung mengunyahnya dengan posisi yang masih sama.

“Otakku tidak bermasalah sepertinya hatiku yang bermasalah. Aku serius kalau kau bukan kekasihnya Vano pasti sudah kunikahi. Ya. Aku memang berengsek tapi lelaki memang selalu memilih istri yang sempurna bukan? Perempuan yang benar-benar terhormat bukan murahan.”

Siapa sangka kalau Vano sudah berdiri tak jauh dari mereka dan jelas mendengar setiap ucapan Levian. Pria itu langsung melangkahkan kakinya menuju meja mereka. Wajah Vano sudah terlihat kesal sekali.

“Levian!” panggilnya dengan intonasi yang tinggi. Sontak Caca dan Levian langsung mengalihkan pandangannya ke arah Vano.

“Ada apa, Van?” tanya Levian santai seolah tak ada apa-apa.

“Kau kurang ajar sekali. Aku mencarimu kemana-mana, ternyata kau malah merayu calon istriku.”

“Hey, Vano! Dia kan bukan istrimu baru calon. Selagi belum ada janji suci di atas altar, apa salahku berusaha mendekatinya?” Levian menatap Vano tanpa merasa bersalah.

Vano menghela napas sejenak lalu tersenyum miring.

“Sepertinya kau belum pernah merasakan pukulanku. Apa kau mencoba?” Wajah Vano mulai tak bersahabat.

“Stop, Van! Aku kan bukan--” Fransisca hendak memberitahukan kebenarannya kalau dia bukan calon istri Vano, tetapi lelaki itu langsung menatapnya tajam membuat Caca terdiam.

“Van, lagipula kekasihmu juga suka saja aku rayu. Kalau kau mau memukulku, silakan jika kau tidak malu menjadi tontonan orang,” tantang Levian dengan senyum meremehkan.

Vano tersenyum masam. Pintar sekali Levian jika bicara. Tak salah jika banyak wanita terjerat olehnya.

“Kuperingatkan agar kau tidak mendekati Caca lagi. Lain kali aku tak mengampunimu.” Vano mengacungkan tangannya di depan wajah Levian.

“Terserah. Kau itu bukan suaminya. Tak seharusnya kau melarangku berdekatan dengannya. Bilang saja kau takut dia jatuh pada pesonaku.”

“Terserah, kupastikan dalam waktu dekat ini kau mendapatkan undangan pernikahan kami.”

***

Vano menarik tangan Caca menjauh dari jangkauan Levian. Tak peduli dengan gerutuan Caca sepanjang perjalanan. Dirinya lelah baru saja mengoperasi pasien Levian, tetapi si playboy itu malah enak-enakan makan siang bersama teman sekolahnya itu. Bagaimana Vano tidak kesal? Seharusnya Levian membuat data yang baru tentang rincian pasien itu setelah operasi. Kalau terjadi apa-apa, setelah operasi dirinya juga yang repot.

“Van, aku kan belum selesai makan? Kau main tarik saja,” ujar Caca sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari tangan kanannya.

“Kau seharusnya terima kasih padaku. Levian itu berbahaya. Sekali saja kau mendengarkan ucapanku kenapa, sih?” Vano menatap Caca serius.

Caca melipat kedua tangannya di depan dada sambil menghela napas.

“Van, sepertinya kau memang tidak pernah suka melihatku bahagia. Jelas-jelas Levian itu baik mungkin memang bad boy, tetapi aku suka gayanya. Setidaknya dia tak munafik, dirinya mengakui kalau dia berengsek,” bela Caca santai.

Vano menepuk wajahnya frustrasi. Caca yang sudah kecapekan berdiri memilih duduk di bangku taman di sampingnya. Sementara Vano tetap berdiri.

“Kau itu memang keras kepala. Terserah kau sajalah. Dia itu suka gonta-ganti wanita. Bisa saja kau jadi salah satu korban selanjutnya yang berahkir naas, dicampakkan begitu saja setelah diajak bermalam di hotel.”

Caca tertawa mengejek.

“Sebenarnya yang berengsek itu siapa, Van? Kau atau Levian? Buktinya kau yang mengajakku ke hotel tempo hari dan meninggalkanku tanpa pesan pagi harinya.”

Ucapan Caca yang lumayan keras menjadi konsumsi publik orang yang berlalu lalang. Sontak para mata itu menatap ke arah mereka diam-diam begitu mendengar kalimat terakhir Caca. Vano langsung duduk di samping Caca, lalu membekap mulut gadis itu supaya tak bicara yang aneh-aneh.

“Kenapa kau bicara seolah aku ini PK,” bisik Vano di telinga kanan Caca.

“Semua orang yang mendengar pasti akan berpikiran yang tidak-tidak,” lanjut Vano kesal.

Caca melepaskan tangan Vano dari bibirnya. Lalu, menatap pria itu sebal dengan ejekan pula.

“Memang kenyataannya seperti itu. Kau mengajakku ke hotel dan meninggalkanku begitu saja,” ujar Caca pelan agar orang-orang tak memperhatikannya lagi.

“Shitt, aku tak melakukan apa-apa. Kenapa kau berlebihan sekali.”

Dada Caca naik turun. Dirinya mencoba mengatur emosinya agar tak meluap. Sebenarnya capek sekali berdebat dengan Vano. Namun, menurutnya lelaki itu salah sehingga harus ditanggapi. Makanya, Caca tak mau mengalah.

“Benar, kau tak melakukan apa-apa. Bahkan sejak kau menggendongku kau sudah menang banyak, apalagi saat kau tidur memelukku sepanjang malam.”

Caca tersenyum hambar.

“Jangan-jangan kau marah seperti ini kau cemburu?” tanya Caca yang dibalas dengan senyum mengejek dari Vano.

“Cemburu? Itu tidak mungkin dan tidak akan pernah cemburu karena wanita sepertimu. Aku hanya kasihan padamu kalau kau jadi korban Levian. Kau terlihat saja sangat mengerikan tapi sebenarnya lemah.”

Caca terdiam. Baru kali ini dia dikasihani seperti itu. Meski benar keberaniannya selama ini hanya untuk menutupi ketakutannya. Seharusnya kata cemburu tak pernah terucap di bibirnya karena sudah jelas Vano tak mungkin mencintainya, sesal Caca. Perempuan ini sadar kalau pria yang telah membuatnya jatuh hati ini tak mungkin membalas cintanya.

“Ya, kau memang tak mungkin cemburu. Seorang Vano tidak mungkin jatuh hati dengan wanita sepertiku. Di matamu orang sepertiku sungguh menyedihkan, bukan?” ujar Caca menahan tangis. Dirinya mencoba tersenyum meski hatinya terluka.

Vano bingung ingin menjawab apa. Dirinya memang tak cemburu dengan kedekatan wanita itu dengan Levian. Sepertinya, ia salah mengucap kata. Lelaki ini peduli dengan Caca. Dia tahu bahwa gadis ini baru saja ditinggal menikah tunangannya. Makanya, Vano tak mau melihat Caca terluka jika bersama Levian. Bagaimanapun semenyebalkan Caca, perempuan itu pernah menolongnya dimasa lalu. Menyemangatinya juga saat sedih. Dulunya, ia sangat sebal ketika setiap tahun harus duduk sebangku dengan Caca selama tiga tahun di SMA karena setiap ada tugas dengan teman sebangku, pasti tugasnya akan kacau karena Caca lebih mementingkan perawatan tubuhnya dibandingkan mengerjakan tugas.

“Ca, bukan itu maksudku.” Vano memegang lengan Caca.

Caca hanya diam enggan menanggapi ucapan Vano.

“Kamu itu bagaikan mawar. Cantik tapi berduri. Sekali terjerat kalau tak hati-hati pasti tersakiti.”

Caca menolehkan pandangannya ke arah Vano. Tak mengerti dengan ucapan lelaki itu.

“Maksudku aku tidak mau mencintai wanita sepertimu karena itu hanya akan menyakiti hatiku bukan untuk merendahkanmu. Banyak perbedaan diantara kita yang sangat kental. Pastinya kita tak bisa bersatu bagai minyak dan air. Aku lelah mencintai, Ca. Cinta hanya menyakitiku.”

“Namun, kenyataannya aku masih terjerat cinta masa lalu, yaitu mencintai Aira,” batin Vano.

Vano tersenyum miris mengingat kisah cintanya. Satu-persatu. Dimulai dari dirinya yang mencintai Rein dari kecil tetapi dipisahkan oleh waktu hingga mereka bertemu saat remaja, namun tak saling mengenal lalu bertemu kembali, bahkan menghitung detik untuk mengucap janji suci di atas altar. Namun, dirinya baru menyadari bukan Rein yang ada di hatinya. Kisah pacarannya yang bersama Ziffany juga terpaksa berpisah karena sebuah kecelakaan naas. Terakhir, hatinya yang ternyata mencintai Aira sang sahabat, tetapi harus dipisahkan oleh maut.

“Kenapa kamu berpikiran seperti itu? Sebenarnya apa yang membuatmu tak mau mencintai lagi? Bahkan kadang aku iri dengan orang-orang yang bisa jatuh cinta. Mereka punya alasan kuat untuk memperjuangkan cintanya. Tidak sepertiku yang selalu mengejar harta dan takhta yang sebenarnya semu.” Caca menatap Vano sendu.

“Kisah percintaanku dengan beberapa wanita tidak berjalan baik terutama dengan Aira. Jadi, aku sarankan kepadamu yang belum pernah mencintai lelaki manapun. Jangan mencintai kalau kamu tidak siap untuk tersakiti. Tidak selamanya cinta itu indah. Lebih baik kamu tetap seperti itu, Ca. Mencintai takhta dan harta daripada mencintai seorang pria.”

Caca memandang nanar Vano. Matanya berkaca-kaca.

“Sayangnya aku sudah merasakan jatuh cinta, Van.”

Vano memandang Caca heran.

“Kau sudah jatuh cinta dengan Levian?”

Caca menggeleng, “aku mencintaimu, Van.”

Vano menatap Caca tak percaya. Dirinya bingung harus menjawab apa. Hal itu terlalu tiba-tiba.

“Apa tidak ada sedikit kesempatan untukku? Van, kenapa kamu seolah-olah memiliki rasa padaku beberapa hari ini. Bahkan aku sudah sangat senang saat kau mengakuiku sebagai calon istrimu di hadapan Levian. Seharusnya aku sadar itu hanya bohong.”

Caca tersenyum miris. Air matanya semakin mengalir dengan deras. Vano mengambil sapu tangan di saku jasnya. Diusap lembut wajah gadis itu yang penuh air mata.

“Ca, kau wanita paling jelek yang pernah kulihat saat menangis. Bisa tidak kau berhenti menangis.” Caca menahan pergerakan tangan Vano.

“Berhentilah bersikap baik padaku, Van. Ini hanya akan semakin melukaiku.”

“Padahal bisa dihitung dengan jari, aku bersikap baik denganmu. Selebihnya aku sering menghinamu, tetapi kenapa kau bisa jatuh cinta padaku? Apa aku harus bertanggung jawab kepada setiap wanita yang patah hati karena aku menolak cintanya?”

Caca menggeleng, “tidak Van. Lupakan ucapanku barusan. Aku akan melupakanmu. Mungkin, aku akan melakukan pendekatan dengan Levian saja,” jawab Caca frustasi.

Vano mengacak-acak rambutnya sebal. Dirinya sudah mati-matian menjauhkan Caca dari Levian. Gadis itu malah ingin masuk ke lubang buaya secara sukarela.

“Ca, kau ini ngeyel. Kau gila, ya? Aku sudah mati-matian menjauhkanmu darinya, kau malah sukarela mendekatinya,” ujar Vano dengan mimik wajah kesal yang tak ditanggapi Caca.

“Sebenarnya kau mau mempermalukanku karena kesal, kan? Aku sudah mengatakan padanya kau calon istriku, aku akan mengirim undangan pernikahan secepatnya untuknya, tetapi kau malah mau melakukan pendekatan dengannya. Kau pikir aku bicara itu asal, huh? Jangan-jangan ucapanmu mencintaiku tadi bohong.”

Caca hanya diam. Dirinya yang terluka, tetapi Vano malah mengomelinya. Seolah-olah dia penjahatnya dan lelaki itu korbannya.

Vano mengambil sebuah kotak beludru dari saku jasnya. Dibukanya kotak itu yang berisi cincin berhias permata. Caca hanya melirik sekilas. Perempuan ini langsung paham cincin itu harganya sangat mahal. Ia bingung kenapa Vano malah membawa cincin seperti itu.

“Mana tanganmu!” Vano mengadahkan tangan kanannya.

Caca tak mempedulikan ucapan Vano. Akhirnya, lelaki itu mengambil tangan kanan Caca yang sudah berkeringat dingin. Perempuan itu selalu begitu kalau ketakutan gemetar dan berkeringat dingin.

“Kalau kau bicara lagi ingin melakukan pendekatan dengan Levian. Aku akan menarikmu paksa ke altar tak peduli orang tuamu merestui atau tidak,” ujar Vano dengan suara rendah, tetapi tegas sambil memakaikan cincin di jari manis Caca. Gadis itu langsung memandang Vano lekat. Masih bingung dengan semua ini.

“Kau melamarku, Van?” tanya Caca ragu, takut lelaki itu akan mengatakan tidak.

Vano hanya tersenyum mengiyakan.

Caca berasa seperti naik jetcoster yang bisa dibuat melayang maupun dibuat drop oleh Vano. Pria itu pintar sekali memanipulasi perasaannya.

“Bukannya tadi kau mengatakan kau tidak mencintaiku dan tak akan pernah mencintai siapa pun lagi?” Caca menatap manik mata Vano lekat.

“Ca, apa aku harus mencintai dulu, jika ingin menikah? Kalau misalnya seumur hidup, aku tidak jatuh cinta lagi apa aku harus hidup sendirian. Sementara orang-orang berbahagia dengan keluarga kecilnya. Ca, aku memang ingin tidak merasakan jatuh cinta lagi karena kadang cinta itu menyakiti, tetapi jika suatu saat nanti aku jatuh cinta padamu tidak ada yang tahu bukan? Lalu, saat hatiku memilihmu dan ternyata kau sudah menjadi milik orang lain, apa aku harus menghancurkan rumah tanggamu agar kau bersamaku?”

Vano menghela napas sejenak. Ditatapnya lembut Caca, berusaha untuk membuatnya percaya.

“Biasanya, aku baru menyadari perasaanku saat kehilangan orang yang kucintai. Ca, apa cinta itu sangat penting untuk membangun rumah tangga. Faktanya di luar sana banyak orang mengagungkan kata cinta namun setelah menikah mereka malah berselingkuh. Dalam rumah tangga itu sebenarnya yang penting adalah komitmen untuk tetap setia, saling mengerti, menyayangi, dan menjaga. Asalkan kita mau berjuang bersama maka semua akan baik-baik saja, Ca,” papar Vano dengan nada serius dan tatapannya begitu lembut.

“Bagaimana kalau selama menikah, kau tak kunjung mencintaiku, tetapi malah jatuh cinta dengan orang lain?” Caca menatap serius manik mata Vano.

“Aku akan ingat kembali pada janji suci pernikahan kita. Sampai kapanpun hanya kau pendamping hidupku. Wanita yang harus aku jaga dan aku sayangi.”

“Lalu, kenapa kau memilihku? Bukankah kau mengatakan kita itu bagaikan minyak dan air yang tak mungkin bersatu.”

“Kalau Tuhan berkehendak tidak ada yang tahu, kan? Alasannya banyak, tetapi yang jelas tidak ada wanita yang benar-benar lebih memahamiku daripada kamu. Lalu, kamu mau tidak menikah denganku?”

Caca mengangguk. Lalu, ia peluk Vano yang dibalas pula oleh pria itu. Lelaki itu langsung tersenyum.

“Van, kau memang pintar memanipulasi perasaanku. Jangan tinggalkan aku karena aku juga tidak akan meninggalkanmu.”

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height