Random Husband/C7 Bersama
+ Add to Library
Random Husband/C7 Bersama
+ Add to Library

C7 Bersama

Embun pagi terus menetes, tiada hentinya. Entah kenapa cuaca pagi tak secerah biasanya. Dinginnya menusuk-nusuk permukaan kulit. Jalanan tampak gelap. Sinar mentari seolah takut menyapa. Entahlah apa yang sebenarnya terjadi.

Dari balik jendela yang tirainya telah disibak setengah terbuka menampilkan pemandangan kota dari balik gedung bertingkat milik seorang gadis bermata hazel yang baru saja bangun tidur, dapat dilihat dengan jelas banyak kendaraan berbondong-bondong ke tempat peraduan. Lamat-lamat Caca sang pemilik bangunan itu menyadari kalau dirinya telah kesiangan karena tertipu dengan kondisi cuaca yang membuatnya semakin terlelap dalam selimut hangatnya. Dipandangnya anak kecil rupawan yang tengah menatap jendela luar itu dengan lembut.

“Frray, sudah bangun?” tanya Caca halus sambil mencolek pipi mungil anak kecil yang kira-kira umurnya mencapai angka tiga.

“Udah, Unda,” jawabnya sambil mengulum bibirnya.

Caca tersenyum melihat keponakan kesayangannya yang tidak rewel meski ditinggal pergi jauh kedua orang tuanya. Anak itu sedari tadi malam menurut apa yang diperintahkan bibinya. Dia sangat lucu, menggemaskan.

“Frray, mau makan apa?” tanya Caca sambil mengikat rambutnya asal.

“Cayur acem.” Mata Frray berbinar-binar karena senang.

“Sayur asem?” ulang Caca untuk meyakinkan.

Anak itu mengangguk dengan senyum lebar.

Caca menghela napas lega, untungnya si Kecil tidak meminta makan yang aneh-aneh. Kalau hanya sayur asem, gadis ini masih bisa memasak. Perempuan yang hampir memasuki kepala tiga ini hanya bisa memasak masakan rumahan yang tak terlalu rumit seperti, sup, bakmi goreng, bakmi godog, nasi goreng, ayam goreng. Pokoknya yang simpel.

Caca langsung menuju pantry. Mencari beberapa peralatan di sana. Setelah itu, ia ambil beberapa sayuran di kulkas. Lalu, dicuci dan dipotong. Jangan kalian pikir gadis ini akan memasak dengan benar. Potongan kacang panjangnya saja asal-asalan, belum lagi kubisnya asal diiris. Masalah rasa tak diragukan lagi pas-pasan. Setidaknya, perempuan ini tak membuat racun.

“Unda, kenapa macakannya cepelti ini?” tanya Frray sambil mengaduk-aduk sendok di mangkuknya.

“Ini gaya memasak baru,” tipu Caca sambil mengambil sendok di tangan keponakannya. Lalu, ia suapi anak itu dengan telaten.

“Enak tidak?” tanya Caca yang langsung dibalas anggukan keponakan tercintanya.

“Kalau begitu sekarang mandi, ya.”

***

Menginjak pukul dua siang Caca memutuskan untuk pergi belanja kebutuhan keponakannya yang harus ia sediakan selama anak itu bersamanya. Digendongnya jagoan kecilnya itu ke supermarket terdekat dengan senyum mengembang. Sepertinya gadis ini sangat menyukai peran barunya sebagai ibu rumah tangga. Setiap mata yang memandang tak akan menyangka jika anak itu bukan putra kandungnya karena perempuan ini sangat apik memainkan perannya.

Caca mengambil troli belanjaan. Didudukkannya Frray di atas troli. Sepanjang memilih belanjaan anak itu asyik dengan pesawat terbang yang ia bawa.

“Unda, Prray mau jalan saja.”

Begitu turun dari troli, anak itu langsung asyik memilih biskuit hingga tak sengaja menabrak seseorang. Caca langsung berlari melihat keponakannya jatuh, dia merasa takut karena anak itu menangis. Dipeluknya penuh kasih sayang si Kecil.

“Frray, jangan nangis. Bunda, ada di sini.” Caca mengusap-usap punggung keponakannya penuh kasih sayang.

Lelaki yang ditabrak anak kecil itu langsung berjongkok.

“Iya, enggak usah nangis. Bundanya juga nanti sedih.” Levian berusaha pula menenangkan Frray.

Caca yang mendengar suara tak asing itu langsung mendonggakkan kepalanya.

“Levian?” Caca menatap tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dunia begitu sempit, pikirnya.

“Hai, ini anakmu?” tanya Levian dengan senyum khasnya.

Caca mengangguk, lalu menggendong keponakannya.

“Jadi, kau single parent?” tanya Levian tanpa basa-basi.

Caca langsung menggeleng.

“Atau jangan-jangan kau, PWM?”

Caca mengerutkan dahinya bingung. Singkatan apa itu? Seumur hidup gadis itu baru kali ini mendengar istilah seperti itu.

“Pregnant without married,” jelas Levian yang mengerti Caca kebingungan.

Caca diam tak menjawab ucapan Levian. Sementara lelaki itu langsung menyimpulkan kalau gadis di hadapannya itu benar-benar hamil diluar nikah.

“Jika kulihat dia tak mirip dengan Vano. Dia anak siapa?”

“Jelas tidak mirip. Frray kan anaknya Justin.”

“Vano, tahu kau sudah punya anak?”

“Tidak,” kesal Caca dengan suara ketus.

“Lalu, ayah anak ini di mana? Kenapa kau mau membesarkannya sendirian?” Levian terus memberi pertanyaan tiada henti membuat Caca gemas.

Sepintas ide jail muncul di otak Caca. Gadis ini hendak mengerjai lelaki di depannya.

“Suamiku orang yang sibuk, sekarang dia berada di Italia. Makanya aku selalu kesepian?” Caca memasang raut wajah sendu.

Levian langsung melotot tak percaya.

“Terus Vano itu?”

“Selingkuhankulah, dia tidak tahu jika aku sudah menikah. Kau tahu punya suami tampan tapi jarang di rumah itu menyesakkan. Pada hari libur umumnya suami-istri itu pergi keluar bersama, tetapi aku tidak karena suamiku selalu pergi sibuk bekerja.” Suara Caca di buat sessdih mungkin.

Levian terkekeh.

“Wow! Keren, Ca,” ucapnya seraya menunjukkan dua jempolnya.

Caca memutar matanya. Heran. Baru kali ini ada orang seperti Levian. Dia penasaran dengan sifat asli lelaki itu yang beberapa hari lalu merayunya.

“Kau keren tidak pandai berbohong,” ujarnya dengan senyuman khas mautnya.

“Kau membuatku bingung dengan ucapanmu.”

“Aku yang kau buat bingung, Nona Cantik. Kalau kau memang mencari selingkuhan tentu saja yang kau cari adalah pria yang lebih romantis dari suamimu bukan lelaki seperti Vano.”

Caca hanya tersenyum. Ia dorong trolinya setelah meletakkan kembali Frray ke atas troli yang sudah tenang sejak ia memeluknya tadi. Ditinggalkan begitu saja Levian, tetapi lelaki itu terus mengejarnya.

“Princess, kau marah? Aku minta maaf jika bercandaku tak lucu karena aku bukan pelawak. Aku hanyalah seorang dokter yang berharap bisa menemukan ramuan cinta untuk meluluhkan hati, Nona Cantik ini.”

Caca menghela napas. Lalu, berhenti sejenak. Ditatapnya Levian tajam.

“Kau sudah membuat mood-ku buruk.”

“Aku tahu caranya agar kau bersemangat kembali. Kau suka perhiasan, kan? Ada pameran perhiasan besok sabtu kalau kau mau datang, aku punya undangannya.”

“Kalau undangan aku tak butuh. Percuma aku datang kalau tak punya uang. Cuma melihat saja membuatku sakit hati.”

“Kuberi tahu, Cantik. Aku ini pria bermodal, tak mungkin aku membiarkanmu pergi bersamaku tanpa membeli sesuatu. Pasti akan kuberikan yang kau mau.”

Caca tertawa hambar. Benar-benar playboy sejati, pikirnya. Tak akan menyerah begitu saja sebelum umpannya dapat menjaring mangsanya, itulah yang ada di benak Caca.

“Jika aku menerimanya nanti pasti kau akan meminta bayaran, kan? Jangan samakan aku dengan wanita yang telah kau tiduri. Aku tidak akan mudah terperangkap rayuanmu itu,” jawab Caca mantap.

“Ya, aku berengsek. Namun, sampai saat ini aku belum pernah meniduri satu wanita pun. Aku memang suka berkencan dengan banyak gadis. Pelukan dan ciuman itu hal yang wajar untukku, tetapi tidak sampai hubungan kelamin. Aku seorang dokter yang tahu banyak dampak buruk seks bebas. Aku memang bad boy tapi tahu batasan. Trust me! Kalau misalnya aku meminta bayaran, mungkin hanya satu pintaku, temani aku makan malam.”

Caca hanya diam. Tak menanggapi ucapan lelaki itu. Dirinya bingung karena dia tahu pameran itu hanya ada satu tahun sekali yang menampilkan banyak perhiasan yang mampu menghabiskan uang satu bulannya. Sayang, jika melewatkan kesempatan langka.

“Ya, sudah kalau kau tak mau. Aku tak memaksa,” ujar Levian sebelum pergi.

Caca menghela napas, dirinya menyesal tak menerima ajakan Levian.

“Frray, mau beli kebab?”

Frray mengangguk. Caca langsung menuntun keponakannya itu, tetapi siapa sangka si Kecil malah digendong oleh Vano yang entah datang dari mana.

“Vano?” panggil Caca tak percaya.

“Apa?” jawab Vano ketus.

“Kenapa kau bisa di sini?”

“Memang hanya kau yang boleh di sini? Tim medisku baru saja makan bersama merayakan keberhasilan operasi kami kemarin di Solaria.” Nada sinis jelas terasa di pendengaran Caca.

Caca mengangguk.

“Memangnya kau satu tim dengan Levian?”

“Tentu. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa merayumu sejak tadi di sini. Kau sepertinya sangat kecewa sekali menolak tawarannya. Kalau cuma perhiasan, aku juga bisa membelikannya untukmu. Aku tidak akan jatuh miskin untuk itu,” terang Vano dengan nada bicara tak suka.

Caca mengerti kalau calon suaminya itu marah. Padahal kan dia tak salah apa-apa. Vano memang sangat sensitif kalau mendengar nama Levian.

“Van, kamu marah?” tanya Caca halus.

Vano berhenti, lalu menatap Caca lekat.

“Menurutmu? Sudahlah lupakan. Kau mau beli kebab kan? Aku titip manggo breeze biar aku dan Frray tunggu di situ,” ucap Vano mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk sofa panjang dengan dagunya. Caca hanya mengangguk mengiyakan.

Vano langsung duduk di sofa bersama Frray.

“Frray, sudah makan?” tanya Vano lembut.

“Udah, Om Pano. Tadi, makan cama acem-acem,” jawab Frray sambil memainkan mainannya di sofa.

Meski Frray baru dua kali bertemu dengan Vano tapi ia sudah akrab saja. Anak itu sangat ramah dan penurut tidak seperti orangtuanya yang berisik sekali. Vano juga langsung sayang dengan balita itu yang baru semalam pertama kali ia temui.

“Frray, sayurnya beli apa bunda yang masak?” tanya Vano penasaran karena setahunya Caca tidak bisa memasak. Masih teringat jelas di otaknya kala mereka SMA saat gadis itu sok-sokan ikut lomba memasak untuk mewakili kelasnya namun hasilnya hancur-hancuran, para juri langsung muntah.

“Unda yang macak tapi bentuknya aneh,” jawab Frray jujur.

Vano mengangguk.

“Van, manggo brezze-nya habis jadi aku beli grape float, lemon tea, sama bubble tea. Kamu mau yang mana?” tanya Caca sambil mengayunkan kantong belanjaannya.

“Grape float aja. Semalam dia nangis enggak, Ca?” tanya Vano sambil menerima minumannya.

“Enggak, dia mah anteng. Kalau rewel aku enggak mau dititipin,” jawab Caca sambil duduk memangku Frray.

“Frray mau minum apa?”

Frray langsung menunjuk lemon tea. Langsung ia tancapkan sedotannya. Kemudian, meminumnya sedikit sebelum memakan kebab. Anak itu tak mau disuapi jadi Caca membiarkan Frray makan sendiri.

“Frray, kok mau tinggal sama bunda tanpa ayah sama ibu?” tanya Vano penasaran.

“Kata yayah kalau Prray mau tinggal cama Unda nanti Prray bakal punya adik. Jadi, Prray punya teman main.” Frray tersenyum menggemaskan.

Caca yang mendengar itu kesal.

“Aissh, kalau tau seperti ini aku tidak mau dititipi,” ujar Caca kesal dengan kerutan di wajahnya.

“Emang kenapa?” Vano memandang Caca dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Justin tega sekali kepadaku. Katanya dia paling peduli denganku yang tidak kunjung menikah, tetapi nyatanya dia malah mau buat anak lagi. Sementara saudarI iparnya yang paling cantik ini belum menikah.”

Caca sebal karena setahunya saudara kembar dan saudara iparnya hanya jalan-jalan biasa seperti makan malam romantis karena mereka tidak pernah romantis sebelumnya. Hanya bertengkar saja saling memukul. Masih ia ingat ucapan Justin yang katanya akan membantunya mencari calon suami, tetapi sampai sekarang tak ada buktinya. Mungkinkah selama ini dirinya ditipu Justin.

“Ca, ya terserah mereka mau punya anak lagi atau tidak. Itu tidak ada hubungannya denganmu yang tidak laku,” ejek Vano sebelum menyeruput minumannya.

“Aku ini laku, ya. Cuma aku harus pilih-pilih. Buktinya saja kau bisa lihat kan tadi Levian mengejarku seperti itu.”

“Ya sudah, nikah saja dengan Levian. Kembalikan cincinku,” ujar Vano seraya mengadahkan tangan kanannya untuk meminta cincinnya.

Caca melotot mendengar ucapan calon suaminya itu yang sulit ditebak.

“Tidak mau.”

Meski menolak seperti itu, siapa sangka Vano melepas paksa cincin Caca.

“Sepertinya aku salah, kau memang serasi dengan Levian. Tak seharusnya aku menghalangi kalian bersama,” ungkap Vano halus tapi sangat menyakitkan untuk Caca.

Caca langsung menangis dalam diam yang sangat menyakitkan daripada menangis dengan keras. Dia tak peduli jika ada orang yang menatapnya heran dengan perilakunya sekarang, tetapi beruntungnya tak ada orang lain yang memperhatikan kondisinya sekarang yang tengah menangis. Frray yang berada di pangkuan Caca bingung. Ditatapnya bibinya itu lekat.

“Unda, kenapa nangis?”

“Bunda enggak pa-pa kok.” Caca langsung mengusap air matanya kasar.

“Van, kau tak serius kan? Aku sudah bilang ke ayahku kalau kau mau melamarku. Ayah sudah berjanji akan pulang bulan ini. Pasti ayah akan kecewa lagi padaku karena aku batal menikah lagi,” pinta Caca penuh harap.

“Siapa bilang aku serius. Aku kan hanya bercanda,” balas Vano tanpa dosa yang membuat Caca langsung berhenti menangis karena sebal. Rasanya gadis ini ingin memaki calon suaminya namun itu tak mungkin ia lakukan.

“Kau keterlaluan, Van.”

Vano hanya menengok sekilas melihat wajah kesal Caca lalu mengalihkan pandangannya ke minumannya seraya mengaduk-adukkannya dengan sedotan. Kemudian, ia seruput minumannya sedikit.

“Ya sudah, kembalikan cincinnya.”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

Vano menggigit bibirnya seraya mengaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal.

“Sebenarnya cincin ini milik sepupuku. Waktu itu ia tidak masuk kerja, jadi aku yang menerimanya dari pihak JNE. Aku kan ingin meyakinkanmu kalau aku serius seperti di film-film kalau wanita akan luluh bila dilamar. Aku sudah negosiasi dengan sepupuku, tetapi dia tidak mau karena cincin ini adalah hadiah untuk istrinya yang baru saja melahirkan.”

Caca semakin kesal mendengar penjelasan Vano itu yang tak pernah terselip kenyataan itu di otaknya.

“Seharusnya aku sudah curiga denganmu. Kenapa bisa-bisa membawa cincin untuk melamarku. Kau memang gila, Van.”

Vano tak peduli denga ucapan Caca. Meski ia tahu kalau dirinya salah namun lelaki ini enggan meminta maaf.

“Masih mending aku. Daripada kau mencari suami asal tunjuk,” ledek Vano yang mengingat kejadian di pesta resepsi pernikahan Ziffany.

“Itu kan idenya Justin mengatakan padaku kalau memang sudah terdesak mencari suami asal saja. Pikiranku kan buntu. Untungnya aku melihatmu, Van.”

“Emangnya seberapa cerdasnya Justin itu sehingga kau percaya begitu saja. Kau mudah sekali dibodohi.”

“Van, dia itu kalau ngomong meyakinkan sekali kalau tidak koleganya mana mungkin memilih bekerjasama dengannya. Apalagi, dia itu lady killer. Wanita mana yang tak terpikat tatapan mautnya. Kenapa saudaraku beruntung sekali mendapatkan pria seperti Justin. Andai saja aku yang jadi istri Justin, pasti aku sudah punya anak selucu ini,” terang Caca sambil mengelus-elus kepala Frray lembut. Tanpa menyadari kalau Vano sudah menatapnya tajam. Pria itu terlihat sekali tak bersahabat dari raut wajahnya yang ditekuk sehingga membuat lipatan-lipatan pada parasnya.

“Oh jadi kau tertarik dengan saudara iparmu. Pantas kau mengaku-ngaku sebagai istrinya. Kalau aku bertemu dengan saudara kembarmu akan kuadukan langsung,” ucap Vano dengan senyuman khasnya yang lebih terlihat sebagai seringaian.

Caca langsung menyipitkan matanya. Tak mampu membayangkan kalau saudara kembarnya itu mengamuk. Meski Caca tak takut dengan Afra tapi kalau ibu satu anak itu marah pasti barang-barang akan melayang kalau Caca tak bisa menghindar, celakalah dirinya.

“Jangan, Van! Aku kan hanya ingin mengerjai Levian. Kau tahu aku hanya mencintaimu seorang. Lagipula, kenapa kau bisa tahu? Jangan-jangan kau memang sudah lama mengikutiku?”

“Enak saja, aku bukan penguntit ya. Aku tadi membeli permen karet dan tak sengaja mendengar suaramu dari balik bilik. Kau tega ya mengatakanku selingkuhanmu. Aku terlalu berharga dijadikan selingkuhan,” ujar Vano dengan suara ketusnya seraya menunjukkan permen yang ia bawa di saku pakaiannya.

Caca sekarang mengerti kenapa tadi lelaki itu langsung ber-mood buruk, ketika bertemu dengannya. Seharusnya dirinya berhati-hati jika melihat Levian. Entah kenapa di mana ada Levian pasti ada Vano. Tidak di pesta, restoran, supermarket lalu besok akankah mereka bertemu kembali secara tiba-tiba tanpa direncana, tanya Caca dalam hatinya.

Tiba-tiba ada seorang ibu-ibu paruh baya bertubuh subur berkulitan, menghampiri mereka dengan kamera DSLR bersama anak remaja yang umurnya mungkin setara usia anak SMP.

“Maaf, Mbak ini Fransisca Fernandez yang dulu model shampo bukan, ya?” tanya wanita paruh baya itu antusias.

Caca mengangguk seraya tersenyum.

“Boleh minta foto bersama. Saya ngefans banget.”

Caca langsung menggendong Frray lalu memberikannya kepada Vano untuk dipangku karena ia ingin berfoto dengan ibu-ibu itu. Lalu, ibu-ibu itu meminta anaknya memfotonya bersama Caca.

“Terima kasih. Mbak ini sudah menikah, ya. Pantas jarang terlihat di televisi sekarang. Ternyata sudah punya anak setampan itu.”

Caca tersenyum.

“Maaf, Bu. Model satu ini memang sudah tidak laku lagi. Makanya jarang tampil di televisi. Saya bukan suaminya dan anak ini keponakannya,” jelas Vano yang langsung mendapat tatapan tajam dari Caca. Sungguh, dirinya dipermalukan oleh dokter muda itu.

Selepas ibu-ibu itu pergi, Caca langsung memprotes ucapan Vano.

“Apa? Perkataanku memang benar.” Vano menatap Caca serius.

“Terserah,” jawab Caca ketus.

“Frray, minumnya sudah habis. Mau pipis tidak?” tanya Vano.

“Enggak, nanti kalau mau pipis Prray bilang kok, Om.”

Vano mengangguk.

“Kalau mau pipis langsung bilang ya. Jangan ngompol di celana seperti bunda ya. Itu malu-maluin.”

Caca harus benar-benar mampu mengendalikan emosinya karena ucapan Vano, agar tidak meluap begitu saja yang nantinya akan mempermalukan dirinya sendiri.

“Unda kapan ngompol?” tanya Frray dengan tatapan lucunya.

“Waktu Bunda masih kecil kayak Frray,” bohong Caca yang tak sepenuhnya kebohongan karena wajar anak kecil ngompol.

“Bohong. Ca, kau tidak boleh mengajarkan kebohongan kepada anak kecil. Bagaimana nanti kalau kita punya anak? Apakah kau juga akan membohongi anakmu sendiri?”

“Van, aku tidak berbohong ya. Waktu kecil aku pernah ngompol. Kenapa sih kamu selalu suka merendahkanku dan membuatku kesal?”

“Karena itu aku mau menikahimu. Setiap hari aku lebih leluasa membuatmu kesal. Kau tahu kan moto hidupku. Kekesalan Permen Cha Cha adalah kebahagian untuk Vano. Setidaknya saat aku menikah denganmu aku tidak akan mati kesepian kan karena kau sangat cerewet dan suka berdebat.”

Caca mendengus sebal.

“Kau tak pernah berubah, Van.”

“Kau juga. Aku tak sabar saat menikah denganmu nanti apakah kau bisa menjadi istri yang baik atau tidak. Ingat ya, Ca. Aku ingin memiliki istri yang serba bisa. Kau harus menyapu, mengepel, mencuci pakaian, mengelap kaca, memasak.”

Caca yang mendengar itu bagai tersambar petir. Dirinya tak bisa membayangkan kuku-kukunya patah, wajah berkeringat yang akan menimbulkan banyak jerawat, punggungnya sakit karena terlalu keras bekerja.

“Van, cari pembantu saja. Kau kaya, jangan pelit.”

“Bukannya pelit, tapi aku mau istriku serba bisa. Aku tidak suka punya istri yang manja. Kalau kau tidak mau melakukan tugas seorang istri, maka aku tidak akan menikahimu,” ancam Vano yang membuat Caca mengalah.

“Baiklah. Aku akan coba.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height