Random Husband/C8 Tolong Selalu Di Sisiku!
+ Add to Library
Random Husband/C8 Tolong Selalu Di Sisiku!
+ Add to Library

C8 Tolong Selalu Di Sisiku!

*Jangan pernah tersenyum kalau hati kayak tremos. Di luar adem, di dalam panas. Lebih baik blak-blakan daripada panas dalam*

Mata Caca membulat tak percaya tatkala ia dapati keponakannya menangis. Kulitnya memerah karena gatal-gatal. Ia benar-benar kebingungan harus bagaimana. Dilihatnya dengan seksama kulit Frray.

“Sayang, tenang dulu. Ayo, kita ke rumah sakit.” Caca langsung menggendong balita itu dengan terburu-buru. Ia tak peduli dengan pakaian tidurnya yang masih dirinya kenakan. Jangan ditanya lagi, pasti perempuan ini belum mandi. Bahkan rambutnya masih berantakan.

***

Beruntungnya jalanan tak ramai sehingga gadis ini bisa sampai ke rumah sakit dengan cepat. Frray langsung dibawa ke ruang periksa. Sementara dirinya hanya menunggu di luar. Levian yang baru saja datang tak sengaja melihat Caca. Dirinya langsung mendekati perempuan itu.

“Ca,” panggil Levian halus seraya memegang pundak perempuan itu.

“Lev, Frray--” Caca tak mampu meneruskan ucapannya. Lelaki itu berusaha menenangkan gadis yang terus menangis itu. Dipeluknya perempuan itu sambil mengusap-usap punggung itu halus.

Dari ujung koridor Vano tak sengaja melihat kejadian itu. Dirinya hendak menghampiri calon istrinya. Namun, suara Syakira membuat langkahnya terhenti.

“Dok, semuanya sudah siap. Kita bisa melakukan operasi sekarang,” jelas Syakira sambil memberi data pasien.

Dengan berat hati lelaki itu merelakan calon istrinya dipeluk orang lain. Mau bagaimana lagi nyawa pasien bagi seorang dokter lebih penting dari apa pun. Meski waktu operasinya bukan emergensi, tetapi karena operasi itu elektif. Operasi yang direncanakan dengan matang atas indikasi tertentu, waktunya lebih dari 3 hari. Maka dirinya tak bisa menundanya.

Vano segera memakai pakaian operasi bewarna hijau yang berfungsi menetralkan warna darah beserta masker dan sarung tangannya. Sesampainya di ruang operasi yang bertuliskan Operatie Kamer, dirinya langsung memastikan peralatan sudah siap atau belum.

Setelah pemasangan Lead EKG, kateter urin, selang infus, dll sudah benar, lelaki itu mulai beraksi. Dirinya yang menjadi operator, yakni dokter bedah yang memimpin operasi.

“Scalpel 24,” ujar Vano pada suster yang mengatur peralatan bedahnya atau yang sering disebut scrub nurse yang berdiri di sampingnya. Gadis itu langsung memberikan pisau bedah itu kepada Vano. Dengan cekatan lelaki itu bermain dengan pisau bedah. Tak ada rasa takut sedikitpun, mungkin karena sudah terbiasa.

***

Kurang lebih empat jam proses operasi jantung itu selesai. Vano langsung mencari udara segar menenangkan pikirannya. Ingatanya kembali ke masa lalu. Di mana dia baru menyandang status dokter umum setelah tiga setengah tahun menyelesaikan studinya yang biasanya diselesaikan selama empat tahun.

“Van, kamu mau langsung lanjut ambil spesialis? emergency medic atau spesialis bedah?” tanya Aira penasaran.

“Sepertinya spesialis bedah,” jawab Vano seraya memandang langit malam.

“Bukannya kedaruratan medik lebih cepat sekolahnya, sekitar delapan semester kalau bedah kan sepuluh semester. Apa kau tidak pusing, Van? Kuliah selama itu?” Aira memandang Vano dengan pandangan serius.

“Tidak. Demi cita-cita pasti akan aku lakukan.” Vano menatap Aira lekat seraya tersenyum. Lelaki ini benar-benar yakin dengan cita-citanya.

“Kau hebatlah. Pasti kau akan sangat seksi memegang pisau bedah,” canda Aira sambil menepuk bahu Vano.

Lamat-lamat ingatannya itu memudar. Kini, dirinya kembali ke kenyataan bahwa Aira telah tiada. Dirinya rindu suara lembut sahabatnya itu yang selalu menyemangatinya.

“Ai, sepertinya baru kemarin kita wisuda,” ujar Vano pada foto yang menjadi wallpapernya.

Sikap Vano yang seperti itu membuat Syakira menitikkan air mata yang sejak tadi selalu mengamati perilaku atasannya itu.

“Kenapa selalu wanita itu yang ada dipikiranmu padahal dia sudah lama pergi,” batin Syakira.

Ponsel Vano berdering. Namun, tak ia angkat telepon dari calon istrinya itu. Dirinya masih kesal melihat kejadian beberapa jam lalu.

Syakira mencoba mendekati Vano. Dirinya memberikan sekaleng air dingin. Lelaki itu melirik sekilas yang akhirnya menerima minuman itu. Ini adalah hal langka yang pernah Syakira temui. Senyum tipis mengembang di bibirnya karena sangat senang melihat tindakan Vano barusan.

“Terima kasih,” ujar Vano tanpa memandang Syakira.

***

Caca bersyukur Justin dan Afra sudah sampai di rumah sakit. Mereka memang pulang hari ini karena besok adalah hari raya Natal. Dilihatnya Afra yang langsung memeluk anaknya yang masih tertidur.

“Kok bisa kayak gini?” tanya Justin yang miris melihat kulit anaknya yang memerah.

“Ini SJS?” ucap Afra ketakutan.

“Bukan, dia alergi almond. Kata dokter kalau mau istirahat di rumah juga bisa, tapi kan aku takut kalau kenapa-napa. Kenapa kalian kok enggak bilang dia alergi almond?”

“Mana kami tahu. Sebelumnya Frray belum pernah makan almond. Kau belum mandi ya, Ca?” tanya Justin seraya mengamati pakaian saudara iparnya yang masih menggunakan piama. Lagipula, surai hitam itu dikucir asal-asalan.

“Ya, belumlah.” Caca terkekeh.

“Dasar jorok,” ujar Afra dengan suara mengejek.

Sekarang sudah hampir jam dua belas siang, tetapi Caca belum mandi karena sedari tadi Frray rewel. Meski dia sudah menenangkannya, tetapi hasilnya nihil. Beruntungnya setelah minum obat anak itu tertidur. Setidaknya dia bisa makan dengan delivery karena dirinya tak berani kemana-mana meninggalkan Frray.

“Ya sudah, kau pulang mandi terus hubungi calon suamimu untuk segera melamarmu,” ujar Justin.

“Ayah pulang besok, Ca. Jadi kau bisa cepat menikah,” jelas Afra yang langsung disambut senyuman oleh Caca.

Gadis itu langsung terburu-buru pulang. Dirinya tak peduli dengan tatapan-tatapan orang di sekitarnya yang memandang dirinya aneh. Tepat saat di depan UGD, dirinya tak sengaja bertemu Vano yang sedang asyik berbincang dengan Syakira.

“Van,” panggil Caca dengan suara lembut.

“Apa?” jawab Vano malas.

“Aku mau bicara penting padamu.”

“Maaf, aku sibuk. Lebih baik kau pulang saja mandi. Kau seperti orang gila melarikan diri tahu,” ujar Vano seraya menggandeng tangan Syakira menjauh dari Caca.

Vano melepas gandengan Syakira setiba di depan ruang jenazah. Gadis itu langsung kebingungan kenapa atasannya mengajaknya berhenti di pintu ruang mayat. Dikiranya lelaki itu akan mengajaknya makan siang karena sekarang sudah waktunya makan siang. Lagipula, pikirnya saat melewati koridor ruang anggrek akan berbelok ke kanan ke arah kantin, nyatanya malah ke arah kiri.

“Loh, Dok kita mau ngapain?” tanya Syakira heran.

“Kemarin kan pasiennya Levian setelah sadar dari operasi, malah meneguk obat nyamuk karena dia sudah tak kuat lagi hidup dengan penyakitnya. Oleh karena itu, dokter kepala mau minta laporan rekam medisnya. Sekarang tugasmu memeriksa laporan kondisi mayat itu,” jelas Vano santai dengan menahan tawanya. Dirinya tak menyangka ekspresi Syakira bisa benar-benar kebingungan. Apalagi, ada guratan ketakutan di sana.

“Ohh, cuma itu?”

Vano mengangguk.

“Nanti setelah kau dapat data dari penjaganya jangan lupa banyak doa. Katanya kalau orang mati bunuh diri itu arwahnya tidak tenang. Apalagi, kau kan kemarin yang melihatnya terahkir kali,” jelas Vano menakuti Syakira. Kapan lagi lelaki ini bisa menjahili asistennya? Kalau bukan sekarang.

Syakira berpikir sejenak.

“Aku pergi dulu ya, Sya.” Vano menepuk bahu Syakira pelan seraya menahan tawanya. Vano yakin gadis itu, pasti ketakutan nanti. Lelaki itu langsung berlari menuju parkiran untuk segera pulang untuk mandi dan istirahat sejenak karena malamnya ia harus bekerja lagi.

Setelah mengemudikan mobilnya, netranya tak sengaja mendapati calon istrinya yang tengah berjalan mencari taksi. Ia hentikan mobilnya di tepi jalan. Kemudian, dirinya turun menghampiri Caca.

“Ca, ayo pulang,” ajak Vano ramah sambil menggandeng tangan itu.

Mata Caca menyipit tak percaya dengan perubahan sifat Vano yang begitu cepat. Dirinya hanya diam tak menjawab ucapan calon suaminya itu. Kakinya hanya melangkah mengikuti langkah Vano.

“Masuk,” pinta Vano seraya membukakan pintu untuknya.

Caca masih terdiam.

“Kau menangis?” tanya Vano tanpa memandang Caca karena harus fokus dengan jalanan.

“Tidak,” bohong Caca yang tak mau terlihat lemah.

“Matamu memerah seperti habis menangis. Jangan bilang kau menangis karena aku menggandeng tangan Syakira?”

“Tidak, sebelum bertemu denganmu aku sudah menangis. Apa kau tidak melihatnya tadi? Oh iya, kau cocok dengan perawat itu. Kenapa kau tidak menikah dengannya saja,” ucap Caca meniru gaya bicara Vano yang selalu menyudutkannya yang serasi dengan Levian.

“Banyak orang yang bicara seperti itu dari dulu dan aku pikir kami memang serasi. Pasti menyenangkan memiliki istri satu kerjaan, tetapi aku punya satu alasan untuk tidak menjadikan dia istriku,” ungkap Vano tanpa merasa bersalah.

Lelaki itu menghela napas sejenak.

“Jujur, Ca. Kau satu-satunya wanita yang sangat kukenal dan mengenalku dengan baik saat ini, jadi aku memilihmu menjadi istriku karena kau sudah tahu sifat baik maupun burukku. Jadi, aku tidak perlu berpura-pura manis atau romantis karena itu bukan gayaku. Bunga, cokelat, makan malam romantis atau apalah itu sangat menyebalkan.” Vano berujar dengan santainya tanpa berpikir panjang kalau hal itu akan melukai hati Caca.

Caca mendesis sebal. Dirinya selalu kalah jika beradu argumen dengan Vano.

“Saking tidak romantisnya kau memberikan cincin orang lain untukku. Apa saat kau pacaran dengan Ziffany juga menyebalkan seperti ini?” sindir

Caca kesal. Dirinya berharap Vano bisa lebih sedikit mengerti perasaannya sebagai wanita yang ingin dicintai dan disayangi sepenuh hati.

Vano menoleh sekilas memandang Caca selagi lampu masih merah.

“Kau tanyakan saja pada Ziffany. Aku tidak mau mengingatnya itu terlalu manis dan berakhir menyakitkan. Mungkin jika kecelakaan itu tak terjadi aku sudah menikah dengan Ziffany.” Vano sebenarnya malas membahas hal itu lagi. Namun, pasti Caca akan selalu membahasnya.

“Dan tidak pernah mencintai Aira,” batin Vano.

Caca masih penasaran dengan kisah cinta Vano dengan sahabatnya itu. Rasanya itu sungguh keajaiban Vano dan Ziffany bisa berpacaran. Sewaktu SMA saja Ziffany tidak tertarik dengan Vano malah bisa dikatakan haters. Sewaktu Caca mendengar mereka jadian waktu kuliah, ia merasa itu hanya gosip. Namun, beberapa waktu yang lalu dia baru tahu kalau itu benar.

“Aku heran. Bukannya Ziffany itu anti denganmu waktu SMA?” Caca menatap Vano lekat.

“Dari sejak SMA, kami sudah dekat. Kau tahu wanita itu memang seperti itu. Malu-malu kucing. Perempuan yang tidak tahu malu itu yang kukenal cuma ada dua. Kau dan Syakira. Kalau kau terang-terangan mengejar takhta dan harta dan Syakira terang-terangan mengejarku meski sudah ditolak ribuan kali.” Setelah mengucapkan hal itu, Vano terkekeh.

Caca mengerucutkan bibirnya sebal.

“Aku kan jujur, Van. Munafik kalau orang tidak suka takhta dan harta. Tanpa uang kita tidak bisa hidup,” jelas Caca yang tak terima direndahjan.

“Waktu kecil aku pernah melihat seseorang ibu menangis karena tidak bisa membawa bayinya pulang dari rumah sakit. Uang ibu itu tak cukup membayar biaya persalinan. Waktu itu ayahku membantunya karena kasihan dan beliau mengatakan padaku, kalau kita punya banyak uang, kita bisa membantu sesama. Ayahku mengatakan orang yang punya harta dan takhta pasti disegani, tapi bagi mereka yang tidak pasti tak dihormati. Itu faktanya, Van,” lanjut Caca dengan penekanan di akhir ucapannya.

Vano mengangguk mengerti.

Caca memang suka takhta dan harta, dengan uang ia bisa membeli barang apa saja. Namun, tidak semua uangnya dirinya hamburkan untuk kesenangan semata. Sebagian uangnya ia sumbangkan untuk orang yang tidak mampu.

***

Hari ini Caca bahagia sekali karena Vano akan melamarnya. Dirinya berencana untuk menyajikan hidangan untuk calon mertuanya, sehingga Justin harus meluangkan waktunya untuk mengajari saudara iparnya itu memasak.

“Kau mau membuat apa, Ca?” tanya Justin sambil berdoa berharap tidak ada kekacauan setelah ini.

“Aku mau buat macaroon,” jawab Caca antusias.

Justin mengangguk. Dirinya langsung menyiapkan bahan-bahanya seperti, gula halus, gula pasir, tepung almond, putih telur. Afra dan Frray hanya menyaksikan Caca dan Justin memasak seraya menikmati cokelat buatan Afra semalam.

“Kau blender tepung almond dan gula halusnya ya, Ca!” perintah Justin lembut sambi menunjuk bahan-bahannya.

Caca mengangguk. Dirinya langsung memblender bahan tersebut. Namun, tepungnya tercecer.

“Ca, kau jorok sekali. Cara memasukkan tepungnya pakai takaran seperti yang ada dalam resep. Kalau mejanya kotor langsung dilap,” jelas Justin langsung mengelap mejanya.

Caca hanya tersenyum karena bingung. Sementara Afra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sekarang apalagi, Jus?” tanya Caca tak sabaran.

“Aku saja yang mixer. Nanti kau yang memasukkan adonan ke dalam piping bag, sama menyemprotkannya ke loyang yg sudah diberi kertas roti berpola.” Justin pun beraksi dengan bahan-bahan. Begitu cekatan sehingga membuat Caca membuka mulutnya lebar-lebar karena tak percaya, kalau Justin benar-benar hebat dalam urusan dapur.

Akhirnya, selesai juga mereka membuat macaroon. Caca langsung mencicipinya.

“Enak, Jus.” Tak disangka Caca yang semula hanya mencicipi malah sudah habis satu loyang.

“Ca, bagi-bagi juga dong. Kau ini malah dimakan sendiri,” ujar Afra sambil mengambil piring di tangan Caca.

“Ya, maaf. Ini enak sekali.” Caca tersenyum lebar seperti anak kecil.

***

Waktu yang ditunggu pun akhirnya tiba. Vano sudah datang bersama ayahnya untuk melamar Caca. Keluarga Caca menyambut mereka hangat. Namun, tidak dengan ayah Caca.

“Maksud kedatangan kami kemari karena putra saya ingin melamar putri Anda,” jelas Tuan Gabriel dengan suara tegas.

“Saya senang sekali, jika bisa berbesanan dengan Dek Gabriel, tapi masalahnya begini apa anak Dek Gabriel ini serius dengan putri saya?” tanya Tuan Richard ragu. Pasalnya, lelaki paruh baya ini tahu masa lalu Vano yang tidak diketahui putrinya karena pemuda itu adalah keponakan temannya.

“Saya serius, Om. Saya ingin meminang Caca,” jawab Vano mantap.

“Saya takut jika tragedi masa lalu terulang lagi. Waktu itu saya kaget ketika datang di acara resepsi kok nama yang tertera di undangan berbeda dengan orang yang mengucap janji suci di atas altar. Katanya Nak Vano yang mau nikah kok malah anaknya Gerald yang jadi mempelainya. Saya dengar Nak Vano kabur dari acara pemberkatan karena ada wanita lain. Apa kamu benar yakin ingin menikahi putri saya dan tidak mengulang kejadian masa lalu?” Tuan Richard pun menatap Vano lekat. Setiap deretan kalimat yang keluar dari bibirnya membuat Vano bimbang akan jawaban yang ingin ia lontarkan.

“Semua orang pasti punya kesalahan, Om. Saya benar serius ingin menikahi putri, Om,” tegas Vano meski dirinya juga masih gamang.

“Kamu juga berkata begitu kan beberapa tahun lalu ketika melamar wanita itu. Maaf, saya masih tidak yakin dengan keputusan, Nak Vano.” Tuan Richard menolak secara halus karena ia takut kalau Caca hanya akan mendapatkan luka, jika bersama Vano. Pria paruh baya ini bisa melihat keraguan di mata Vano meski samar.

Caca menahan tangis. Dia tak menyangka ayahnya tak akan memberikan restu. Padahal selama ini ayahnya selalu memberikan apa yang ia mau.

“Kalau begitu kami pamit,” ujar Tuan Gabriel seraya membungkuk hormat. Pria ini langsung menggandeng tangan anaknya.

Vano hanya diam, lalu pergi. Dirinya merasa ucapan ayah Caca itu benar kalau keputusannya itu tidak mudah diterima karena perbuatannya dimasa lalu yang pergi begitu saja dari altar. Meski begitu lelaki itu tak menyesal melakukannya karena wanita yang akan ia nikahi dahulu lebih pantas bersanding dengan saudaranya. Lagipula, mereka saling mencintai dan dirinya mencintai Aira.

“Ayah, aku sangat mencintai Vano. Kenapa ayah tega denganku, menolak pinangannya?” ungkap Caca yang mulai menitikkan air mata.

“Ayah bisa melihat di matanya tidak ada cinta untukmu. Ayah tidak mau kau terluka,” jelas Tuan Richard dengan tatapan penuh harap Caca mengerti kalau dirinya sangat takut, bila anak bungsunya terluka.

“Ayah kami saling mencintai. Bahkan aku sedang mengandung anaknya!” teriak Caca sambil meremas bajunya.

“Kamu bohong?” Tuan Fernandez menatap lekat putrinya yang terisak itu.

“Sayangnya itu benar, Ayah. Kalau tidak percaya tanya Justin dan Afra. Mereka yang mengantarkanku ke dokter kandungan.” Caca langsung memandang lekat pasangan itu. Dirinya berharap sekali mereka membantunya.

Tuan Fernandez langsung mengalihkan pandangannya ke arah Justin dan Afra. Afra hanya diam karena bingung ingin menjawab apa.

“Itu benar, Ayah,” jawab Justin mantap.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height