Random Wife/C1 Keadaan Tak Terduga
+ Add to Library
Random Wife/C1 Keadaan Tak Terduga
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Keadaan Tak Terduga

-Ketampanan dan kemapanan seorang pria, pasti akan luntur begitu saja kalau memiliki tingkat kepelitan yang tinggi-

“Bang, gimana nih, motornya kok enggak hidup-hidup?” tanya Indira dengan raut wajah lesu, ia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7.48. Dirinya takut terlambat, sehingga mendapat omelan Fabian.

“Aduh, Mbak ... sepertinya ini butuh waktu lama. Mbak cari taksi atau pesan gojek lain aja,” kata Abang gojek itu dengan ragu, takut Indira marah-marah.

“Ya udahlah,” Indira langsung berjalan dengan raut wajah kesal, ia terus menggerutu.

Di dekat taman, Indira melepas hak tingginya, buru-buru ia ganti dengan sepatu kets yang dibawanya dalam tote bag yang ia jinjing. Perempuan ini memang suka membawa sepatu kesayangannya karena tidak nyaman menggunakan hak tinggi. Lalu, ia berlari--tidak peduli kalau ada yang memperhatikannya.

Suara lagu “Cinta Suci” mengalun dari ponsel jadulnya. Ia langsung berhenti untuk membuka tas yang ternyata terdapat panggilan dari sang bos. Belum sempat ia menjawab, sambungan telepon itu terputus. Dan, pesan singkat menyusul.

Bos Pelit

Saya tadi WA kamu tapi kok √, saya telepon kok enggak diangkat. Kamu niat kerja enggak, sih?

Dihubungin kok sulit. Kakek saya yang dokter aja enggak sesibuk kamu. Ayah saya yang direktur utama aja selalu bisa saya hubungi.

Kalau kamu enggak niat kerja, resign aja, biar saya enggak perlu ngasih pesangon.

Indira memelototkan matanya, ia sangat kesal dengan Fabian yang tidak ada basa-basi, langsung mengatakan kalau dirinya lebih baik resign. Bukannya sok sibuk, tapi ponsel android-nya tertinggal di kontrakannya tadi. Dirinya hanya membawa ponsel biasa yang tidak ada aplikasi internet--hanya menelpon dan sms.

“Kok ada ya bos sebawel dan sepelit ini. Kirain mau kasih tahu hal penting, eh ternyata cuma ngomel kenapa enggak bisa dihubungi,” Indira berkacak pinggang.

“Ya saya mau nghubungin kamu, pastinya ada urusan penting,” Fabian menatap Indira dingin.

Indira meneguk salivanya, begitu mendengar suara yang familier. Jantungnya berdegup dengan kencang seketika. Untungnya, ia tidak menyumpah serapahi Fabian kalau tidak habislah sudah riwayatnya.

Indira langsung memasang senyum, begitu membalikkan tubuhnya. Dan, mendapati sosok Fabian yang tengah memasukkan kedua tangannya dalam saku.

“Eh, Bapak,” Indira mengulurkan tangan kanannya yang membuat Fabian mengernyit.

“Mau ngapain?”

“Salaman, Pak.”

Fabian mengerti maksud Indira, tapi ia bingung kenapa Indira mau melakukan hal itu. Meski ragu Fabian tetap mengulurkan tangan kanannya.

Indira langsung menjabat tangan Fabian, “Mohon maaf ya, Pak. Maaf sering nyusahin.”

“Emang kamu ngelakuin kesalahan apa lagi?”

“Lah menurut Bapak kan setiap hari saya nyusahin Bapak mulu. Padahal hari minggu, saya enggak ketemu Bapak, tapi Bapak bilang saya nyusahin Bapak.”

“Itu mah fakta. Ya udah lupain aja. Ayo berangkat, keburu macet jalannya,” ajak Fabian seraya mengandeng Indira menuju mobil. Indira hanya mengikuti intruksi sang atasan seraya memasang raut wajah berseri-seri. Padahal dalam hati, ia sibuk mengumpat.

Fabian langsung membuka pintu di samping kemudi yang membuat Indira terheran-heran. Bukan seperti film di televisi yang biasanya si pria membukakan pintu untuk wanitanya, ini tidak. Fabian membuka pintu untuk dirinya sendiri yang membuat Indira mematung. Pasalnya kalau Fabian di kursi sebelah kemudi, berarti dia yang harus menyetir.

“Pak, ini saya yang nyetir?” tanya Indira seraya mencondongkan kepalanya menghadap ke arah Fabian yang sudah duduk di kursi.

Fabian tersenyum, “Iya, makanya tadi saya WA sama nelpon kamu berulang-ulang buat nganterin saya ke kantor. Sopir saya kan cuti, jadi kamu yang harus nyetiran mobil saya ke kantor.”

Indira meringis, “Bapak bisa aja, tapi gaji saya naik, kan?”

“Enak aja, kamu aja telat mulu. Masih untung enggak saya potong gaji.”

“Dasar perhitungan, pelit,” cibir Indira dengan suara lembut seraya menutup pintu yang suaranya masih didengar Fabian.

“Kalau saya enggak pelit, saya enggak kaya dong.”

***

Begitu sampai di kantor, banyak pegawai yang menyapa Fabian, tapi tidak ada satupun yang menyapa Indira. Perempuan itu sudah biasa diabaikan oleh orang sekitar karena kenyataan dirinya hanyalah seorang kacung Fabian yang dibungkus dengan embel-embel sekretaris--pekerjaannya tidak wajar untuk kategori sekretaris--seperti pekerja serabutan saja, dia harus melakukan ini-itu di luar jabatannya. Seperti tadi contohnya, menjadi sopir dadakan.

“Dir, jalan cepat kenapa. Lemot amat sih,” gerutu Fabian yang sudah sampai di depan pintu ruangannya.

“Iya, Pak,” sahut Indira dengan nada lembut. Perempuan ini langsung berjalan cepat untuk menyusul Fabian.

Indira langsung menyodorkan berkas-berkas Fabian yang dibawanya atas perintah lelaki itu tadi. “Ini berkasnya, Pak.”

Fabian berdeham, “Hari ini saya ada rapat sama klien enggak?” tanyanya memastikan.

“Seingat saya enggak, Pak. Nanti saya cek lagi.”

“Sekalian dilihat, saya punya jadwal ke luar kota enggak bulan ini.”

“Kayaknya enggak ada deh. Kenapa sih, Pak?”

Fabian tersenyum yang langsung membuat Indira mengernyit. Jarang lelaki ini tersenyum manis seperti itu, kalau bukan ada sesuatu yang menguntungkannya.

“Saya mau nikah dalam waktu dekat ini,” katanya dengan santai. Kontan manik mata Indira membulat seketika. Ia tidak percaya kalau Fabian mau menikah. Setahunya, lelaki itu tidak memiliki kekasih, apalagi calon istri.

“Bapak dijodohin, ya,” duga Indira dengan mantap. Tidak mungkin ia salah kira, mana sempat Fabian mencari calon istri. Beli keperluan apartemen, pasti Indira yang membelikan.

“Ngarang kamu. Emang ini zaman Siti Nurbaya.” Fabian tersenyum sinis, “kamu pikir, saya enggak laku, ya.”

“Emang harus enggak laku dulu ya, kalau mau dijodohkan?” Indira berkata dengan cuek, tak peduli Fabian tersinggung atau tidak. “Bapak kan super sibuk, mana sempat cari calon istri. Orang beli dalaman saja, saya yang disuruh beli. Padahal, zaman sekarang ada olshop. Oh iya, Bapak kan udah tua, mana tahu cara main Shopee, Bukalapak, Tokopedia, Lazada, dan sejenisnya,” cibir Indira dengan senyuman yang tak kalah sinis.

“In.di.ra!” Fabian menunjuk wajah Indira dengan geram, “kamu kok enggak sopan. Saya potong gaji kamu!”

“Ealah, Pak. Mana yang enggak sopan? Bapak itu yang enggak sopan, nyuruh saya beli dalaman.”

“Tadi, kamu ngatain saya tua, terus secara enggak langsung ngatain saya ketinggalan zaman juga.” Fabian menatap kesal Indira, “eh, saya cuma sekali titip dalaman. Itu juga gara-gara kesalahan kamu.”

Indira menggeleng. “Kok salah saya. Bapak ini enggak tahu terima kasih, ya.”

“Ya, salah kamu. Kamu yang asal ngatur jadwal saya. Kan, saya udah bilang kalau sebelum ke luar kota, pastiin enggak ada jadwal rapat di hari itu. Jadi, saya keburu-buru hari itu. Asal packing baju. Kamu juga saya perintahin buat packing baju, malah tidur di ruang tamu, setelah nghabisin isi kulkas saya.”

“Ya itu kan bukan tugas resmi saya. Lagi pula, salah Bapak enggak kasih makan saya. Saya lapar, terus makan. Karena kenyang, ya tidur. Lagi pula, tugas packing itu seharusnya tugas istri Bapak, kalau Bapak enggak sanggup. Suruh siapa enggak laku, makanya enggak nikah-nikah.”

“Saya bukannya enggak laku, tapi saya pilih-pilih, ya. Kebanyakan yang deketin saya tuh ceweknya pada matre. Kalau ada yang baik udah pada punya gandengan.”

Indira menyebikkan bibir, ia yakin itu hanya alasan Fabian. “Pak, cewek matre itu wajar. Kan butuh dinafkahi, wajar kali kalau melek sama duit. Bapak aja yang terlalu perhitungan. Pak, jadi orang jangan terlalu pelit, nanti kuburannya sempit, lho.”

“Saya bukannya perhitungan atau pelit, cuma hemat. Hemat pangkal kaya. Kalau pemborosan itu cikal bakal kemiskinan.” Fabian tersenyum bangga.

Indira membelalakkan matanya, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Fabian terlalu percaya diri. Padahal ia sangat tahu, kalau atasannya ini sangat perhitungan. Pelitnya bukan main.

“Tadi, ngaku pelit. Sekarang, bilang hemat. Terserah deh, Pak. Mau Bapak pelit atau hemat, saya jarang naik gaji. Kapan saya naik gaji?” Indira memasang raut wajah memelas. Berharap ada keajaiban yang membuat Fabian baik hati memberikan kenaikan upah yang sepadan dengan kerja kerasnya selama ini.

“Kalau saya udah nikah, nanti gaji kamu naik sebagai rasa syukur saya.”

“Beneran, Pak?”

Fabian menggangguk.

“Kapan Bapak nikah? Nanti saya atur jadwal Bapak sama klien biar enggak tubrukan.”

“Saya enggak tahu, pengennya secepatnya. Masalahnya, saya belum nemu calon istri.”

Binar mata yang sempat terlihat di netra Indira meredup seketika. Berganti tatapan lesu. Seharusnya, perempuan ini sudah menduga kalau lelaki seperti Fabian itu tidak punya kekasih. Otaknya hanya berisi uang saja, makanya sibuk bekerja untuk memupuk kekayaan.

“Nah, makanya saya minta tolong sama kamu untuk cariin saya calon istri. Kalau susah, cariin calon istri bohongan aja, biar saya punya gandengan besok waktu ulang tahun perusahaan.”

“Emang saya biro jodoh. Saya sendiri saja belum nemu,” Indira menekuk wajahnya.

“Ya udah, nikah sama saya aja.”

Indira langsung melotot dan menyilangkan tangannya di depan dada, “Nope, Pak. Nope, saya enggak mau.”

“Lah kok nolak, sih. Saya kurang apa? Tampan iya, mapan iya, setia iya.”

“Pak, ketampanan dan kemapanan seorang pria akan luntur kalau memiliki tingkat kepelitan yang tinggi. 1Baguse mboten kagem, Pak.”

“Saya enggak pelit, kok, kalau sama keluarga, apalagi istri sendiri. Lah, saya kerja keras kan buat anak dan istri saya kelak,” elak Fabian dengan raut wajah serius.

“Beneran? Saya enggak percaya. Saya ini udah empat tahun jadi sekretaris Bapak. Selama ini, enggak ada tanda-tanda yang membuktikan kalau Bapak enggak pelit sama keluarga,” Indira masih ingat betul kalau Fabian dengan saudara perempuannya saja perhitungan. Buktinya, acapkali saudara kembar lelaki itu yang mengeluarkan uang untuk mentraktir makan siang atau apa.

“Kapan saya pelit sama keluarga saya?” Fabian mengerutkan dahinya, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

“Bapak aja sering pelit sama kembaran sendiri. Buktinya, kalau saudara Bapak ke sini, mau ngajak makan siang, pasti yang bayar tagihan saudara Bapak,” ungkap Indira dengan senyum menyibir.

“Itu kan karena adik saya yang maksa, jadi dia yang bayar. Kalau dia enggak maksa, pasti saya yang bayar,” sangkal Fabian.

Indira menggeleng. Ia tahu itu hanya alasan Fabian karena faktanya memang lelaki itu sangat pelit.

“Pak, adik Bapak maksa yang bayar karena dia tahu, kalau Bapak itu pelit. Pasti enggak mau, kalau diajak makan di restoran mewah. Kalau misalnya Bapak mau diajak keluar makan, pasti ngajaknya ke angkringan di pinggir jalan,” Indira hafal betul kalau Fabian itu tidak mau mengeluarkan uang banyak untuk membahagiakan seseorang. Karena di dahinya sudah tersirat kata “pelit”.

“Itu mah salahin adik saya aja yang gengsian makan di angkringan. Kan saya orangnya merakyat, Dir. Justru, saya harusnya dipuji,” bangganya dengan senyum tanpa dosa.

Indira menggelengkan kepalanya. Kalau bos lain makan di angkringan, mungkin benar memang merakyat, kalau Fabian sudah dipastikan untuk menghemat pengeluaran.

“Ngapain dipuji, orang jelas Bapak itu pelit. Beli parfum aja masih nawar, padahal udah jelas harga pas. Bapak itu malu-maluin saya,” keluh Indira yang ingat benar saat mereka ke luar kota dan mampir di toko parfum, Fabian mencoba menawar dengan sang pramuaniaga yang berujung mereka hampir diusir satpam.

“Saya ini orangnya sederhana enggak aneh-aneh, makanya patut dipuji,” kekeh Fabian yang merasa dirinya baik menerima pujian, “itu kan saya tawar karena mahal amat. Masa parfum kayak gitu 3 juta. Saya biasanya beli parfum paling mahal 500 ribu, kadang saya pakai punya ayah saya yang parfumnya mahal, kalau ada acara penting.”

“Suruh siapa Bapak aneh-aneh, biasanya aja pakai parfum yang seratus ribu tiga. Sok mau beli parfum yang harganya jutaan.”

“Enak aja, saya pakai parfum paling enggak harganya RP 198.000 itu saja diskon cuma 1 % dari Rp 200.000. Pelit ya, yang jualan. Masa diskon kok cuma dua ribu rupiah,” kesalnya.

“Masih mending itu diskon dua ribu rupiah, Bapak jualan belum tentu diskon. Kan, kepelitan yang hakiki ada di dalam diri Bapak.”

“Saya ini dari kecil udah diajari untuk hidup hemat, meski anak orang kaya, bukan berarti bisa hambur-hamburin uang. Makanya, saya bisa menghemat kebutuhan saya sampai sekarang. Saya enggak pelit, cuma hemat,” tekannya sekali lagi.

Indira dalam hati merapalkan unek-uneknya, yang tak mungkin ia sampaikan secara frontal langsung di hadapan Fabian.

“Maaf ya, Pak. Faktanya, hampir lima tahun saya kerja sama Bapak, tapi Pak Fabian jarang ngasih saya bonus. Padahal, kerjaan saya banyak loh.”

“Ngapain kasih bonus, kalau kerjaan kamu suka enggak bener. Kamu aja sering telat ke kantor, malah kadang saya lihat kamu tidur. Lagian gaji kamu banyak, udah di atas UMR.”

“Bapak, saya enggak fokus kerja atau sering telat itu kan saya kecapekan. Saya kecapekan karena bukan hanya menjadi sekretaris Bapak saja. Tapi, merangkap menjadi kacung dan babysitter. Masa urusan rumah saya yang nanganin. Urusan pasangan juga, saya yang harus cariin. Bapak kok semena-mena sama saya,” celetuk Indira gemas.

“Saya kan percayanya sama kamu. Makanya, saya suruh kamu ini-itu, bukan mau nyiksa kamu, tapi saya itu enggak mudah percaya sama orang. Soalnya, udah banyak yang sering manfaatin saya. Cuma kamu yang tulus sama saya, meski suka ngeyel, berisik, tapi akhirnya kamu juga nurut. Pokoknya, kamu itu pegawai terbaik yang saya punya,” aku Fabian tulus. Ia memang sangat mempercayai Indira. Makanya, hampir semua sifat buruk yang ada dalam dirinya, Indira tahu karena Fabian tidak pernah menutupinya, walau dia yakin seratus persen kalau dirinya orang baik dan patut mendapatkan pujian.

“Itu mah enak di Bapak. Enggak enak di saya. Bapak suka semena-mena sama saya. Gara-gara Bapak saya jomlo sampai sekarang,” gerutu Indira yang mengingat setiap ia mencoba kencan, pasti gagal. Itu semua gara-gara Fabian yang selalu merocokinya dengan menghubunginya terus. Kalau tidak lelaki itu malah menyusul, merusak kencannya. Acapkali Fabian menjelek-jelekkan dirinya di hadapan teman kencannya. Mengatakan kalau Indira pemalas, suka terlambat ke kantor, jarang mandi, suka pakai pakaian yang berantakan karena bangun kesiangan, bawel, dan tukang kentut sembarangan. Padahal yang terakhir itu tidak benar. Fabian suka melebih-lebihkan.

“Ya udah, saya tanggung jawab deh. Ayo, nikah sama saya!”

“Kalau saya nikah sama Bapak, pasti saya ini kerja rodi. Kerjanya jadi berlipat-lipat. Bapak itu kan bossy. Saya enggak mau jadi kacung seumur hidup.”

“Ya enggaklah, kamu pasti saya perlakuin dengan baik. Saya sayangi sepenuh hati,” janjinya yang entah janji palsu atau apa.

“Saya tanya dulu! Menurut Bapak saya cantik enggak?” Indira menatap Fabian lekat, penasaran dengan jawaban bosnya itu.

“Jujur, ya. Enggak sama sekali. Bentukan kamu aja kayak gini,” Fabian menatap Indira dari bawah sampai atas. Benar-benar bukan seleranya. Penampilan perempuan itu terlalu old fashion, rambutnya selalu digelung, celana kedodoran yang selalu menutupi kaki jenjangnya, kacamata burung hantu juga menghiasi wajahnya. Belum lagi, kalau Indira terlambat bajunya kusut seperti tidak disetrika, wajah tanpa riasan. Dan, jangan lupakan perempuan itu sering menganti hak tingginya dengan sepatu kalau terburu-buru atau merasa kakinya kesakitan, padahal Fabian selalu mengomelinya kalau menggunakan sepatu kets.

Indira ingin mengumpat begitu mendengar jawaban sang bos. Apalagi, cara Fabian yang memandangnya dengan rendah.

“Lalu, Bapak cinta enggak sama saya?”

Fabian menggeleng.

“Mohon maaf, saya benar-benar tidak bisa menerima Bapak. Soalnya yang saling mencintai saja bisa selingkuh. Apalagi, kalau Bapak enggak cinta sama saya dan di mata Bapak saya enggak menarik sama sekali. Bisa-bisa Bapak mencari wanita lain lagi. Toh Bapak tampan dan mapan,” Indira beralasan selogis mungkin agar Fabian tidak memaksanya. Tanpa mencari alasan seperti itu saja, dia sudah tidak suka dengan lelaki itu karena sifat dan sikapnya.

“Saya enggak suka main gelap kayak gitu. Lagian, saya enggak selera cewek murahan yang mau dijadikan selingkuhan. Saya ini orang berkelas. Cuma orang bodoh yang memilih istri terus disakiti.”

Fabian mana sempat mencari selingkuhan. Ia terlalu sibuk dengan kedudukannya. Makanya, ia mau cari istri yang seprofesi--yang tahu dunia bisnis itu seperti apa agar mengerti dirinya.

“Lagian ya, kalau masalah cantik itu mah gampang. Semua perempuan cantik kok pada dasarnya, cuma bisa ngerawat atau enggak. Kamu dipoles dikit nanti juga cantik, kalau kurang nanti perawatan mahal atau operasi plastik juga enggak pa-pa. Saya rela keluar uang banyak kok kalau buat bahagiain istri.”

“Yakin, Pak? Bapak bakal ngeluarin uang banyak buat perawatan istri Bapak?”

“Iya,” jawabnya mantap, “lagi pula, kalau punya simpanan atau selingkuhan itu juga keluar banyak uang. Biasanya yang enggak sah itu malah ngerepotin dan banyak nuntutnya. Mending ngerawat istri sendiri yang siap nemenin dan ngerawat suami dua puluh empat jam.”

Indira tahu kalau lelaki seperti Fabian tidak mungkin punya selingkuhan. Dirinya hanya mencari alasan saja agar tak terjerat oleh bujukan bosnya itu.

“Sekali pelit, ya pelit. Saya tahu Bapak enggak suka main perempuan, karena sayang uang. Bapak lebih cinta takhta dan harta daripada wanita. Ckckck....”

“Bukan gitu juga. Saya ini memang pria baik-baik dan berkelas. Main perempuan itu juga banyak buruknya. Nanti pasti ada yang terluka, orang tua saya jadi kecewa, belum lagi nanti kena penyakit mengerikan, terus buang-buang uang lagi.”

Indira hanya tersenyum masam.

“Dir, apa salahnya sih suka uang?” Fabian menatap lesu Indira. Ia menunggu jawaban tapi tak kunjung dijawab. “Uang memang bukan segala-galanya, tapi segala-galanya butuh uang. Semua orang juga suka dan butuh uang. Dir, kamu aja minta kenaikan gaji, kalau enggak suka uang, enggak mungkin, kan?”

***

Ket ‘1: Gantengnya nggak kepakai, Pak.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height