Random Wife/C10 Butiran Debu
+ Add to Library
Random Wife/C10 Butiran Debu
+ Add to Library

C10 Butiran Debu

“Dir, kamu lihatin apa sih?” tanya Fabian seraya mencolek lengan Indira untuk membuyarkan lamunan wanita di sebelahnya.

“I ... i, ya,” Indira menoleh ke arah Fabian.

“Kamu kenapa sih dari tadi lihat ke arah sana,” Fabian menujuk ke arah pohon tatebuya.

Indira menarik napas dalam-dalam seraya mengatur perasaannya. “Dulu, saya pernah berteduh di bawah pohon itu,” Indira menunjuk dengan tatapan sesantai mungkin.

“Terus?” Fabian semakin penasaran melihat perubahan ekspresi Indira.

“Ya, saya pernah berteduh saja,” Indira tak sanggup mengatakan semua yang terjadi pada hari itu. Di mana, ia harus berpisah dengan pujaan hatinya. Lelaki yang menjadi cinta pertamanya, pamit pergi untuk menempuh pendidikan di luar negeri, tapi sampai sekarang tak pernah memberi kabar.

“Masa cuma berteduh doang? Kayaknya ada sesuatu deh?” selidik Fabian dengan raut wajah serius. Ia mengenggam tangan Indira. “Enggak kenapa-kenapa sih, kamu enggak mau cerita. Tapi, kalau kamu punya masalah, cerita aja ke saya. Siapa tahu, saya bisa kasih solusi.”

“Bapak mah mana mungkin kasih solusi, bisanya cari masalah. Mana ada sejarahnya, Fabian Gabrilio menyelesaikan masalah. Bapak itu terbanding terbalik dengan moto pegadaian,” sahut Indira asal, mencoba mencairkan suasana seperti biasa.

Fabian menekuk raut wajahnya. Ia terlihat lesu karena Indira masih saja tak mempercayainya. “Saya ini serius mau bantu, Dir. Lagian, kenapa bisa saya dibandingin sama pegadaian?”

“Bapak itu kan sering menciptakan masalah, terus menambah masalah. Kalau pegadaian punya moto, mengatasi masalah, tanpa masalah. Makanya saya bandingin sama pegadaian. Kapan Bapak enggak bikin masalah?” Indira mengambil buku catatan di tasnya. Ia buka beberapa lembar tulisan yang bertinta biru--menunjukkan semua masalah Fabian yang ia selesaikan.

Fabian mengambil buku catatan Indira, lalu menatapnya saksama. Ia tidak menyangka kalau daftar kesalahannya dicatat pula oleh Indira. Dibacanya semua masalah yang pernah diciptakannya dari masalah dengan adiknya, hingga mencari jodoh yang salah, semua terselesaikan karena bantuan dari Indira.

“Saya berasa buka catatan dosa. Kenapa semuanya dicatat juga. Kamu kan harusnya, catat jadwal saya aja. Kalau ada lebihnya, catat nama saya di hati kamu,” Fabian tersenyum seraya mengembalikan buku catatan milik Indira.

“Mulai lagi, kan. Dasar Ciripa! Ya, saya catat kalau Bapak lupa, biar ada buktinya.”

“Aish, saya bukan Ciripa. Ciripa kan anjing. Kalau saya Ciripa, kamu siapa? Masa Dulce Maria. Saya peliharaan, dong. Saya enggak terima, ini penghinaan. Kamu harus dihukum!”

“Hukum apa? Saya kan, bukan sekretaris Bapak lagi. Enak aja main hukum. Lagian Ciripa itu imut mengemaskan, Bapak menyebalkan. Masih mending saya panggil Ciripa, mau saya panggil Kolor Abu Abu?”

“Ya, saya hukum kamu jadi istri saya seumur hidup. Mau hukum apa lagi coba, kalau bukan mempercepat pernikahan kita.” Fabian tersenyum penuh arti. “Dir, kamu kan janji mau panggil saya ‘Mas’. Kok masih panggil saya Bapak, malah tadi mau dipanggil Kolor Abu Abu. Masa saya yang tampan disamain sama daleman.”

“Saya panggil Mas, kalau Bapak sudah taubat, enggak pelit lagi. Lagian, Bapak kan udah tua. Cocok aja dipanggil Bapak Fabian.” Indira membenarkan poninya, lalu menengok kembali ke arah Fabian. “Kolor Abu Abu itu bukan daleman, tapi jin. Jin peliharaan.”

“Eh serius jin? Itu kamu enggak ngarang lagi, kan.” Fabian memasang raut wajah curiga.

“Iya, itu jin. Jin peliharaan punya Lanav Ayudia yang katanya hilang entah ke mana.”

“Lanav Ayudia itu siapa?” Fabian menatap Indira penuh dengan keingintahuan.

“Tokoh cerita di dalam ceritanya Mama El. Si Lanav Ayudia ini bisa lihat makhluk ghaib, salah satunya jin tadi. Si jin malah sering ikut main monopoli, catur, sama halma.”

Fabian mengerucutkan bibirnya. Ia telah percaya dan serius ingin mendengar cerita Indira, tapi lagi-lagi itu hanyalah cerita dalam novel karangan mamanya. Dirinya langsung menggelengkan kepalanya.

“Saya kirain benar ada. Lagi-lagi cerita mama saya. Kamu benar-benar Elrus, ya.”

“Elrus?” Indira mengernyitkan dahinya.

“Elrus itu nama penggemar cerita mama saya. Elrus singkatan dari Elina virus.”

Indira yang mendengar penjelasan Fabian malah tertawa. Pasalnya, ia baru mendengar nama fans klub, ada kata virusnya. Biasanya lovers.

“Kamu kok ketawa? Sebenarnya enggak masalah sih kamu mau ketawa. Tambah cantik, kok.”

“Ya, lucu aja. Nama penggemarnya ada kata virusnya. Mama Bapak emamg humoris, ya.”

“Kata mama saya biar enggak mainstream nama penggemarnya Elrus, kalau haters Anelrus. Saya kira kamu udah tahu Elrus. Soalnya, kamu kan sering baca cerita mama saya. Ternyata enggak.”

Indira menggeleng. Pasalnya, selama ini ia tidak tahu karena hanya membaca karya Elina saja, tanpa mencari tahu biodata ibunya Fabian itu. Walau, ia suka dengan karya Elina.

“Enggak, Pak. Selama ini kan saya sering diberi novel dari Mama El. Makanya, saya baca. Eh ternyata menghibur. Misalnya, enggak menghibur pun pasti saya rawat dengan baik karena saya selalu menghargai apa yang saya milikki. Entah itu pemberian seseorang atau saya membelinya dengan keringat saya sendiri.”

Fabian tersenyum. Ia tak salah memilih Indira menjadi calon istrinya karena perempuan itu memiliki pemikiran dan perilaku yang baik, walau terkadang sering kurang ajar padanya. Namun, ia tahu semua itu hanya candaan atau hanya sekadar ungkapan kekesalan sesaat.

“Terus sekarang kamu Elrus atau bukan jadinya? Kalau saya mau jadi Incavers aja.”

Indira mengangkat sudut bibirnya dengan manik mata kebingungan. “Bisa jadi. Itu Incavers apaan, Pak? Penggemar mitologi, ya?”

“Bukan, Indira Cantik Lovers. Saya kan penggemar berat kamu. Kamu juga penggemar berat saya, kan?”

Indira langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada seraya menggeleng. “Saya masih waras untuk tidak mengidolakan Bapak. Saya masih memilih Choi Siwon sebagai idola saya. Sudah terbukti karyanya. Dia juga Duta UNICEF. Nah, Fabian Gabrilio apa yang bisa dibanggakan? Sudah pelit, menyebalkan pula.”

Fabian langsung memasang raut wajah kesal. “Ya udah, sana nikah sama Choi Siwon biar kamu bisa ngalahin Mimi Peri yang dapatin Oh Sehun. Udah baik, tampan, kaya, terkenal, suaranya bagus, Duta UNICEF pula. Benar-benar suami idaman, kan. Apalah saya yang cuma butiran debu,” katanya dengan nada lesu, memasang raut wajah terluka dengan tangan memegang dadanya.

Indira menahan tawanya. Ia tak habis pikir kenapa Fabian suka memasang raut wajah memelas seperti itu. Namun, tetap saja tampan di matanya. Walau sangat mengelikan.

“Walau Bapak itu butiran debu, saya tetap mencintai Bapak, kok. Debu memang sering diabaikan oleh orang tapi punya banyak manfaat,” terang Indira dengan nada lembut, seraya mengenggam tangan Fabian. Senyuman ia suguhkan di sana, membuat Fabian tersenyum pula. Dirinya tak menyangka Indira akan berkata seperti itu, bukan mengoloknya lagi.

“Salah satu manfaat debu adalah memantulkan sinar matahari, tanpa debu sinar matahari mana mungkin bisa menerangi rumah-rumah pada siang hari karena sinar Matahari hanya menyorot ke satu arah saja, kemudian dipantulkan oleh debu,” lanjut Indira dengan tatapan tulus. “Demikian juga dengan kehadiran Bapak yang selalu menerangi kehidupan saya. Tanpa adanya kehadiaran Bapak, mana mungkin hidup saya bewarna.”

“Dir, saya enggak salah dengar kan kalau kamu bilang mencintai saya dan saya berarti dalam hidup kamu?” tanya Fabian memastikan dengan manik mata penuh binar.

“Iya, Bapak enggak salah dengar.”

“Terima kasih, Dir,” Fabian hendak memeluk Indira, tapi perempuan itu terlebih dahulu berdiri dari tempat duduknya, membuat Fabian tersenyum kikuk.

“Ngapain mau peluk saya?” Indira menatap Fabian dengan tatapan datar. “Bapak kan lagi enggak takut. Jangan bilang juga fobia karena dengar ucapan saya barusan,” cibir Indira.

“Ya, enggak gitulah. Ini wujud rasa syukur saya atas pernyataan cinta kamu barusan.”

“Wujud syukur, tuh traktir saya makan dan belanja sepuasnya. Bukan peluk, emang Telletubies. Berpelukan.”

“Saya traktir belanja sama makan sepuasnya, kalau kamu udah jadi istri saya. Saya takut, nanti kalau ada yang tahu kalau kamu saya belanjain banyak barang, terus kamu dibilang matre. Padahal, kan enggak. Nanti waktu udah jadi istri saya kan sah-sah saja, mau minta ini-itu. Keuangan sehari-hari juga kamu yang ngatur nanti.”

“Alasan, kelamaan. Iya, kalau saya beneran jadi istri Bapak. Kalau enggak?” Indira memasang raut wajah masam. Ia tak marah sama sekali dengan Fabian, hanya sekadar ingin menggoda calon suaminya itu. Kapan lagi, dia bisa mengerjai Fabian. Biasanya lelaki itu yang selalu seenaknya sendiri.

“Ya, pastilah nikah sama saya. Saya kan enggak bisa dipisahkan dari kamu, Dir. Mana kuat hati saya menahan rindu, tak bisa bertemu dirimu. Makanya, saya sama kamu harus disatukan agar tidak ada hati yang terluka,” Fabian tersenyum semringah.

“Ohh ..., tapi siapa yang tahu kalau Bapak diculik alien atau apa karena pelit. Terus kita enggak jadi nikah.Tahu kan kisah Tuan Krab yang dia pelit sekali akhirnya dia diculik oleh arwah bajak laut,” terang Indira menakuti Fabian.

Fabian langsung menekuk raut wajahnya. “Kamu kok jadi calon istri jahat, sih. Malah nakutin kayak gitu. Saya kan jadi takut beneran sekarang,” Fabian langsung berdiri, lalu memeluk Indira seperti biasanya.

“Ihh ..., apaan sih Pak? Lepasin! Malu kalau ada orang yang lihat,” Indira mencoba melepaskan pelukan Fabian dengan debaran jantung yang tak menentu. Ia juga bisa mendengar renyut jantung Fabian yang tak keruan. Berirama tak pasti seperti miliknya. Namun, ada rasa nyaman mendengar detak jantung Fabian.

“Saya kan takut, Dir. Nanti kalau saya diculik sama alien, saya enggak diculik sendirian tapi sama kamu. Jadi, saya kan enggak begitu takut,” Fabian memasang raut wajah memelas.

Indira yang melihat raut wajah melas Fabian, ingin sekali menjitak lelaki itu. Ia tak bisa membayangkan kalau sudah menikah nanti, Fabian masih bertingkah seperti ini. Apalagi, kalau sudah punya bayi. Ia bisa-bisa merawat dua bayi yang satu bayi kecil mengemaskan, yang satunya bayi besar yang menjengkelkan.

“Alien cuma nyulik orang jahat. Bapak kan dzolim sama saya, pasti diculik. Kalau saya kan enggak mungkin diculik karena saya selalu dianiaya.”

“Ya, enggak bisa gitu. Kamu harus ikut saya kalau saya diculik. Kan, kamu kan pasangan hidup saya.”

“Terserah, Pak. Jangan terlalu percaya diri, Pak. Jatuh, nanti sakit. Lagian ya, Pak, saya masih ragu punya suami kayak Bapak. Percuma Pak, tampan, mapan, kalau kelakuan kayak anak kecil, cerdasnya cuma digunain buat kerja doang.”

“Ya, Dir. Saya janji akan berubah lebih baik lagi buat kamu dan anak-anak kita kelak.”

***

“Pak, kita mau ke mana kok enggak sampai-sampai, sih?” omel Indira yang merasa perjalanannya terasa begitu lama.

“Ya, ke rumah kamu. Ke mana lagi coba,” sahut Fabian yang tak begitu jelas karena suara motor di sekitarnya.

“Rumah saya udah kelewatan, Pak!” protes Indira dengan nada kesal.

“Maaf, saya gagal fokus. Ini pasti karena saya lapar.”

“Sudah-sudah, saya aja yang di depan. Bapak di belakang!” Indira menepuk bahu Fabian. Ia sudah terlalu lelah dipermainkan Fabian. Bilang saja, lelaki itu mencari kesempatan dalam kesempitan biar bisa berduaan di motor lama-lama dengan Indira.

Fabian tak protes, ia langsung menepikan motornya. Kemudian, mereka berganti tempat. Indira menggulung kemejanya sampai siku, lalu mengikat rambutnya dengan tatapan masam ke arah Fabian.

“Nih, pegang!” Indira memberikan tas selempangnya kepada Fabian dengan nada datar.

Fabian melongo. “Kok dikasih ke saya?”

“Ya, iyalah. Kan saya yang ngemudiin motornya. Bapak, pegang tas saya!”

“Seumur-umur saya enggak pernah disuruh bawa tas perempuan, kan saya bos. Masa bos disuruh bawa-bawa tas sekretarisnya.”

“Iya, dulu saya sekretaris Bapak. Sekarang, saya bukan anak buah Bapak lagi. Bawa saja kenapa, sih? Katanya mau dinaikin statusnya menjadi calon suami. Kalau banyak protes, enggak bakal saya upgrade status Bapak.”

Fabian hanya mengangguk. Ia menuruti perkataan Indira daripada calon istrinya itu marah padanya. “Iya, Nyonya Fabian Gabrilio. Buat Nyonya Fabian apa sih yang enggak?”

“Aishhh ..., kemungkinan saya mau ngebut. Jadi, Bapak harus pegangan ke bagian samping motor. Jangan peluk saya, nanti saya pecat jadi calon suami!” Indira menatap tegas Fabian.

Fabian hanya mengikuti ucapan yang terus keluar dari bibir Indira, walau dalam hati ia ingin protes. Namun, apa dayanya saat ini--semua keluh kesahnya tak bisa diutarakan. Indira mirip seperti istri yang suka mengatur suami dan Fabian seperti suami yang takut istri.

Indira langsung menyalankan mesin motor Fabian, ia tersenyum penuh arti. Kemudian, ia kemudikan motor itu pelan-pelan menyusuri jalanan, hingga tepat di jalan yang sepi--Indira melajukan motornya begitu cepat--membuat Fabian terhuyung hampir jatuh. Lelaki itu mengencangkan pegangannya ke sisi sampingnya.

Indira sesekali melirik ke arah spion dengan senyuman jahil khasnya. Ia begitu menikmati aktivitasnya saat ini. Mantan sekretaris Fabian ini sepertinya ingin melakukan balas dendam karena ulah Fabian yang selalu merepotkan dan menjengkelkan dulu.

Fabian memanjatkan doa dalam hati agar ia tak terjatuh. Tak pernah ia sangka, Indira bisa mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi seperti saat ini. Jujur ia kesal dengan Indira, tetapi juga bangga memiliki calon istri serba bisa seperti Indira. Makanya, ia sangat menyayangi Indira dan enggan melepasnya.

“Dir, pelan-pelan kenapa? Saya nanti bisa jatuh. Kalau jatuh ke pelukan kamu, saya rela. Aduh ..., Dir, saya takut!” renggek Fabian seperti anak kecil.

“Katanya, pria keren! Masa cuma dibonceng kayak gini takut. Jangan jadi lelaki lemah. Kayak gitu mau nikah. Dasar Bos Pelit payah!”

“Saya bukannya lemah, tapi saya fobia,” elaknya yang langsung memeluk Indira. “Saya peluk kamu karena takut. Jadi, jangan salahin saya, kan kamu yang buat fobia saya kambuh.”

“Modus! Dikit-dikit fobia, kenapa enggak fobia meluk saya aja sih?”

“Karena memeluk kamu adalah anugerah terindah. Jadi, tidak patut ditakuti. Ini malah harusnya disyukuri,” Fabian tersenyum semringah.

“Aissh ..., enak di Bapak, enggak enak di saya.”

Indira langsung menambah kecepatannya agar segera sampai dan terbebas dari pelukan Fabian.

***

Indira menatap mobil lamborghini yang terpakir di halaman rumahnya. Ia hafal sekali dengan hanya melihat warna biru metalik kendaraan roda empat di hadapannya. Itu mobil milik Glory Gabrilio yang sering dipakai Elina.

Indira berbalik, langsung menatap Fabian curiga. Tak mungki mobil orang tua Fabian bisa ada dengan sendirinya di kediaman keluarga Pradipta. Sementara yang ditatap pura-pura tak mengerti. Lelaki itu hanya memasukkan kedua tangannya di saku kemejanya, tanpa menatap ke arah Indira.

“Ini maksudnya apa? Kok, mobil orang tua Bapak ada di sini?”

“Memangnya kenapa? Enggak boleh, ya, orang tua saya ke sini?”

“Bukan, ini mencurigakan.”

“Mencurigakan gimana. Orang tua saya juga pastinya mau ketemu orang tua kamu, biar bisa dekat begitu, kan kita mau jadi keluarga. Gimana, sih?”

Indira hanya mengangguk. Lalu, mengambil tasnya yang dipegang Fabian. Segera ia mencari kaca untuk melihat riasan wajahnya. Dibenarkannya tatanan rambutnya agar terlihat rapi. Biar bagaimanapun, ia akan menemui orang tua calon suaminya, pasti penampilannya harus dijaga.

“Ngapain kamu dandan di sini?”

“Kan, mau ketemu sama orang tua Mas Fabian. Masa aku lecek, kan enggak lucu,” jawab Indira dengan bahasa yang lebih santai, tak begitu baku seperti biasanya.

Fabian tersenyum. Ia senang sekali mendengar jawaban Indira yang menunjukkan kalau dirinya benar-benar mau menjadi istrinya secara tak langsung. “Bagus. Ngomong-ngomong kok jadi panggil mas, katanya kemarin enggak mau.”

“Kan, bentar lagi ketemu Mama El. Pemanasan dong! Jangan percaya diri dulu! Mas Fabian belum lulus uji laboratorium apakah berbahaya atau tidak menjadi suami!”

“Emang saya boraks. Lama-kelamaan kamu kok jadi nyeleneh kayak saya. Kalau kayak gini, nanti anak kita kayak apa?”

Indir tak menjawab. Ia langsung pergi menuju pintu rumahnya, tak memedulikan Fabian yang terus mengoceh. Sementara Fabian hanya tersenyum seraya berlari mengejar Indira.

Indira berjalan pelan begitu anggun memasuki ruang tamunya. Di sana terlihat kedua orang tuanya dan orang tua Fabian tengah berbincang serius. Elina yang paling bersemangat dilihat dari tutur bicara dan gerak tubuhnya saat berbincang dengan keluarganya.

“Indira!” panggil Kirana yang mendapati putrinya tengah memasuki ruang. “Akhirnya, kamu pulang juga. Ini ada mama dan papanya Fabian.”

“Iya, Ma,” Indira tersenyum begitu tulus. Kemudian, menyalami kedua orang tua Fabian. Ia langsung duduk di sebelah Kirana dengan senyum yang masih mengembang.

“Fabian mana?” tanya Elina yang tak melihat putranya. “Bukannya, kalian pergi bersama?”

“Itu Mas Fabian,” Indira menengok ke arah Fabian yang terlihat begitu ceria.

“Siang Tan, Om!” Meski tersenyum, tapi sebenarnya ia gerogi. Pasalnya hari ini, ia akan melamar Indira. Makanya, ia sengaja mengulur waktu untuk mengantarkan Indira pulang karena menunggu kedua orang tuanya sampai di kediaman milik keluarga Pradipta agar mereka bisa mengajak bicara orang tua Indira terlebih dahulu. “Maaf ya, Tante sama Om, Indira saya ajak jalan-jalannya terlalu lama.”

“Iya, enggak pa-pa,” Kirana menjawab dengan nada lembut, keibuan. Sementara suaminya hanya mengangguk.

“Bagaimana kalau langsung ke intinya saja?” Elina bertanya dengan semangat yang menggebu.

“Silakan,” jawab Satya dengan nada datar.

Elina langsung mencolek suaminya agar segera bicara.

“Begini, seperti yang kami utarakan sebelumnya tadi, kalau kedatangan kami ingin melamar Indira untuk menjadi menantu kami. Untuk lebih lanjutnya biar putra kami yang langsung mengutarakan,” Glory menatap putranya dengan tatapan tegas.

Fabian mengedipkan matanya, memberikan isyarat pada ayahnya. Sementara Indira menatap tajam Fabian yang tak membicarakan masalah lamaran ini terlebih dahulu. Bukannya tak senang, tapi Indira kan butuh persiapan.

“Om, Tante seperti yang sudah Ayah saya katakan, saya ingin melamar Indira. Bolehkah saya mempersunting Indira?” tanya Fabian dengan nada tegas, meski dalam hati ia takut kalau mendapatkan penolakan.

“Saya sih, tergantung Indira saja. Kan, yang mau menjalani pernikahan putri saya,” sahut Satya dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat Fabian gamang--ia merasa Satya tak menyukainya, kalau dilihat dari mimik wajahnya.

“Indira, bagaimana jawaban kamu? Kamu mau menerima pinangan Fabian atau tidak?” Satya kini menatap putrinya yang tampak resah.

Indira meremas pakaiannya, ia menatap ke sekelilingnya. Lalu, menghirup napas dalam-dalam sebelum bicara. “Sebelumnya, saya mau minta maaf sama keluarga Mas Fabian. Saya--” Indira mengantungkan kalimatnya sejenak. Ia mengigit bibir bawahnya dengan jantung yang berdebar-debar.

Fabian yang mengamati ekspresi Indira, kini menjadi lesu. Ia yakin, Indira pasti ingin menolaknya. Meski dirinya sudah mempersiapkan diri untuk mendengar kata penolakan itu, tapi tetap saja membuatnya sedih. Apalagi, ditolak di depan kedua orang tuanya.

Elina juga tampak gusar. Ia melirik ke arah putranya. Dirinya takut Fabian sangat terluka nantinya.

“Kalau kamu ingin menolak enggak pa-pa, Dir. Katakan saja, enggak usah takut,” Fabian berkata dengan sebiasa mungkin.

“Bukan,” Indira menggerakkan kedua tangannya menyilang seraya menggeleng.

“Terus?” Fabian menatap manik mata Indira saksama.

“Saya itu mau minta maaf ke keluarga Mas Fabian karena belum melakukan persiapan buat menyambut orang tua, Mas. Saya benar-benar enggak tahu kalau mau dilamar hari ini,” jujur Indira dengan nada rendah.

“Iya, enggak pa-pa, kok,” Elina menjawab dengan nada semringah. “Ini salah kami juga yang kemari tidak memberitahu Indira. Soalnya, Fabian mau kasih kejutan. Apalagi, kalian sebenarnya sudah sepakat menikah dan merencanakan pernikahan, kan?”

Indira tersenyum kikuk seraya melirik Fabian. “Iya, Mama El. Kami sudah merencanakan mau menikah sebenarnya. Mas Fabian sendiri sudah memikirkan dan menyiapkan banyak hal untuk pernikahan kami. Terus, mana mungkin saya menolak lamaran ini,” bohong Indira tentang perencanaan dan persiapan. Ia ingin mengerjai Fabian karena melamar mendadak seperti ini.

“Bagus kalau begitu,” sahut Kirana dengan nada bahagia. Ia senang jika putrinya segera menikah karena usianya sudah sangat cukup untuk berumah tangga. Dirinya sudah tak sabar ingin menimang cucu.

“Iya, Mas Fabian memang hebat, Ma. Masa Mas Fabian sudah menghubungi penyanyi terkenal di Amerika yang setara sengan Taylor Swift buat nyanyi di acara resepsi kami. Terus, pesta pernikahannya 7 hari, 7 malam. Soverninya gantungan kunci yang dilapisi berlian. Gaun yang Indira pakai katanya desain Marchesa yang limited edition. Keren kan, Ma?” Indira tersenyum penuh arti seraya menatap ke arah Fabian.

“Apa itu enggak buang-buang uang? Pasti biayanya besar banget.” Kirana mengernyit.

“Iya, Indira juga berpikir kalau itu menghamburkan uang, tapi Mas Fabian maunya begitu.”

“Enggak pa-pa, Mbak, ngeluarin banyak uang. Ini kan pernikahan cuma sekali seumur hidup. Fabian pasti mau yang terbaik,” Elina tersenyum semringah seraya menepuk bahu putranya pelan.

Fabian hanya diam. Ia tidak habis pikir kalau Indira akan mengatakan hal semacam itu. Dirinya saja belum mempersiapkan pernikahan sama sekali, apa lagi pesta pernikahan dengan biaya fantastis.

“Kalau begitu, kita tentukan saja tanggal baik pernikahan untuk Indira dan Fabian,” saran Satya dengan nada yang masih sama datar. “Bagaimana?”

Semua yang ada di ruangan setuju dengan saran Satya. Mereka langsung mengatur tanggal pernikahan Indira dan Fabian. Pernikahan itu akan dilaksanakan sekitar tiga bulan lagi melihat waktu dan kondisi.

***

“Dir, kamu kok bilang saya udah rencanain pesta pernikahan? Saya enggak ngerasa bilang seperti itu, ya. Kamu mimpi apa gimana?” protes Fabian yang hanya berdua dengan Indira di taman belakang rumah perempuan itu.

“Suka-suka saya, dong. Mulut-mulut siapa? Mulut saya, kan?” Indira menjawab asal.

“Yang kamu katakan itu bohong. Berarti fitnah. Fitnah sama kejamnya, sama derita saya yang single selama tiga puluh tahun lebih. Sakit, tapi tak berdarah.”

“Enggak usah lebay, deh. Kalau tahu, tadi saya tolak aja, ya. Udah diterima protes juga!”

“Masalahnya, itu uang dari mana buat ngadain pesta kayak gitu. Sovenirnya aja gantungan kunci yang dilapisi berlian. Emang kamu mau danain?” Fabian meletakkan kepalanya di paha Indira. “Dir, kepala saya berdenyut-denyut.”

“Aish ...,” Indira mengacak-acak rambut Fabian yang lumayan tebal. Ia gemas sendiri dengan calon suaminya itu yang persis anak kucing yang tengah mencari kenyamanan di pangkuannya. “Mas Fabian kan kaya, apa susahnya sih keluarin uang banyak sesekali. Masa, jadi pria enggak modal!”

“Itu banyak banget, Dir. Saya frustrasi. Saya kerja keras bertahun-tahun, masa nanti habis cuma buat beberapa hari. Daripada buat acara pesta yang kayak gitu, mending buat liburan.”

“Ya udah, enggak usah dibuat seperti apa yang saya katakan tadi. Gitu aja kok repot.” Indira berkata dengan nada ketus. “Udah, minggir dong! Saya mau ambil minum. Jangan kayak kucing saya, suka rebahan di paha saya!”

“Kalau saya enggak wujudin seperti apa yang kamu katakan, mau ditaruh di mana muka saya,” Fabian berkata dengan nada lesu. “Saya itu pusing, Dir. Pinjam bentar paha kamu, ya. Kalau baik hati, tolong dong pijetin kepala saya sekalian.”

“Emang saya tukang pijat apa? Dasar ...,” Indira mengembuskan napasnya kasar, lalu memijat kepala Fabian dengan asal-asalan yang membuat Fabian merenggek.

“Sakit tahu, kamu kok jahat sih?” Fabian mengangkat kepalanya dari paha Indira. Ia menatap Indira dengan raut wajah seolah-olah sangat tersakiti.

“Kok jahat? Saya enggak jahat, ya!” Indira menggelak, “saya kan bukan tukang pijat, ya wajar, kalau sakit.”

“Kamu sengaja, saya tahu.”

“Oke, saya sengaja. Enggak usah pasang wajah kayak gitu, pengen jitak.” Indira mengerucutkan bibirnya. “Ya udah, saya minta maaf. Sini, saya pijitin beneran bahunya aja. Kalau kepala khilaf, takutnya mau benturin kepala Mas ke dinding.”

Fabian hendak berkata, tapi Indira menatapnya semakin tajam. Mengisyaratkan Fabian mau menuruti perkataannya atau tidak, kalau tidak dipastikan Indira akan murka. Ia membalikkan badannya, lalu Indira langsung memijatnya.

“Wah, enak Dir!” aku Fabian dengan nada semringah. Ia senang sekali karena Indira tak mempermainkannya lagi. Benar-benar memijatnya.

“Ya, jelas. Yang mijit cantik, pakai cinta, gratis pula,” Indira terkekeh.

“Nyindir lagi, tapi terima kasih, udah mijit pakai cinta.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height