Random Wife/C11 Hari Bahagia
+ Add to Library
Random Wife/C11 Hari Bahagia
+ Add to Library

C11 Hari Bahagia

Waktu berlalu dengan cepatnya, sekarang Indira dan Fabian telah resmi menjadi sepasang suami dan istri. Mereka kini tampak berseri-seri menyalami tamu. Siapa sangka kalau pasangan yang berdiri di atas pelaminan ini adalah pasangan yang sering berdebat, selalu saja mereka mendebatkan apa saja yang ada. Rasanya dunia akan sepi kalau mereka tidak ribut sendiri.

Sang mempelai wanita begitu anggunnya menggunakan gaun bewarna putih gading yang panjang dengan hiasan minimalis--begitu elegan. Kecantikannya semakin terpancar, tatkala tersenyum. Apalagi, perempuan ini tidak menggunakan riasan tebal pada umumnya, sehingga membuat raut wajahnya yang memang cantik alami terlihat begitu rupawan--sangat memesona.

“Dir!” panggil Fabian dengan berbisik, ia membuyarkan lamunan istrinya yang tampak terfokus ke arah pintu masuk. Dirinya penasaran apa yang dilihat Indira, sehingga membuat perempuan itu membisu.

“I--iya,” Indira menjawab dengan nada gugup.

“Kamu lihatin apa sih?” Fabian kembali menenggok ke arah Indira menatap pintu tadi yang tampak kosong.

“Bukan siapa-siapa,” katanya dengan nada lesu. “Maksudku bukan apa-apa,” ralatnya dengan senyum canggung.

“Kamu bukan lihatin mantan, kan?” goda Fabian asal.

Mata Indira membulat, raut wajahnya tampak kikuk. “Bisa saja,” kata Indira dengan nada sebiasa mungkin, meski terdengar suaranya tampak bergetar.

Fabian hanya tersenyum. Ia merasa ada yang janggal dengan Indira. Tak biasanya seperti itu.

“Dir, kapan ya ini resepsinya selesai?”

“Sehabis makan-makanlah, ini tamunya udah pada datang semua. Kenapa sih?”

“Enggak pa-pa. Mas cuma capek banget harus berdiri. Kenapa sih resepsinya enggak di hari lain aja,” Fabian menghela napas sejenak.

“Mas sendiri kan yang pilih hari ini. Lagian, ini kan tamunya cuma keluarga sama teman dekat. Masa gitu aja ngeluh,” omel Indira dengan nada lirih. “Yang sama rekan bisnis, teman sekolah, terus karyawan, dan teman-teman yang lainnya kan bukan hari ini. Masih seminggu lagi dan acaranya lebih besar dari ini. Nanti, jangan bilang Mas malah merengek kayak balita kalau kecapekan.”

“Bukan begitu, kalau ada jeda beberapa hari kan enggak capek banget, Dir. Lagian itu kan usulan Mama,” Fabian tersenyum santai. “Mas kan anak yang baik, pasti nurut sama wanita yang telah melahirkan Mas.

“Masa? Mas Fabian aja sering kabur dari Mama El, kalau disuruh ini-itu. Pelit juga sama Mama El.”

“Mas enggak pelit, kenapa masih dibilang pelit. Buktinya, besok ya pesta pernikahan kita yang besar-besaran itu Mas ndatangin koki langsung dari Italia. Pianis dari Jerman. Penyanyinya adalah salah satu penyanyi solo terbaik di Asia. Kurang apa lagi coba?”

Indira menggelengkan kepalanya, seraya tersenyum. Ia masih tidak percaya dengan ucapan Fabian. Pasalnya, dirinya saja tidak tahu siapa saja yang akan mengisi pesta pernikahannya yang akan dilaksanakan minggu depan. Suaminya hanya bilang kalau dari luar negeri, tanpa menyebutkan namanya.

“Palingan Mas ketemu bule yang jalan-jalan di Bali, terus Mas bilangnya pianis terkenalah dan sebagainya.”

“Enggak, ini beneran. Kali ini, Mas keluar uang banyak buat pesta pernikahan kita. Kamu besok pasti muji Mas terus,” Fabian berkata bangga.

“Halah, paling ngelindur.”

“Kok enggak percaya, sih? Bahkan, tamu yang beruntung nanti dapat satu set perhiasan emas putih.” Fabian berkata dengan nada serius. “Kita buktiin aja besok. Kalau Mas enggak bohong, kamu mau kasih apa?”

“Ngajak taruhan ini ceritanya?” Indira menatap Fabian dengan tatapan mencela. “Dira bakal ngelakuin apa aja yang Mas Fabian mau selama seharian.”

Fabian langsung mengulurkan tangannya. Ia mengajak Indira untuk berjabat tangan. Istrinya itu langsung menerima uluran tangan Fabian dengan santai. Indira yakin Fabian hanya bergurau.

“Dir, Bian, kalian makan dulu sana, acara salam-salamannya juga udah selesai. Tamunya juga lagi pada makan,” kata Elina dengan nada lembut.

“Iya, Ma,” jawab Indira, sementara Fabian hanya mengangguk. Berdiri terlalu lama dan berdebat dengan Indira barusan membuatnya lapar.

***

Fabian terduduk diam seraya membereskan kamarnya dari sisa kertas kado yang tadi dibuka oleh Indira, sambil menunggu istrinya keluar dari kamar. Ia merasa senang sekali, akhirnya mimpinya menjadi suami Indira menjadi kenyataan. Sekarang, tak ada lagi ketakutan penolakan Dari Indira karena wanita itu telah resmi menjadi istrinya.

Fabian langsung berjalan ke keranjang sampah plastik dekat dengan pintu kamar mandi. Tepat, di saat itu Indira keluar dengan mata sembab. Fabian yang melihat hal itu menjadi gelisah.

“Dir, kamu kenapa?” Fabian memegang pipi Indira.

“Enggak kenapa-kenapa, cuma kelilipan tadi,” bohongnya dengan nada sendu.

“Kamu pasti kecapekan, ya?” Fabian menggenggam lengan Indira.

“Iya, Mas juga, kan. Kalau gitu tidur aja, yuk.”

Fabian hanya mengangguk. Padahal, ia ingin bercerita banyak hal kepada istrinya. Namun, ia urungkan keinginannya itu karena melihat raut wajah Indira yang tampak begitu sedih. Dirinya menjadi takut, kalau semua ini karenanya.

Indira langsung merebahkan diri di ranjang. Begitupun dengan Fabian. Bedanya, Fabian tidur menghadap ke arah Indira. Sementara Indira malah membelakangi Fabian untuk menyembunyikan air mata yang menitik perlahan.

Fabian menempelkan tubuhnya ke punggung Indira. Ia peluk istrinya itu dengan lembut. “Saya peluk kamu, enggak pa-pa, kan?”

Indira hanya diam, menikmati pelukan Fabian yang memberikan kenyamanan untuknya. Ia merasakan kasih sayang yang tulus dari suaminya. Dirinya menjadi takut, kalau suatu saat ia tidak sengaja benar-benar melukai Fabian. Bukan melukai Fabian karena gurauan atau candaan, karena pasti lelaki itu paham kalau istrinya hanya bercanda.

“Dir, tidurnya nghadap Mas kenapa?” pinta Fabian dengan nada manis. “Kamu takut ya, mimpi buruk karena tidur nghadap Mas.”

“Enggak, Mas. Emangnya Mas Fabian yang punya banyak fobia dadakan. Udah kayak tahu bulat aja,” gurau Indira dengan perasaan berkecamuk.

“Ya udah, kalau kayak gitu. Ayo, nghadap ke sini, dong!”

“Malas ah, nanti Mas Fabian kesenengan lagi. Bisa aja kan, kalau saya udah tidur nanti, banyak dimodusin.”

“Kamu kan udah resmi jadi istri Mas. Kok, masih takut dimodusin. Mau ngapain kan sah-saja aja, Dir. Malah, seharusnya kita main wik wik ay ay gitu, kan?”

Indira menautkan jemarinya dengan jemari Fabian. Ia tersenyum sekilas, meski masih gamang. Dirinya tak kunjung menjawab pertanyaan Fabian, malah asyik mengamati cincin yang melingkar di jari manisnya dan di jari suaminya.

“Udah lah, Mas. Mending tidur aja, Indira capek, Mas. Kalau mau minta jatah, besok aja.”

“Mas enggak minta jatah, kok. Mas kan suami yang pengertian. Kamu kan pasti lelah banget hari ini. Mas cuma mau kamu tidur nghadap Mas, biar Mas bisa mimpi indah.”

Indira langsung melepaskan tautan tangannya dari tangan Fabian, lalu mengusap air matanya, sebelum berbalik arah. Dipeluknya Fabian, ia letakkan kepalanya di dada Fabian. Berharap bisa tidur nyenyak malam ini dan melupakan kesedihannya.

“Mas, nyanyiin Dira dong biar bisa cepat tidur,” pinta Indira dengan nada lembut.

Fabian tersenyum. Ia usap punggung istrinya lembut seraya menyanyikan lagu cinta untuk Indira. Perlahan, mata Indira tertutup.

***

Fabian membuka matanya, ia langsung menepuk-nepuk sisi ranjang di sampingnya--mencari sang istri--yang ternyata tak ada di sana. Fabian langsung menyandarkan punggungnya di papan ranjang. Ia mengucek matanya, seraya menguap.

Fajar memang telah pergi, berganti dengan mentari yang berjaya--menyinari dunia--sinarnya menembus kisi-kisi jendela, tapi tak membuat Fabian mampu untuk tetap terjaga. Lelaki ini hendak tidur lagi, begitu melihat jam menunjukkan jam tujuh pagi. Ia merasa masih pagi untuk bangun karena ini hari libur.

“Mas!” tekan Indira yang melihat suaminya hendak tidur lagi.

Fabian langsung menoleh ke arah istrinya yang membawa baki berisi sarapan. Ia tersenyum seketika. Dirinya langsung beranjak dan membantu Indira membawa sarapan.

“Sayang, sini biar aku yang bawa,” katanya antusias dengan mata berbinar. Rasa kantuknya sirna seketika melihat istrinya telah bangun terlebih dahulu darinya untuk menyiapkan sarapan. Akhirnya, mimpi sarapan bersama di kamar bersama Indira terwujud.

“Nih,” Indira menyodorkan bakinya, lalu duduk di sisi ranjang.

Fabian meletakkan baki itu di atas nakas, lalu duduk di samping Indira. “Kamu bener-bener istri idaman. Pagi-pagi udah nyiapin sarapan buat suami,” pujinya bangga seraya mengelus punggung tangan Indira dengan ibu jarinya--membuat pola tak teratur.

“Anda percaya diri sekali Tuan Muda Gabrilio! Aku enggak hidangin makanan ini buat Mas Fabian,” balas Indira menahan tawanya.

“Kalau ini bukan buat Mas, terus buat siapa?”

“Ya, buat Indira sendirilah, Mas. Indira kan juga belum makan.”

Fabian langsung mengerucutkan bibirnya. Ia membuang muka, menatap ke arah jendela luar. Pura-pura merajuk sebagai ajang balas dendam. “Aku ngambek! Titik!” Fabian melipatkan kedua tangannya di depan dada. “Kalau masak buat kamu sendiri, enggak usah dibawa ke kamar dong!”

“Kan, aku mau disuapin Mas.”

“Ihh ..., manja.”

“Mas, kok gitu sih.” Indira balik merajuk. “Kalau nakal kayak gitu, Dira mau pulang aja ke rumah orang tua Dira, biar Mas di sini sendirian. Nanti biar tahu rasa kalau diculik jin pelit.”

“Jangan dong, Dir! Mas, kan suami kamu. Susah seneng ya kita harus bersama. Masa, kamu tega ninggalin Mas,” Fabian langsung memeluk Indira. “Mas suapin, deh, sampai kenyang.”

Indira terkekeh seraya memeluk suaminya. “Gitu dong, baru suami idaman. Indira jadi tambah cinta sama Mas Fabian.”

“Terus, aku makan apa Dir, kalau kamu cuma masak buat kamu?”

“Mas Fabian lucu, deh. Ya kali, Dira masak cuma buat Dira,” Indira melepaskan pelukan Fabian, lalu mencubit pipi suaminya gemas.

“Tadi, kan kamu yang bilang. Lagian cuma ada semangkuk dan kamu bilang belum makan.”

“Itu tandanya, Dira mau ngajak Mas makan semangkuk berdua. Gitu aja, kok enggak peka,” Indira mengecup pipi Fabian, lalu meletakkan kepalanya di bahu suaminya.

Raut wajah Fabian semakin cerah. Dirinya begitu senang sekali mendapati Indira yang terlihat seperti biasanya dan bahagia. Tidak seperti semalam yang tampak sedih dan gelisah.

Fabian melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. “Kamu kok romantis sih, Sayang? Siapa yang ngajarin?” goda Fabian seraya mengedipkan matanya.

“Siapa ya ..., pastinya kalau romantis yang ngajarin bukan Bos Pelit. Soalnya, Bos Pelit itu receh, bukan romantis.”

“Kamu kok nyindir lagi, sih. Padahal, baru juga dipuji.”

“Enggak, ya. Indira enggak nyindir Mas, kok. Bos Pelit itu tokoh di ceritanya Mama El. Ceritanya tuh Bos Pelit itu suka sama sekretarisnya, tapi ditolak mulu karena Bos Pelit itu nyebelin, berisik, bossy, dan perhitungan.”

“Yakin, ini cerita mama, bukan karangan kamu. Kok, Mas ngerasa kamu lagi nyindir Mas.”

Indira menggeleng. Ia berkata sejujurnya, kalau itu cerita karangan Elina yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Ibu dari Fabian itu mendesak Indira untuk menceritakan kisahnya dengan Fabian untuk dijadikan sebuah novel--karya terbaru Elina. Wanita paruh baya itu mengaku kehabisan ide kepada Indira, sehingga ia meminta menantunya untuk menceritakan kisah cintanya bersama Fabian. Namun, tak semua Indira katakan pada mertuanya karena malu.

“Yakin, dong. Ini tuh valentine terbitnya! Lagi proses ditulis sama Mama El.”

“Masa? Kenapa mama buat cerita kayak gitu?”

“Ya, Mama El kan pengin karyanya best seller. Terus, Mama El mau bikin cerita anti mainstream yang inspirasinya dari kisah nyata. Makanya, Mama El interogasi Dira buat tahu kisah percintaan kita, Mas.”

“Apa?!” pekik Fabian tak percaya. Ia ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Mau ditaruh di mana mukanya, jika ibunya membuat cerita kisahnya dan akan dibaca banyak Elrus.

“Kok kaget kayak enggak suka, sih? Bukannya, Mas Fabian dulu bilang mau nyuruh novelis yang buat cerita kesurupan jin untuk buat kisah cinta kita. Tuh, udah diwujudin sama Mama El.”

“Ya, enggak gitu juga. Ya, jangan dari kisah nyata. Pasti, Mas banyak jeleknya. Aduh, gimana dong?” Fabian menatap Indira gusar. “Kamu bilang ke mama yang bagus-bagus aja, ya. Jangan semuanya diomongin.”

“Enak aja, kalau kayak gitu bakal datar dong ceritanya. Enggak asyik. Kalau Mas Fabian mau dibagusin di cerita, ya Mas harus bertingkah yang baik biar enggak buruk di cerita Mama El. Maaf ya, Mas, Dira itu enggak pintar bohong.”

“Ya udah, kalau kayak gitu. Kita banyakin aja adegan romantisnya, biar bagus di ceritanya. Sekalian buat bikin jomlo pada iri, kalau baca kisah cinta kita. Buat mereka serasa menumpang di dunia ini, karena kita pemilik cinta yang sejati.”

Indira langsung mengambil bantal dan melemparkan ke arah Fabian. “Sadar, Mas! Dulu, Mas Fabian itu Jones. Masa tega melakukan hal romantis hanya untuk membuat jomlo iri. Balas dendam itu dosa, Mas. Apalagi, sama orang yang enggak pernah salah seperti jomlo. Tapi, jomlo malah dicela mulu.”

“Iya, Dira. Jangan marah lagi, ya,” Fabian langsung mengambil mangkuk di sampingnya, lalu menyuapi istrinya. “Buka mulut Indira, Mas mau suapin pakai cinta, biar Indira selalu bahagia.”

Indira refleks menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan respon suaminya.

“Kamu enggak mau disuapin?”

“Bukan, cuma heran aja sama Mas, kok bisa gemesin,” Indira tersenyum, lalu membuka mulutnya untuk menerima suapan dari sang suami.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height