Random Wife/C13 Hari-hari Bersamamu
+ Add to Library
Random Wife/C13 Hari-hari Bersamamu
+ Add to Library

C13 Hari-hari Bersamamu

Fabian dari tadi terus tersenyum karena bisa bermanja-manja ria dengan istrinya. Ia benar-benar memanfaatkan kesempatan ini. Dipeluknya istrinya erat seolah-olah tak mau kehilangan Indira.

“Mas, Dira mau masak nih,” ujar Indira mencoba melepaskan pelukan Fabian.

“Udah nyaman, Dir,” sahut Fabian seraya tersenyum.

“Ini udah siang, Mas. Mas Fabian enggak mau makan siang?” tanya Indira lembut.

“Mau. Suapin ya, Dir.”

“Lagi?” Indira memandang suaminya tak percaya. Sejak tadi pagi Fabian terus bertingkah seperti anak kecil yang mau dimanja. Ia sudah menyuapi suaminya waktu sarapan. Sewaktu menonton televisi juga, ia menyuapi cemilan yang mau dimakan Fabian dan apa-apa minta diambilin.

“Iya.”

“Kok manja sih?”

“Jadi enggak mau, ya. Padahal kan Mas cuma pengin disuapin, maklum pengantin baru ya, sayang-sayangan. Kamu kan udah janji mau nurutin perkataan Mas hari ini,” Fabian mengingatkan pada perjanjian mereka kalau Fabian berhasil mengelar pesta pernikahan megah, maka Indira bersedia menuruti permintaan sang suami selama seharian.

“Bukan enggak mau, tapi kok aneh banget, malah jadi manja kayak gini. Harusnya kan Dira yang manja sama Mas. Kok kebalik, sih,” gerutu Indira seraya menaruh kepalanya di bahu Fabian.

“Lah, terus Mas minta apa kalau bukan perhatian dari kamu, Dir. Mas kan cuma pengen sayang-sayangan sama kamu. Emang kamu mau Mas suruh kerja berat?” Fabian membela diri seraya mengenggam tangan istrinya.

“Iya, iya. Ya udah, Dira masak dulu, ya.”

Fabian mengangguk. Ia langsung menonton televisi begitu Indira meninggalkan kamarnya. Di tontonnya berita perjalanan pariwisata. Hingga, manik matanya terpaku pada sebuah kuis perjalanan ke Korea. Ia mencoba membuka ponselnya, lalu mengakses website yang tertera pada iklan.

Fabian langsung memasukkan kode akses, lalu bermain kuis. Ia menjawab semua pertanyaan itu dengan antusias berharap memenangkannya. Kalau iya, dirinya akan meliburkan diri dan mengajak Indira berjalan-jalan, hitung-hitung sebagai ganti bulan madunya.

Setengah jam lebih berlalu, akhirnya kuis diumumkan langsung di televisi. Dan, akhirnya pemenang dinyatakan. Manik mata Fabian membulat melihat nama Sergio terpampang nyata di televisi. Sahabatnya itu yang memenangkannya. Ia menjadi kesal seketika.

“Apa-apaan ini Gio main kuis kayak gini. Orang kaya kok main ginian. Berlibur, tinggal berlibur aja pakai duit sendiri. Kenapa sih pelit amat mau liburan kok pakai acara ikut kuis duluan!” Fabian menggerutu seraya melipat kedua tangannya di depan dada. Ia langsung mematikan televisi karena kesal.

“Mas!” panggil Indira yang membawa semangkuk sup dengan kuah yang mengepul dengan baki. Perempuan ini berjalan ke samping nakas, lalu meletakkannya apa yang dibawanya di atas nakas.

Fabian langsung memasang raut wajah ceria kembali begitu mendapati istrinya yang telah duduk di sampingnya. “Cepet banget masaknya?”

“Udah lama kali, Mas. Mas ngapain aja Indira tinggal masak?”

“Nonton televisi. Siaran pariwisata. Tadi, ada kuis. Mas ikut deh,” terangnya santai.

“Terus menang apa kalah?”

“Kalah, gara-gara Sergio.”

Indira mengernyit. Kenapa bisa-bisa suaminya membahas mantan tunangannya lagi. Apa hubungannya Sergio dengan kuis yang dimainkan suaminya. Indira bertanya-tanya dalam hati.

“Kok Mas nyalahin Sergio. Apa hubungannya sama Mas ikut kuis?”

“Itu Gio, pakai acara ikut juga. Jadi, dia yang menang. Masa orang kaya mau jalan-jalan ikut kuis ginian, Dir. Sejak kapan sih Gio, jadi pelit keluarin duit,” ujarnya dengan nada jengkel.

Indira menepuk dahinya pelan. “Mas, kali yang pelit. Mas sendiri ngapain ikut kuis begituan, kan Mas kaya. Kalau bukan pelit terus apa?”

“Hemat, Dir. Kalau menang kan hemat akomodasi karena Mas pasti ngajak kamu juga. Jadi, pengeluaran kita tetep. Kalau Sergio kan bujang, jadi enggak nafkahin siapa pun.”

Indira menatap suaminya jengah. Setelah menikah tetap saja Fabian terus mengutarakan semboyan kebangaannya itu--hemat--yang dijadikan tameng untuk menutupi kepelitannya. Ia bingung harus bagaimana untuk mengubah jalan pikiran suaminya agar tidak pelit.

“Siapa tahu kalau Sergio cuma iseng-iseng main buat seru-seruan. Kan, biasanya yang enggak serius malah menang. Mas kan lebih kaya dari Sergio, keluar buat kita jalan-jalan berdua mah kecil sebenarnya, tapi emang dasarnya aja Mas yang pelit.”

“Mas enggak pelit, cuma hemat Dira.”

“Kalau enggak pelit buktiin dong! Ajak Dira bulan madu,” tantang Dira santai.

“Siap, nanti Mas cari paket bulan madu yang diskon di lakupon.com. Biasanya diskonya bisa lebih dari 50 %. Lumayan kan, Dir.”

Indira mengusap-usap dadanya. Harus bersikap bagaimana lagi punya suami yang pelitnya minta ampun kalau tidak sabar.

“Terserah, Mas. Sekarang Mas makan dulu, nanti sakit kalau enggak makan. Dira udah masakin sup kaldu kesukaan Mas!” ajak Indira seraya mengambil mangkuk supnya.

“Siap, istriku cantik.” Fabian mengecup pipi Indira.

Indira langsung menyuapi suaminya dengan telaten. Ia tersenyum melihat ekspresi suaminya yang tampak begitu manja. Dirinya bahagia jika bisa melihat Fabian seperti ini. Tidak seperti semalam yang sempat mendiamkannya karena salah paham.

“Enak banget, Dir. Istri Mas ini memang jago masak. Makin cinta deh,” Fabian mengusap-usap surai istrinya lembut. “Sini, gantian Mas yang suapin.”

Indira mengangguk, lalu membuka mulutnya. Ia mengunyah makanannya tanpa mengalihkan pandangannya dari suaminya itu.

***

Indira yang tengah menata pakaian di almari terkejut karena tiba-tiba Fabian memeluknya dari belakang. Ia langsung tersenyum. Sebenarnya sudah biasa kalau sang suami suka memeluk dirinya kalau pulang, pasalnya Fabian bilang hari ini tak akan pulang karena lembur.

“Mas!” panggil Indira dengan nada lembut, “lepasin, dong! Dira kan lagi nata baju.”

“Kangen,” jawabnya manja malah semakin mengeratkan pelukannya.

“Ya, nanti dulu. Ini enggak selesai-selesai loh Dira nata pakaiannya,” sahut Indira seraya melepaskan pelukan Fabian perlahan. Akhirnya, lelaki itu mau melepaskan pelukannya.

“Dir, nanti malem Mas mau ngajak kamu makan di luar!” ajak Fabian dengan raut wajah semringah.

“Ke mana?” tanya Indira yang sudah berbalik badan--berhadapan dengan Fabian.

“Ada, deh! Pokoknya Mas mau ngajak kamu makan malam romantis. Bagus tempatnya, pasti kamu suka.”

“Ohh..., ada diskon makan malam ya, Mas?”

Fabian menggeleng, “Bukan, awal tahun tuh sulit nyari diskon. Makanya, Mas belum nemu tempat yang cocok buat bulan madu yang harganya miring tapi kualitas enggak kaleng-kaleng.”

Indira hanya bisa tersenyum menanggapi sang suami. Mau marah juga percuma, tak akan membuat suaminya berubah seketika. Ini sudah menjadi pilihan hidupnya dan ia sudah paham risiko menjadi istri pria yang pelit.

“Dira sih enggak masalah kalau enggak bulan madu, daripada memberatkan Mas Fabian,” terang Indira sambil berbalik badan kembali untuk menutup almari.

Fabian memegang bahu istrinya lembut, “Dir, jangan bilang gitu. Ini enggak memberatkan, Mas. Bulan ini kita pasti bulan madu, kok.”

“Enggak usah juga enggak pa-pa, Mas.” Indira langsung berjalan menuju ranjang yang diikuti oleh Fabian pula.

“Dir, kamu marah, ya?” Fabian mengenggam tangan istrinya lembut.

Indira menggeleng, “Enggak, kok. Mas Fabian mending mandi aja sana. Biar capeknya hilang.”

“Gampang itu,” Fabian mengusap-usap lembut surai istrinya. “Maafin Mas ya kalau belum bisa jadi suami yang baik buat Dira.”

“Mas udah jadi suami yang baik kok buat Dira. Dira beruntung punya suami kayak Mas.”

“Dir--”

“Ehh..., Mas katanya tadi di telepon hari ini lembur, tapi kok udah pulang. Malah ngajakin makan malam di luar lagi?” Indira mengalihkan pembicaraan.

“Kan, mau kasih kejutan.”

“Oh gitu. Ya udah sana Mas mandi dulu, biar Dira bikinin teh anget sama camilan.”

“Enggak usah, nanti kamu kecapekan. Mending mandi bareng, yuk!” Fabian tersenyum begitu manis.

“Dira udah mandi, Mas.”

“Yah... sayang!”

“Besok lagi mandi barengnya. Tadi pagi juga udah mandi bareng.”

***

Indira menatap seiisi restoran yang sudah dihias semanis mungkin. Banyak lilin dan mawar merah menghiasi ruangan. Suasana yang tenang diiringi dengan alunan musik menambah kesan romantis.

Kaca bening besar yang tirainya disibakkan memperlihtakan kerlap kelip dunia luar menambah keindahan malam ini. Indira terus tersenyum memandang jalanan malam dari tempat duduknya. Suaminya pintar sekali mencari tempat untuk makan malam romantis yang hanya disinggahi mereka berdua.

“Gimana Dir, kamu suka?” tanya Fabian menuang wine ke gelas Indira.

Indira mengangguk malu-malu, ia selipkan anak rambutnya yang menjuntai ke daun telinganya, “Makasih lho, Mas. Indira enggak nyangka Mas nyewa tempat ini buat makan berdua sama Indira. Pasti ngeluarin banyak uang.”

Indira menatap suaminya lekat dengan perasaan bahagia. Degup jantungnya terus berdetak tak keruan. Ia benar-benar takjub dengan semua yang dilakukan suaminya malam ini.

“Iya, sama-sama. Awalnya, Mas mau nyewa tempat ini, tapi malah digratisin sama Om Bana,” aku Fabian apa adanya. Ia tersenyum kikuk.

Suasana berubah seketika. Indira menggeleng. Seharusnya ia paham, kalau suaminya tak mungkin mau mengeluarkan banyak uang untuk melakukan semua ini.

“Om Bana? Ayahnya saudara ipar?” tanya Indira memastikan. Pasalnya, ia benar-benar tak tahu kalau hotel bintang lima ini milik keluarga Yasser.

“Iya, makanya waktu Mas mau nyewa enggak dibolehin bayar sepeserpun. Soalnya keluarga sendiri.”

“Kalau emang begitu ya, syukur. Tapi, Mas enggak nawar harga, kan. Terus akhirnya malah digratisin?” canda Indira sekenanya.

“Enggaklah, mana berani,” Fabian menggeleng, lalu mengeluarkan kotak perhiasan.

“Apa itu?”

“Kalung buat kamu,” Fabian membukakan isi kotak perhiasan.

Indira menatap saksama kalung berbandul huruf “IF” yang dikombinasi. Begitu indah membuat matanya tak bisa mengalihkan pandangan. Itu sangat manis pikirnya.

“Ini dapet dari endorse atau apa? Bagus sekali, pasti sangat mahal.”

“Bukan, ini Mas desain sendiri dan beli pakai uang Mas sendiri khusus buat Dira. Ini Mas pesen sebelum kita nikah,” jelasnya dengan nada lembut.

Entah kenapa air mata Indira menitik. Ia terharu karena suaminya mau membelikan kalung khusus untuk dirinya. Mungkin untuk wanita lain itu hal biasa kalau mendapatkan barang mahal dari sang kekasih atau suami. Namun, ini sangat luar biasa untuk Indira karena suaminya yang pelit mau mengeluarkan uang untuk membelikan sesuatu yang berharga untuknya.

“Kamu kok nangis,” Fabian menyeka air mata Indira dengan sapu tangan yang ia bawa. “Jangan sedih, kalau kamu sedih Mas juga ikut sedih.”

“Ini air mata haru, Mas. Kalungnya bagus sekali. Indira enggak nyangka Mas kreatif dan romantis banget desain kalung ini sendiri untuk Dira.”

“Iya, dong. Suaminya siapa dulu,” bangga Fabian dengan senyum semringah. “Apa pun bakal Mas lakuin asal kamu bahagia.”

“Makasih,” Indira memeluk sang suami yang duduk di sampingnya sekejap.

“Sini, Mas pakaiin kalungnya!”

Indira mengangguk. Ia begitu bahagia saat kalung itu sudah menghias lehernya.

“Nah, kamu tambah cantik. Istri Mas ini emang cantiknya ngalahin bidadari.”

“Bisa aja sih, Mas. Mas juga nganteng banget, kok.”

“Mas, masih punya hadiah buat kamu.”

“Apa?”

“Tapi, cium dulu,” goda Fabian seraya mengerling.

Indira langsung mengecup bibir suaminya, tapi Fabian tak melepaskan Indira begitu saja. Ia mencium istrinya begitu dalam seraya merengkuh kedua pipi sang istri. Indira akhirnya membalas ciuman suaminya seraya mengalungkan tangannya di leher lelaki itu.

Beberapa saat kemudian, ciuman itu berakhir. Indira langsung menunduk malu seraya mengatur napasnya. Pipinya bersemu merah. Yang terlihat mengemaskan di mata Fabian, ia ingin sekali mencubit pipi sang istri karena saking gemasnya.

Fabian mengambil sesuatu di balik lap yang terlipat di hadapannya, lalu ia sodorkan ke Indira. Ia meraih tangan sang istri, lalu diletakkan amplop beraroma cokelat itu di tangan wanitanya.

Indira membuka amplop itu dengan perlahan. Manik matanya membulat seketika. Ia langsung mendongak.

“Ini serius, Mas?”

“Iya, Mas udah atur semua keperluan kita buat bulan madu. Semoga kamu suka, ya?”

“Suka banget ini. Ya ampun, Mas. Mas baik banget. Indira enggak nyangka kalau mau diajak bulan madu ke tempat seindah itu.”

“Kan, Mas udah bilang bakal buat kamu bahagia.”

“Mas enggak kesambet apa gitu?” Indira hanya memastikan. Ia takut kalau ini hanya mimpi indah sesaat.

“Enggaklah. Mas pernah bilang dulu, kalau Mas punya istri pasti akan Mas bahagiain. Apa pun pasti Mas bakal lakuin.”

“Tapi kan Mas pelit. Sama duit perhitungan banget. Ini enggak salah makan, kan?”

“Mas, ini hemat, bukan pelit. Kalau masih bisa dapetin sesuatu yang kualitasnya oke dengan harga murah kenapa enggak. Tapi, kalau emang enggak ada yang harganya miring, ya enggak apa-apa kalau buat istri mah.”

“Percayalah, Mas hemat. Hemat sekali. Indira kenal banget sama Mas kalau enggak hemat, bukan Mas.”

“Ngeledek, nih.”

Indira langsung mengecup pipi sang suami.

“Pinter ya, biar suaminya enggak marah langsung dicium.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height