Random Wife/C14 Malam Pertama Di Prancis
+ Add to Library
Random Wife/C14 Malam Pertama Di Prancis
+ Add to Library

C14 Malam Pertama Di Prancis

Indira merasa takjub dengan dekorasi kamar hotel yang begitu mewah. Ia tak menyangka kalau sang suami akan memesan presidential room dengan tarif ratusan juta per malam. Kamar termahal di hotel yang mereka singgahi. Rasanya seperti mimpi.

Indira memandang pemandangan Kota Paris dari jendela yang tirainya disibakkan seraya meminum mocktail. Ia terus tersenyum. Senyum yang begitu bahagia.

“Dira!” panggil Fabian seraya memeluk istrinya dari belakang. Untungnya Indira tidak terkejut sehingga menjatuhkan gelasnya. Ya, meski matanya terfokus ke arah pemandangan malam tapi aroma lavendel begitu kentara menyeruak di hidungnya membuatnya sadar, kalau sang suami telah selesai mandi.

“Apa?” tanya Indira lembut.

“Bobok, yuk!” ajak Fabian dengan semangat seraya melepaskan pelukannya.

Indira berbalik, “Pemandangannya bagus. Sayang kalau dilewatin.”

Fabian mengambil gelas di tangan istrinya, lalu meletakkannya di atas nakas. Setelah itu, menutup tirai. Dan, terakhir menggendong Indira ke ranjang.

“Eh ..., lepasin, Mas! Dira, belum ngantuk!” Indira menepuk bahu Fabian pelan.

“Enggak ah. Kita kan baru nyampe hari ini, lebih baik kamu tidur. Takutnya kamu sakit malah enggak jadi jalan-jalan,” Fabian menyahut seraya merebahkan istrinya di ranjang pelan-pelan.

“Ya udah. Indira ngalah, deh,” Indira mengerucutkan bibirnya.

“Marah, ya?” Fabian hendak mengecup bibir istrinya, tapi Indira malah membalikkan badan.

Fabian memeluk sang istrinya erat, “Dir, maksud Mas kan baik. Mas cuma takut kalau kamu tidurnya kemaleman nanti sakit. Padahal kita besok mau jalan-jalan. Lagian kita kan sepuluh hari di sini,” ungkap Fabian lembut.

“Apa enggak ngeluarin uang banyak Mas, kalau kelamaan di sini? Biaya hotel, biaya jalan-jalan, belum belanja oleh-oleh, dan lain-lain.”

“Ya, pasti banyak. Tapi, Mas udah siapin uang yang banyak buat kamu kok, Dir. Enggak usah sungkan kalau pengen apa-apa. Kamu kan istri, Mas.”

Indira tersipu, jantungnya menjadi berdetak tak keruan.

“Bisa-bisa Mas ngeluarin uang milyaran cuma buat nginap di sini. Apa enggak sayang uangnya?”

“Tenang aja kalau biaya nginap di sini, Mas enggak bakal ngeluarin sepeserpun.”

Indira membuka mulutnya lebar. Ia memastikan tidak salah dengar. Mungkinkah suaminya punya voucher paket bulan madu gratis. Namun, rasanya itu tidak mungkin. Melihat fasilitas hotel yang begitu mewah.

“Ini yang punya hotel rekan bisnis Mas, ya?” tebak Indira tak yakin.

“Bukan, punya keluarga Mas.”

“Kok bisa?” Indira setengah tak percaya. Pantas saja beberapa pekerja seperti mengenal Fabian dan salah satunya mengatakan, kalau sudah beberapa tahun Fabian tak menginap di sini, lalu mengucapkan selamat atas pernikahan Fabian dan Indira.

“Kok kamu kayaknya enggak percaya?”

“Habisnya, Mas itu pelitnya ngalahin rentenir. Padahal keluarganya sekaya ini,” celetuk Indira seraya melepaskan pelukan sang suami, lalu menghadap ke arahnya.

“Enggak, ya. Udah berapa kali Mas bilang kalau Mas itu hemat. Kamu kok enggak percaya, sih.”

“Lah gimana Dira enggak bilang Mas pelit, kalau beli apa-apa nawarnya sadis, suka beli barang diskonan, terus suka nyari gratisan. Padahal kaya raya. Itu uang mau buat apa?”

Fabian hanya terkekeh.

“Terus ini hotel dari keluarga Mas yang mana?” Indira penasaran karena fasilitas hotel begitu mewah.

“Kalau Mas ceritain bakal panjang. Intinya mama dari kakek Mas itu anak konglomerat di Prancis dan hotel ini harusnya diwariskan ke beliau, tapi beliau meninggal setelah melahirkan kakek Mas. Dan, hotel ini diwariskan ke kakek Mas, tapi kakek enggak mau ngelola karena beliau dokter. Terus dikelola sepupunya.”

Indira mengangguk. “Oh gitu.”

“Sayang kan, Dir. Kalau Mas jadi kakek, Mas lebih milih jadi pengusaha. Jadi, Dokter itu berat. Risikonya besar. Udah gitu sekolahnya lama pula.”

Indira hanya menggeleng, “Dasar Tuan Krab yang dipikirin uang mulu.”

“Ini bukan masalah uang, Dir. Kalau salah kasih obat, bisa mati dong,” Fabian tersenyum seraya mengusap tangan istrinya lembut. “Untung papa Mas milih jadi pengusaha, yang jadi dokter paman Mas, ya. Kalau enggak Mas pasti bingung mau kerja apa. Kalau Mas enggak jadi dokter siapa yang ngurus rumah sakit, masa mau dikasih ke tetangga.”

“Ya kalau Papa Glo jadi Dokter, ya Mas jadi Dokter. Siapa tahu jadi enggak kikir.”

“Mas, takutlah Dir kalau jadi dokter. Kalau salah obat, nanti pasiennya mati. Lagian, nanti Mas jadi enggak bisa ketemu kamu.”

“Kalau jodoh pasti ketemu kok, Mas. Lagian, Mas kan pinter pasti bisa jadi dokter.”

“Ya udah, Mas mau jadi dokter ah sekarang. Soalnya kamu seneng kalau punya suami dokter.”

Indira mengernyit. Ia menatap suaminya terheran-heran. Fabian mau jadi dokter, bukannya sembuh pasiennya, tapi malah jadi jengkel, pikir Indira. Dirinya tak sanggup membayangkan ada dokter seperti suaminya. Modusan, manja, pelit, dan berisik.

“Mas mau jadi Dokter Cinta, Dir. Dokter Cinta untuk Neng Indira,” Fabian mengedipkan mata sebelah kirinya. “Dokter yang siap menyembuhkan rasa sepi di hati Indira menjadi penuh cinta dan kebahagiaan, karena setiap hari Mas kasih obat penawar rasa sakit hati.”

“Emang ada obat penawar rasa sakit hati?” Indira menatap Fabian serius.

Fabian langsung mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri. Ia kecup bibir istrinya, lalu perlahan-lahan menyesapnya lembut yang membuat irama jantung Indira tak menentu. Padahal, ini bukan pertama kalinya sang suami menciumnya sedalam ini. Namun, tetap saja di detik-detik pertama Indira seperti orang bodoh. Tak langsung membalas ciuman sang suami karena gugup dan terkejut.

Tangan Fabian mulai tergerak membuka kancing baju sang istri, lalu menyelusup ke sela-sela piyama Indira. Indira yang tersadar dengan apa yang dilakukan suaminya, langsung mengenggam tangan Fabian agar tak beraksi terlalu jauh lagi. Hal itu membuat Fabian menghentikan aktivitasnya, termasuk ciumannya.

Fabian memandang lembut sang istri, “Dir, Mas pengen minta--”

“Apa? Katanya tadi Dira suruh bobok awal biar enggak kecapekan, besok kan mau jalan-jalan.”

“Iya, sih. Emh ... kita kan tadi sampai sini pagi, terus kamu kan siang udah bobok, jadi enggak pa-pa ya, kalau tidurnya malaman dikit. Mas pengen banget nih,” jelasnya dengan nada manja. “Kita tunda jalan-jalannya. Lusa, gimana?” Fabian menatap Indira penuh harap.

“Ya, deh.”

“Makasih, Dir. Kamu memang istri yang baik.” Fabian mengecup dahi Indira lembut lumayan lama.

Fabian bangun dari posisi tidurnya, lalu melepaskan pakaiannya dan melemparnya sembarang. Selepas itu, ia langsung beraksi. Hingga malam itu menjadi malam yang panjang mengairahkan bagi sepasang suami istri itu.

***

Tadi pagi, Fabian mengajak Indira ke Tembok Cinta menuliskan kata cinta di sana seraya merayu sang istri dengan gombalan khas lelaki itu yang bukan membuat Indira tersipu malu-malu, tapi tertawa terpingkal-pingkal. Berbeda dengan malam ini, entah kenapa Fabian begitu kalem tidak seperti tadi yang begitu cerewet dengan ucapan tak bermutunya--sehingga membuat Indira bertanya-tanya dalam hati.

“Mas, kok diam aja, sih?” tanya Indira seraya menatap manik mata suaminya lembut.

“Enggak pa-pa,” jawab Fabian singkat seraya mengalihkan tatapan dari Indira.

Indira berpikir sejenak. Ia merenungi perbuataan dan perkataannya hari ini apakah menyinggung sang suami, sehingga Fabian berperilaku aneh seperti ini. Namun, sayangnya wanita ini tetap tak menemukan alasan yang logis mengapa sang suami menjadi tak banyak bicara seperti saat ini.

“Mas sakit?”

Fabian menggeleng.

Raut wajah Indira berubah muram seketika. Ia mengalihkan pandangannya ke arah sungai yang begitu indah. Membuat hatinya tenang seketika. Dipandanginya kapal yang berlayar mengelilingi Paris.

“Mas!”

Fabian hanya berdeham.

Indira menjadi ragu ingin mengutarakan isi hatinya. Ia ingin sekali naik kapal mengelilingi Kota Paris. Dan, berharap Fabian mengajaknya ke sana. Namun, ia ragu kalau suaminya mau karena naik kapal itu sangat mahal tarifnya. Apalagi, Fabian tampak sedang memiliki suasana hati yang buruk.

“Enggak jadi, deh.”

“Kamu lapar?” Fabian hanya basa-basi.

“Iya,” jawab Indira sekenanya.

“Kalau gitu, kita ke restoran sekarang.”

Indira hanya mengangguk, lalu mengikuti langkah sang suami. Meski dalam hati ia tak tenang, tapi senyuman tetap dirinya suguhkan. Ia hanya berharap suaminya tak punya masalah serius dan kembali seperti biasanya. Menggodanya setiap ada kesempatan.

Indira terpaku sejenak saat Fabian menghentikan langkahnya tak jauh dari kapal yang berlabuh. Ia menatap sang suami saksama. Fabian malah membuang mukanya ke arah lain, pura-pura tak mengerti tatapan Indira.

“Ayo, naik! Katanya lapar,” Fabian berkata dengan nada dingin.

Indira bingung. Sebenarnya Fabian itu marah atau ingin memberi kejutan. Dirinya terus saja berpikir dan bertanya-tanya dalam hati.

“Kita makan di restoran yang ada di kapal sambil menyusuri Kota Paris?” Indira bertanya dengan raut wajah bahagia.

“Iya.” Lagi-lagi jawaban singkat yang muncul dari bibir Fabian.

“Tapi, kok yang lain enggak naik?” Indira mengamati sekelilingnya, tak ada yang antre ke kapal itu.

“Kamu naik dulu. Nanti yang lain ikut naik,” Fabian menyuruh Indira dengan nada ketus.

Indira hanya mengangguk, ia naik ke kapal. Manik matanya terkagum-kagum dengan dekorasi lampu-lampu yang menyinari. Begitu indah.

Indira berbalik arah ke belakang, tapi tak ia temukan sang suami. Dirinya bingung harus duduk di mana. Apalagi, di situ tak ada tamu lain selain dirinya.

“Nyonya, mari saya antar!” kata seorang pelayan wanita dengan Bahasa Prancis.

Indira hanya mengangguk seraya tersenyum, ia langsung mengikuti langkah kaki sang pelayan menuju meja yang berada di pinggir di barisan tengah kapal. Binar matanya semakin cerah melihat pemandangan Sungai Seine yang terkena sinar rembulan. Meski dalam hati ia bingung di mana keberadaan Fabian.

Indira duduk seraya mendengarkan alunan biola yang terus terdengar. Ia mencoba menghubungi ponsel Fabian, tapi tak kunjung ada jawaban. Maka yang ia bisa lakukan hanya diam merenung sampai kapal berhenti.

Beberapa saat kemudian, suara alunan biola terhenti. Berganti dengan suara yang amat familier. Itu suara Fabian yang tengah bernyanyi dengan petikan gitar. Ia mencari-cari sosok suaminya yang ternyata sudah duduk di sofa belakangnya.

Indira terbelalak kaget, bukan karena mendengar sang suami menyanyi, tapi karena lampu kecil di kapal berkelap-kelip. Adapula, lampu yang membentuk kalimat. “Selamat Ulang Tahun, Istriku”.

Indira menutup mulutnya agar tak terlihat kalau bibirnya terbuka lebar, karena terpukau. Air matanya menitik karena saking terharu. Tak ia sangka suaminya yang hanya bisa mengombal dan begitu kikir bisa melakukan hal seperti ini.

“Selamat ulang tahun, Sayang,” ucap Fabian seusai menyanyikan lagu “My Love”.

Indira langsung memeluk suaminya yang telah berdiri di hadapannya tanpa membawa gitar.

“Terima kasih, Mas,” Indira berujar dengan nada lirih.

“Iya, sama-sama, Sayang.”

“Dira, kira Mas marah.”

“Mana ias Mas marah sama kamu. Kamu terlalu berharga buat Mas. Perempuan seperti kamu pantasnya disayang,” Fabian melepaskan pelukan sang istri, lalu menatapnya dengan lembut. “Maafin, ya, kalau Mas ngerjainnya terlalu keterlaluan. Mas Cuma mau bikin kejutan. Gagal ya, kejutannya?”

“Enggak, kok. Tapi, besok-besok jangan kayak tadi. Dira enggak suka didiemin kayak gitu.”

Fabian mengecup dahi istrinya lembut, “Enggak lagi, deh.”

“Indira enggak nyangka kalau Mas mau bikin kejutan di sini. Dira sungguh terharu, sekaligus kaget. Takut ini mimpi.”

“Nyindir, nih. Kamu pasti penasaran kan ini Mas menang undian, gratisan, atau apa?”

Indira hanya tersenyum.

“Enggak, ini Mas modal pakai uang sendiri. Mas kan pernah bilang apa sih yang enggak buat kamu, kalau kamu mau nikah sama Mas.”

Indira menatap suaminya takjub. Ia melihat ketulusan terpancar di manik mata sang suami. Dirinya masih tak percaya kalau Fabian begitu mencintainya. Padahal, dulu ia kira mantan bosnya ini menggangap dirinya hanya sebagai pesuruh. Yang selalu dibebani banyak pekerjaan.

“Mas, enggak nyesel kan ngeluarin banyak uang buat nyewa kapal ini. Naik biasa aja mahal, apalagi booking.”

“Enggak, Sayang. Mas kerja keras kan semua buat kamu. Harta enggak dibawa mati, Dira. Buat apa Mas punya banyak uang, kalau istri Mas enggak senang?”

Indira tersenyum semakin lebar. Ia tak peduli mukjizat apa yang membuat suaminya menjadi seroyal ini, yang terpenting adalah ketulusan Fabian untuknya. Meski rayuannya lebih banyak membuatnya geli, daripada tersipu.

Indira memberanikan diri mengecup bibir sang suami, tapi Fabian malah enggan melepaskan bibir sang istri. Ia pun menuntut lebih dari sekadar kecupan. Kini, bibir mereka menaut begitu indahnya—mencurahkan semua perasaan yang meliputi hati mereka.

Suara permainan piano kini rerdengar membuat sepasang suami istri ini menghentikan aktivitasnya. Mereka saling menatap satu sama lain dengan napas yang terengah-engah dan bibir yang menyungingkan senyum.

“Dansa, yuk!” ajak Fabian dengan lembut.

Indira tersenyum seraya meraih tangan suaminya. Mereka pun berdansa mengikuti irama.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height