Random Wife/C15 Tak Seperti Biasanya
+ Add to Library
Random Wife/C15 Tak Seperti Biasanya
+ Add to Library

C15 Tak Seperti Biasanya

Indira tengah belajar merajut dengan sang mama mertua, pasalnya sebentar lagi Fabian akan ulang tahun dan Indira ingin membuat sesuatu yang istimewa untuk suaminya. Ia belajar dengan semangat, walau beberapa kali sempat tertusuk jarum. Entahlah kenapa dirinya bisa sesenang ini kalau bisa membuat rajutan untuk sang suami. Padahal, ia bisa membuatkan sesuatu yang suadah ia kuasai, tapi kenapa ia ingin sekali merajut.

“Ma, ini gimana? Udah bagus belum?” tanya Indira menunjukkan hasil rajutannya.

Elina tersenyum, “Sudah bagus, kok. Mending sekarang kita makan siang dulu, pasti pelayan sudah pada nyiapin makan siang.”

Indira hanya mengangguk, lalu meletakkan rajutannya di keranjang. Kemudian, berjalan mengikuti Elina ke meja makan. Ternyata di sana sudah ada sang papa mertua dan suaminya yang tengah berbicara mengenai bisnis.

“Udah selesai ngerajutnya, aku panggil enggak nengok?” tanya Glory pada sang istri.

“Hehe ..., maaf, Sayang. Jadi, lama nungguinnya?”

“Enggak. Fabian itu bilang ke sini mau minta dibikinin puding sama kamu, tapi kamu malah ngajak Indira ngerajut,” bohong Glory seraya memberikan kode melalui mata kepada putranya agar mengiyakan.

“Oalah, anak Mama yang ganteng ini pengin makan puding buatan Mama. Besok Mama bikinin sebaskom,” kata Elina dengan nada semringah.

“Ya, jangan besok. Sekarang aja. Mumpung Fabian di sini, kasihan dia udah lama enggak makan masakan kamu. Kamu lebih mentingin nulis cerita buat nghibur Elrus, daripada nyenengin anak. Padahal, sebelum Fabian nikah, kamu janji mau bikinin Fabian brownies toping stroberi tapi sampai sekarang enggak dibikinin,” Glory mengingatkan janji sang istri beberapa tahun lalu, saat Fabian ulang tahun, tapi tak kunjung ditepati. Akhirnya, Aurel yang membuatkan brownies untuk Fabian yang rasanya aneh sekali.

Elina hanya tersenyum. Ia memang malas memasak, padahal masakan buatannya lezat. Ibu dari dua anak ini memang lebih memilih mengkhayal dan menulis, daripada memasak.

“Ya udah, nanti Mama bikinin. Nanti Indira bantuin Mama, ya,” pinta Elina dengan lembut.

Indira tersenyum. Ia senang sekali memiliki mertua seperti Elina karena sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Perempuan itu mengajari banyak hal kepadanya untuk membuat Fabian bahagia dengan lembut.

“Jangan! Kamu sendiri aja yang buat puding. Fabian kan kangen puding buatan kamu. Kalau bisa bikinin makanan lain. Rendang atau apa. Oh iya, camilannya juga. Katanya Mama kekinian yang baik hati dan serba bisa. Mumpung anak sama menantu di sini, ya disenengin,” Glory berkata dengan santainya.

Fabian menahan tawanya. Ia paham sekali, sebenarnya samg ayahlah yang menginginkan masakan ibunya. Namun, menggunakan namanya agar ibunya itu mau memasak.

“Sayang, aku ngajak Indira biar Dira tuh bisa buat puding kesukaan Fabian. Nanti, kalau aku enggak bisa bikinin, kan ada Indira.”

“Bilang aja malas. Jangan cari alesan.

***

Fabian menikmati pemandangan sore dari atas balkon dengan duduk seraya memakan puding buatan sang mama. Tadi, Elina mengirimkan puding karena beberapa hari lalu Fabian hanya memakan sedikit saat di rumah orang tuanya. Maka dari itu, ia bisa menikmati makanan buatan sang mama lagi.

Sementara Indira yang berada di samping Fabian sedang menonton video merajut di youtube. Ia masih saja tertarik untuk merajut lagi, padahal kemarin perempuan ini telah berhasil merajut syal untuk suaminya. Namun, rasanya masih tidak cukup kalau hanya bisa membuat syal.

“Dir, mau makan enggak?” tanya Fabian seraya menyodorkan sesendok puding.

Indira menggeleng, “Enggak, entahlah beberapa hari ini aku enggak suka sama yang menggandung rasa cokelat.”

“Oh, ya udah. Mas makan sendiri,” Fabian tersenyum seraya mengusap-usap kepala istrinya, setelah ia meletakkan sendoknya. “Kamu kok jadi suka nonton video ngerajut, sih?”

“Ya, biarin. Daripada suka sama suami orang,” canda Indira yang dibalas cengiran oleh Fabian.

“Dir, kamu kok kurusan, sih? Kamu enggak bahagia, ya?” Fabian memperhatikan wajah Indira dengan saksama yang tampak pucat. Dirinya menjadi sedih karena beberapa hari ini terlalu sibuk bekerja, sehingga ia tak begitu memperhatikan kondisi Indira. Padahal, ia dulu berjanji akan selalu membahagiakan Indira kalau sudah sah menjadi istrinya. Apa nyatanya? Indira malah semakin kurus, hal inilah yang membuat Fabian menjadi sangat bersalah kepada sang istri.

“Enggaklah, Mas. Aku cuma males aja makan. Entahlah kenapa sering banget mual.”

“Gimana kalau besok kita ke dokter?”

“Enggak usah, Mas.”

“Kalau kamu kenapa-napa gimana?” Fabian menatap lekat manik mata sang istri, “terus kamu udah makan?”

“Cuma tadi sarapan dikit.”

“Mau Mas beliin makanan apa gitu? Biar perut kamu ke isi. Kalau dibiarin lama-kelamaan bisa sakit, lho?”

“Mending Mas buatin Indira nasi goreng aja. Terus bikinin minuman jeruk anget yang gulanya dikit aja.”

“Sejak kapan kamu suka minum jeruk anget, apalagi gulanya dikit?”

Indira hanya diam seraya berpikir. Ia tak tahu mengapa dirinya menjadi menyukai minuman itu, yang pasti ia suka sekali minum jeruk hangan tiap sore.

“Ya udah enggak usah dipikirin. Mas, masakin. Tapi, kalau enggak enak jangan dimakan, nanti Mas pesenin Dira makanan aja.”

Indira langsung memeluk suaminya, “Tenang, Mas. Indira temenin masak biar enak.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height