Random Wife/C3 Makan Bersama Pujaan Hati
+ Add to Library
Random Wife/C3 Makan Bersama Pujaan Hati
+ Add to Library

C3 Makan Bersama Pujaan Hati

Fabian yang tampak serius dengan dokumennya tak menyadari kedatangan mamanya. Ia terlalu sibuk menganalisa data laporan keuangan perusahaannya. Tuan muda Gabrilio ini berencana memperbesar jangkauan bisnisnya, sehingga lelaki ini tetap bekerja meski sudah sampai di rumah.

“Fabian,” sapa Elina pada putranya yang tengah terlihat serius itu, ia langsung menutup dokumennya. Lalu, menatap sang mama yang tampak bahagia sekali.

“Iya, Ma. Mama tumben udah pulang?” Fabian mengubah posisi duduknya, kini ia menghadap ke arah mamanya yang duduk di sofa single.

“Mama tadi enggak ke butik, tapi Mama baru saja dari kantor penerbit,” jelas wanita paruh baya itu seraya menunjuk amplop cokelat di tangannya dengan senyum cerah.

Fabian bergeming, ia pandangi wajah tua mamanya yang tampak berseri-seri itu, semakin manis. Meski sudah memasuki kepala lima, Elina tetap terlihat ayu dengan gaya busana sederhananya.

“Mama habis tanda tangan kontrak penerbitan lagi?” tanya Fabian tak yakin, pasalnya sang mama waktu itu mengatakan tak akan menulis lagi, setelah melihat karya terakhirnya tertumpuk tak rapi di bazar buku.

“Bukan, akhirnya ada produser yang tertarik dengan naskah romansa pertama Mama. “Sapi Tetangga” mau diangkat jadi film,” bangganya seraya membuka isi map cokelat itu, memperlihatkan surat kontrak adaptasi novelnya ke film.

Fabian menatap mamanya tanpa ekspresi, ia masih tak percaya dengan apa yang dikatakan sang mama. Dirinya tahu benar, cerita buatan mamanya itu aneh-aneh. Makanya, ia tidak mau kalau disuruh membaca karya buatan sang mama.

“Yakin, Ma? Mama enggak ngehalu, kan? Mana ada produser yang mau filmin cerita Mama, yang aneh itu. Sampai sekarang, Mama masih suka mengkhayal menikah sama Lee Min Ho,” ceplosnya dengan nada datar.

“Kamu kok enggak sopan sih sama Mama? Mama ini berjuang puluhan tahun buat naskah Mama yang satu ini. Harusnya kamu dukung Mama, bukan ngehina kayak gitu.” Elina langsung meminum teh di hadapannya yang masih hangat dan utuh itu, membuat Fabian tersenyum tipis akan perilaku mamanya yang tak pernah berubah--suka seenaknya sendiri.

“Fabian, Mama ini enggak ada maksud ngehalu, ya. Mama kan ngaku istri Lee Min Ho buat manasin ayah kamu yang banyak enggak peka sama songong. Udah tua juga, masih songong. Untung Mama cinta, ya,” lanjutnya membela diri. “Atau jangan-jangan Mama diguna-guna, makanya jadi kepincut sama ayah kamu?”

Fabian menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya. “Enggak usah mikir yang aneh-aneh. Mama itu bukan diguna-guna, tapi kena azab. Azab suka jelek-jelekin rival, akhirnya menikah karena jatuh cinta.”

“Kamu jangan jelekin Mama, nanti kena azab juga, lho. Azab anak suka jelekin mamanya, akhirnya kena sial nikah sama perempuan yang lebih ribet dari mamanya.”

“Ma...,” Fabian menatap mamanya dengan raut wajah tak suka. “Jangan doa yang jelek. Doain anaknya cepet nikah, cepet punya anak, dan hidup bahagia aja.”

“Mama kan cuma bercanda. Doain itu pasti. Terus kapan kamu bawa calon kamu untuk dikenalin sama Mama dan Papa?”

Fabian menunduk lesu.

“Jangan bilang, kamu masih jomlo aja,” Elina menatap anaknya heran. Ia bingung kenapa Fabian tidak memiliki kekasih sampai sekarang. Padahal, putranya tampan dan mapan. Seharusnya banyak wanita yang mengantri.

“Mau Mama cariin jodoh?” tawar Elina antusias.

“Enggak, Ma. Fabian udah nemu calonnya. Tinggal atur strategi dapetinnya.”

“Ohh ... syukurlah. Kalau gitu langsung ajak nikah aja. Enggak usah kelamaan pacaran ini-itu. Mama udah sebel dengerin, emak-emak arisan yang pada nyindir Mama. Mereka selalu ngomongin kamu kok enggak nikah-nikah.”

“Enggak usah dengerin kata-kata mereka lah, Ma. Lagian cari jodoh itu enggak gampang. Lebih baik terlambat nikah, daripada salah pilih pasangan. Kalau rumah tangga Fabian ancur, gara-gara salah pilih pasangan, apa mereka juga mau tanggung jawab. Enggak, kan? Malah nyinyirnya semakin kenceng.”

Elina tersenyum mendengar penuturan putranya, “Ya, bener. Mama doain deh, kamu cepet nemuin jodoh. Kalau bisa waktu pesta perayaan novel Mama yang dijadiin film, kamu udah bawa calonnya. Enggak lucu kan tiap ada pesta, kamu enggak ada gandengannya. Kelihatan ngenes amat.”

Fabian hanya berdeham.

“Mama pernah jadi jomlo dan tahu betapa tersiksanya dihina-hina, kenapa kok enggak taken. Terus ditanyain kapan nikah. Itu nyebelin banget, padahal kan hak asasi mau nikah atau enggak. Mama, cuma bisa semangatin dan doain kamu. Dan, kamu jangan sungkan sama Mama, kalau butuh bantuan buat deketin perempuan yang kamu suka.”

***

Indira memberikan data laporan keuangan bulan ini yang ia dapatkan dari departemen keuangan kepada Fabian, lelaki itu langsung menerimanya. Ia lihat sekilas. “Terima kasih, Dir.” Fabian langsung meletakkan data itu di atas mejanya.

Indira tersenyum seraya mengangguk, lalu berujar, “Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?”

“Saya mau tanya, jadwal saya hari ini apa saja?”

“Bapak nanti siang ada janji makan siang dengan wakil GnY Group, lalu ada rapat dengan manajer setiap departemen. Hanya itu untuk hari ini, “ jelas Indira dengan santai.

“Saya minta kamu kopikan file ini, rangkap dua, ya,” perintahnya dengan nada datar. Raut wajahnya tampak lesu membuat Indira penasaran ada apa dengan bosnya yang menyebalkan itu.

“Baik, Pak. Emh ..., mohon maaf Pak,” Indira berkata dengan lembut. “Bapak sakit, ya?”

Fabian menaikkan sebelah alisnya, lalu menggeleng.

“Syukurlah, kalau begitu. Saya kira Bapak sakit.”

“Enggak, kok. Bukannya, kamu seneng ya kalau saya sakit,” celetuknya dengan nada dingin.

Indira mencoba tetap tersenyum. “Mana mungkin, saya senang Bapak sakit,” Indira berkata jujur. Pasalnya kalau Fabian sakit, pasti akan menyusahkan dirinya.

“Kamu senang kan kalau saya sehat?”

Indira hanya mengangguk.

“Kalau gitu, kenapa kamu nolak saya jadi calon suami kamu? Kamu tahu enggak, fisik saya enggak sakit. Tapi, hati saya sakit. Sangat sakit, Dir.” Fabian memegang dadanya, menatap sendu manik cokelat itu.

Indira merutuki bibirnya yang bertanya, apakah Fabian sakit atau tidak. Itu malah membuat petaka untuknya. Lelaki gila ini berulah kembali dan membuat kepalanya pusing seketika.

“Maaf, Pak. Bisa kan kita profesional sehari saja,” pinta Indira dengan suara merendah, “saya di sini mau kerja, Pak. Bukan cari jodoh.”

“Menyelam sambil minum air, kan enggak apa-apa kalau hasilnya baik,” kekeh Fabian.

“Yang baik untuk Bapak, belum tentu baik untuk saya.” Indira mengalihkan pandangannya ke berkas yang akan dia fotokopi. “Permisi, Pak. Saya pamit mau fotokopi dulu, ya.” Indira langsung melangkah, tanpa menunggu instruksi dari Fabian untuk pergi.

Fabian hanya menatap ke arah pintu dengan senyum simpul.

***

“Dira,” panggil Fabian yang membuat langkah sekretarisnya berhenti. Perempuan itu menengok, lalu tersenyum sesantai mungkin. Meski dalam hati, ia merapalkan mantra agar Fabian tidak menyuruhnya melakukan hal-hal yang aneh. Ia ingin segera pulang dan merebahkan diri di kasur empuknya.

“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”

“Saya mau ngajak kamu pulang bareng,” katanya dengan senyuman simpul, yang membuat Indira curiga.

“Sopir Bapak cuti lagi?”

“Enggak, tapi saya suruh cuti.”

Indira membuka mulutnya dan melototkan matanya. Tampangnya benar-benar menggelikan, tapi begitu mengemaskan di mata Fabian.

“Ekspresi kamu kok lucu banget, sih?” Fabian menepuk pundak Indira pelan.

“Bapak kok kasih cuti buat sopirnya, sih? Saya kok enggak,” ketusnya tidak terima.

“Nanti kalau kamu nikah, boleh cuti. Apalagi, kalau nikahnya sama saya. Pasti cutinya boleh lama. Kan honeymoon dulu,” Fabian terkekeh yang membuat Indira jengkel seketika.

“Aish ...,” Indira menghela napas sejenak. “Terus saya suruh nyetiran mobil Bapak lagi?”

“Enggak, dong. Kan saya ngajak pulang bareng. Berarti saya yang nyetir.”

Indira menatap Fabian curiga, ia merasa ada yang aneh dengan bosnya. Walau sebenarnya sudah aneh, tapi kali ini benar-benar semakin aneh perilakunya. Seorang Fabian mau menyetir mobil sendiri dalam keadaan tidak darurat, itu mustahil rasanya.

“Bapak habis makan apa? Tumben mau nyetir mobil sendiri?”

“Tadi, cuma makan sup. Saya lagi senang aja. Toh, hari ini pekerjaan saya enggak banyak. Jadi, enggak terlalu capeklah kalau nyetir mobil,” jawabnya semringah. “Mau kan pulang bareng sama saya.”

Indira merenung.

“Udah, enggak usah kelamaan mikir. Ayo, pulang bareng saya.” Fabian mengandeng tangan Indira yang membuat jantung wanita itu berdetak menjadi tak keruan.

Indira mengamati tangannya yang digenggam Fabian sepanjang jalan menuju basement. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya, karena rasa hangat genggaman tangan Fabian, membuat hatinya tenang seketika. Biasanya ia merasa tangan itu telah kurang ajar menariknya paksa--untuk melakukan sesuatu yang dia tak suka.

Begitu sampai di depan mobil, Fabian membukakan pintu untuk Indira. Itu hal yang langka terjadi. Selama ini adanya Indira yang membukakan pintu untuk Fabian.

“Pak,” panggil Indira.

Fabian hanya berdeham dengan melirik Indira sekilas. Ia kembali fokus menatap ke jalanan.

“Bapak, kok baik banget mau ngantar saya pulang, ada apa, ya?”

“Biasanya juga baik banget, kan,” sahutnya percaya diri. “Saya mau makan di restoran yang satu arah sama jalan ke rumah kamu. Sekalian kan, hitung-hitung kamu bisa hemat ongkos pulang. Jadi, pegawai harus hemat Dir. Biar cepat kaya.”

Indira hanya mengangguk, meski ia tidak yakin hanya itu alasan Fabian.

“Kamu sekalian aja, makan malam sama saya,” ajak Fabian dengan santai.

Indira menggeleng. Ia ingat pernah diajak makan Fabian di restoran mewah. Namun, dia sendiri yang harus membayar tagihannya.

“Saya sudah kenyang, Pak. Ngantuk, mau tidur.”

“Padahal, saya mau traktir kamu. Ayo, jangan nolak. Ini restoran mewah, makanannya enak-enak.”

“Serius mau traktir saya?”

“Iya, kapan saya pernah bohong?”

“Ya udah deh, Pak. Saya ngikut.”

Fabian tersenyum.

***

Indira masih takjub dengan makanan yang terhidang di hadapannya. Ia tidak percaya si pelit Fabian mau mengeluarkan banyak uang untuk memesan makanan dan minuman paling mahal. Dirinya jadi bingung mau memilih makan yang mana.

“Ayo, dimakan! Katanya tadi enak semua.” Fabian mengambil steak, lalu memotongnya. “Jangan-jangan kamu bohong, ya.”

Indira menggeleng, ia tidak bohong kalau semua makanan itu lezat. Lidahnya tidak mungkin salah menilai sewaktu mencicipi sedikit hidangan itu--untuk memastikan layak di makan atau tidak--sebelum Fabian menyantapnya.

“Saya cuma bingung, Pak. Lezat semua makanannya.”

“Tinggal ambil aja, kalau kurang pesan lagi. Tenang kok, kamu enggak bakal keluar sepeserpun.”

“Dalam rangka apa Bapak mentraktir saya kayak gini? Jarang-jarang, Bapak ngajak saya makan di restoran kalau bukan ada rapat dengan klien penting. Paling sering beli bakso, nasi goreng, atau bakmi di pinggir jalan.”

“Kan kita enggak sengaja lewat, ya beli makanan di tempat yang dekatlah. Ini saya jauh-jauh ke sini karena dapat kupon gratis makan sepuasnya. Daripada saya makan sendiri, ya saya ngajak kamu. Saya kan enggak mau terlihat ngenes karena enggak punya pasangan.”

Indira menipiskan bibirnya. Sudah ia duga, orang pelit tidak mungkin dermawan seketika.

“Ayo, dimakan! Kalau enggak mau makan, saya suapin sini.” Fabian langsung mengambil sendok sup Indira, lalu menyendoknya ke depan mulut sekretarisnya itu.

Indira menolak. “Maaf, Pak. Saya bisa makan sendiri.”

“Ya udah,” Fabian menaruh sendok digenggamannya kembali ke mangkuk dengan lesu.

Indira langsung memakan sup dengan kaldu yang kental. Ia dapat merasakan rasa hangat, gurih yang menjalar di mulutnya--begitu memanjakan lidah.

“Bapak kok berhenti makan? Apa cara saya makan membuat Bapak jadi enggak nafsu makan?” Indira mengamati Fabian yang hanya memainkan sendok dan garpunya tanpa menyantap hidangannya.

“Enggak, kok. Saya cuma iri aja,” Fabian menjeda kalimatnya. “Saya sering lihat anak muda zaman sekarang, kalau pacaran sering suap-suapan. Saya udah masuk kepala tiga, tapi belum pernah disuapin sama kekasih. Punya kekasih aja enggak.”

“Ohh ..., kirain.”

“Dir, suapin dong!”

Jantung Indira berdegup dengan kencang. Tangannya menjadi gemetar, segera ia tarik ke bawah meja agar Fabian tak melihat keadaannya itu.

“Ba ... Bapak kan sudah dewasa masa makan disuapin. Harusnya Bapak bangga, kalau makan enggak pernah disuapin. Itu tandanya mandiri,” kilahnya dengan hati-hati.

“Ini bukan hal yang dibanggakan, Dir. Ini namanya ngenes. Ayolah, Dir! Tolong wujudin mimpi saya. Masa kamu tega, sih?” Fabian memberengut persis anak kecil--membuat Indira geli melihat tingkah bosnya itu.

“Cuma suapin, sekali aja!” mohon Fabian dengan nada lembut.

“Saya kan bukan kekasih Bapak, sama aja bohong kalau saya suapin. Kan, mimpi Bapak disuapin pacar.”

“Anggap aja, kamu pacar saya hari ini. “

“Pak, kebohongan itu menyakitkan lho.”

“Ya udah, kamu jadi kekasih saya aja. Biar bukan kebohongan dan tidak menyakitkan.”

Indira bingung, dirinya merasa semakin senang karena Fabian terus mendekatinya. Namun, ada penolakan juga dalam hatinya. Ia masih memiliki keraguan yang besar untuk Fabian. Meski mulai ada rasa nyaman di dekat lelaki itu.

“Bapak, kok semakin hari ngebet mau pacaran sama saya, nikah sama saya? Enggak mau coba deketin wanita lain?”

“Enggak ada waktu. Kalau ada yang dekat, ngapain nyari yang jauh-jauh. Lagian, kamu bohong. Katanya, mau nyariin saya jodoh. Mana buktinya, enggak ada calonnya.”

“Sabar dong, Pak. Saya kan lagi usaha nyariin yang terbaik buat Bapak. Kalau enggak cocok, nanti Bapak ngomel sama saya. Lagian, saya nyari jodoh buat saya aja susah. Apalagi, nyariin buat Bapak.”

“Saya enggak mau tahu, kalau sampai acara pesta Mama saya diadakan, kamu belum juga nemuin calon buat saya, maka kamu yang jadi calonnya.”

“Enggak bisa gitu dong, Pak. Lagian, Bapak bilang acara perayaan ulang tahun perusahaan. Kenapa sekarang jadi acara pestanya orang tua Bapak,” tolak Indira tak terima.

“Yah, saya kan butuh gandengan. Masa kamu tega melihat dan mendengar saya dicibir terus. Kamu kok jadi sekretaris enggak peka, kalau atasannya di-bully. Atau kamu senang kalau saya dicibir enggak nikah-nikah.”

“Lah, itu kan bukan urusan saya, Pak. Masalah Bapak enggak dapat jodoh itu kan urusan pribadi Bapak, enggak ada hubungannya sama pekerjaan saya,” elak Indira yang tidak mau disalahkan.

Fabian menyebikkan bibirnya, persis anak kecil. “Kamu emang tega sama saya. Dasar pegawai tidak setia. Nyesel saya muji kamu pegawai terbaik.”

“Apa hubungannya sama kesetiaan? Kesetiaan saya sebagai pegawai Bapak itu, ya bantu Bapak mengatur jadwal pekerjaan Bapak sehari-hari di kantor dan tidak membocorkan rahasia perusahaan,” Indira mengaduk-aduk jusnya, lalu meminumnya sedikit untuk menyegarkan pikirannya yang terasa pusing karena ucapan Fabian.

Fabian kembali menyantap makanannya dengan raut wajah datar. Entah apa yang dipikirkannya. Sementara Indira tengah mengatur degupan jantungnya agar bisa berdetak dengan normal.

“Dir, saya tahu kesetiaan kamu sama saya sebagai atasan kamu dan perusahaan tidak usah ditanyakan lagi. Tapi, kan kamu juga teman saya. Harusnya, kan kasih solusi. Bantuin juga. Bukan malah tak acuh. Atau jangan-jangan kamu juga suka ikut nyibir saya, ya, kalau saya masih single aja.”

Indira yang mendengar kata teman membatin seketika. Siapa yang mau menjadi teman pria menyebalkan seperti Fabian itu. Perasaan Indira tidak pernah berikrar menjadi teman dari bos pelit.

“Jomlo, Pak. Bukan single. Jomlo itu enggak laku, tapi single itu pilihan. Bapak aja cari jodoh sampai sekarang enggak nemu. Itu tandanya jomlo,” Indira berujar sekenanya. Dirinya tidak memikirkan Fabian akan tersinggung atau tidak. Ia hanya ingin mengucapkan apa yang ada di pikirannya. “Saya enggak pernah nyibir status Bapak di belakang, kok. Lagian, saya aja belum taken. Mana mungkin saya nyibir Bapak yang enggak laku-laku.”

“Barusan itu apa, kalau enggak nyibir. Kamu bilang saya enggak laku. Kamu aja juga enggak laku-laku, kok menghina saya.”

“Saya enggak menghina Bapak. Itu fakta. Ngomong-ngomong saya ini belum taken, bukan karena enggak laku, tapi ada jin pelit yang selalu muncul tiba-tiba waktu saya kencan. Masa setiap saya lagi PDKT digangguin mulu,” ketus Indira mengingat tingkah Fabian yang seenaknya sendiri, tanpa ia sadari kalau dirinya baru saja menyebut Fabian--jin pelit--karena saking kesalnya.

Fabian yang dikatakan jin pelit, langsung memberengut seketika. Ia memandang Indira dengan tatapan dingin. “Saya ini bukan jin, ya. Kamu kok jadi sekretaris kurang ajar, ngatain bosnya jin pelit. Saya ini tampan gini dibilang jin. Sepertinya kamu perlu saya ajak ke dokter spesialis mata.”

“Lah, emang saya ngatain Bapak? Bapak kok merasa?” Indira menjawab sesantai mungkin, meski dalam hati ia takut Fabian murka. Walau dirinya tidak melihat tanda-tanda amarah yang memuncak di raut wajah Fabian--hanya raut kesal biasa--tetap saja hatinya gusar.

“Ya sudah, lupain aja.”

Indira menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Sabar Indira, kamu sebentar lagi enggak akan kerja sama bos pelit ini,” lirih Indira menyemangati dirinya sendiri. Namun, siapa sangka didengar Fabian.

“Kamu mau resign?”

Indira membelalak, lalu berdeham untuk menghilangkan kegugupannya. “Enggak, Pak.” Indira tidak berbohong, ia memang akan berhenti menjadi sekretaris Fabian karena masa kontrak kerjanya akan segera habis.

“Kalau mau resign juga enggak pa-pa. Tapi, jangan lupa bayar denda,” jawabnya dengan nada dingin. Kentara sekali kalau Fabian tidak bisa merelakan Indira berhenti menjadi sekretarisnya. “Kalau enggak mau bayar denda, jadi istri saya saja.”

“Enggak, Pak. Walau tabungan saya sisa kalau buat bayar denda, tapi saya enggak mau resign. Sayang kan kalau saya harus nghabisin uang hasil kerja saya, hanya untuk membayar denda setelah sekian lama bertahan menjadi sekretaris Bapak.”

“Tadi, saya denger kamu ngomong kalau bentar lagi, kamu enggak akan kerja sama saya. Kalau bukan mau resign terus apa?”

Indira menatap Fabian sejenak. Ia menambah daftar kekurangan Fabian. Pelupa. Bisa-bisanya, lelaki ini tidak ingat kalau masa kerja Indira dengannya akan usai.

“Bapak lupa? Kontrak saya kan bentar lagi habis,” balas Indira dengan nada semringah, tetapi hatinya entah kenapa merasa tidak begitu senang. Padahal, dulu ia ingin segera mengakhiri kerja samanya dengan Fabian.

Fabian bergeming. Ia teringat seketika. Raut wajahnya menjadi muram, “Kok cepet, yah. Kayaknya baru kemarin kamu memperkenalkan diri.”

“Iya, Pak. Bapak harus secepatnya juga mencari sekretaris baru. Walau masih beberapa bulan kontrak saya habisnya.”

“Kamu daftar lagi aja. Saya udah cocok sama kamu,” pintanya dengan nada penuh harap. Meski Fabian tahu kalau Indira tetap akan menolak.

“Enggak, Pak. Terima kasih. Saya mau lanjut S3 atau kerja di kantor ayah saya,” terang Indira apa adanya. “Kayaknya sih, saya mau kerja aja.”

“Oh iya, kamu anak orang kaya.” Fabian meminum jusnya sedikit untuk membasahi tenggerokannya yang terasa kering karena banyak bicara.

Indira hanya merenung.

“Sampai sekarang saya heran.”

Indira yang menunduk langsung mendongak. “Heran kenapa, Pak?”

“Kamu enggak betah jadi sekretaris saya, tapi tetep aja bertahan selama beberapa tahun ini. Padahal, kalau kamu bayar denda itu enggak ada apa-apanya untuk seorang putri dari keluarga Pradipta. Ngapain enggak kerja di tempat ayah kamu dari dulu?”

Indira tersenyum. “Sebelum saya kerja di tempat Bapak pun, saya juga enggak kerja di perusahaan ayah saya. Itu semua karena saya mau mandiri dan mau merangkak dari bawah. Kalau saya kerja di perusahaan ayah saya, meski jabatan saya hanya staf biasa, tetap saja masih ada pegawai yang sungkan mau negur saya kalau misalnya saya berbuat salah. Lagian, saya juga ingin ngerasain jadi bawahan orang itu rasanya gimana.”

Fabian tersenyum mendengar jawaban Indira. “Tapi, kan kalau kamu enggak betah bisa resign. Terus coba kerja di tempat lain.”

“Saya itu sedang menempatkan diri kalau saya cuma orang biasa, yang mana sanggup membayar denda. Biar nanti saya tahu gimana nghadapin bawahan saya, kalau saya udah mimpin perusahaan ayah saya. Biar saya enggak semena-mena karena saya pernah ada di posisi itu.” Indira bertekad tidak akan menjadi bos yang arogan atau seenaknya sendiri karena ia tahu rasanya diperlakukan semena-mena itu seperti apa.

“Lagian, saya jadi sekretaris Bapak itu ngelatih kesabaran dan tanggungjawab. Ini enggak seberapa, nanti beban saya lebih berat lagi, ketika saya jadi pemimpin perusahaan ayah saya. Kalau hanya kayak gini aja saya nyerah, bagaimana saya jalanin perusahaan ayah saya kalau ada masalah. Padahal, nasib ribuan pekerja ada di bawah kepemimpinan saya,” lanjut Indira dengan nada tenang.

Fabian terkesima dengan penuturan Indira.

Fabian menatap Indira saksama, ia mengerti posisi wanita di hadapannya ini yang harus memikul tanggungjawab kelak. Karena, Indira adalah putri satu-satunya dari Satya Pradipta. Mau tidak mau, suka tidak suka, perempuan itu harus menjalankan usaha keluarganya.

“Bagus, Dir.”

“Emhh ... saya mau ngucapin banyak terima kasih sama Bapak.”

“Terima kasih?” Fabian mengerutkan dahinya, lalu tersenyum sekilas. “Iya, sama-sama. Besok saya traktir lagi. Mumpung ada diskon 90% di restoran dekat kantor.”

“Bukan itu maksud saya, Pak. Saya cuma mau berterima kasih karena berkat menjadi sekretaris Bapak, saya jadi dapat banyak ilmu dalam bisnis.”

Indira dulu memutuskan menjadi sekretaris Fabian karena tahu benar berita kepiawaian Fabian dalam berbisnis. Makanya, ia melamar menjadi sekretaris lelaki itu. Dirinya jadi mendapat banyak ilmu dalam menangani berbagai masalah bisinis.

“Wah, jangan-jangan kamu emang sengaja ya, melamar jadi sekretaris saya.”

“Ya sengajalah, Pak. Orang jelas-jelas saya ngelamar jadi sekretaris.”

“Ternyata kamu licik, ya. Enggak sepolos yang saya kira.” Fabian menyipitkan matanya, “jangan-jangan kamu mau njegal saya, ya?”

Indira menggeleng. Tidak ada niat seperti itu di benaknya. Ia hanya ingin menambah wawasan saja.

“Enggak, Pak. Mana mungkin saya seperti itu.”

“Buktinya, kamu enggak mau nikah sama saya. Itu kan bukti pengkhianatan.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height