Random Wife/C4 Mencari Jodoh
+ Add to Library
Random Wife/C4 Mencari Jodoh
+ Add to Library

C4 Mencari Jodoh

--Cari jodoh itu tak semudah meludah. Kalau salah pilih, dapat masalah. Kalau enggak nemu-nemu jodoh bukan dibantu nyariin, tapi makin kenceng di-bully kapan nikah?--

Elina berjalan dengan santainya menuju ruangan putranya. Ia membawa beberapa undangan pesta perayaan penayangan filmnya. Dirinya tak sabar memamerkan pada Fabian.

Indira yang baru saja mengopi data tak sengaja berpapasan dengan ibu atasannya. Dirinya langsung mengambil napas dalam-dalam. Seperti sebelum-sebelumnya, ia harus memasang kesabaran yang ekstra. Bukan hanya Fabian saja yang sering merepotkan, tapi ibu lelaki itu juga.

“Siang, Bunda El,” sapa Indira dengan senyum mengembang kepada ibu atasannya yang enggan dipanggil nyonya atau ibu itu. Jadi, semua pegawai di sini yang masih muda memanggilnya Bunda El. Bunda itu katanya panggilan akrab dari pembaca novel wanita paruh baya itu, lebih tepatnya dari fansnya. Makanya, dia suka dipanggil Bunda El. Yang entah ilusi atau nyata. Indira masih mempertanyakannya.

“Siang juga, Dek Indira,” jawabnya dengan semringah.

Indira menahan tawanya, entah kenapa setiap ibu atasannya itu memanggilnya “Dek” membuatnya geli. Ia masih ingat pertama kalinya bertemu dengan Elina, perempuan itu mengatakan kalau umur hanyalah bilangan, tidak akan mengubah jiwanya yang selalu menggelora.

“Bunda El, kelihatannya senang sekali. Habis piknik, ya.”

“Tahu aja saya baru saja dari LA,” katanya dengan nada bangga, lalu mengambil sebuah kotak dari tasnya. “Ini oleh-oleh buat kamu.”

Indira menerimanya, “Terima kasih, Bunda El selalu baik sama saya. Saya sangat terharu, diberi oleh-oleh dari Los Angeles.”

“Los Angeles? Saya baru aja kemarin dari Lenteng Agung, bukan Los Angeles. Kalau dari Los Angeles saya pasti mampir ke Sawgrass Mill, kamu pasti saya kasih oleh-oleh Ferragamo. Sayangnya saya enggak ke sana.”

Indira hanya mengangguk. Dirinya juga tidak mengharapkan oleh-oleh dari Elina, walau perempuan itu baik padanya--sering memberikan cendramata--yang tak bisa dikatakan murah.

“Emh ... Bunda El, saya harus ke ruangan Pak Fabian mau kasih laporan.”

“Sipp. Ayo, sekalian!”

***

Elina begitu antusias menceritakan rencana pestanya kepada putranya, yang hanya ditanggapi anggukan saja oleh Fabian. Sementara Indira yang masih di ruang Fabian hanya diam membatin. Ia ingin sekali keluar dari ruangan atasannya, tapi tugasnya belum selesai karena sang ibu bosnya itu memberikannya tugas tambahan untuk membagikan undangan ke beberapa petinggi.

“Fabian, lihat ini bagus, kan?” tunjuk Elina pada gambar dekorasi pestanya.

“Ma, kenapa semuanya warna pink? Sejak kapan suka warna pink?”

“Sejak ayah kamu ngasih gaun warna pink buat Mama. Hahaha ...,” tawanya begitu bahagia. “Emhh ..., jangan lupa bawa pasangan Fabian ke pesta Mama. Biar kamu enggak kelihatan ngenes.”

Fabian mendesah lesu, lagi-lagi mamanya mengingatkan hal menyebalkan itu.

“Indira, catat baik-baik, ya. Kalau akhir bulan ini, saya mau ngadain pesta dan Fabian harus membawa pasangan. Kamu harus mengingatkan Fabian untuk membawa pasangan.”

“Iya, Bunda El. Akan saya catat sekarang,” Indira mengeluarkan buku catatan kecil dari sakunya, lalu ditulisnya ucapan Elina. Meski tanpa dicatat pun ia ingat, kalau Fabian butuh pasangan.

“Bagus-bagus, kamu jangan lupa dandan yang cantik, ya. Siapa tahu nanti ketemu jodoh, ada eksekutif muda yang tertarik sama kamu,” Elina menepuk pelan bahu Indira. “Emhh ... kamu enggak usah dandan juga udah cantik. Kalau perempuan cantik emang gitu, nikah enggak buru-buru, soalnya bingung mau milih siapa. Kayak saya dulu, bingung mau milih siapa. Tapi, malah jodohnya enggak terduga,” Elina menggeleng-gelengkan kepalanya.

Indira memerhatikan raut wajah Elina dengan saksama, ia akui di usia kepala lima perempuan itu masih terlihat cantik. Bibirnya seperti warna ceri tanpa polesan bibir, kulit kuning langsat bersih tanpa noda. Hanya ada sedikit kerutan di dekat kelopak matanya, mungkin karena kurang tidur. Namun, sayangnya sifat wanita itu memiliki kemiripan seperti Fabian suka membanggakan diri. Tapi, perempuan ini tidak hemat seperti putranya.

“Ma, mending Mama pulang aja.”

“Lha, kamu kok ngusir Mama?”

“Bukan ngusir, Ma. Fabian tuh mau kerja, Indira juga mau kerja. Mama malah ngajak ngobrol mulu. Bahas pestanya di rumah aja.”

“Baru juga sebentar. Makanya, kamu sulit jodoh. Kerja mulu. Percuma anak Mama ini ganteng, cerdas, mapan, rajin menabung, baik hati, dermawan, tapi enggak dapat jodoh-jodoh.”

“Ma ...,” tekan Fabian dengan tatapan memohon.

Indira memutar bola matanya, dalam hati ia membenarkan kalau teori seorang ibu pasti suka memuji anak lelakinya ini itu berlaku untuk Elina. Buktinya semua hal baik disebutkan ada pada diri Fabian, yang kenyataan diragukan.

“Iya, Mama pulang. Jangan lupa makan, nanti kamu sakit lagi,” pamit Elina dengan raut wajah yang masih sama dengan tadi. Semringah. “Dek Indira, saya pulang dulu, ya.”

“Iya, hati-hati ya, Bunda.”

Elina mengangguk, lalu keluar dengan senyuman khasnya yang terlihat mencurigakan kalau perempuan itu memiliki rencana terselubung yang tidak diketahui.

Fabian berdeham selepas ibunya pergi.

“Dir, kalau Mama saya ke sini lagi, bilang saja kalau saya sibuk atau ada rapat penting,” titah Fabian dengan raut wajah datar.

“Pak, saya enggak berani bohong sama mamanya Bapak. Takut kualat.”

“Kamu senang ya, kalau Mama saya ke sini terus saya di-bully karena enggak nemu jodoh? Kamu kok jahat sih, Dir.”

Indira hendak menyahut, tapi Fabian kembali bicara. “Dir, kamu tadi dengar sendiri kan kalau saya harus bawa pasangan di acara pesta Mama saya. Kamu tahu kan betapa tertekannya saya. Saya ini benar-benar patut dikasihani, kan?”

Indira meringis, tak paham.

“Teman-teman saya udah pada punya anak lucu-lucu. Saya udah kepala tiga, ngerasain pacaran aja belum pernah, apa lagi punya anak. Ini namanya sakit tidak berdarah, Dir.” Fabian memasang raut wajah frustrasi.

“Ya udah Pak, nikah sama Mimi Perih aja, Pak. Pasti mau,” balas Indira asal. Kepalanya semakin berdenyut-denyut setiap Fabian membahas dirinya yang tak kunjung menemukan jodoh, karena membuat beban pikirannya bertambah.

“Kamu kok jahat, sih. Ayo, dong bantuin saya. Udah nemu calon buat saya belum?”

“Kan saya udah kasih foto-foto perempuan yang saya pikir cocok dengan Bapak.”

“Cocok apaan. Enggak ada yang bener. Masa ada yang badannya kayak cowok, berotot semua. Lihat aja udah takut dipukul. Nanti kalau saya ngelakuin kesalahan terus dihajar gimana? Kamu senang ya, kalau saya bonyok.” Fabian mengeluarkan satu foto dari amplop, lalu ia goyang-goyangkan foto itu di hadapan Indira.

Indira ingin tertawa, tapi ia tahan. Perempuan ini sama sekali tidak memeriksa foto yang diberikan oleh temannya yang didapatkan dari biro jodoh. Jadi, tak ada niatan untuk mengerjai Fabian. Itu semua terjadi atas ketidaksengajaan.

“Terus ini, masa usianya udah kepala lima, punya cucu satu lagi. Enggak mungkin kan, saya nikah sama perempuan yang umurnya enggak jauh dari mama saya. Enggak lucu kan kalau saya dipanggil ‘Opa’ sama cucu wanita ini.”

“Bagus kan, Pak. Bapak nikah langsung paket lengkap. Istri, anak, dan cucu. Jadi, Bapak enggak usah iri sama teman Bapak yang baru punya anak.”

“Ngeledek ya, kamu.”

“Terus Bapak maunya punya calon istri yang kayak gimana?”

“Yang tinggi dan langsing. Soalnya kasihan istri saya kalau pendek, nanti dia dongak mulu. Terus yang langsing, kalau misalnya istri saya marah, terus mukul, jadi enggak terasa sakit-sakit amat.”

“Udah gitu aja, kan?”

“Yang baik juga, rendah hati, sabar, dan enggak boros. Nanti saya bangkrut kalau istri saya suka foya-foya. Pokoknya yang bisa diajak hemat, bisa hidup sederhana.”

“Lah, katanya kalau Bapak nikah, bakal manjain istri Bapak. Mau apa aja pasti dituruti.”

“Iya, tapi kalau bisa dapat istri yang hemat kan malah bagus,” jawabnya santai. “Kalau bisa yang kayak kamu.”

Indira tersenyum masam. “Kayak saya gimana?”

“Yang baik hati, enggak manja, dan mandiri.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height