Random Wife/C5 Jodoh yang Terblokir
+ Add to Library
Random Wife/C5 Jodoh yang Terblokir
+ Add to Library

C5 Jodoh yang Terblokir

--Jika kata bisa membuat hati bergetar, maka kata juga bisa membuat cinta memudar. Hati-hatilah dalam berkata, kalau tidak mau kehilangan yang dicinta--

“Dir, saya bagusnya pakai baju hitam apa cokelat?” tanya Fabian menunjukkan kedua kemejanya.

“Kuning, Pak,” jawabnya asal seraya melipat pakaian Fabian yang tadi dilempar ke arahnya. Lelaki ini sangat menyusahkan Indira bagaimana tidak, hampir seluruh isi almarinya dikeluarkan untuk mencari pakaian terbaiknya.

“Dir, saya tanya serius. Ini kencan pertama saya. Pokonya saya harus terlihat keren di mata calon jodoh saya,” tegasnya dengan nada mantap.

“Bapak itu keren kalau enggak pelit,” Indira menumpuk pakaian Fabian dengan malas ke almari, lalu ia tak sengaja melihat gaun perempuan di sana. Indira langsung menatap Fabian curiga. Tidak mungkin gaun itu bisa ada di sana, kalau tidak ada yang membawa.

“Pak, ini gaun siapa?” Indira memegang gaun yang masih menggantung di tempatnya itu.

Fabian terkekeh. “Itu saya beliin buat kamu, tapi saya enggak berani kasih.”

Indira menyipitkan matanya, “Buat saya? Dalam rangka apa?”

“Waktu itu saya kan enggak sengaja lihat gaun itu, jadi keingat kamu yang suka warna peach. Saya langsung minta tolong dibungkus sama pramuniaganya, tanpa saya cek dulu.”

“Gaunnya rijek?” Indira mengambil gaun itu dan mengamatinya, selepas menatap Fabian.

“Bukan, tapi gaunnya lumayan terbuka.”

“Menurut Bapak saya enggak pantes ya, pakai gaun kayak gini? Kok sekarang Bapak yang hina saya?”

Fabian menggerakkan kedua telapak tangannya berlawanan, “Bukan, nanti kamu pikir itu gaun murah. Kan kurang bahan. Terus kamu bilang saya pelit lagi.”

Sudut bibir kiri Indira terangkat. Jawaban Fabian benar di luar dugaan. Tak masuk akal.

“Lagian, kalau kamu pakai ke luar buat jalan-jalan, nanti kamu bisa masuk angin. Kan gawat.”

Indira hanya menganggukkan kepala, tak berniat memprotes.

“Dir, terus saya pakai baju apa bagusnya? Kemeja apa kaos?”

“Bapak pakai apa aja, pasti tetap kelihat tampan,” sahut Indira apa adanya. Ia tidak berbohong sama sekali, kalau bosnya yang menyebalkan itu memang tampan dalam keadaan apa pun. Hanya sifatnya saya yang menyebalkan.

“Terima kasih, Dir. Gitu dong, jadi pegawai harus sering memuji atasannya. Kalau gitu, kan saya tambah sayang sama kamu.”

Indira terdiam kaku, gaun yang dibawanya jatuh seketika. Debaran jantungnnya lagi-lagi berdetak tak menentu. Perempuan ini terburu-buru mengubah ekspresinya sebiasa mungkin, lalu membungkuk mengambil gaun itu dengan raut wajah datar.

“Tuh kan Pak, gaunnya jadi jatuh. Gara-gara Bapak ngomongnya ngasal. Pakai sayang-sayang segala,” cibir Indira, lalu duduk bersandar di sofa, setelah menaruh gaun itu kembali ke almari.

“Salah saya apa? Kan saya emang sayang sama kamu, Dir. Kalau enggak sayang, udah saya pecat kamu dari dulu,” Fabian menjawabnya dengan tenang. “Saya kan orang baik, Dir. Semua saya sayangi. Keluarga, teman, tetangga, klien, pegawai saya sayangi semua. Apalagi, kalau pegawainya kayak kamu.”

“Iya-iya, saya tahu,” ketusnya. “Pak, kapan saya boleh pulang? Ini semua baju yang Bapak berantakin, udah saya tatain lagi ke almari. Sumpah Bapak lebih rempong daripada perempuan.”

“Dimaklumin aja, Dir. Saya kan baru pertama kalinya kencan, setelah puluhan tahun hidup. Terus, kamu jangan pulang dulu. Kamu temenin saya kencan, dong.”

Indira membuka mulut, saking kegetnya. Mana ada bawahan yang menunggu bosnya kencan. Tidak ada faedahnya sama sekali. Lalu, entah kenapa hatinya merasa tidak rela kalau Fabian berkencan dengan wanita lain.

“Saya enggak mau jadi obat nyamuk. Mana ada orang kencan ditemenin.”

“Kamu nanti di lain meja, kok. Tugas kamu ngawasin saya. Perhatiin apakah perempuan itu cocok untuk saya enggak. Terus kamu nilai saya udah bener belum kencannya. Kan saya belum pernah kencan.”

Indira ingin membenturkan kepalanya ke tembok. Ia bisa gila kalau terus menghadapi pria seperti Fabian.

“Kok diem? Kamu enggak sanggup lihat saya kencan sama wanita lain, ya? Kamu cemburu?” goda Fabian seraya duduk di sebelah Indira.

“Enggak,” bantahnya penuh kebohongan.

“Bagus. Jadi, kamu bisa temenin saya nanti. Lagian, saya butuh latihan juga.”

“Latihan apa lagi, Pak?”

“Latihan berdialoglah, masak mau latihan wik wik ah. Itu enggak boleh, kan belum sah,” Fabian terkekeh, “kamu pura-puranya jadi perempuan itu yang mau kencan sama saya, terus ini ceritanya kita baru pertama ketemu.”

Indira menepuk dahinya.

“Ayo coba, Dir!”

“Enggak ah, Pak. Bapak mendingan latihan berdialog di cermin aja.”

“Indira, kamu kok gitu, suka tega sama saya.”

“Pak--”

“Saya cinta sama kamu Indira!”

Bibir Indira kelu seketika. Renyut jantungnya terus berdenyut tak keruan. Manik matanya menatap Fabian lekat, mencari kebohongan di sana. Namun, tatapan itu terlihat tulus.

“Saya udah suka sama kamu sejak pertama kali bertemu. Kamu begitu memesona, entah kenapa begitu terlihat berbeda dengan wanita yang pernah saya temui sebelumnya.”

Tangan Indira bergetar, ia gerakkan jarinya agar rasa gemetar itu hilang.

“Saya selalu memikirkanmu setiap hari. Saya takut kehilangan kamu. Tolong jangan pernah tinggalkan saya. Apa pun yang saya milikki, tak berarti tanpa dirimu.”

“Ba-bapak ngomong apa, sih?” tanya Indira dengan nada rendah, ia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Saya baru saja mengutarakan isi hati saya kalau saya cinta kamu,” balasanya dengan nada lembut, lalu digenggamnya tangan Indira yang gemetar--memberikan sedikit kehangatan.

“Kamu adalah satu-satunya wanita yang pantas menjadi istri saya. Calon ibu untuk anak-anak saya. Hanya kamu, jadi tolong jangan tolak saya. Saya mencintai kamu sejak awal berjumpa.”

Indira menunduk untuk menyembunyikan rona pipinya yang memerah, ia selipkan rambutnya yang menjuntai ke telinga. Sesekali mengigit bibir bawahnya.

“Saya bingung mau jawab apa. Bisa Bapak kasih saya waktu untuk menjawabnya?” Indira melirik Fabian sekilas.

Tiba-tiba, Fabian melepaskan genggaman tangannya. “Hebat, kamu pintar juga berdrama. Cocok jadi bintang film,” puji Fabian seraya tersenyum.

Mata Indira membulat, ia mendongak dengan menatap Fabian kebingungan. Rona merah di pipinya pun memudar seketika. “Maksud Bapak apa, ya?”

“Akting kamu bagus. Terlihat natural. Padahal ini baru latihan dialog. Emang bener saya enggak salah pilih sekretaris kayak kamu. Serba bisa,” bangganya seraya menggulung kemejanya sampai siku, tanpa menatap Indira.

Indira membuang napas dengan raut wajah lesu. Ia tidak menyangka kalau baru saja tertipu oleh drama sang bos. Bisa-bisanya, Indira berpikir kalau Fabian benar-benar mencintainya. Lelaki seperti Fabian hanya mencintai uang, pikirnya.

“Iya, dong. Saya dikasih bonus, kan, Pak? Kan saya udah bantuin berdialog,” jawab Indira sesantai mungkin, meski dalam hati ia kesal. “Tapi, kenapa latihan dialognya begitu. Kan, Bapak sama calon jodoh Bapak itu baru pertama kali bertemu. Itu kan dialog cinta terpendam dan mau ngajak nikah?”

Fabian terkekeh. “Nanti kalau saya udah nikah, baru saya kasih bonus yang banyak,” Fabian melirik Indira saksama, lalu tersenyum simpul. “Kalau dialog kayak gitu saya bisa lancar, otomatis dialog kenalan biasa saya lebih lancar ngomongnya. Bener, kan?”

Indira hanya tersenyum masam.

“Muka kamu kok kayak gitu. Kayak enggak rela aja saya bisa ngomong gitu. Kamu sirik ya, saya mau nikah?”

“Enggak, kok. Ngapain sirik?”

“Lah, saya udah mau nemu jodoh. Sementara kamu masih jomlo aja. Itu juga salah kamu, sih. Suruh siapa enggak mau nikah sama saya. Makanya, masih belum nemu jodoh,” cibir Fabian yang membuat Indira semakin kesal.

“Saya enggak iri, kok. Lagian, nikah itu bukan ajang balapan. Yang duluan, yang menang itu salah banget. Siapa tahu yang duluan malah berantakan kalau asal cari pasangan,” sindir Indira balik.

“Kamu kok ngomong suka bener, sih? Siapa yang ngajarin?”

Indira tak menanggapi ucapan Fabian.

“Oh iya, ya. Saya lupa, kan saya yang ngajarin. Kamu kan sekretaris saya. Jadi, harus pintar ngomong.” Fabian menepuk bahu Indira.

“Terserahlah, Pak.”

“Yuk, siap-siap ke restoran. Kamu harus nemani saya, enggak ada penolakan.”

“Bapak kok selalu maksa, sih? Lagian, saya ke sana mau pakai baju apa? Bapak, kan main culik saya ke sini. Masih pakai baju rumahan juga. Untung saya enggak pakai daster.”

“Kamu pakai apa aja, bagi saya tetap cantik. Nanti kita mampir ke rumah kamu bentar, biar kamu bisa ganti baju.”

“Rumah saya jauh, daripada gitu beliin saya baju kenapa? Kalau enggak saya pakai gaun yang peach itu aja.”

“Jangan! Nanti kamu masuk angin kalau pakai gaun itu. Saya bisa susah kalau kamu cuti besok. Saya beliin baju baru deh.”

“Pak, bule pakai bikini aja enggak masuk angin. Cuma gaun kebuka dikit, mah enggak kenapa-kenapa. Terlalu berlebihan, deh. Bapak takut, kalau ada pria yang terpesona kepada saya, ya. Jangan-jangan cemburu lagi?” Indira menatap Fabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Ngapain cemburu. Lagian, saya kan mau nikah sama calon jodoh saya,” Fabian mengambil foto perempuan yang mau ia temui dan menunjukkannya kepada Indira. “Cantik nih, calon saya,” Fabian berkata bangga.

Indira melirik foto itu malas, dirinya hanya diam merenung. Membenarkan ucapan Fabian dalam hati.

***

“Kamu duduk di situ, ya,” ujar Fabian menunjuk meja samping jendela.

“Emang Bapak duduk di mana?”

“Harusnya saya duduk di samping kamu. Tapi, kok meja yang udah saya pesan didudukin sama Mbak yang pakai topi itu.” Fabian menatap kebingungan sosok wanita yang bisa dikatakan tidak langsing, tidak sama seperti di foto yang ia pegang sekarang. Rambutnya juga tidak panjang lurus, tapi kriwil.

Indira yang mengikuti arah pandang Fabian ikut berpikir juga. Bukannya kalau sudah dipesan, tidak bisa diduduki sembarang orang. “Mungkin itu asisten calon jodoh, Bapak.”

“Betul juga, ya. Coba saya ke sana langsung nanya,” Fabian langsung berjalan menuju meja nomor 11 itu. Sementara Indira hanya mengangguk.

Fabian menghirup napas dalam-dalam sebelum menyapa wanita di hadapannya. “Mohon maaf, Mbak. Ini kan mejanya Mbak Harum? Apa Mbak ini temannya Mbak Harum?”

“Saya Harum. Kamu Fabian, ya?” tanyanya dengan nada semringah.

Fabian terdiam seketika. Bibirnya terasa kelu. Ia berharap sedang berhalusinasi atau itu adalah mimpi.

“Bukan, Mbak. Saya Glory, saudara kembarnya Fabian,” bohongnya dengan nada setenang mungkin. Berharap tipuannya dapat dipercaya, apalagi ia telah menyebut nama ayahnya. Biasanya membawa keberuntungan.

“Masa? Bukannya Fabian punya saudara kembarnya cewek, ya?”

“Kami kembar tiga,” Fabian tersenyum simpul.

“Mau kamu kembarannya atau bukan, saya suka kamu. Saya mau jadi istri kamu,” Harum menatap Fabian dengan raut wajah penuh percaya diri.

“Saya sudah beristri. Saya kemari sama istri saya. Kami ke sini mau ngasih tahu kalau Fabian sudah dijodohkan sama mama saya. Jadi, dia enggak bisa nemuin Mbak.”

“Mas bohong, ya? Jangan coba nipu saya, ya.”

Fabian yang melihat raut wajah kesal perempuan di hadapannya menjadi cemas.

“Indira,” panggilnya menoleh ke arah Indira yang tengah menahan tawanya seraya menghadap ke arah jendela. Ia sengaja tidak menengok.

“Itu istri saya,” Fabian menunjuk ke arah Indira.

“Apa buktinya. Mbak itu aja enggak nenggok sama sekali.”

“Dia sedang mengandung anak saya dan lagi sensian. Makanya gitu. Itu beneran istri saya,” Fabian berkata dengan tegas.

“Mas enggak--”

“Sayang!” panggil Indira yang menghentikan ucapan perempuan bernama Harum itu. Ia merasa kasihan dengan Fabian, akhirnya memutuskan untuk membantu sang bos. “Udah belum ngejelasinnya sama Mbak ini. Anak kita laper, nih. Pengen makan batagor,” renggek Indira seraya menarik lengan Fabian persis seperti anak kecil.

“Maaf, Mbak. Sekali lagi maaf. Saya mau pamit. Kasihan anak dan istri saya kelaparan,” Fabian menyatukan kedua tangannya di depan dada, sebelum pergi menggandeng Indira.

***

Fabian terus menekuk wajahnya, sementara Indira tampak begitu ceria menikmati hidangan di hadapannya. Bagaimana tidak, ada banyak makanan lezat di sana karena bosnya mau tak mau harus mengeluarkan uangnya untuk mentraktir Indira--yang telah membantu lelaki itu. Jadi, sang nona sekretaris ini meminta dibelikan semua makanan favoritnya dari beberapa restoran.

“Bapak enggak makan?” tanya Indira basa-basi, sebenarnya ia tak peduli Fabian mau makan atau tidak, pasalnya dirinya juga masih kesal dengan pria itu yang telah mencemoohnya tadi.

Fabian menggeleng, membalikan sendok dan garpunya. Kemudian, ia hanya meminum tehnya sedikit.

Indira menatap Fabian saksama, memperhatikan paras rupawan sang bos yang terlihat lesu. Matanya terlihat sayu. Semenjak dari restoran lelaki itu tak banyak bicara. Hanya berkata “iya” atau “tidak”, selebihnya hanya gerakkan tubuh saja untuk menjawab pertanyaan Indira.

“Bapak terlihat aneh kalau enggak banyak ngomong. Masih syok sama kenyataan kalau calon istri Bapak tak secantik di foto?”

Fabian bergeming, ia mengambil foto di atas meja makan, lalu menatapnya kembali dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Sabar ya, Pak. Ini ujian,” Indira menepuk bahu Fabian pelan.

Fabian berdeham, “Enggak pa-pa, kok. Saya akan blokir dia,” sahut lelaki itu setenang mungkin, lalu tersenyum simpul.

“Blokir? Maksudnya?”

“Saya kan awalnya yakin dia jodoh saya. Sekarang status dia adalah jodoh yang terblokir. Saya blok dia dari daftar jodoh saya.”

Indira membuka mulutnya tak percaya dengan apa yang ia dengar. Bosnya semakin hari, semakin aneh. Mana ada jodoh yang terblokir? Baru kali ini ia dengar dan rasanya sangat aneh.

“Enggak usah kayak gitu lihatinnya. Nanti jatuh cinta sama saya atau kamu sudah jatuh cinta sama saya. Makanya, lihatin saya kayak gitu saking terpesonanya,” Fabian terkekeh.

Indira menyesal berpikir kalau Fabian butuh dukungan karena terpuruk menghadapi kenyataan. Nyatanya kadar kepercayaan dirinya masih ada.

“Bapak kok narsis, sih? Siapa juga yang jatuh cinta sama Bapak? Si Mbak Harum tadi tuh yang cinta mati sama Bapak. Sana lamar,” goda Indira menahan tawanya.

“Tapi, dia bukan jodoh saya. Kan dari awal yang di daftar urutan pertama jodoh saya itu kamu. Jadi mau sampai kapan pun, jodoh saya yang pasti itu kamu. Ini takdir,” balasnya penuh percaya diri.

Indira berdecak. “Giliran dapat jodohnya zonk, Bapak bilang saya jodoh Bapak. Coba kalau enggak, pasti mencela saya lagi.”

“Bukan gitu. Saya kan kesal, kamu sih nolak saya mulu. Siapa tahu kan kalau saya kencan sama orang lain, kamu jadi sadar telah menyia-nyiakan saya. Ditolak itu sakit, Dir. Apalagi, berkali-kali,” Fabian memegang dadanya seraya memasang raut wajah melas. “Udah, kamu nikah aja sama saya. Masalah selesai.”

Indira menggelengkan kepala. “Bapak nikah sama ayam aja sana. Saya enggak mau punya suami kayak Bapak. Nanti saya sangat menderita. Jadi, sekretaris Bapak saya aja udah bikin sakit kepala.”

“Kamu kok gitu. Kamu enggak punya calon suami, kan. Jangan nolak dong. Nikah sama saya,” Fabian mengusap-usap punggung tangan Indira, “saya janji bakal jadi suami yang baik.”

“Udah, ah. Nafsu makan saya jadi hilang gara-gara Bapak.”

“Hilang apaan? Kenyang kali, kamu kan udah makan bakso, kebab, dan sup asparagus. Belum makan buah-buahnya. Alasan aja, ck ... ck ... ck ...,” Fabian memandangi mangkuk-mangkuk yang telah kosong.

“Sebenarnya saya kan masih lapar, tapi gara-gara Bapak sih jadi nafsu makan saya hilang.”

“Kamu kayak orang habis mbajak sawah aja, makan sebanyak itu. Biasanya juga makan dikit.”

“Makan dikit karena pasti Bapak enggak mau bayarin, kalau saya makan banyak. Ini kan mumpung ditraktir sebagai balas jasa hari ini.”

Fabian hanya mengangguk. “Dir, kalau makan jangan banyak-banyak yang berkalori. Takutnya, kamu kayak Mbak Harum tadi. Di foto doang cantiknya, aslinya--” Fabian menggantungkan kalimatnya tak berniat melanjutkan, begitu bayangan perempuan itu muncul di pikirannya. Ia geli sendiri.

“Enggak pa-pa gendut kalau sehat, Pak. Toh kalau mati enggak ditanya kamu gendut atau kurus. Tapi, yang ditanya seberapa banyak kita berbuat kebaikan,” Indira tersenyum manis.

Raut wajah Fabian semakin cerah mendengar penuturan Indira. “Sebenarnya saya enggak masalah sih punya istri gendut atau enggak. Cuma takut kalau berbuat salah terus dipukul, kan sakit itu. Bisa-bisa badan saya remuk semua.”

“Ahh ... alasan. Kebanyakan pria cuma lihat perempuan dari fisik aja. Termasuk Bapak. Kalau enggak, kenapa Bapak kecewa banget tuh calon istri yang terblokir ternyata enggak secantik di foto.”

“Kamu enggak percayaan sama saya sih. Dir, kalau kamu mau kurus atau gendut, mau keriput atau enggak kalau kamu jadi istri saya, tetap saya sayangi sepenuh hati.”

“Iya, disayangi karena cuma saya yang sabar nghadepin orang kayak Bapak. Enak di Bapak, enggak enak di saya.”

“Pokoknya, kamu harus nikah sama saya. Tanggung jawab, gara-gara kamu saya sekarang fobia sama kencan buta.”

Indira membelalakan matanya, apa hubungannya dengan dirinya coba.

“Kok saya yang disalahin. Ya salahin yang kasih Bapak foto perempuan itu dong.”

“Saya enggak bakal ke biro jodoh, kalau kamu bisa nyariin jodoh secepatnya buat saya. Kamu kan cuma janji-janji palsu, doang. Diajak nikah enggak mau, disuruh nyariin malah asal nyari.”

Indira ingin memukul Fabian dengan haknya kalau saja lelaki itu bukan bosnya.

“Kamu kok natap saya gitu. Saya jadi takut, jadi pengen peluk.”

Indira yang kesal langsung beranjak dari tempat duduknya. Ia hendak pulang. Berlama-lamaan di apartemen Fabian bisa membuatnya gila.

Fabian berdiri, lalu memeluk Indira dari belakang agar tidak pergi. “Dir, jangan marah. Sama calon suami enggak boleh kayak gitu.”

Indira terdiam sejenak, mencoba mengatur debaran di jantungnya. Ia berusaha melepaskan pelukan Fabian. Kemudian, ia berbalik setelah lelaki itu melepaskan pelukannya.

“Saya malas Pak diajak bercanda terus. Saya mau pulang.”

“Saya enggak bercanda. Kamu kan jodoh saya, calon istri saya.”

“Oke kalau Bapak nganggap begitu. Tapi itu beberapa detik yang lalu. Mulai sekarang Bapak adalah jodoh saya yang terblokir.”

“Enggak bisa gitu. Kalau keblokir, ya diaktifkan lagi. Saya hack kalau kayak gitu terus saya unblock biar saya jadi jodoh kamu lagi, enggak jadi jodoh yang terblokir deh.”

“Bapak kok suka maksa, sih?” Indira menatap Fabian jengah.

“Saya enggak maksa kok, kalau saya maksa udah dari kemarin kamu saya bawa ke gereja. Saya kan cuma mau nyadarin kamu, kalau saya itu jodoh kamu yang tertunda. Bukan keblokir,” kekehnya penuh percaya diri.

“Saya jadi kasihan sama Bapak. Ganteng-ganteng, tapi otaknya gesrek. Banyakin sembahyang biar enggak gila, Pak. Dekatin diri sama Tuhan, jangan cuma deket sama duit mulu.”

Fabian hanya tersenyum simpul, “Saya ini rajin ke gereja. Sesibuk-sibuknya saya, pasti saya tetap sembahyang. Makanya, saya kaya. Kan saya hamba yang bertakwa, jadi lancar rezeki.”

“Tapi seret jodoh karena pelit,” lirih Indira yang nyaris tak terdengar. “Pak, saya ini heran sama Bapak,” ungkapnya berusaha mengutakan semua hal yang ada di pikirannya.

Fabian bergeming, ia mengerutkan dahinya, lalu menatap Indira penuh tanya. “Heran kenapa? Heran kenapa saya tampan sekali, ya?”

“Ahahaha ..., saya enggak heran itu. Kan, orang tua Bapak memang punya wajah rupawan. Yang saya herankan itu sifat dan sikap Bapak yang aneh.”

“Kok aneh? Saya itu limited edition, bukan aneh. Tipe pria yang setia, baik hati, hemat, rupawan, dan pekerja keras. Oleh karena itu, pria semacam saya harusnya dikembangbiakkan. Makanya, saya harus cepat-cepat nikah biar punya keturunan. Dan, akhirnya pria baik seperti saya enggak punah.”

Indira ingin membenturkan kepalanya di tembok mendengar perkataan bosnya yang semakin aneh. Berkembangbiak? Punah? Memangnya komodo yang harus dilestarikan habitatnya, pikir Indira.

Indira mengulurkan tangannya ke dahi Fabian--memeriksa suhu badan lelaki itu--memastikan apakah bosnya itu sakit atau tidak, karena ucapannya semakin ngelantur.

“Bapak pikir, Bapak itu komodo, makanya harus dilestarikan? Bapak memang sepertinya sudah enggak waras karena kelamaan membujang. Ini nih azab orang kikir, susah jodoh akhirnya otaknya konslet.”

“Eh ... eh, saya itu enggak susah jodoh tahu. Buktinya banyak yang ngantri. Cuma saya maunya nikah sama kamu.”

“Pak, saya sarankan ke psikolog sana. Curhat seberapa menderitanya Bapak. Menurut saya, Bapak lebih butuh psikolog daripada jodoh. Setiap hari tambah aneh dan tambah kenceng ngejar-ngejar saya.”

“Masa saya aneh sih Dir, tambah keren kali. Kamu cuma cari alasan aja. Dir, kamu harus nerima kenyataan, kalau kamu adalah jodoh saya yang tertunda.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height