Random Wife/C6 Cemburu
+ Add to Library
Random Wife/C6 Cemburu
+ Add to Library

C6 Cemburu

--Jangan pernah melangkahi bos, apalagi dalam jodoh. Kalau enggak mau kena amarah--

Fabian terus memasang raut wajah datar, ia merenung sepanjang jalan. Hatinya gelisah karena hari semakin cepat berganti, tandanya ia akan segera berpisah dengan Indira. Tak ada lagi sekretaris yang siap sedia membantu pekerjaannya sehari-hari. Tidak ada lagi perempuan yang sering mendebatnya. Semua akan menjadi kenangan saja, karena Indira pasti akan sibuk dengan perusahaan ayahnya begitu masa kerjanya habis di perusahaan keluarga milik Fabian.

Elina berdeham, mencoba menyadarkan putranya untuk sadar dari lamunannya. “Fabian, kamu kenapa, sih?” tanya Elina menguncang lengan putranya.

Fabian memutar bola matanya karena terkejut. “Iya, Ma.”

“Kamu ngelamunin apa, sih? Mama suruh kamu bantuin pilih baju buat acara pesta Mama, malah asyik ngelamun,” gerutu Elina dengan raut wajah kesal. Perempuan itu tampaknya dalam suasana hati yang buruk, pasalnya sang suami tak mau menemaninya mencari gaun pesta. Malah mengomelinya. Oleh karena itu, Elina memaksa putranya untuk menemaninya mencari baju.

“Bukan apa-apa, Ma,” kilah Fabian sesantai mungkin.

“Ya udah, bagus yang mana? Warna putih atau krim?” Elina menunjuk kedua gaun di gantungan yang berada di hadapannya.

“Terserah Mama aja. Mama pasti cantik pakai baju apa aja.”

“Iya, dong. Mama memang cantik, kalau enggak mana mungkin ayah kamu yang songong itu mau nikahin Mama. Kamu juga ganteng kayak gini karena warisan gen dari Mama. Hahaha ...,” Elina tersenyum percaya diri.

Fabian tersenyum simpul, lalu ia menyugar rambutnya. “Ma, kenapa enggak pakai gaun dari rancangan desainer yang kerja di butik Mama aja atau pakai gaun yang dibuat dan dijual dari butik Mama?”

“Ya, suka-suka Mama. Kalau dari butik Mama berarti enggak beli, dong. Produksi sendiri. Nanti dikiranya sama tamu Mama, kalau Mama enggak mampu beli gaun mewah. Makanya, pakai gaun dari butik Mama.”

“Terserahlah, Ma. Lagian butik Mama itu besar dan terkenal. Mana mungkin ada yang berpikir kalau Mama enggak punya dana buat beli gaun di luar usaha Mama.”

Elina tersenyum santai.

“Indira,” lirihnya yang tak sengaja melihat sekretarisnya putranya tengah berjalan bersama seorang pria. Indira terlihat ceria bercengkerama dengan lelaki di sampingnya.

Elina bertanya-tanya siapa sosok yang tengah mengenggam tangan Indira dengan mesra itu. Ia pikir Indira tidak memiliki kekasih. Melihat hal itu, pupuslah sudah harapannya yang ingin memiliki menantu seperti Indira.

Fabian yang mendengar nama Indira disebut menjadi semakin lesu. “Ma, bercandanya enggak lucu. Apaan coba sebut-sebut nama Indira,” protes Fabian dengan nada sendu.

“Siapa juga yang bercanda. Emang Mama ini pelawak, makanya bercanda mulu?” Elina menunjuk ke arah sepasang anak manusia yang tengah memilih pakaian.

Fabian menoleh ke arah yang ditunjuk ibunya. Dilihatnya dengan jelas sosok Indira bersama seseorang pria jangkung. Ia bertanya-tanya dalam hati, siapa lelaki itu, kenapa Indira tampak begitu bahagia.

Raut wajah Fabian menjadi semakin tidak bersemangat, debaran jantungnya berirama tak keruan. Rasa cemas akan kehilangan Indira semakin menjadi.

Elina berdeham, “Cemburu ya, Mas?” godanya, tanpa menatap Fabian. “Tapi, Indira sepertinya cocok sekali dengan pria itu,” kompornya yang membuat Fabian menjadi kesal.

“Ma, apaan sih? Mereka itu enggak cocok.”

“Terus Indira cocok sama siapa? Kamu?”

Fabian hanya diam.

“Kalau kamu suka sama Indira, ya kejar dia. Jangan diam aja. Memendam perasaan itu sakit, apa lagi tahunan mendamnya. 2Gakuku, 3ganana kalau Mama mah,” Elina memasang raut wajah lesu, seraya memegang dadanya solah-olah dialah yang tengah terluka karena sakit hati. “Itu namanya sakit, tapi tidak berdarah. Sangat sakit.”

Fabian menoleh ke arah mamanya dengan raut wajah datar, tapi dalam hati ia kesal dengan perilaku ibunya. “Ma, sebenarnya Mama itu menghina Fabian atau apa, sih?” lirih Fabian dengan hati yang berkecamuk.

“Siapa yang menghina. Mama lagi berbela sungkawa, anak Mama enggak jadi nikah. Tuh, calon kamu, udah punya gandengan.”

“Siapa sih yang suka sama Indira. Lagian, Indira bukan calon istri Fabian. Dia cuma sekretaris Fabian, Ma.”

“Terus aja ngelak, nanti kalau Indira nikah sama pria lain, kamu jangan nyesel. Jadi, cowok kok dikit-dikit gengsian. Kalau kayak gitu kapan nikahnya.”

***

Indira menggerutu seketika, saat ponselnya terus berdering. Bagaimana tidak? Sang bos yang menyebalkan itu menganggu acara kencannya. Ia ingin sekali memaki Fabian yang tiba-tiba menghubunginya di hari minggu ini--mengatakan bahwa Indira telah melakukan kesalahan karena menghilangkan dokumen. Padahal Indira merasa tidak pernah menghilangkan dokumen yang dimaksud.

Mau tak mau, Indira harus menemui Fabian kalau tidak, bisa menjadi masalah besar. Lelaki itu tak akan membiarkannya tidur nyenyak, jika berkas dokumen yang dicari Fabian belum ditemukan. Oleh karena itu, Indira harus berdiri menunggu taksi sekarang.

Indira dengan raut wajah kesal memandang lurus jalanan, banyak kendaraan berlalu lalang tetapi tidak ada satupun taksi yang kosong.

Renyut jantung Indira berdesir seketika, ada hal aneh yang ia rasakan. Dirinya merasakan kalau Fabian ada di dekatnya. Ditepisnya pikiran semacam itu dengan menggelengkan kepala.

Indira menghela napas sejenak, seraya memegang dadanya dengan mata terpejam.

Fabian yang memang ada di belakang Indira tersenyum, ia langsung mendekat seraya menyampirkan jaket di bahu Indira.

Indira yang tengah memejamkan mata menikmati embusan angin, langsung membuka matanya tiba-tiba dengan perasaan bercampur aduk. Apalagi, ia mencium aroma parfum yang tak asing di hidungnya. Perempuan ini lalu menoleh dan mendapati Fabian yang tengah tersenyum dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celananya.

“Saya beliin jaket karena cuacanya seperti ini, kayak mau mendung. Saya takut kamu sakit. Kalau kamu sakit, besok siapa yang bantu pekerjaan saya,” tutur Fabian langsung panjang lebar, tanpa diminta.

Indira tersenyum simpul seraya melepas tas selempangnya dan merapikan jaket pemberian Fabian agar membungkus tubuhnya dengan baik. “Terima kasih, Pak,” Indira berbasa-basi dahulu, sebelum menjejali Fabian dengan berbagai pertanyaan.

“Sama-sama.”

“Bapak kok bisa di sini? Ngikutin saya, ya?” Kini tatapan curiga ia layangkan dengan senyuman mencela.

“Emangnya, kalau saya ada di sekitar kamu, berarti saya ngikutin kamu gitu?” Fabian memasang raut wajah sedatar mungkin. “Ngapain saya ngikutin kamu, memangnya kamu raja yang harus dikawal.”

“Bisa jadi, kan. Bapak kan suka nguntit saya pakai GPS. Jangan-jangan Bapak itu sebenarnya penggemar saya. Makanya, suka ngikutin saya. Ayo, ngaku!” paksa Indira dengan nada serius.

“Enggak, ya. Tadi, saya ngantar Mama saya beli gaun. Terus enggak sengaja lihat jaket warna peach, makanya saya beli jaket itu buat kamu.”

“Oh ya, saya harus bilang waow gitu. Kalau misalnya Bapak tadi lagi sama Bunda El, terus ngapain nelpon saya nyari dokumen. Aneh,” desak Indira dengan nada ketus.

“Saya enggak bohong. Saya emang lagi sama mama saya, tapi kan saya enggak sengaja lihat kamu. Terus, saya jadi ingat dokumen laporan dari departemen produksi itu,” kilah Fabian dengan nada santai.

Indira tetap saja tidak percaya. Ia tetap curiga Fabian mengikutinya dan menganggu kencannya lagi. “Masa sih, Pak? Itu bukan alasan saja, kan? Saya itu curiga kalau Bapak mau ngerusak acara kencan saya lagi.”

“Enggak, kok. Saya aja enggak tahu kalau kamu lagi kencan. Soalnya, cowok yang tadi enggak ada tampan-tampannya sama sekali. Masa, kamu kencan sama cowok model kayak gitu.”

Indira memelototkan matanya. Bagaimana tidak? Teman kencannya kali ini lebih tampan dari yang sebelum-sebelumnya, walau tak setampan mantan kekasihnya. Namun dengan santainya, Fabian mengatakan kalau pria yang menjadi teman kencannya jelek secara tidak langsung.

“Mata Bapak kali mulai rabun, efek sudah tua. Dia tinggi, putih, mancung, matanya sipit, dan cool. Kayak gitu enggak tampan yang tampan kayak siapa, dong?”

“Kayak saya-lah. Saya ini tampan, mapan pula, kurang apa coba? Calon suami idaman, kan?”

Indira sudah menduga kalau bosnya akan mengatakan, jika dirinya yang pantas disebut tampan. “Bapak itu tampan? Buluk kali. Gendut, pendek, hitam, rambutnya beruban. Ganteng dari mana? Dilihat dari kacamata Miper?”

Fabian memutar bola matanya. Ia tak percaya kalau Indira akan menjawab seperti itu. “Itu fitnah, fitnah sama kejamnya dengan orang yang suka bully jomlo, yang belum nemu jodoh. Jadi, hukumnya haram. Saya ini enggak gendut, tinggi, enggak hitam, rambut saya masih hitam semua. Kalau dibandingin cowok tadi, saya lebih tampan. Sepertinya, mata kamu yang bermasalah.”

“Kalau Bapak dikatain jelek, enggak tampan, pasti kesal, kan. Makanya, jangan ngatain orang tidak tampan. Lagian ya, Pak. Kalau sudah cinta, yang buluk akan terlihat tampan, kayak Hideo Muraoka.”

Fabian mengangguk. “Terus, kamu jatuh cinta sama cowok tadi?”

“Hahaha ..., ya enggak. Kan, saya baru nyoba kencan tadi. Kenal juga baru seminggu ini. Tapi, gara-gara jin pelit, kencan saya jadi gagal.”

“Kamu ngatain saya lagi. Dasar sekretaris tidak setia,” Fabian memasang raut wajah lesu. “Kamu harus dihukum karena ketahuan nghianatin saya.”

“Kok gitu?” Indira tidak terima. Ia ingin sekali memukul Fabian dengan tasnya karena seenaknya mau menghukum dirinya. Lagi pula, ini hari minggu. Seharusnya jabatan atasan dan bawahan tidak berlaku hari ini. “Saya nghianatin apa lagi sih, Pak? Lagian, saya ini bukan kekasih Bapak. Suka-suka saya mau kencan sama siapa. Kalau Bapak masih menganggap saya jodoh Bapak, lebih baik saya ajak Bapak ke RSJ sekarang.”

“Kok, kamu jadi yang marah. Saya kan berhak marah karena kamu nghianatin saya. Katanya mau cariin jodoh, nyatanya kamu malah enak-enakan kencan. Kamu kok tega ngelangkahin saya. Saya ini kan bosnya, seharusnya saya duluan yang bisa kencan sama calon jodoh saya.” Fabian menatap Indira lekat. “Kamu sengaja ya, mau ngelangkahin saya, biar bisa bully saya karena masih single aja. Kamu pasti mau balas dendam sama saya, karena saya sering nekan kamu dengan banyak pekerjaan. Terus kamu mau nekan saya dengan status saya yang masih single. Kamu jahat, Dir. Saya enggak bisa diginiin.”

Indira yang sudah dari lama memendam kekesalannya, langsung menggoyangkan tas di genggamannya ke arah Fabian dengan keras. Dipukulnya lelaki itu dengan sekali pukulan.

Fabian memekik kesakitan. “Sakit, Dir. Kamu kok tega sama saya. Kenapa kamu mukul saya. Kamu memang jahat sama saya. Saya udah ditolak berkali-kali, kamu langkahin, sekarang dipukul. Salah saya sama kamu apa, Dir?”

“Maaf, Pak. Justru saya peduli sama Bapak, makanya saya pukul Bapak. Sepertinya Bapak kerasukan jin pelit,” Indira berujar sekenanya, lalu tersenyum sesantai mungkin. Meski dalam hati, ia was-was. Ia berusaha mencari alasan agar Fabian tak murka kepadanya.

“Kerasukan? Jin pelit? Emang ada jin pelit? Itu alasan kamu aja, kan. Lagi pula, apa hubungannya kerasukan dengan dipukul?”

“Habisnya sikap Bapak semakin aneh dan pelit. Menurut novel yang saya baca, kalau ada orang yang berperilaku semakin aneh dan sifatnya berubah-ubah itu kemasukan jin. Kan, Bapak kalau di depan klien, pemegang saham, investor, dan pegawai lain, Bapak terlihat bijaksana dan keren. Cara bertutur katanya, tingkahnya begitu baik. Beda kalau cuma lagi sama saya, semakin aneh dan pelit. Itu pasti kemasukan jin pelit. Dan, menurut novel yang saya baca, kalau kemasukan jin dipukul yang keras saja biar jinnya keluar.”

Fabian mendecih. Ia tidak habis dengan jawaban tidak masuk akal Indira. Sejak kapan sekretarisnya jadi menjawab asal semacam itu, tanya Fabian pada dirinya sendiri.

“Kamu cuma cari alasan, ya. Mana ada novel kayak gitu. Masa nyeritain, kalau kerasukan harus dipukul biar jinnya hilang. Adanya, si jin tambah ngamuk. Itu novel sesat. Kalau ada, penulisnya mau saya tuntut karena meracuni pikiran kamu.”

Indira tersenyum santai, pasalnya novel itu benar-benar ada. Dan, dia telah membacanya karena dipaksa sang penulis untuk me-review di goodread. Mau tidak mau, ia harus membaca novel itu yang membuatnya tak berhenti tertawa. Ada saja humor yang diselipkan oleh sang novelis. Dirinya merasa beruntung sekarang karena telah membaca novel dengan judul aneh itu, kalau tidak, mana bisa Indira mencari alasan sembarangan seperti yang ia ucapkan barusan.

“Ada, Pak. Emang Bapak mau nuntut apa? Saya yakin Bapak enggak berani nuntut novelisnya.”

“Kamu nantangin saya? Fabian Gabrilio pasti beranilah menuntut novelis sesat itu. Saya mau nyuruh orang buat demo di rumah dia, biar dia nanti enggak bikin cerita kayak gitu lagi. Tapi, nanti saya paksa bikin cerita tentang saya sama kamu yang nikah terus hidup bahagia.”

Indira menepuk dahinya pelan. “Terserah Bapak. Enggak usah demo, coba Bapak pulang ke rumah dan bilang kalau novel karya Bunda El itu sesat. Saya yakin, cuma ngomong kayak gitu saja Bapak enggak berani. Apalagi, nyuruh orang buat demo di depan rumah orang tua Bapak.”

Fabian menutup mulutnya. Dalam hati, ia berdoa agar Tuhan tidak menghukumnya karena telah mengolok hasil karya mamanya.

“Kamu kok enggak bilang dari tadi, kalau itu karya mama saya. Itu judul yang apa, “Sempak Justin”, “Kutang Selena”, “Kuda Nil Mangap”, “Pantat Seksi Monyet”, “Sapi Tetangga”, “Ada Apa dengan Kodok”, apa “Ajian Jaran Goyang Luis”. Yang mana, Dir? Setahu saya yang genre yang katanya romansa, tapi isinya koplak-koplak ya cerita yang saya sebutin tadi.”

“Yang judulnya, “Ajian Jaran Goyang Luis”. Itu ceritanya tentang Luis yang dulunya player, tapi taubat dan mau dapetin sosok perempuan baik-baik, tapi enggak dilirik. Terus, ada yang nyuruh coba ajian jaran goyang. Tapi itu ceritanya lucu loh, Pak. Satire dan sarkasme tapi dibungkus komedi yang rapi, jadi nyaman aja dibacanya.”

“Serius? Kamu kok suka sih, Dir? Saya dengar judulnya aja bingung, kenapa Mama saya suka nulis cerita somplak dengan judul yang aneh pula. Saya sampai sekarang aja masih enggak percaya, kalau “Sapi Tetangga” mau difilmin.”

“Bapak tuh jangan begitu. Setiap karya pasti ada penikmatnya. Lagian, sulit loh Pak bikin cerita banyak humor kayak gitu, yang bisa buat orang ketawa. Justru cerita ringan dan segar yang sekarang diburu pembaca buat hiburan nghilangin penat. Cerita bikinan Bunda El ini meski banyak humornya, tapi banyak pesan moralnya juga. Dan, enggak berkesan menggurui. Harusnya, Bapak bangga punya mama yang enggak cuma menghibur pembaca, tapi juga kasih banyak pesan dalam ceritanya.”

“Iya, sih. Tapi, kenapa judulnya harus aneh kayak gitu.”

“Itu bukan aneh, tapi unik. Justru karena itu jadi beda sama yang lainnya.”

“Mau unik atau apa, pokoknya kamu tetap harus dihukum.”

“Hukuman apa lagi, Pak? Mau potong gaji saya atau mau jadiin saya kacung seharian? Lagian, kalau saya kencan itu hak saya. Malah saya bisa nuntut Bapak kalau saya enggak boleh kencan. Kan, setiap warga negara Indonesia berhak untuk berkeluarga. Kencan itu kan perjalanan menuju pacaran, terus nikah.”

“Saya enggak mau hukum kamu yang berat-berat, kok. Cuma saya minta temenin makan, biar enggak kelihatan jones. Ini kan hari minggu. Saya kan pengen jalan-jalan,” Fabian tersenyum manis.

“Aduh, Pak. Saya capek, mau pulang. Bapak makan sama temen Bapak, aja. Nanti saya cariin dokumennya di rumah, siapa tahu kalau ke bawa saya pulang,” Indira menolak dengan nada lembut.

“Saya udah ingat dokumennya ada di mana. Di laci meja kerja saya,” Fabian menjawab begitu santai, tanpa bersalah telah membohongi Indira. “Ayo, Dir! Sekali ini aja, temani saya makan. Toh, sebentar lagi kamu bakal jadi bos. Kapan lagi saya bisa jalan berdua sama Nona Muda Pradipta sebagai teman baik.”

“Sejak kapan kita temenan, Pak?”

“Dari dulu, kan. Saya tahu kamu marah karena kencan kamu, saya ganggu. Saya minta maaf,” Fabian meminta maaf dengan nada tulus. Tatapannya begitu lembut, syarat akan penyesalan. Entah benar dari hatinya yang dalam atau hanya sekadar kamuflase.

Indira yang mendengar ucapan Fabian barusan merasa aneh mendengar Fabian merendah--dengan meminta maaf--karena dirinya bersalah telah menghancurkan acara kencan Indira. Biasanya masa bodoh dan tidak mau mengakui kesalahannya itu.

“Untungnya buat saya apa, kalau saya mau nemenin Bapak makan?”

“Saya akan traktir kamu di restoran mewah dan terserah kamu mau pesan apa. Kamu bisa makan enak hari ini. Entahlah itu untung enggak buat kamu. Saya janji enggak bakal ganggu kamu lagi.”

Indira terdiam sejenak memikirkan tawaran Fabian. Bukan perihal lelaki itu akan mentraktirnya, tapi janji Fabian yang tidak akan menganggunya lagi. Bukankah itu yang ia harapkan selama ini? Namun kenapa, hal itu membuatnya sedih.

“Ya sudah, saya ikut,” putusnya dengan nada ketus.

Fabian tersenyum, lalu mengulurkan tangannya. Namun, hanya dilihat oleh Indira. Perempuan itu tak segera menerima ajakan gandengan Fabian.

“Ngapain Bapak ngulurin tangan ke saya?”

“Ya gandenganlah.”

“Ya, saya tahu itu. Maksudnya ngapain gandengan, kita kan bukan anak TK?”

“Truk aja gandengan. Masa kita enggak. Atau mau saya gendong?” balas Fabian sekenanya yang mendapat senyum masam dari Indira. Namun, perempuan itu akhirnya mau digandeng.

“Mobil Bapak di mana?” Indira menengok ke sekitar mencari mobil Fabian tapi tak mendapati ferari biru kesayangan bosnya itu.

“Saya naik motor,” balas Fabian yang mengerti akan gerak-gerik pandangan Indira yang mencari mobil Fabian. “Saya parkir di sana,” Fabian menunjuk motor hitam yang terparkir di sebelah bak sampah.

Manik mata Indira melotot seketika. “Kata Bapak, tadi Bapak enggak sengaja lihat saya, waktu sama Bunda El. Masa Bapak boncengin Bunda El pakai motor? Bapak bohong, ya. Emang sengaja nguntit saya?”

“Enggak, tadi kan mama saya diantar sopir, terus saya nyusul. Jadi, kami enggak berangkat bareng.”

Indira hanya mengangguk.

“Kenapa? Kamu enggak suka naik motor?”

“Bukan, motornya kok kayak gitu. Enggak enak ah, buat boncengan. Naik taksi aja, motor Bapak ditinggal,” pinta Indira yang tak merasa nyaman jika harus boncengan dengan motor sport.

“Itu motor mahal, Dir. Masa enggak nyaman?”

“Kalau buat boncengan enggak nyaman, Pak. Enak di Bapak, enggak enak di saya. Bapak bisa menang banyak waktu boncengin saya, kalau ada tanjakan atau malah Bapak ngebut, otomatis saya peluk Bapak.”

Fabian hanya mengangguk. “Kamu bisa naik motor kayak gitu enggak?”

Indira mengangguk. “Jangan bilang Bapak nyuruh saya boncengin Bapak?”

Fabian terkekeh. “Kalau kamu takut saya modusin, mending kamu yang boncengin saya.”

“Itu juga enggak njamin, Pak. Bisa aja Bapak pura-pura takut, atau fobia biar bisa meluk saya. Bapak kan Kang Modus.”

“Ya udah, kamu jadi istri saya aja, kalau takut dimodusin. Kalau jadi istri saya, kan, kalau mau pelukan ya sah-sah aja.”

“Dasar ... Bapak aja yang di depan.”

***

Indira memotong dagingnya dengan raut wajah ceria, sementara Fabian dari tadi hanya memandangi paras rupawan di hadapannya. Ia berharap bisa melihat paras itu setiap hari. Keinginan yang hanya menjadi harapan, tak mungkin terwujud, pikirnya. Pasalnya, sebentar lagi cerita dirinya bersama sang sekretaris akan usai. Indira akan hidup dengan dunia barunya.

Indira yang sadar ditatap terus oleh Fabian langsung menghentikan acara makannya. Ia mengernyit. Balik menatap Fabian lekat.

“Ada yang salah sama saya ya, Pak?”

“Enggak. Saya baru nyadar, kalau kamu ternyata cantik sekali, Dir.”

Indira bergeming. Detak jantungnya menjadi tak keruan. Ia mencoba tetap memasang ekspresi sebiasa mungkin, berharap pipinya tak merona.

“Bapak bisa aja bercandanya. Pasti ada apa-apa ini?”

“Dir, saya mau curhat,” terangnya dengan nada serius. “Kamu pernah jatuh cinta?”

“Iya, pernah. Ada apa? Bapak lagi jatuh cinta?” Kini Indira menatap Fabian serius, ia jadi penasaran dengan perasaan yang sedang dialami Fabian sekarang.

“Bisa jadi. Sepertinya saya jatuh cinta dengan dia sejak pandangan pertama. Ini terdengar konyol. Tapi, itu nyatanya,” Fabian menatap kosong gelasnya. Tak berani menatap manik mata Indira. Hatinya berkecamuk.

Indira menatap Fabian seperti orang bodoh, tak mengerti. Hatinya menjadi gamang. Entah kenapa ia takut, kalau Fabian mencintai wanita lain.

“Sama Mbak Harum ya, Pak?” goda Indira mencairkan suasana.

“Bukan. Di dekatnya, saya seperti orang bodoh. Dan memang nyatanya saya benar-benar bodoh, karena memendam perasaan bertahun-tahun, tanpa berani mengungkapkannya.”

“Terus, dia tahu enggak kalau Bapak suka dia?”

“Enggak. Dia enggak peka. Ini juga salah saya. Saya sering bertingkah menyebalkan agar saya bisa dekat dengannya.”

“Ya, jangan bertingkah nyebelin kalau gitu. Perempuan itu maunya disayang-sayang, Pak. Saya pikir Bapak itu nyebelin sama saya doang. Sama orang yang Bapak suka juga gitu. Parah,” omel Indira yang diikuti kekehan untuk memperlihatkan kalau dirinya tak apa-apa mendengar curhatan Fabian.

“Masalahnya, Dir. Ketika saya menjadi diri saya sendiri, dia malah menjauh. Merasa enggak nyaman di dekat saya. Ketika saya nunjukin sikap seperti pria pada umumnya, dia malah makin menjauh.” Fabian mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika ia memperlakukan perempuan itu dengan baik. Namun, wanita yang ia sukai itu malah terus menghindar, merasa tak nyaman. Sepertinya pesona Fabian yang sering membuat wanita terkesima waktu itu tak berlaku untuk sang pujaan hati.

“Mungkin nasib Bapak emang ngenes. Sabar ya, Pak. Jodoh Bapak ke pending mungkin,” gurau Indira berharap Fabian tak tersinggung, karena dirinya bingung harus berkata apa. “Bapak udah coba lamar dia belum?”

“Udah, tapi ditolak terus.”

“Bapak emangnya udah bilang belum tentang perasaan Bapak itu?”

Fabian menggeleng.

“Kalau begitu Bapak harus ngungkapin perasaan Bapak langsung.”

“Tapi, saya takut ditolak lagi, Dir.”

“Coba dulu!” Indira terus menyemangati Fabian, meski hatinya terluka.

“Dir, saya suka sama kamu,” ujar Fabian gugup, lalu menggeleng. “Bukan, maksud saya, saya cinta kamu.”

Byurrr!

Segelas air putih yang tadi Indira tuang dari teko kaca, kini membasahi kemeja Fabian. Lelaki itu mengerjap-kerjapkan matanya tak percaya dengan apa yang Indira lakukan barusan. Hatinya terasa sakit. Ia tidak pernah disiram air seperti itu, tapi hari ini, ia harus mendapatkan guyuran itu dari wanita yang ia cintai. Hanya karena pernyataan cintanya.

Raut wajah Fabian menjadi lesu, tatapannya begitu sendu. Ia mengelap wajahnya dengan sapu tangannya, tanpa menatap ke arah Indira. Lelaki ini terus menunduk.

Sementara Indira menutup bibirnya yang terbuka, ia menyesal telah menyiram Fabian. Tadi, tangannya refleks begitu lelaki itu mengucapkan cinta yang dianggapnya sebagai candaan atau malah percobaan. Ia yang merasa kesal karena perasaannya dipermainkan, meluapkan kekesalannya begitu saja, tanpa pikir panjang.

“Ma ... maaf, Pak,” lirih Indira dengan suara terbata-bata. “Saya enggak bermaksud--” Indira menggantungkan kalimatnya, lalu terburu-buru mengambil tisu dan berusaha membantu Fabian mengelap bajunya.

“Saya bisa bersihin baju saya sendiri,” sahut Fabian dingin seraya mengenggam tangan Indira, lalu menjauhkan dari tubuhnya seketika.

“Sekali lagi, saya minta maaf,” Indira semakin tak enak.

“Enggak usah minta maaf. Kamu enggak salah,” Fabian masih membuang wajahnya tanpa menatap Indira. Ia tidak mau memperlihatkan ekspresi raut wajahnya yang begitu kusut.

“Saya tetap aja salah. Saya nyiram Bapak dan baju Bapak basah. Seharusnya saya enggak nyiram Bapak. Mungkin ini karena mood saya lagi jelek aja. Bapak ngajak saya bercanda, tapi saya malah kesal terus guyur Bapak.” Indira memasang raut wajah sesal. Berharap Fabian memaafkannya. “Seharusnya saya ketawa, kan? Bapak itu kan humoris,” tambah Indira sekenanya.

“Emangnya saya pelawak? Saya bukan pelawak, Dir. Saya cuma mau ngungkapin perasaan saya selama ini.”

“Ohh ... maaf, Pak. Saya enggak tahu, kalau Bapak lagi latihan lagi. Saya kira bercanda biar enggak serius amat tadi. Lain kali, bilang ya, kalau mau latihan. Saya kan jadi enggak kaget. Saya pikir, Bapak ngodain saya kayak biasanya.”

Fabian tersenyum masam. Ia sudah menduga kalau Indira tak mungkin menganggapnya serius. Percuma saja ia mengutarakan isi hatinya, tak akan dipercayai juga.

“Dir, apa enggak ada alasan lain yang lebih logis lagi, selain saya bercanda atau latihan waktu ngucapin cinta ke kamu?” Fabian akhirnya mendongak, terlihat sekali paras rupawan yang kini matanya terlihat sayu. Binar mata di sana redup seketika.

Indira bergeming. Ia memikirkan sejenak ucapan Fabian. Mengartikan apa yang dimaksud bosnya. “Jangan bilang, Bapak ngomong kayak gitu biar bisa nikahin saya. Pura-pura mencintai saya agar Bapak bisa mengikat saya,” ungkap Indira dengan tatapan tidak percaya. “Bapak licik, saya enggak nyangka. Pak, saya ini bukan kacung ataupun babysiter Bapak. Saya punya kehidupan. Jadi, enggak selamanya saya bisa ngurusin Bapak. Bapak harus mandiri, dong. Bapak harus relain saya pergi.”

Fabian terdiam. Ia tidak menyangka kalau Indira akan berpikir seperti itu. “Dir, terserah kamu nganggap saya seperti apa karena percuma saya jelasin sampai berbusa, kamu enggak bakal percaya sama saya.”

“Bagaimana saya bisa mudah percaya sama Bapak. Bapak aja suka bercanda, jarang serius. Kalau memang Bapak cinta sama saya. Coba sekarang Bapak lari di jalan enggak pakai alas kaki sampai pulang ke rumah,” sahut Indira asal yang tak ditanggapi Fabian. “Udah deh, Pak. Jangan bercanda lagi. Saya ngerti kenapa Bapak sulit ngelepas saya, karena enggak ada pegawai yang sesabar dan sesetia saya. Tapi, mau enggak mau Bapak harus rela, bukan menghalalkan segala cara agar saya di sisi Bapak.”

“Udah pidatonya, Dir?” Fabian berkata dengan nada ketus.

“Pak--”

“Apa saya enggak pantes dicintai, Dir? Apa pria macam saya enggak boleh bermimpi bisa menikah dengan wanita yang saya cintai.”

“Bukan begitu, Pak.”

“Ya, saya emang enggak patut dicintai. Saya menyebalkan, bossy, berisik, dan kikir. Pria macam saya enggak boleh bermimpi untuk menikah. Jangankan punya istri, mau kencan aja enggak ada yang mau diajak.”

Indira yang mendengar ucapan Fabian menjadi bingung. Ia tak mengerti dengan semua ini. Dirinya menjadi takut salah mengucap, kalau Fabian serius.

“Pak, saya jadi takut. Bapak kok ngomong kayak gitu. Enggak kayak biasanya. Apa Bapak frustrasi belum nemu jodoh, ya.”

“Udah tahu jawabannya, masih aja nanya. Terus aja begitu, Dir. Pura-pura enggak tahu.”

Indira berpikir keras menerka semua yang terjadi. Namun, jawaban yang ada di otaknya bercabang. Tak pasti. Kini, ia berpikir kalau Fabian masih marah karena ia berkencan di belakang lelaki itu, lalu sekarang menyudutkannya sebagai balas dendam.

“Tenang, Pak. Saya udah nyariin jodoh buat Bapak. Laki-laki tadi itu sepupunya. Saya kemarin minta dibantuin teman saya buat nyari jodoh buat Bapak. Dikenalin tuh sama kakaknya si cewek, calon jodoh Bapak. Ya udah, menyelam sambil minum air. Mencari jodoh buat Bapak, sekaligus buat saya,” terang Indira dengan nada lembut. Berharap Fabian tak marah lagi padanya.

“Enggak usah, Dir. Terima kasih, saya bisa cari jodoh sendiri.”

“Ini cantik loh, Pak. Saya benar-benar udah ketemu sama cewek itu. Yakin, Bapak enggak mau nyoba ketemu.”

“Saya enggak minat. Saya cuma mau nikah dengan wanita yang saya cintai. Yang saya tahu sekali, kalau hal itu bagaikan pungguk merindukan bulan.”

“Ya udah kalau itu keputusan Bapak. Yang jelas, saya udah berusaha nyariin jodoh buat Bapak. Lagian, pesta Bunda El sebentar lagi. Bapak benar-benar enggak ngehargain usaha saya cariin Bapak jodoh.”

“Oke, suruh perempuan itu datang ke acara pesta mama saya. Suruh dia dandan secantik mungkin agar semua yang ada di pesta itu iri kepadanya.”

Indira memasang senyum semanis mungkin, berbeda dengan hatinya yang terasa sakit mendengar ucapan Fabian barusan. “Baik, Pak.”

“Kalau saya suka dia, saya mau nikahin dia bulan besok. Tapi, itu kayaknya enggak mungkin, sih. Karena hati saya hanya untuk wanita yang sering mencampakkan saya.”

“Pak, sebenarnya mau Bapak apa sih. Saya bingung. Kok berubah-ubah mulu.”

“Saya hanya mau dicintai dengan tulus.”

“Kalau begitu, Bapak harus mencintai wanita dengan tulus. Jangan bertingkah menyebalkan dan sembarangan. Jangan jahil seperti tadi, sehingga dengan mudahnya Bapak ngomong cinta sama saya. Kata-kata Bapak itu membebani saya,” aku Indira dengan nada lirih.

“Kalau begitu, lupakan saja perkataan saya tadi. Anggap saja, saya lagi mabuk lem. Jadi, ngelantur. Saya janji enggak bakal bilang cinta lagi sama kamu. Sampai kapan pun, kamu enggak bakal lagi dengar kata cinta dari saya untuk kamu.”

Indira hanya mengangguk. Namun, dalam hati ia sangat sedih.

“Ya udah, lanjutin makannya. Jarang kan, saya mau bayar private room dan pesan makanan mahal kayak gini hanya buat nraktir kamu. Mumpung saya lagi enggak pelit, Dir. Dihabisin makanannya, kalau mau pesan lagi silakan.”

***

2Gakuku, slank dari enggak kuat.

3Ganana, slank dari enggak nahan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height