Random Wife/C7 Asal Pilih Jodoh
+ Add to Library
Random Wife/C7 Asal Pilih Jodoh
+ Add to Library

C7 Asal Pilih Jodoh

--Kesempatan di saat kemalangan adalah sesuatu yang menyenangkan--

Fabian terus memasang raut wajah semringah menyalami tamu mamanya, meski ia gamang. Tak mungkin dirinya menunjukkan ketidaktenangan hatinya di depan semua para tamu yang hadir. Lelaki ini sebenarnya tengah gelisah memikirkan nasibnya. Bagaimana tidak? Pasalnya, sang ibu menyuruhnya membawa calon istri. Namun, wanita yang Indira jodohkan dengannya saja belum kelihatan sama sekali. Ia takut perempuan itu tidak seperti yang diceritakan sang sekretaris kalau sangat cantik dan anggun.

“Fab, mana calon istri kamu?” tanya Elina berbisik.

Fabian menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Bentar, Ma. Kalau udah dateng pasti Fabian kenalin.”

“Tapi, serius kamu punya calon istri? Atau jangan-jangan kamu nyewa calon istri dari biro jodoh lagi,” selidik Elina penasaran.

“Mama suka ngomong asal. Sejak kapan biro jodoh buka jasa sewaan teman kencan. Ini beneran Fabian punya calon istri,” tegasnya yang sebenarnya ragu. Namun, tetap memeperlihatkan kepercayaan dirinya.

Pandangannya terus beredar mencari ke sana-kemari, sosok wanita bergaun peach panjang dengan surai yang digerai. Pandangannya berhenti seketika di saat ia mendapati seorang gadis tengah berbincang-bincang dengan seseorang pelayan. Namun, sayangnya perempuan itu membelakanginya. Entah kenapa menatap punggung itu membuat jantungnya bergetar.

“Kamu lihatin siapa, sih?” Elina mengikuti arah pandang Fabian.

“Calon istri Fabian. Perempuan itu calon istri Fabian,” Fabian menunjuk ke sosok perempuan yang masih membelakanginya.

“Oh itu calon istri kamu,” Elina berkata dengan intonasi yang sedikit menaik membuat orang di sekitarnya menengok ke arah wanita yang ditunjuk Fabian, lalu ada yang mengucapkan selamat kepada Elina karena putranya sudah memiliki calon istri.

Indira--sang perempuan yang terus ditatap Fabian itu kini hanya menatap ke lantai. Melihat ke arah haknya yang lumayan tinggi. Dirinya merasa tak nyaman. Ia memakai hak itu karena hanya hak tersebut yang sesuai dengan gaunnya. Hak yang ia pinjam dari koleksi milik sang bunda.

Indira menyelipkan anak rambutnya ke telinga sesekali. Ia lebih suka surainya diikat atau disanggul jadi tak merepotkan. Namun, menurut sang penata rias, rambutnya yang panjang itu sangat bagus kalau digerai. Mau tak mau, ia ikut saja.

Malam ini Indira didandani semaksimal mungkin, karena ini adalah pesta ibu dari bosnya yang pasti akan dihadiri banyak orang penting. Tak mungkin, ia bisa dandan seenaknya seperti biasa. Mau bagaimanapun Indira adalah putri dari keluarga Pradipta yang harus menjaga penampilan diri.

Indira yang melihat Elina segera bergegas ke arah wanita paruh baya itu untuk menyalaminya. Namun, belum sampai di hadapan Elina, Fabian berjalan melangkah menuju ke arah Indira. Ia langsung mengulurkan telapak tangannya ke arah Indira.

Indira bingung, tak kunjung menerima uluran tangan Fabian. Pasalnya beberapa hari ini, lelaki itu terus mengacuhkannya. Hanya berkata “iya” atau “tidak”, kalau menyuruhnya saja langsung ke topiknya, tidak seperti biasanya, setelah kejadian insiden penyiraman itu. Namun, kenapa lelaki itu malah tersenyum begitu manis malam ini kepadanya.

“Kamu malu ya, saya gandeng?” tanya Fabian lembut.

Indira menggeleng. Ia langsung menerima uluran tangan Fabian.

“Kamu cantik sekali. Belum pernah saya melihat perempuan secantik kamu,” pujinya tulus.

Indira menunduk malu-malu. Pipinya bersemu merah, seperti kepiting rebus. Jantungnya kembali bergetar hebat. “Terima kasih,” lirih Indira dengan suara yang nyaris tak terdengar.

“Saya enggak nyangka, kalau sekretaris saya benar-benar jujur. Dia bilang kamu sangat cantik. Faktanya, memang benar. Kamu sungguh memesona.”

Indira yang mendengar ucapan Fabian itu terbungkam seketika. Ia bingung sekarang. Dirinya tak paham dengan maksud Fabian. Ia menduga Fabian tak mengenali dirinya siapa atau besar kemungkinan lelaki itu tengah menggodanya, sebagai balasan atas perilakunya beberapa waktu lalu.

Indira terus diam. Ia takut salah lagi. Dirinya hanya mengikuti langkah Fabian yang membawanya ke tempat Elina berdiri dan berbincang-bincang.

“Permisi, Ma. Kenalin ini calon istri Fabian,” Fabian tersenyum santai.

Indira yang masih menunduk, menjadi kikuk. Ia bertambah bingung mau melakukan apa sekarang.

“Ohh, cantik. Lebih cantik lagi, kalau kamu enggak nunduk. Enggak usah malu sama calon mertua,” ujar Elina dengan lembut.

“Mungkin gerogi, Ma,” Fabian menggeratkan genggamannya. “Kamu bisa angkat wajah kamu sedikit, kan. Mama kan pengen lihat jelas raut wajah calon menantunya.”

Indira mengangguk, ragu-ragu ia mengangkat kepalanya.

Elina menatap Indira saksama. “Wajah kamu kayak enggak asing, sih. Kayak pernah lihat. Siapa, ya.”

Fabian langsung menengok ke arah Indira. Ia juga ikut mengamati perempuan di sebelahnya dari bawah sampai atas. Matanya membulat seketika, tatkala menyadari manik mata indah wanita di sampingnya.

“Eh, ini Indira, ya?” Elina tersenyum semakin lebar. “Fantastis, siapa yang rias kamu? Hampir aja, saya enggak ngenalin kamu.”

“Emh ..., itu kenalan ibu saya,” balas Indira gugup.

Elina hanya mengangguk.

“Ngomong-ngomong sejak kapan kalian jadian?” Elina bertanya dengan penuh semangat.

“Rahasia,” sahut Fabian cepat. “Ma, Fabian mau kenalin Indira sama keluarga kita. Fabian pamit dulu, ya!”

“Iya-iya. Nanti bawa Indira ke sini lagi, ya.”

Fabian hanya mengangguk, lalu membawa Indira pergi.

“Pak, kita mau ke mana?” tanya Indira lirih. Ia merasa akan ada hal buruk terjadi.

“Ikut aja, enggak usah banyak nanya.”

Indira akhirnya memilih diam kembali. Ia hanya mengikuti langkah Fabian menaiki anak tangga, hingga masuk ke sebuah kamar.

“Duduk di situ dan dengarkan saya baik-baik,” Fabian menunjuk ke arah sofa marun.

“Terima kasih, Pak. Saya mau turun aja,” Indira hendak berbalik, tapi tangannya digenggam erat Fabian.

“Tunggu, jangan main lari,” Fabian memutar tubuh Indira agar menghadap ke arahnya. “Apa-apaan ini, saya kan nyuruh kamu cariin saya calon istri atau calon istri pura-pura kalau sulit. Tapi, kenapa kamu yang jadi calon istri saya?!”

Fabian tersenyum masam. Ia menatap Indira tajam. Dirinya merasa dipermainkan oleh sekretarisnya itu. Katanya wanita itu tidak mau menjadi istrinya dan mau mencarikan jodoh untuknya, tapi apa nyatanya malah Indira sendiri yang menggunakan gaun bewarna peach dan menggerai rambutnya.

“Saya nyesel nunjuk dan bilang kalau kamu itu calon istri saya tadi di hadapan mama dan kerabat saya. Ini semua salah kamu.”

“Bapak sendiri yang nunjuk saya asal, bilang kalau saya calon istri Bapak di hadapan keluarga dan tamu Bapak. Kok saya disalahin?”

“Lah, kamu yang bilang calon istri saya pakai baju warna peach. Kenapa kamu pakai gaun warna peach?” Fabian tak terima disalahkan.

“Karena saya suka warna peach. Lagian, salah sendiri Bapak nggak ngenalin saya. Masa sama sekretaris sendiri enggak kenal?”

“Saya enggak mau tahu ini salah siapa. Yang saya tahu cuma satu, kamu harus tanggung jawab dengan nikah sama saya. Titik. Enggak ada penolakan!” tegas Fabian dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Ya, enggak bisa gitu.”

“Suruh siapa kamu nipu saya. Pokoknya siap enggak siap, minggu ini saya dan keluarga saya bakal ke rumah orang tua kamu.”

“Mau ngapain, Pak?”

“Ya, mau ngelamar kamu. Pokoknya bulan besok, kamu harus resmi jadi Nyonya Fabian Gabrilio. Bagaimanapun caranya kamu harus jadi istri saya.”

“Hahh ... saya enggak akan bukain pintu buat Bapak. Enggak usah aneh-aneh, Pak!” Indira memperingatkan, dirinya tak mau dijadikan istri, kalau hanya karena Fabian tak punya kekasih yang mau dijadikan pendamping hidup. Ia mengharapkan pernikahan yang sebenarnya. Di mana dibangun atas nama cinta, ketulusan, kepercayaan, dan kesetiaan.

“Kamu boleh enggak bukain pintu, tapi saya yakin orang tua kamu pasti mau membukakan pintu untuk saya dan keluarga saya,” Fabian berkata dengan santai.

“Ya udah, kalau gitu, nanti saya akan langsung tolak pinangan Bapak,” tegas Indira dengan suara mantap. Meski hatinya meragu, karena sebenarnya Indira mengharapkan bisa menikah dengan orang yang ia cintai. Dan, sayangnya pria itu adalah Fabian. Si bos yang sering menghukumnya dengan hukuman tak masuk akal, tapi entah kenapa ia tidak bisa benar-benar marah kepada Fabian. Maksudnya, membenci lelaki itu.

“Kamu kok gitu, sih. Tapi, saya enggak akan nyerah, Dir. Segala cara pasti akan saya tempuh. Tekad saya udah bulat, kamu harus jadi istri saya.”

“Pak, cukup! Ini menyakitkan untuk saya. Bapak cari saja wanita lain, jangan ganggu saya. Saya bukan robot yang bisa diperintah ini-itu seenaknya. Saya punya hati, saya ingin menikah dengan pria yang saya cintai. Kalau tidak bisa, setidaknya pria yang menjadi calon suami saya itu harus mencintai saya,” terang Indira menahan air matanya agar tak luruh. Ia lelah, sungguh lelah.

“Dir, kapan sih kamu sadar? Kalau saya mau nikahin kamu, karena saya mencintai kamu. Tolong, jangan buat ini semakin rumit. Saya yakin, kamu juga punya rasa yang sama dengan saya, kan. Enggak mungkin, hampir lima tahun kamu jadi sekretaris saya enggak ada perasaan apa-apa,” Fabian menatap Indira lembut, berharap perempuan itu melihat ketulusan dari binar matanya.

“Cinta? Sebegitukah mudahnya Bapak mengatakan cinta? Kalau Bapak memang mencintai saya, seharusnya Bapak tidak memperlakukan saya seenaknya sendiri. Bapak sering mempermainkan hati saya. Sakit, Pak. “ Indira mengigit bibir bawahnya seraya memejamkan matanya sejenak. “Saat kita mencintai seseorang, tapi malah orang itu memberikan harapan, lalu dijatuhkan seketika saat itu juga, rasanya perih. Seperti luka yang ditabur garam. Sudah perasaan tidak terbalas, dipermainkan pula.”

“Dir, saya minta maaf atas perlakuan saya selama ini terhadap kamu. Saya enggak ada niat buat ngangguin atau mempermainkan kamu,” Fabian merendahkan suaranya. Tangannya bergetar. Raut wajahnya memucat. Ia benar-benar bingung bagaimana caranya meyakinkan Indira. “Saya cuma pengen dekat sama kamu. Tapi, saya bingung gimana caranya. Selama ini saya enggak pernah punya kekasih, jadi saya enggak tahu bagaimana membuat wanita yang saya cintai bisa dekat sama saya.”

Indira merenung, entah ia harus percaya pada Fabian atau tidak. Ia bimbang.

Suara ketukan pintu memecahkan keheningan yang mendera, Indira segera tersadar dari lamunannya. Sementara Fabian langsung menyahut dan berjalan membuka pintu kamarnya dengan raut wajah lesu.

“Kalian kok malah berduaan di sini, sih,” gerutu Elina dengan raut wajah curiga. Ia menatap putranya yang tampak muram penuh curiga.

“Fabian pusing, Ma,” terang Fabian tak berbohong, ia benar-benar pusing memikirkan Indira.

“Kamu terlalu sibuk kerja, sih. Kerja boleh, tapi istirahat yang cukup juga perlu,” sahut Elina seraya memegang pundak putranya. Ia sebenarnya mengerti dari raut wajah putranya, kalau Fabian bukan pusing karena sakit, melainkan ada sesuatu yang pasti dicemaskan olehnya.

“Indira turun, yuk. Temani Mama nyapa tamu,” Elina tersenyum dengan tatapan selembut mungkin.

“Mama,” gumam Indira refleks.

“Kamu kan calon istri Fabian, jadi sekarang panggil saya Mama,” Elina berjalan ke arah Indira yang masih diam mematung. Ia gandeng calon menantunya itu. “Fabian, kamu tidur aja kalau sakit.”

“Enggak, Ma. Mana bisa Fabian tidur di acara Mama. Apa kata orang-orang nanti.”

“Tumben kamu dengerin kata orang yang suka mencemooh. Biasanya tak acuh.”

“Sesekali dengerin kata orang yang nyakitin enggak apa-apa, Ma. Biar siap nanti kalau dengar kata-kata yang lebih menyakitkan. Lagian, perkataan orang itu enggak ada apa-apanya, ketimbang ucapan sebagai rasa tidak kepercayaan dari orang yang kita cintai. Sakit tapi tak berdarah, Ma.”

Elina yang melihat ekspresi Fabian yang begitu lesu, mengingatkannya pada Glory. Kini, ingatannya melayang pada masa lalu di mana ada rasa ketidakpercayaan yang besar pada dirinya kepada ketulusan Glory. Bagaimana ia bisa percaya dengan lelaki yang kini menjadi suaminya, kalau semasa sekolah Glory sering menganggunya. Apalagi gara-gara pria itu, dulu ia dikeluarkan dari sekolah. Belum lagi saat Elina menjadi sekretaris suaminya itu, tiada hari tanpa tekanan. Bahkan, ia harus mengurus jadwal libur dan kencan, beserta keperluan kencan pria itu. Makanya, ia langsung mengundurkan diri kala itu. Tapi, Glory terus meminta maaf dan mengejarnya, lalu mengatakan bahwa sebenarnya pria itu mencintainya.

Elina kembali menatap putranya, ia bertanya-tanya dalam hati. Apakah Fabian seperti ayahnya yang tak bisa mengutarakan cinta secara langsung? Apakah putranya itu mendekati Indira harus berdrama dahulu? Kalau memang seperti itu, Elina merasa sedih, karena pasti putranya tidak akan mendapatkan Indira dengan mudah. Ia bertekad untuk membantu Fabian mendapatkan Indira karena dirinya tahu kalau mereka sebenarnya saling mencintai satu sama lain.

***

Indira terus memasang raut wajah ceria menyalami tamu Elina. Meski sebenarnya merasa tak nyaman saat wanita paruh baya itu mengenalkannya sebagai calon menantunya. Ia ingin sekali langsung menjelaskan kebenaran apa yang terjadi sekarang pada Elina, tapi ia takut merusak hari indah ibu dari bosnya itu.

“Dir, Mama senang sekali punya calon menantu seperti kamu,” Elina mengenggam tangan Indira erat. “Kamu baik, cantik, cerdas pula. Mama yakin Fabian pasti akan selalu bahagia, jika menikah dengan kamu.”

Indira semakin merasa bersalah melihat binar mata yang begitu tulus di netra Elina.

“Emh ..., Ma,” panggil Indira yang terdengar kaku. Ia sebenarnya ragu memanggil Elina dengan sebutan Mama, tapi mau bagaimana lagi kalau perempuan itu sudah memintanya dengan nada tegas.

“Iya,” Elina melepaskan genggaman tangannya pada Indira.

“Indira sebenarnya merasa tidak pantas mendampingi putra Mama. In--”

“Kamu ngomong apa, sih? Enggak ada yang lebih pantas dari kamu untuk mendampingi Fabian. Kamu mencintai Fabian, kan?” Elina menatap manik mata Indira yang tampak gusar, ia terus meremas gaunnya.

Indira hanya mengangguk.

“Kalau begitu, berjanjilah selalu ada di sisi Fabian. Fabian sangat mencintai kamu. Anak Mama itu hanya pintar dalam berbisnis, kalau masalah cinta, dia nol besar. Benar-benar persis papanya,” Elina menggerutu dengan raut wajah muram.

“Maksud Mama?” Indira mengernyit.

“Ya, Fabian sama kayak ayahnya. Enggak pintar ngutarain cinta. Buktinya, baru sekarang dia punya pasangan,” keluh Elina seraya menggelenggakan kepalanya. “Dulu, ayahnya Fabian itu suka kode enggak jelas, banyak drama. Gengsian dan songong. Sumpah ngeselin, bawaannya pengen nimpuk.”

Indira menatap Elina semakin bingung.

“Suami Mama itu enggak kayak pria pada umumnya waktu deketin Mama. Mama itu sering digangguin, dicelalah. Begitu ketemu lagi setelah bertahun-tahun malah diajak ngedrama. Mama disuruh pura-pura jadi kekasihnya. Ternyata itu modus. Kenyataannya suami Mama itu suka sama Mama dari lama.” Elina terkekeh. “Kalau Fabian nyebelin ya, turunan dari ayahnya. Percayalah, anak Mama itu benar-benar cinta sama kamu. Lihat aja dari tatapan matanya. Bibir boleh berdusta, tapi tatapan tidak mungkin berbohong.”

“Maaf sebelumnya, Ma, tapi kayaknya suami Mama itu orangnya kalem dan berwibawa.”

“Emang di depan orang banyak kayak gitu, atau aslinya emang gitu. Tapi, kalau sama Mama mah enggak ada jaimnya. Adanya songong, bawel, tapi penyayang, juga manis.”

“Kok bisa gitu?”

“Kadang memang hal seperti itu sulit dimengerti. Mungkin karena terbiasa bertingkah menyebalkan sama Mama dulu, jadi udah biasa kayak gitu.” Elina tersenyum semakin lebar. “Orang jenius saja bisa gila kalau sudah jatuh cinta. Orang itu ya, Dir, kalau sudah jatuh cinta, pasti akan melakukan segala cara agar bisa dekat dengan orang yang dicintai. Bahkan, rela bertingkah aneh agar ke notice, kalau cara biasa enggak berhasil.”

Indira mencoba memahami perilaku aneh dan menyebalkan Fabian selama ini, mungkinkah seperti yang diungkapkan Elina?

“Dir, kalau mau memahami sesuatu yang terjadi, jangan hanya menyimpulkan dari apa yang kita dengar dan apa yang kita lihat karena yang akan tampak hanya terbatas pada yang kita dengar dan kita lihat saat itu pula, tapi gunakan hati juga. Karena, hati tak mungkin berdusta.”

“Ma, dicariin Ayah tuh,” kata Fabian yang tiba-tiba menghampiri Elina.

Elina lalu menghentikan perbincangan dengan Indira. Ia tersenyum menatap putranya. “Ayah, kamu di mana?”

Fabian melirik ke arah ayahnya yang tengah berbincang dengan pamannya--Dokter Zio.

“Dokter Zio ternyata beneran ngeluangin waktu buat ke acara pesta Mama ini. Mama enggak nyangka. Dokter Zio emang selalu baik, deh. Udah baik, ganteng pula. Senangnya tante kamu punya suami kayak Dokter Zio,” ujar Elina yang menatap ke arah paling ujung. “Jadi, pria itu kayak gitu loh Fab. Dicontoh kebaikan paman kamu itu.”

“Mama kok malah muji Paman Zio, sih? Nanti kalau ayah dengar bisa marah loh.”

“Emang kenyataannya gitu. Kalau kamu pengen cepat dapat jodoh, ya contoh paman kamu itu. Dulu, ya, paman kamu sering nemuin Mama, ngajak jalan, kasih ini-itu enggak pelit. Baik, enggak hatespeech kayak papa kamu. Sumpah calon suami idaman.”

“Terserah Mama. Buktinya aja Mama tetap milih Ayah, walau Ayah banyak minusnya di mata Mama,” Fabian menjawab dengan nada lembut dengan raut wajah datar. “Fabian, malas kalau harus niru orang lain buat dapatin cinta dari perempuan yang Fabian suka. Fabian hanya mau dicintai apa adanya. Kalau cuma baik buat dapatin seseorang itu sama aja penipuan, Ma. Makanya, banyak orang cerai setelah menikah karena ternyata watak asli pasangannya buruk, enggak sama kayak waktu pacaran.”

“Benar juga, ya. Kamu kok tambah pintar,” Elina tersenyum. Ia berharap putranya selalu bahagia. Dan, Indira segera menyadari kalau Fabian sangat mencintainya. Tak ada hal yang lebih indah dari saat putra sulungnya mengucap janji suci di altar kelak. Ia sungguh menantikan hari itu segera tiba.

“Ya udah, Mama mau nyusul ayah kamu. Jaga Indira baik-baik,” Elina menepuk bahu putranya pelan. “Kalau Fabian nakal, cubit atau jewer aja ya, Dir,” lanjut Elina seraya menatap Indira yang sedari tadi diam, tatkala Fabian datang menghampiri mereka.

Indira hanya tersenyum. Ia melirik Fabian sekilas, setelah Elina pergi meninggalkan mereka. Rasanya begitu canggung, seusai dirinya marah-marah pada Fabian tadi.

Lantunan musik dansa kini mengalun dengan indah, tapi tetap saja tak dapat memecah keheningan di antara Fabian dan Indira. Indira terus menatap ke samping. Mengamati orang-orang yang tengah bercengkerama. Sementara, Fabian ia tengah menikmati jus yang ada di meja sebelahnya. Lalu, ia memakan beberapa potong kue.

“Mau?” tawar Fabian pada Indira yang terlihat canggung. Perempuan itu mengambil sepotong kue dan mengatakan terima kasih begitu lirih, tanpa menatap Fabian.

“Lupakan saja yang tadi. Anggap saya enggak pernah ngomong apa pun, kalau itu membebani kamu. Saya enggak mau hubungan kerja kita nanti terganggu,” Fabian berkata sekenanya. Ia harap Indira bertingkah seperti biasanya.

Indira berdeham, “Iya, Pak.”

“Dua mingguan lagi, kamu bukan sekretaris saya. Saya harap kita tetap bisa jadi teman,” Fabian menatap Indira lekat dengan perasaan yang bercampur aduk. “Bagi saya selama ini, kamu lebih dari sekadar sekretaris. Saya nganggap kamu sebagai teman, lebih tepatnya sahabat saya. Kamu teman terbaik yang saya punya. Saya harap tidak ada dendam di antara kita. Saya minta maaf, Dir.”

“Minta maaf untuk apa?” Indira berpura-pura tak mengerti. Ia berkata dengan nada senormal mungkin, menghilangkan kegugupannya.

“Semuanya, saya yang sering ngerepotin. Saya yang sering ganggu kencan kamu. Dan, saya yang suka godain kamu. Maaf, ya. Kalau waktu bisa diulang, saya enggak akan menganggu kamu.”

“Udah saya maafin, kok. Enggak usah pasang tampang kayak gitu, Pak. Saya jadi yang merasa bersalah. Santai aja kayak biasa, Pak. Kayak sama siapa aja.” Indira memasang raut wajah ceria seperti biasanya. Ia benar-benar bisa marah terlalu lama dengan Fabian. Meski acapkali ia kesal.

“Beneran, kamu udah maafin saya?”

Indira mengangguk.

“Berarti kita jadi nikah, kan?”

Indira memutar bola matanya. Baru saja Fabian meminta maaf karena sering menggodanya. Tapi lagi-lagi, pria itu mengajaknya menikah.

“Apa hubungannya saya maafin Bapak sama nikah?”

“Enggak tahu, sih. Tapi, kan yang saya tahu satu. Saya mau nikah sama kamu,” kekeh Fabian dengan cengiran khasnya. “Ayolah, Dir. Kasih saya kesempatan buat buktiin, kalau saya beneran tulus cinta sama kamu. Setelah itu kamu boleh nolak saya, kalau terbukti saya main-main.”

“Saya bingung. Mau berpikir dulu.”

“Ya udah, kalau kayak gitu. Tapi, jangan marah lagi ya, Dir?”

“Ya.”

“Dir, mau dansa?” Fabian mengulurkan tangannya. Indira langsung menerima uluran tangan itu dengan raut wajah datar. Ia tengah memantapkan hatinya. Berusaha berpikir jernih dan positif.

Indira dan Fabian terus hanyut dalam lantunan musik. Memandang satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan. Mereka tampak memikirkan banyak hal.

“Dir, saya mau bilang sesuatu.”

“Apa? Ngomong aja.”

“Tapi, jangan diketawain.”

“Ini pertama kalinya saya berdansa di acara pesta. Biasanya enggak pernah, soalnya enggak punya pasangan.”

Indira yang mendengar ucapan Fabian, langsung menatap pria itu kebingungan. Ia pikir Fabian akan mengatakan sesuatu yang penting. Nyatanya cuma pengakuan tak pernah berdansa.

“Ohh, kirain mau ngomong apa. Tapi, Bapak bisa dansa gini.”

“Iya, kan latihan sama adik saya. Biar bisa dansa sama kamu,” jujurnya dengan nada semringah. “Makasih ya, Dir.”

“Buat apa?”

“Karena udah ngewujudin mimpi saya bisa dansa sama kamu. Cuma kayak gini aja, saya udah senang. Apalagi, kalau kamu jadi istri saya. Tambah bahagia.”

Indira hanya tersenyum sekilas.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height