Random Wife/C9 Ngopi Cokelat
+ Add to Library
Random Wife/C9 Ngopi Cokelat
+ Add to Library

C9 Ngopi Cokelat

Indira terus memasang raut wajah ceria, meski ia lelah karena harus mengganti bajunya berulangkali. Dirinya tak berani menolak keinginan Elina. Makanya, sedari tadi ia dijadikan model untuk gaun pengantin rancangan terbaru desainernya.

“Gaun ini cocok sekali dipakai kamu. Kamu sangat cantik.” Elina mengamati gaun putih gading itu saksama. “Gimana kalau kamu pakai gaun ini aja waktu pemberkatan nanti,” Elina berkata dengan nada semringah.

Sudut bibir kiri Indira sedikit terangkat, wajahnya terlihat kikuk. Namun, segera ia hilangkan raut muka yang tampak canggung itu dengan paras yang tampak bahagia.

“Mama bisa aja,” balas Indira sekenannya, takut salah bicara, lalu melukai ibu atasannya itu.

“Orang tua kamu kapan pulang dari Bali?”

“Minggu besok sepertinya, Ma,” terang Indira seraya menata beberapa gaun yang tergeletak di sofa.

“Kalau gitu, kamu bilang secepatnya kepada ayah dan ibumu, kalau minggu besok Mama sekeluarga mau datang ke rumah kamu.”

“Iya, Dira enggak nyangka Mama yang sibuk sekali mau main ke rumah Indira. Dira senang sekali,” Indira tersenyum begitu tulus.

“Mama emang sibuk, tapi demi kamu dan putra Mama, pasti Mama luangin waktu buat ngelamar kamu untuk Fabian. Supaya kalian segera sah, terus Mama bisa nimang cucu,” Elina menepuk bahu Indira pelan yang membuat perempuan itu membelalakkan matanya.

“Mama bisa aja bercandanya,” Indira mencoba tertawa kecil. Seolah-olah Elina baru saja bercanda. Ia masih belum siap kalau harus dilamar secepat itu. Lagi pula, Fabian baru mau memulai menunjukkan keseriusannya, yang mau menjadikan Indira istri. Dirinya ingin memantapkan hatinya dahulu untuk menikah dengan Fabian agar tak ada penyesalan kelak.

“Kamu yang pintar bercanda. Mama serius. Jangan bilang kamu masih ragu sama Fabian?” selidik Elina menatap netra cokelat yang tampak gusar itu.

“Emh ..., bukan gitu, Ma,” Indira berkata dengan gelagapan. Ia takut kalau Elina mulai menaruh curiga, kalau dirinya dan Fabian tak berpacaran, lalu membuat hati wanita paruh baya itu terluka. “Indira masih belum siap aja. Rasanya terlalu cepat.”

“Lebih cepat itu lebih baik, Dir. Lagian kalian saling mencintai, kan? Mau nunggu apa lagi coba? Usia kalian juga tak lagi muda.”

Indira mengigit bibir bawahnya untuk mengurangi rasa gugupnya.

“Mama!” panggil Fabian yang baru saja masuk ke ruang kerja mamanya. Ia belum menyadari kalau yang tengah berbincang dengan ibunya adalah Indira.

Elina menoleh dengan raut wajah semringah. “Ke sini juga akhirnya.”

“Iya, terpaksa. Padahal, Fabian kan mau kencan,” bohongnya dengan raut wajah setenang mungkin. Pasalnya, ia sedang malas kalau disuruh-suruh oleh mamanya terus.

“Oh gitu, ya. Berarti kencan kalian batal, dong?” Elina menengok ke arah Fabian dan Indira bergantian. “Maafin Mama, ya.”

Indira hanya mengangguk, meski dirinya tak tahu kalau Fabian mau mengajaknya berkencan. Sementara Fabian langsung menengok ke arah Indira saat menyadari perempuan di sampingnya adalah sang pujaan hati.

“Eh Bidadari ..., maksudnya Indira, bidadarinya Fabian. Kok di sini sih, Dir?” Fabian memperhatikan gaun pengantin yang melekat pada Indira. Benar-benar cocok, pikirnya. Dirinya jadi membayangkan tengah menggandeng Indira ke altar untuk mengucap janji suci.

Indira mengernyit begitu melihat perubahan ekspresi Fabian yang tengah hanyut dalam lamunannya, sehingga tersenyum begitu anehnya.

“Saya kemari karena mau mencoba gaun dari rancangan desainer terbaik di sini,” aku Indira menatap ke arah Elina.

Lamunan Fabian langsung buyar ketika Elina menepuk lengannya.

“Loh, kalian masih panggil satu sama lain dengan kata sapaan baku, ya? Kok kaku amat, kan udah pacaran,” seloroh Elina dengan raut wajah dibuat terkejut, karena ia tahu kalau putranya dan Indira tidak berpacaran.

“Biarin aja lah, Ma. Senyamannya Indira. Apalah arti panggilan, yang penting manggilnya tetap dalam batas wajar. Toh yang penting itu bagi Fabian, cintanya Indira yang begitu besar untuk Fabian,” katanya bangga dengan senyuman khasnya.

“Iya, iya. Mama kan cuma heran aja. Selama Mama jadi novelis romansa, pasti tokohnya kalau manggil pasangannya itu pakai sapaan manis. Padahal pasangan di cerita Mama itu somplak semua.”

“Mama sama ayah aja, jarang saling memanggil satu sama lain dengan kata sapaan yang manis. Buktinya tetap romantis aja.” Fabian melirik ke arah Indira.

“Tapi, Mama sama ayah kamu kan enggak pernah bilang saya-bapak, walau Mama mantan sekretaris ayah kamu. Waktu kerja aja panggilnya tetap nama. Kalian jangan kaku-kaku amat.”

“Ya, udah deh karena Fabian anak yang berbakti, Fabian ikut kata Mama,” Fabian tersenyum penuh arti. “Dir, mulai hari ini kita panggilnya aku-kamu. Terus, kalau bisa kamu panggil saya, Mas ya. Sesekali nyenengin Mama saya.”

Indira hanya mengangguk. Ia malah tersenyum, lalu menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang merona.

“Ma, Fabian mau kencan sama Indira. Jadi, biarin Indira jalan sama Fabian,” mohon Fabian agar Elina melepaskan Indira yang tengah menjadi modelnya. “Anak Mama ini kan jarang kencan, karena sebelumnya enggak punya pasangan. Biarin Fabian ngerasain kencan sebelum nikah. Masa Fabian enggak punya sejarah kencan.”

“Iya ... iya. Kamu mau bawa Indira ke mana?”

“Ngocok, Ma.”

Elina langsung mengernyit, ia menebak-nebak apa arti sebenarnya dari ucapan anaknya. Istilah kekinian atau singkatan. Biasanya dirinya lebih up to date, tapi kenapa ia tak tahu apa yang dikatakan Fabian.

Indira mencoba memastikan pendengarannya tak salah.

“Mau ngocok adonan kue? Mau bikin kue. Aduh Fabian anak Mama, kamu laki-laki enggak usah main adonan kue, walau maksudnya romantis. Mama takut dapur Mama berantakan gara-gara kamu. Beli aja kalau mau makan kue. Enggak usah pelit kalau mau makan enak.”

“Bukan, Ma. Itu loh yang makin dikocok, makin nikmat. Masa Mama enggak tahu.”

Elina berpikir keras, kenapa ia jadi berpikir yang tidak-tidak. “Jangan, Nak! Besok aja kalau udah nikah.”

“Bukan, ngocok yang itu. Ini tuh nama minuman Ngopi Cokelat. Ihh Mama enggak gaul. Katanya Mama itu Mama kekinian.”

Fabian langsung mengeluarkan brosur yang dilipat di jaketnya. Di sana ada gambar kupon diskon. “Nih, Ma. Lagi ada diskon juga.”

“Oalah, makanya kalau ngomong yang jelas. Kalau ngocok itu boleh. Mama beliin juga, ya.”

“Beli sendiri aja, Ma. Atau minta ayah beliin.”

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height