+ Add to Library
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 1

Bangunan megah dengan satu orang penghuni. Seseorang akan datang dalam beberapa Kemudian sekali, seseorang akan datang untuk membersihkan rumahku. Sementara sanak saudara akan datang berkunjung meski seringnya jarang.

Hidup sebatang kara, bekerja santai mengurusi aset keluarga, sesekali mengemudi sendiri ke luar kota demi melepas penat, atau hanya bersosialisasi dengan khalayak memenuhi kewajiban sebagai manusia. Masih saja tak mengurangi rasa kosong dalam dada.

Mungkin ini yang dikhawatirkan nenek sebelum meninggal 5 tahun lalu, aku memanggilnya Umi. Aku kesepian diantara harta yang tak akan selesai urusannya. Sebelah rumah besar nan klasik bak istana ini, adalah pasar tradisional. Dimana sebagian besar rukonya adalah milik Umi. Bapak ibu telah berpulang jauh sebelum Umiku. Jadi tidak salah apabila hanya aku yang mewarisi ini sendiri. Kalaupun ada saudara, mereka tak tergolong ahli waris meski hanya sekedar menemaniku menghitung laba rugi di buku aset kumal yang ditinggalkan Umi untukku.

Sebenarnya aku baik-baik saja hidup dalam kesendirian. Aku hanya akan keluar masuk rumah dengan baju santai, makan tidur jika aku mau, jalan kalau aku tak sedang malas, belanja kalau aku mood. Atau hanya sekedar menjelajah daring untuk membunuh waktu. Begitu setiap hari, mungkin membosankan menurut orang lain. Tapi aku malas keluar dari zona nyaman yang tak sengaja ku ciptakan sendiri.

Kadang aku memasak atau membuat kue, meski lebih seringnya hasil masakan ku berakhir di perut orang-orang pasar yang datang ke rumah memberikan setoran hasil bagi modal kepadaku.

Dulu aku pernah menjadi guru beberapa tahun, namun aku lebih peduli pada peninggalan Umiku dari pada bersabar menghadapi anak orang yang kadang nakalnya tak bisa ku atasi, heee, maafkan aku. Sepertinya aku butuh belajar soal itu, yah mungkin dengan anak sendiri apabila suatu saat nanti Tuhan berkehendak.

Ngomong - ngomong siapa yang membunyikan bel malam - malam begini? Aku menengok ke arah jam dinding, 08.00 WIB belum terlalu malam untuk orang normal. Tapi bagi single happy sepertiku, tidur lebih awal berpotensi mengurangi keriput, ah sudahlah.

Bergegas menuju pintu utama, dan berhenti sejenak untuk menarik nafas. Aku selalu takut menerima tamu malam-malam begini. Kadang aku memilih tinggal di hotel di kota terdekat hanya demi mengatasi rasa takut tak beralasan yang entah bercokol dari mana. Aku dikenal single, kaya, dan di dalam rumah ini banyak aset berharga. Meski aku telah memindahkan yang paling penting dan bernilai di salah satu bank di kota, termasuk beberapa set perhiasan kuno milik Umi dan ibuku. Jadi kalau boleh aku bilang di rumahku hanya ada mobil, sepeda motor matic, dan kurang dari 3 juta uang tunai, tapi tak urung aku masih selalu ketakutan.

Sedikit gemetar membuka kenop pintu, aku tercengang tak kala pria berhodie itu, mengangguk kecil kepadaku. Hilang takutku menjadi gemeruh rasa marah yang sebaiknya tak ku perlihatkan. Ekspresinya masih sama seperti trakhir kali bertemu, 5 tahun lalu saat kematian Umi, tak berjejak emosi apapun. Meski di hari ke tujuh setelah acara tahlil, pria ini ikut menghilang seperti di telan bumi.

Aku bersedekap, mengangkat sebelah alis. Gestur ku bertanya, mau apa pria ini di rumahku?

"Ada yang bisa ku bantu?" Aku berkata tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Seolah aku tak mengenal dirinya melupakan status kami.

"Boleh aku masuk?" Katanya.

"Untuk?" Sahutku tanpa menunggu jeda. Sungguh tak tau, pria ini mau apa bertamu malam-malam begini.

"Alika..." sebutnya pada namaku, dalam dan berat.

Aku tak bergeming, rasa tak diharapkan, tak diinginkan, ditinggalkan tanpa kata kembali membayang, cukup sudah. Aku sangat tahu diri siapa aku di matanya.

Aku tetap menghadang langkahnya, tak goyah. Aku tak takut, pria ini memiliki postur yang jauh berbeda denganku.

Tetangga kanan kiri ku mulai waspada, aku memang tak pernah ikut ronda, you know i m a women. Tapi makanan, minuman, rokok bahkan uang untuk sekedar beli kacang tak pernah tak ku berikan. Aku selalu menebar kebaikan pada para tetanggaku, jadi bolehkan aku berharap saat seperti ini mereka tak mengabaikan ku.

"Aku ingin bicara." masih irit dan tanpa basa-basi.

"Bicara saja." Jawabku tak kalah irit.

"Alika, harus berdiri disini?" Protesnya dengan menggerakkan langkahnya.

Memang tidak sopan, aku tahu. Tapi aku tak ingin lama berurusan dengannya.

"Oke silahkan duduk."

Bukannya mempersilahkan dia masuk, aku justru keluar dan menarik tuas pintu, menutup akses masuk ke dalamnya. Menyilahkan pria ini duduk di kursi teras dengan enggan.

Nampak beberapa kali bapak-bapak yang bercengkrama di pos ronda mencuri pandang ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk ke arah mereka.

"Ada tamu Mbak Alika?" Kata pak RT sedikit mengeraskan suaranya, berteriak tapi tak sampai membuat pendengaran pekak.

"Iya pak, cuma sebentar kok." Sahutku mengeraskan suara, agar di dengar oelh bapak-bapak yang sedang meronda.

Pak RT tersenyum pengertian. Sementara pria ini hanya memandangku tak acuh. Aku menghela nafas, sudah tak ada lagi rasa sedih yang sempat ku rasakan. Hanya saja rasa mengganjal masihlah terbit di ujung hati.

Aku kembali menatap pria di sampingku itu malas, "Katakan, ada apa?"

Ku berikan seluruh perhatian kepadanya. Menelisik matanya, sayu. Dan seolah tak berdaya. Masih sama menipu setiap yang memandang, persis seperti waktu itu. Dia tak segera membuka mulutnya. Menatapku dengan cara yang bagiku itu aneh. Ku putar bola mata, andai tak melupakan tata krama, sayangnya aku dibesarkan dengan unggah-ungguh yang lumayan.

"Aku mau kembali." ujarnya setelah beberapa saat mempertahankan kesunyian.

Aku menaikkan sebelah alis, bertanya dalam diam, berharap pria itu mengerti bahwa apa yang dia katakan tidak ada hubungannya denganku. Bukankah sejak awal aku bukan siapa-siapanya? Terus apa untungnya kamu ceritakan kepadaku. Kamu sehat? Cibirku salah hati.

"Aku ingin kembali padamu."

Aku terkekeh tanpa suara, sempat lupa kalau di luar pagar ada bapak - bapak yang pasti tengah memperhatikanku. Sedang pria itu mengamatiku lamat-lamat, seperti mencari sesuatu yang tak ku pahami.

"Maaf." Aku menggeleng dan berdehem menetralkan suara.

"Kamu..." Aku tergelak merasa lucu. Tapi berhasil ku redam dengan telapak ku.

"Aku masihlah suamimu." jawabnya egois dengan nada tak suka akan reakisku yang menertawainya.

"Tentu." Aku menarik nafas, mengembalikan suara dan ekspresi yang seharusnya ku pasang sejak tadi.

"Kamu tahu, aku belum mengirimkan surat cerai, bukan karena aku tidak bisa, bukan karena aku mau juga." dia mengangguk.

"Selain karena wasiat sialan itu, aku cuma ingin tahu, seberapa pecundangnya kamu." Pria itu terdiam, tak menampik, rasa terhina yang ku harapkan tak muncul sama sekali di matanya.

"Mana mobilmu, atau kendaraan mu mungkin?" Aku bertanya penuh sarkasme, sementara dia menggeleng. Dulu salah satu cewek dekil dari perkumpulan pencinta alamnya akan selalu bergantian mengantar jemputnya. Padahal jelas nenek ku yang sangat menyayangi pria itu telah memenuhi kebutuhan kendaraan untuknya.

"Masih naif dan urakan" cibirku.

"Hartop ku ada di hotel atas, seorang teman mengantarku kesini" Ah, hartop ya, Aku mendengus. Selain pergaulan liarnya rambut panjang dan jens belel. Tidak, aku bukan orang yang suka menilai seseorang dari tampilannya. Tapi kalau kamu tahu siapa pria ini, kalian akan berpikir sama sepertiku.

"Pergi saja. besok pagi, seseorang akan mengantar surat cerai ke hotel mu. Aku mengabulkan semua permintaanmu, jadi berikan hak ku dengan gentle."

"Alika, aku...."

"Pak RT..." Aku memanggil Pak RT dengan sunggingan senyum manis. Tak menghiraukan apa yang akan Anggar ucapkan.

"Iya, Mbak...."

"Sini Pak, Bapak ingat pria ini nggak?"

Pak RT memenuhi panggilanmu, membuka pagar yang memang belum ku kunci. Lalu memekik heboh saat tau pria di sebelahku adalah Anggar, suamiku dulu.

"Loh, Mas Anggar, lama nggak ketemu mas, ada dimana selama ini? Pak RT menatap Anggar tak percaya, bahwa pria ini akhirnya muncul di rumahku.

"Saya, cuma keliling-keliling saja pak" aku berlalu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu tanpa segan apalagi sungkan. Pak RT pasti mengerti akan tindakanku. Sebentar lagi akan ku kabari lewat grup what's app RT.

"Loh, koq ditinggal masuk, suaminya mbak? Eh, bener nggak sih?" Pak RT terdengar tak enak saat mengucapkannya, aku sengaja tak bergeser sedikitpun dari balik pintu.

"Biar saja pak" itu suara Anggar.

"Sudah cerai?" Jelas suara Pak RT.

"Tidak akan Pak." jawabnya tak tahu malu.

"Pantas Mbak Alika marah, 5 tahunan ya mas, semenjak kematian Umi Herlina, mas Anggar nggak pernah pulang. Bapak pikir udah bercerai. Maaf bapak tidak bermaksud ikut campur. Kasian Mbak Alika mas" aku tak tahu bagaimana reaksi Anggar mendengar rentetan kalimat Pak RT.

"Kalau memang sudah tidak cinta, ya dicerai baik-baik aja mas, biar Mbak Alika bisa mencari pria yang bisa menjaganya. Kami semua kasian lihat dia sebatang kara mas. Bagaimana kalau ada orang jahat nyatroni rumah besar ini. Makanya kami bikin pos ronda pas depan sini mas. Kalau nggak ingat jasa-jasa Umi Herlina dan baiknya Mbak Alika buat apa kami mas.

Aku terdiam, kilasan - kilasan kesedihan dan kesulitan yang ku alami selama hidup sendiri terbayang. Beruntung banyak saudara dari ibu yang lumayan dekat dari rumah ini. Beruntung baiknya para tetangga. Tak sekalipun aku dengar suara miring membicarakan ku. Andai Anggar tak egois. Kalau soal wasiat itu, aku akan melanggarnya dengan senang hati. Jadi disini aku hanya sedang menyakiti diri sendiri, dengan menunggunya pulang hanya untuk menolaknya kembali.

Aku tahu saat ini pasti datang. Aku bukannya tak tahu apa yang dia lakukan di luaran sana. Aku juga tahu pria itu menikahi ku karena nenek, tanpa ada terselip rasa tanggung jawab sedikitpun di dalamnya. Kami hanya tinggal serumah untuk 3 bulan demi menghargai nenek. Itupun seringnya dia bepergian membuat kami tak saling kenal. Bukannya aku tak tahu dia kemana. Mudah bagiku mencari tahu, tapi untuk apa. Tak sudi rasanya kepo pada seseorang yang tak sekalipun mengingatkanmu.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height