+ Add to Library
+ Add to Library

C2 2

Malas masak, aku pergi ke kota terdekat. Meski hanya tergolong kota kecil, cukuplah memenuhi kebutuhan desa-desa di sekitarnya. Mencari makan di sini sangat mudah, mulai dari yang kaki lima sampai rumah makan ala-ala kafe bisa ditemui. Harganyapun sangat terjangkau, tapi rasa bisa diacungi jempol.

Aku memilih memasuki rumah makan sederhana. Lalapan dengan udang 2x lebih banyak ku pesan. Di belakangku suara familiar turut memesan, membuatku reflek menoleh lalu memutar bola mata kala mendapati Anggar mengekor. Memilih diam, pura-pura menganggapnya tiada atau tak kasat mata.

Tadi pagi seseorang yang bertugas menjadi pengacaraku telah menyerahkan surat cerai itu. Dia tinggal menandatanganinya. Pak pengacara bilang, Anggar menginap di hotel terdekat yang biasa disinggahi pelancong ke Semeru atau ke bukit 29, bukit diatas awan yang jadi salah satu andalan kabupaten kami.

Aku tak mau lagi berurusan dengan pria ini. Pertama, kami tak saling mengenal sebelum pernikahan kilat itu. Kedua, aku tak peduli.

Aku meliriknya, mengeluarkan entah apa dari balik sling bag sportnya. Dia menggenggam robekan kertas kecil yang ku kenali sebagai surat cerai kami. Di kumpulkan semua diatas meja, membentuk tumpukan kecil yang di mataku tampak menyebalkan.

Meski begitu aku tak akan kaget, sudah ada prediksi dia akan melakukan ini. Jadi ku biarkan saja. Kau mengutak-atik medsos sembari menunggu pesanan datang. Pria itu juga melakukan hal yang sama denganku, setelah tak mendapat respon yang mungkin dia harapkan dariku karena sobekan kertas tersebut. Aku mengangkat sok acuh, meski sebenarnya terganggu juga. Anggar sialan!

"Silahkan, mbak, mas" pelayan majikan pesanan kami. Dan sayangnya, terbalik.

"Maaf mbak, udang doble itu punya saya." Aku menunjuk cobek yang isinya sambal, sayuran, tahu, tempe, serta taburan udang yang menggiurkan.

"Oh, maaf" ucap si pelayan ramah. Sempat ku baca raut sumbang mbak pelayan, seolah dia mengatakan mengapa tidak ditukar sendiri saja sih, begini aja nyuruh - nyuruh.

"Makasih." ku ucap terima kasih setelahnya dan menyadari Anggar lagi-lagi terganggu dengan sikapku.

Bergegas ku habiskan makananku. Aku lupa telah membuat janji dengan salon langganan ku setengah jam lalu. Si bencong itu pasti marah, aku jelas akan datang telat. Pria di depanku telah menyelesaikan makanannya dan nampaknya sedang ke kamar kecil karena Sling bag sportnya masih ada di depanku, dan aku bersyukur untuk itu.

"Berapa mbak?" Tanya ku pada seorang perempuan berbeda yang hanya duduk di depan meja kasir.

"Sudah dibayar pacarnya mbak?" Aku menyipitkan mata skeptis, sangat tahu siapa yang mbak ini maksud.

"Ya sudah mbak gini aja, ini saya bayar punya saya, nah uang orang yang ngaku - ngaku pacar saya buat tipsnya mbak aja ya." Ku taruh uang 50rb sembarangan di meja kasir. Dan segera keluar. Tersenyum melihat raut bahagia di mbak kasir yang jelas tak akan menolak rejeki.

"Alika..." Panggilan itu masih sama, seperti lima tahun lalu, membuatku menghentikan langkah tanpa berbalik. Tak perlu hiraukan Alika, bisik ku dalam hati. Aku membuka pintu Honda Jazz klasik ku dan berniat segera pergi dari tempat ini.

Namun, Anggar menarik tanganku, hingga aku terpaksa berbalik juga.

"Apa sih?" Aku masih menggunakan nada sabar cenderung malas, tak perlulah mengeluarkan emosi berlebih menghadapinya, buang tenaga percuma.

"Alika, aku tahu kamu marah. Tolong dengar aku." Anggar melepaskan cekalan di tanganku. Nadanya sarat permohonan.

"Aku tidak dalam kondisi bisa marah." jawabku membalikkan pernyataan yang pernah Anggar ucapkan dulu. Anggar menghela nafas, mungkin dia lelah, apa peduliku.

"Mari kita berdamai." tegasnya setelah menemukan mataku kembali karena sedari dia memegang lenganku, aku melarikan mataku jauh darinya.

"Kita tidak pernah terlibat pertengkaran apalagi permusuhan, Anggar..." Acuh dalam suara kalem yang bisa ku lakukan. Sedang Anggar mengusap wajahnya kasar. Itu terlihat seolah dia hampir putus asa, padahal usahanya masih begini saja. Aku mendengus, ingin sekali mengolok niatnya yang ku pikir sudha terlambat.

"Baik, aku minta maaf." Ucap pria ini pada akhirnya.

"Bukankah kamu tidak salah, nenekku yang salah, menjodohkan aku denganmu, aku yang cuma anak manja, matre, bodoh, tidak mandiri, apalagi ya?" kembali ku ucapkan obrolannya dengan teman - temannya 5 tahun lalu saat aku mencoba peruntungan membina rumah tangga dengannya. Ku pasang gestur seperti berfikir, aku memang sedang mengingat-ingat, apalagi yang diucapkan teman-teman Anggar dulu.

"Shitt, Alika." Pria itu lagi-lagi menghela nafas, seolah dia baru saja kehabisan oksigen karena terlalu lama berada di air.

"Terima kasih, umpatannya. Surat yang sudah jadi sobekan itu mudah saja diurus kembali. Aku pergi. Bye." Ku lambaikan tangani sekilas, tanganku telah mencapai handle pintu, tapi terhenti mendengarnya meyakinkan aku soal umpatannya yang aku tahu bukan ditujukan padaku tapi pada keadaan kami sekarang.

"Tidak, Alika, please dengar aku, kamu tahu aku tak sedang mengumpatimu." Aku mengangkat tangan dengan anggun mencegah apapun yang akan pria itu lakukan. Please, Alika jangan hilang kesabaran di depannya, kamu sudah 30 tahun Alika. Jangan hilang kesabaran Oke, mantra ku kepada diriku sendiri.

Kali ini pria itu membiarkanku pergi. Setelah mobil melaju meninggalkan Anggar yang masih memandang kepergianku, aku memukul setir penuh amarah. Hilang sudah emosi yang ku tahan - tahan selama ini. Keterlaluan sekali dia, apa salahku, meninggalkanku begitu saja. Tak bisakah dia berbicara baik - baik waktu itu. Kenapa harus selama ini menyadari keberadaan ku. Tak apa tak suka padaku. Tak apa tak menginginkanku. Biarkan saja semua berakhir saat itu juga. Dan setelah semua itu, tak perlu mengubah apapun lagi.

Aku memegang dadaku, ada yang berdenyut disini. Seharusnya Anggar bukan apa - apa di hatiku, tapi rasanya siapapun akan nelangsa andai di posisiku. Kemalangan penuh kemalangan ku dapat silih berganti, seorang diri.

Air mata menitik di pipi, sudah lima tahun sejak kepergian Umi, aku tak lagi menangis. Hari ini, hanya karena masa lalu yang sekedar lewat aku tergugu tanpa suara. Perasaan kosong dan hampa itu kini semakin nyata.

Apa artinya Anggar buatku, jawabnya tidak ada. Aku hanya tak terima saja, pria sembarangan sepertinya bisa mempermainkan aku dalam sebuah pernikahan. Iya, oke itu memang perjodohan. Namun, tak urung umi terlanjur berharap banyak pada pria itu.

***

Saatnya istirahat, tapi mata rasanya tak mau memejam. Pukul 11 malam, saat teleponku berdering. Aku memang belum tidur, melampiaskan gelisah dengan nonton Drakor favorit. Sempat bertanya-tanya siapakah nomor baru ini. Telpon berulang untuk ketiga kalinya, karena sengaja ku biarkan. Menghindari orang iseng sih maksudku. Tapi sepertinya ini penting, ketika panggilan ke tiga berganti menjadi ke empat.

"Hallo?"

"Selamat malam, dengan istri bapak Anggar?" Aku mengernyit bingung, dia menyebutku istri Anggar?

"Emm, kenapa ya?" Tak ikhlas tapi aku mengiyakan.

"Jadi benar ya ini istri Pak Anggar?"

**

Memarkirkan sepeda motorku sembarangan di depan kantor polisi yang cuma berjarak 50 meter dari rumah. Lalu disambut tatapan pasrah Anggar yang tengah dielus manja oleh seorang wanita yang berkostum mirip dengannya. Jeans belel dan kemeja flanel, serta sepatu boot kulit menutupi kaki. Posisi duduk dan penampilan hancur Anggar dan si wanita menjelaskan semua.

"Ada yang bisa saya bantu mbak?" Sapa seorang petugas polisi padaku kala aku nyelonong masuk ke kantor petugas penertib masyarakat ini.

"Tadi seseorang dari Polsek ini menghubungi saya katanya seorang bernama Pak Anggar mengakui saya sebagai istri." Aku bersedekap malas, sedikit menghalau rasa dingin yang masih menembus kardigan yang ku kenakan diluar daster panjang kesayanganku. Mataku menatap Anggar penuh ejekan, apalagi saat senyebut kata istri.

Pak polisi melongo dengan pilihan kata yang ku ucapkan. Sekali lagi jurus tak peduli wajib digunakan saat menghadapi Anggar.

"Alika..." Tak perlu ku hiraukan suara itu, mengabaikan tatapan tak suka wanita disampingnya dan menuju pak polisi yang sudah ku kenal, yang tengah duduk di meja pojok ruangan ini.

"Loh, tak pikir bocah itu ngapusi to mba, ngaku - ngaku suamine mbak-e." Aku tersenyum mendengar pak polisi senior yang sampai berdomisili di kampung ini karena tugas, membuatnya berada disini bertahun - tahun.

*Hah ku pikir bocah ini bohong mba, ngaku-ngaku suamine mbak.

"Dihadapan negara masih suami kayaknya deh pak." aku menjawab seolah tak terganggu dengan kenyataan ini.

"Sabar mba, wong lanang koyo kui, tinggal ae. Wes duwe bojo ayu tur sugeh isih macem - macem. Iku mau nabrak rombong baksone Cak Man pengkolan kui loh mbak Alika." Aku menghela nafas mendengar penjelasan pak polisi. Emang Anggar sekere itu ya, ganti rugi aja nggak kuat sampai diseret ke kantor polisi.

*sabar mbak, lelaki kayak dia, tinggal saja. Itu tadi menabrak rombong baksonya Cak Man pengkolan itu loh Mbak Alika.

"Ya udah sih pak, kalo mereka berdua nggak mampu tanggung jawab, biar saya yang ganti rugi pak." Aku menatap penuh penghinaan padanya, pria yang pernah menyebut namaku di depan saksi.

"Alika, bukan masalah itu." Suara Anggar menginterupsi. Dan akupun membugmkdari dua orang itu, mendapati dua sejoli itu tengah berpegangan tangan menurut kacamataku. Aku mengernyit jijik. Di tempat umum begini mereka mengumbar kedekatan seperti itu.

"Lalu, apa? Kamu nggak punya uang, nggak bawa uang, atau gimana?" Tak berperasaan ku berondong dia dengan berbagai tanya, menyudutkannya.

"Kalau saja mereka nggak mukul aku duluan, aku dengan senang hati akan bertanggung jawab, Alika" kekehnya membela diri.

"Terus kamu bales... Nggak omongan nggak tingkah laku sama - sama arogan ya?" suaraku bernada kesal sangat. 5 tahun pergi, datang - datang malah bikin kacau. Apa-apaan dia, disaat begini aja nyari aku, mentang - mentang lokasinya sekarang dekat denganku. Jangan salahkan aku kalau aku selalu jadi suudzon begini sama dia.

"Kamu, ngomong apa sih?" Nada suara Anggar mulai terdengar tak enak dan aku sangat paham sekali. Emosi menguasai diri, tentu saja, ini hampir tengah malam. Bahkan aku tak ingin mempedulikan gerak kepala orang-orang di kantor polisi ini yang berganti arah dengan cepat dari aku kepada Anggar, menyimak perdebatan kami.

"Gini aja deh pak polisi, kalau mereka berdua nggak mau tanggung jawab, saya, si anak manja ini, yang akan tanggung jawab sama kerugiannya Cak Man. Masalah mereka mau nginep disini sih terserah mereka." Ingatanku kembali pada ucapan wanita yang masih menautkan tangannya pada lengan Anggar itu 5 tahun lalu. Hah, jelaslah aku masih ingat wanita itu. Salah satu yang menyumbang efek kebencianku makin besar pada Anggar.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height