+ Add to Library
+ Add to Library

C4 4

Sementara wanita itu cuma lecet - lecet karena saat kejadian, dia terlempar beberapa meter. Anggar mengalami geser bahu dan retak tulang kering. Belum lagi bekas keroyokan bapak - bapak setelahnya.

"Kamu pulang saja, kami bisa sendiri" suara sumbang Rania yang seakan ketakutan kalau - kalau Anggar terkontaminasi denganku.

"Baguslah" aku memilih keluar dari ruang rawat inap yang untuk mengurus administrasinya saja masih aku. Namun aku berbalik hanya untuk mengatakan kalimat penghinaan mungkin

"Oh iya, masalah kamu menumpang kendaraan ku, juga biaya administrasi dll itu, kamu nggak perlu khawatir, anggap aku menyumbang untukmu." Aku bersedekap santai setelahnya melanjutkan yang mengganjal pita suara.

"Sebagai info sih, aku bukan wanita miskin yang numpang makan sama Anggar. Justru Anggar beruntung seharusnya, dinikahkan denganku. Kalau kau tidak tahu, tanyakan padanya, apa saja yang sudah nenek ku hadiahkan untuknya.". Aku menatap wanita itu ramah berbanding terbalik dengan diamnya Rania yang nampak hendak membalas ucapanku.

"Satu lagi" aku mengansurkan tangan ke depan wajah Rania saat mulutnya hendak terbuka.

"Urusan Anggar tak pernah sekalipun menarik di mataku"

Aku sengaja menekan setiap kata bahkan memainkan intonasi setiap kalimat yang ku lontarkan, aku tahu Anggar mendengar semua. Kalau Anggar sakit hati itu akan sebanding dengan semua yang telah ku alami selama ini.

"Kamu..." Wanita itu mengacungkan jarinya ke wajahku.

Aku menahan tanganku lagi ke arahnya, mencegah wanita itu bicara.

"Saran ku, kalau kamu menyukai seseorang, jangan bertindak murahan di depannya, walau keadaanmu lemah sekalipun. Ku rasa Anggar tak suka wanita agresif dan genit, apalagi sekedar pura - pura lemah" soal ini aku menebak saja sih, gimana dia mau peduli sama yang pura - pura, yang beneran dalam posisi membutuhkan sandaran sepertiku ketika Umi pergi saja dia tak peduli.

"Kamu salah, Alika" hanya seorang saja yang menyebut namaku seperti itu dan orang itu adalah Anggar.

"Aku tak peduli, Anggar"

"Tidak seperti itu, Alika" Suara bassnya pernah beberapa bulan akrab di pendengaran ku.

"Tak masalah, aku memang tak pernah mengenalmu"

"Kamu masih istriku"

"Kamu merobek surat cerai itu"

"Kamu terganggu dengannya, Alika" Anggar menunjuk Rania dengan matanya.

Aku mendengus lalu tanpa bisa ku tahan tertawa tak percaya akan tuduhannya.

"I don't care, kalau kamu merasa makin pandai menilai ku" aku terganggu dengan Rania, jawabnya memang iya, tapi aku lebih terganggu dengan keberadaan Anggar.

Tmberdebat dengan Anggar tak akan ada usainya. Jadi pergi, menjadi diriku kembali yang selalu tenang dan sendiri.

Sudah pukul setengah 7 saat aku terbangun. Hiruk pikuk pasar terdengar dari dalam kamar. Mencuci muka dan sikat gigi, keluar rumah membawa dompet dan melangkah untuk mencari sarapan. Tak lupa membaca pesan what'sapp dari toko emas yang juga peninggalan Umi bahwa aku perlu bertemu pemasoknya karena ingin menaruh perak dan platinum di toko ku itu.

"Mbak Alika, lontong sayur mba?" Seseorang pedagang langganan menawariku.

"Pingin bubur yu, besok aja ya" aku menolak dengan senyum, mereka sudah terbiasa dengan pembeli yang kadang tertarik atau tidak.

Aku pengen bubur ayam kuah soto pedes, pasti enak. Terlintas ringisan kesakitan anggar saat menggeser bahu dan kakinya. Ah, ngapain ingat si pengecut itu. Dia bukan sakit pencernaan, hanya retak tulang. Ide mengiriminya bubur itu terdengar gila.

"Mbak Alika dari mana semalem, katanya bapak, keluar ke kantor polisi." Bu RT dalam mode kepo penuh. Dan aku maklum, Alhamdulillah, mereka nggak pernah nyinyir sampai bikin sakit hati banget.

"Iya buk, Anggar kecelakaan tadi malam"

"Loh, yang katanya nabrak rombong baksonya Cak Man itu ya" Bu RT mulai menghayati setiap perkataan, emang risih kadang tapi lumayan menghibur.

"Nyari bubur ayam juga" lanjutnya tatkala menyadari aku ogah bahas Anggar.

"Iya, buk"

"Ya udah makan sini aja, sama ibuk. Ibuk juga lagi males masak" aku

"Terus gimana Mas Anggar, masih ganteng nggak sih, dia"

Oh My God, Bu RT ini.... Aku sampai tersedak teh hangat yang aku minum. Bukannya nanya dia luka malah tanya itu. Pemilik warung bubur cuma terkekeh mendengar celoteh Bu RT. Semua orang pasti tahu aku pernah menikah. Hanya saja mereka tak tahu pasti aku masih bersamanya atau sudah pisah.

"Duh, neng, nanya mantan suami eh masih suami ya, udah keselek, pelan - pelang makanya" dasar Bu RT, ngomongnya lugu amat.

Aku tersenyum tak enak, berdehem membersihkan tenggorokan sebelum bercerita ala kadarnya harus mengantar Anggar ke rumah sakit.

"Ya sudah buk, bisa nggak saya nitip uang buat Cak Man. Buburnya biar aku yang bayar"

"Bisa donk, apalagi sudah disogok gini, mbak" Bu RT tertawa. Jadi Bu RT ini menjalankan 2 Ruko yang sebagian modalnya dari Umi dulu. Jadi begitulah, nenek ku emang se-eksis itu di pasar ini. Bersyukur aku tak pernah kekurangan apapun meskipun hanya tinggal berdua bersama beliau.

Setelah mandi, berganti baju yang nyaman, aku perlu duduk khidmat di depan meja kerjaku. Melihat berapa keuntungan bulan ini, perlu juga menyisihkan pendapatan untuk membayar zakat harta seperti pesan Umi di masa sehatnya. Hingga tak terasa suara adzan berkumandang, sudah tengah hari, meskipun kadang aku masih lalai terhadap perintah Tuhan, tapi sebisa mungkin aku memenuhi kewajiban ku sebagai umat.

4 misscall dari nomor baru, dari 2 nomor berbeda ku lihat. Aku mengernyit, bertanya - tanya siapa kira - kira. Mempertimbangkan apakah aku harus menghubungi balik. Namun Dewi Fortuna berpihak, salah satu nomor yang ku maksud menghubungi kembali.

"Halo" Aku menyapa ragu.

"Dengan mbak Alika?"

"Ya, siapa ya?"

"Saya temannya Anggar"

"Oh"

"Koq Oh" hening sejenak di ujung sana. Lalu aku harus menanggapi lebay kala seseorang menyebut nama Anggar gitu, pikirku sewot sendiri.

"Maaf mbak, saya mau bawa pulang Rania, tapi Ranianya nggak mau kalau ninggal Anggar sendirian" suara pria di ujung sana terdengar tak sabar.

"Hubungannya dengan saya?" Sok polos aku meladeni pria tak ku kenal ini.

"Gini mbak, Anggar nggak mau bikin kuatir ibunya, jadi keluarganya cuma mbak untuk saat ini"

"Oh ya" biarlah dikata aku nggak sopan.

"Ini dengan mbak Alika bukan sih?"

"Kamu bener temennya Anggar?" Entah apa hubungan Anggar dengan Rania, namun kalau boleh aku menilai pria ini tengah sangat mengkhawatirkan Rania.

"Iyalah mba?"

"Emang kamu tahu siapa saya"

"Istrinya"

"Emang kamu pernah denger Anggar punya istri 5 tahun ini" sedikit bermain - main boleh kan.

"Nggak sih mbak"

"Tuh kan, kamu salah orang sepertinya"

"Nggak lah mba, wong mbak juga nyambung kita bicara soal Anggar, Anggar yang sama yang kita maksud kan?" Ah kenapa rasanya aku terhibur.

"Saya janda 5 tahun, kalau kamu mau tahu"

"Ups, sorry mbak. Tunggu Alika!" Dan aku yakin, yang meneriakkan namaku itu suara Anggar.

"Please jemput aku, beri aku waktu seminggu memulihkan diri. Setelah itu kamu boleh melakukan apapun padaku, aku janji" Anggar terdengar seperti bukan Anggar.

"Maaf, aku nggak butuh" dengan itu aku mengakhiri sambungan secara sepihak. Memantau diriku sendiri bahwa tak apa mengacuhkan pria itu, toh selama lima tahun ini kemana saja dia.

Menetralkan degup jantungku, memutuskan menuruti langkah hanya untuk sekedar melihat - lihat bunga anggrek dan dedaunan di teras belakang. Sepertinya ide menambah kolam renang mini disini bagus juga. Tapi....., kasihan juga si Anggar. Ibunya yang sudah tua, dan adiknya yang harus merawat anak autisnya. Duh kepikiran deh aku. Tapi selama 5 tahun ini nggak mungkin juga kan dia nggak pernah sakit, toh dia sudah dewasa pastilah dia bisa ngurus diri sendiri. Tapi kan... Sekarang kaki dan tangannya cidera. Huffft...!! Aku masih kepikiran Anggar.

Baiklah, aku akan lihat dia, kalaupun dia sudah out berarti ya udah, bye Anggar. Biarlah dikata aku jahat. Bukannya dia emang keterlaluan.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height