+ Add to Library
+ Add to Library

C5 5

Alurnya masih lambat, karena aku nggak mau hilang feel, tiap detik waktu yang dilewati Anggar bersama Alika sangat berharga bagi mereka setelah 5 tahun yang terlewat. Meskipun mereka belum menyadarinya. Aku mau kasih pelajaran Anggar bahwa "seseorang baru akan terasa berharga apabila telah pergi" seperti kata Bang Rhoma šŸ¤£šŸ¤£šŸ¤£

***

Anggar terbaring tak berdaya, di atas ranjang rawatnya. Ah kalau begini siapa yang tega. Makanan jatah rumah sakit masih tertutup plastik wrap, ada titik air di luar gelas teh . Dia pasti kesulitan pikirku, seingatku dia masih punya beberapa saudara, tapi entahlah. Memangnya apa yang ku harapkan dari pernikahan yang seumur jagung ini meski hanya riwayat keluarga. Mungkin kalau masih ada Umi, aku bisa bertanya CV lengkap Anggar.

Aku duduk di sofa yang disediakan, membuka salah satu aplikasi favorit di hapeku untuk membunuh waktu. Sangking asiknya menjelajah aplikasi baca, hingga baru tersadar Anggar telah terbangun cukup lama untuk mengamatiku.

"Bangun? Butuh bantuan?" Huh, begini amat nasibku. Bukannya tak ikhlas, tapi situasi ini terasa amat aneh.

"Naikin dikit ranjang ku, please" ungkapnya, aku menyahuti dengan tindakan langsung membuatnya dalam posisi duduk. Mengulurkan teh kemudian berinisiatif menyuapinya. Tak ada perbincangan hanya denting sendok dan piring yang beradu hingga suapan terakhir. Semua yang kulakukan murni dorongan rasa kemanusiaan, menelisik muka kuyu bercampur sakit Anggar membuatku tak sampai hati mengabaikannya.

"Kamu udah nemuin dompet dan hape ku?"

"Sebelum kesini aku ke kantor polisi ngambil dompetmu, untung ketemu"

"Ambil debit card ku disitu, buat ganti uangmu ngurusin aku dan ganti rugi buat tukang bakso itu." Ku kendurkan bahu acuh. Pasti akan ku ambil nanti.

"Passwordnya, tanggal lahir mu" selorohnya, alis tebalnya menyatakan keseriusan.

"Apa?" Aku melongo tak percaya, memang tak sampai histeris namun tetap saja pekikan keheranan ku menarik raut terhibur di wajah kusut Anggar.

"Passwordnya tanggal lahir mu, Alika" ulangnya masih dengan ekspresi yang sama. Sampai aku melihat untaian senyum terbit di ujung bibir Anggar, seolah dengan membuatku cengo begini adalah hiburan baginya. Mengabaikan senyum menawannya, aku berusaha sadar dari rasa yang entah apa namanya ini. Mengerjap beberapa kali berpikir keras mengapa dia melakukan itu. Namun saat akhirnya kesadaran ku kembali, aku justru memutar bola mata.

"Alika"

"Apa?"

"Nggak sopan"

"Memangnya kamu sopan"

"Maaf"

"Huh"

"Antar aku ke Solo"

"Ngapain sih"

"Rumah sakit spesialis ortopedi" jauh amat pikirku.

"Aku ingin cepat sembuh, dan melakukan banyak hal yang seharusnya aku lakukan sejak dulu bersamamu"

"Ngigo" benarkan ngigo dia, lima tahun nganggurin aku tanpa kata, sekarang mudahnya bilang begitu. Minta ditampar biar sadar kali ya.

"Alika, aku akan membuktikan padamu"

"Kepalamu nggak benjol, tapi koq kamu jadi seperti bukan kamu" duh ngapain aku repot - repot ada disini sih.

"Emangnya aku seperti apa Alika?"

"Pikir sendiri"

"Maafkan aku"

"Obral maaf banget kamu"

"Harusnya Minggu depan aku pulang ke Malang setelah setahun ini ada di Australia" berusaha menyimak, mungkin aku bisa menggali alasan Anggar ingin kembali padaku.

"Salah satu sepupuku menikah"

Aku mengendikkan bahu ringan merasa bahasan itu terlalu asing buatku. Anggar pun sepertinya menyadari reaksiku.

"Ibu sering menanyakanmu"

"Aku nggak ngerti harus bilang apa, Anggar" aku memindai ruang rawat ini, warna hijau temboknya terasa menghibur pandangan.

"Kita tidak bertemu dalam situasi yang baik. Aku mengerti kalau orang sepertiku tak cocok dengan lingkar kehidupanmu. Jadi sudah seharusnya kamu melepaskan ku. Aku tak mungkin selamanya hidup sendiri begini, aku juga ingin punya seseorang yang sanggup menemaniku menua bersama, memiliki keturunan, dan kelak saat kami telah renta, ada anak - anak yang senantiasa mengkhawatirkan kami." aku menerawang membayangkan apa yang ku katakan, aku sedikit sentimentil mengingat aku sudah melalui semua ini sendiri.

"Kamu udah menyia - nyiakan pernikahan ini, lima tahun loh" aku mengeleng tak percaya bahwa aku duduk disini menungguinya yang sudah mencampakkanku selama itu. "Ayo kita buat ini mudah Anggar."

Anggar tak memutus pandangan terhadap ku, entah kenapa aku merasa sedih saat ini. Sungguh perasaan ingin hidup normal itu nyata ku inginkan.

"Kamu punya kekasih" aku tahu dengan pertanyaan itu Anggar tengah menguliti hidupku, nampak dari sinar matanya yang tak goyah.

"Kamu pikir, apalagi yang dilakukan wanita dewasa sepertiku dengan status menggantung, huh" aku terkekeh tanpa humor, sama sekali tak tersinggung dengan pertanyaan Anggar.

"Aku banyak bertemu dengan berbagai kepribadian, meskipun aku tak berniat menyelami mereka. Namun, cukup bagiku untuk tak merasa kesepian" sungguh aku terkadang berniat menyerah menanti Anggar datang dan memutuskan ikatan ini.

"Kamu bisa saja menikah kembali."

"Kamu pikir, mudah bagiku membina suatu hubungan serius setelah apa yang terjadi padaku. Tak diharapkan, tak diinginkan, ditinggalkan tanpa kata?" Lagi - lagi aku tertawa getir, tak peduli orang yang ku maksud adalah orang yang sedang mengajakku bicara.

"Alika..."

"Jangan meminta maaf lagi, aku sudah mulai muak dengan mu" aku menarik nafas, mengembalikan ekspresi biasa - biasa saja andalanku, lalu mengerjap singkat menghalau embun yang sudah mulai meluruh di mataku.

"Jangan mengasihani ku, karena jika dengan alasan iku kamu meminta kembali, aku tak akan pernah sudi berbicara padamu lagi" Anggar terdiam, memejamkan mata sekilas lalu membuang pandangannya jauh ke luar jendela kamar rawat ini. Sedangkan aku mengatur nafasku berkali - kali, mengatur sesak di dada agar tetap apik terkendali.

"Selamat siang, ibu istrinya bapak Anggar kan?" Aku melirik Anggar, tak sekalipun dia berpaling dari ujung pepohonan di luar jendela. Dia pasti sengaja, memposisikan aku seperti yang dia mau. Aku mengangguk dan mau tak mau memposisikan diriku seperti seharusnya. Biarlah mungkin dengan berperan sebagai istri kali ini aku bisa sekali lagi menampar Anggar.

"Dokter ingin bicara Bu, bapak kemaren mau pindah RS ya" aku kembali mengangguk, dan keluar kamar mengikuti instruksi perawat.

Setelah mengantongi surat rujuk ke salah satu RS di Solo atas permintaan Anggar, aku meminta bantuan perawat laki-laki untuk membantu memindahkan Anggar ke kursi roda setelah itu ke mobil di tempat duduk penumpang.

"Kita bawa ambulans gimana, biar kakimu ga perlu ditekuk begitu"

"Nggak perlu, ini cuma retak"

"Kamu pakai uangku kan"

"Iyalah, aku narik di ATM RS tadi. Masak iya aku pake uangku terus, toh kamu kecelakaan bukan salahku" Aku ngomel sepanjang jalan, Anggar hanya menanggapi sesekali, itupun hanya iya tidak, bahkan saat aku meliriknya karena tak puas dengan jawabannya yang terlampau singkat, ku dapati sebaris senyum yang beberapa waktu kebersamaan kami jadi sering ku lihat, sangat jauh berbeda dari 5 tahun lalu.

"Aku tak tahu, kalau mendengar omelanmu bisa sebahagia ini" katanya.

Aku mendengus tak habis pikir. Dimana bahagianya, harusnya dia balik marah, kalau dia waras.

"Otakmu sehat kan"

"Rasanya aku tak akan menyesal menghabiskan seumur hidupku bersama kamu, Alika"

"Huh, ngomong apa?"

"Beneran kamu bakalan nyetir sendiri dari sini ke Solo?" Mengganti topik pembicaraan hu, dasar pria.

"Menurutmu?"

"Beneran kamu nggak bisa menyelamatkan ponselku" aku memutar bola mata.

"Nih" aku merogoh tas lalu melempar ponsel retak yang lcd nya nyaris hancur ke pangkuannya. Tangan kiri Anggar membolak - balikkan ponsel rusak itu.

"Sial" umpatnya.

Tentu saja aku tak akan cari mati menyetir sejauh itu, sekalipun lewat tol. Aku menanti sambungan terhubung ke nomor salah satu rekan ku. Tak akan ada yang menolakmu selama uang berkuasa, begitu nasehat Ibu Hajah Herlina yang udah 3 kali naik haji dan 5 kali umroh, alias nenek ku.

"Sri! Kamu dimana? Aku memekik kala Sri meresponku di seberang.

"Sibuk nggak?"

"...."

"Mau donk, aku ajak jalan"

"...."

"Nggak jauh, sekiran Malioboro"

"...."

"Iiiyah, iih kamu, bencong matre"

"...."

"Mana mamih kamu, ihiiii"

"...."

"Sama cowok nih" melirik hingga menelisik seluruh wajah Anggar aku jadi tersenyum miring lalu menjawab Sri "seger lah..." Sekali lagi ku lirik Anggar yang tampak penasaran.

"Si bule ajak juga deh, biar gantian yang nyetir."

"...."

"Eh tapi beneran sih, kalian lowong?"

"...."

"Mana mamih kamu, biar aku ngomong langsung. Dia kagak ngangkat telpon aku beibe, iya. Oke."

"Hallo Jeung, ini aku mau ke Solo, ada kepentingan mendadak, kalo si Supri ga sibuk, aku bawa deh, ya paling lama 3 harian kali ya, kalo bisa solmetnya Supri aku bawa juga, iya buat gantian ngedriver. Beres... Aku udah deket banget"

"Siapa?" Anggar bertanya malas, nampak gurat lelah dan sakit di wajahnya.

"Tuh tempatnya" aku menunjuk dengan daguku salon yang tak terlalu besar, bersamaan dengan rem yang ku injak. Kemudian aku turun menggunakan sandal ternyaman, yaitu sandal jepit kesayangan yang selalu ku siapkan di mobil.

"Halo Jeung, mau keluar?"

"Iya, nanti seminggu lagi ada konser di desa ujung sana mbak Alika. Duh siapa itu, macho banget keliatannya? Cowok baru?" Jeung Salma berbinar menatap penasaran ke arah Anggar. Aku tertawa terbahak lalu berbisik " suamiku" ke arah Jeung Salma, salah satu rekan bisnis make up wedding. Dia bilang konser, berarti bakal ada seseorang yang akan menggunakan jasanya.

"Appahhhh" teriaknya, aku berlalu meninggalkan Jeung Salma yang sekarang sedang dadah dadah manjah ke arah Anggar.

"Mbak Alika...." Aku sedang berbincang dengan pria melambai yang ku sebut Sri di awal sambungan telpon tadi saat suara cempreng Jeung Salma menelisik telinga.

"Ini suaminya jangan dibawa ke rumah sakit Jeung, lama sembuhnya. Bawa ke tukang pijat aja, aku punya kenalan "sangkal Putung" loh......" Belum aku menjawab Jeung Salma yang sudah memapah mesrrahhh pria yang kini terlihat tak nyaman itu.

"Kamu sama suami cyin... Yang katanya 5 kali puasa 5 kali lebaran nggak pulang - pulang itu cyin..." Supri nama dagingnya yang lebih akrab disapa Sri ini, histeris dibuat - buat,ku jawab dengan mengangguk dramatis dan senyuman manis. Jangan tanya gimana ekspresi Anggar mendengar celotehan Sri. Udah keliatan sengak banget dia dan aku sangat menikmati.

"Oh my God, Tuhanku, suami yeiy bule beneran....., bikin eikehaus cyiiin" Sri alias Supri berkedip - kedip imut hingga bulu mata hasil eyelash terlihat berwarna pink karena maskara Korea yang digunakannya.

"Alika, bantuin aku" aku menoleh dan mendapati Anggar tampak tak berdaya sembari merangkul pundak Jeung Salma sebagai tumpuan.

"Ngapain ikut turun, sih?"

"Katanya kamu lama" Anggar melirik Jeung Salma dengan ekor matanya.

"Pasti sakit banget ya?" Tanyaku, tapi membiarkan Anggar sedikit lebih lama, aku mengikat rambutku tinggi - tinggi di depan cermin salon dengan santai. Menatap Anggar yang terus memohon padaku lewat iris coklatnya yang gelap.

"Alika..." Nggak salah kan aku mendengar suara pria merengek.

Jeung Salma tengah mengagumi otot - otot Anggar dan Sri sudah meraba udara tepat di sekitar dada dan perut pria itu. Bolehkan aku merasa terhibur sekarang.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height