+ Add to Library
+ Add to Library

C6 6

Happy reading 😘

Perjalanan menuju Solo akan sangat lama apabila ditempuh lewat perjalanan darat. Jadi aku memutuskan menempuh jalur udara dengan tujuan awal Bandara Adisucipto Yogyakarta. Apalagi Supri tak membawa solmetnya. Pasti akan sangat melelahkan jika dia harus menyetir sendiri. Jadi disinilah kami berdua, di Bandara Juanda menunggu penerbangan lokal ke Solo 2,5 jam lagi.

Aku juga sempat membeli baju ganti untuk Anggar juga aku, celana pendek selutut dan kemeja yang nyaman buatnya. Mengingat dia belum ganti baju sama sekali sejak semalam. Lupakan bagaimana perdebatan kami saat aku tak mau membantunya mengganti lapisan kain di badannya, juga celana dalam. Oh sial, katakan aku memang istri sahnya, tapi tak sekalipun kami pernah melewati momen suami istri yang saling tahu isi dibalik kain - kain tersebut.

Aku sungguh malu, bagaimana harus masuk memapahnya ke dalam bilik toilet pria dengan tatapan ingin tau orang - orang. Beruntung luka dan lebam di wajah, tangan kanan yang harus di gendong dan kaki kanan yang di perban juga harus terseok membuat semua orang maklum. Aku juga harus terpaksa mengeluarkan KTP dan fotocopy surat nikah yang untungnya selalu terbawa dalam dompetku untuk ku perlihatkan kepada petugas keamanan yang berada tak jauh dari kami. Beruntung sekurity berbadan gempal itu mau membantu memapah Anggar dan bersedia membawakan kursi roda untuk Anggar.

"Ya sudah, sekalian basuh badan kamu biar nggak kotor" aku berujar ketus, situasi macam apa ini, pikirku kalut sendiri. "Aku nggak bakalan liat kamu, ga usah malu, cepetan deh Ang"

"Apa kamu bilang?" Anggar menghentikan semua gerakan pasif tubuhnya.

"Apa?" Aku bertanya bodoh, tak paham maksudnya.

"Kamu manggil aku apa?" Katanya memastikan, sedang aku berdecak. Sempat - sempatnya sih dia gagal fokus sama panggilanki begitu. Aku segera membasuh tubuhnya hati - hati menggunakan segenggam tisu toilet yang sudah ku basahi, situasi darurat begini apapun jadi.

Aku juga menyuruhnya membersihkan area pribadinya sendiri, lalu mundur beberapa langkah dan bersedekap. Bahkan membuang pandanganku ke segala arah di bilik sempit ini asal tak melihat Anggar, duh malunya.

"Kamu beli handuk juga kan?" Aku tak menjawab, namun mengeluarkan separuh badan dari toilet dan mencoba tak peduli saat beberapa orang pria menatapku aneh. Aku meraih ransel yang sengaja ku letakkan di samping pintu luar bilik ini. Mengeluarkan handuk secepat yang aku bisa dan menyeka tubuh berotot Anggar.

"Orang terdekatku memanggilku Gara, kamu bisa memanggilku begitu"

"Aku bukan orang terdekatmu, whatever" sahutku judes. Angkat kakimu, perintahku.

"Maaf, kamu jadi merawat ku begini Alika" terdengar nada penyesalan dari bibirnya yang sedikit robek.

"Aku sudah menolak merawat mu sejak awal"

"Ya, aku berterima kasih karena kamu tak benar - benar mengabaikan ku "

"Angkat" perintah ku lagi, agar dia mengangkat pinggulnya. Mencoba tak melihat aset pribadi pria itu. Sungguh, aku ingin sekali menenggelamkan diri ke laut saja rasanya. Sementara aku juga tau, tak sedetikpun Anggar tak menatap wajahku. Ada luka lecet lumayan parah di sisi bokong luar sebelah kanan.

"Kenapa tak bilang ada luka disini, perawat bisa memberinya antiseptik"

"Aku hanya nyaman kalau kamu yang menyentuhnya" jawabnya dengan suara ambigu. Aku tak tahan tak mendengus, dasar pria.

Aku memakaikan kemeja lengan pendek ke tangannya yang sakit dengan sedikit kasar, hasilnya pria itu mengaduh. Meski begitu, tak sedikitpun mengurangi gerak ku. Melanjutkan ke tangan kirinya yang tak sakit, lalu fokus mengancingkan satu persatu, meski aku sempat melirik ada bulu - bulu halus yang menghiasi dada hingga perutnya yang berotot. Sial, aku tak bisa tak menahan nafasku. Bagaimana tidak, mata Anggar tak sedikitpun beralih dari setiap gerakan ku. Tak dan memerintahkannya untuk berdiri agar aku bisa menarik resleting celananya yang.... duh...!! Tongkatnya ga tidur - tidur. Gila Si Anggar!!

"Kenapa, Alika" Aku memalingkan muka yang pasti sudah sangat merah karena aku merasa serangan badai api semakin besar ke arah wajahku.

"Ayok keluar!" tak ku hiraukan pertanyaan Anggar, aku juga tak berani memandang wajahnya yang pasti akan mengolokku. Sungguh aku tak bermaksud membentaknya. Ini awkkward banget, aku tidak nyaman sama sekali. Hingga udara di luar toilet membuatku menarik nafas lega.

Sumpah ini pertama kalinya untukku, menyentuh dengan bebas area privat pria dewasa. Perawan sepertiku tau apa sih soal sentuhan terkait seks. Ups, maaf aku memang perawan, hanya statusku yang menyandang gelar istri, tepatnya istri yang tak diinginkan.

"Terima kasih, Alika"

"Serah kamu aja" sahutku sok cuek, padahal dadaku masih berdesir nakal.

Aku berterima kasih kepada sekuriti yang memberikan Anggar kursi roda. Memudahkan diriku sangat. Tubuh kecilku sudah terlalu lelah membantu beban tubuh orang lain yang besarnya 2 kali lipat denganku. Kakek Anggar orang Australia menikah dengan orang Bali, memiliki anak yaitu ayah Anggar yang kemudian menikah dengan orang Malang yang juga keturunan Australia. Jadi bisa kamu bayangkan dengan gen seperti itu, Anggar mewarisi body yang lebih besar dari orang Indonesia pada umumnya.

Setelah akhirnya kami menemukan kursi kami. Aku bersandar lelah, sudah mata dan otak ku teracuni penampakan pornografi, badanku juga capek karena kemana - mana memapah Anggar.

"Untung kita dapat kelas bisnis, kalo nggak kita ga bakal bisa istirahat nyaman" Anggar duduk nyaman setelah pramugari membantu kami memposisikannya.

"Hmm" aku berdehem, sedikit tersenyum mengingat pria ini sempat rewel banget meminta duduk di kelas bisnis yang nyaman karena takut luka - lukanya tersenggol.

"Kamu bener - bener pakai kartuku kan?" Aku melirik pria yang kini sikapnya padaku berbanding terbalik dengan lima tahun lalu yang penuh dengan antipati, seolah aku ini penyakit menular.

"Emangnya kenapa?"

"Aku takut kamu masih mengira aku kere, nggak sanggup memfasilitasi kita" jawabnya tanpa terdengar emosi sedikitpun. Mau tak mau aku terbahak, ternyata Anggar masih mengingat dengan jelas.

"Kenapa ketawa"

"Ya gimana ya, sejak kejadian itu aku bener - bener jadi royal kepada semua orang. Aku nggak mau dikira cuma sekedar numpang makan, numpang tenar, dan lain sebagainya. Kamu tahu, Umi emh nenek ku tak sekalipun mengajarkan aku demikian."

"Aku nggak tahu kamu bakalan sesakit hati itu."

"Aku memang nggak sesakit hati seperti katamu, hanya saja itu cukup melukai harga diriku. Teman - temanmu berbicara seolah - olah aku tak mendengar, padahal mereka tau aku ada di belakang mereka."

"Jadi itu yang membuatmu mogok mengejar ku"

"Aku mengejar mu?"

"Ralat, berusaha menjadi terlihat di mataku" katanya salah tingkah. Ge er amat sih bang, aku memutar bola mata.

"Ya itu benar. Harusnya mereka tau, kamu yang mendapat banyak keuntungan materi dari perjodohan itu, bukan aku" aku tak peduli kalimatku ini membuat Anggar terganggu, tampak dari raut wajahnya.

Aku menghela nafas, lalu melanjutkan "Mengingat wajah rapuh Umi waktu itu, saat aku hendak menolak perjodohan denganmu, aku jadi tak tega. Beliau bilang ini yang terakhir, setelah itu beliau tak akan peduli sekalipun aku tak menikah. Biar saja silsilah keluarga akan berhenti di aku" Sungguh, saat Umi bilang begitu aku jadi ketakutan aku tak mampu meneruskan garis keturunan keluarga kami.

"Kenapa kamu hendak menolak ku"

"Aku menolak semua lamaran yang datang" ha, buat apa menikah dengan pria - pria yang lebih tertarik mengelola hartamu dari pada menyayangimu.

"Kamu punya kekasih" pertanyaan ini membuatku menoleh sempurna ke arah Anggar.

"Dua tahun sebelum kita menikah, aku memiliki seorang tunangan. Hanya saja, mendengarnya langsung mengatakan dia tak mencintaiku dengan tulus kepada kekasih barunya membuatku meradang." Mengunci mata cokelat gelap Anggar dengan tajam, mencari jawaban apakah pria ini juga sama seperti pria - pria di luar sana.

"Kalian berakhir"

"Aku yang mengakhirinya" tak sedikitpun aku melepas Anggar dari tatapanku.

"Reaksi Umi"

"Beliau menangis semalam, dan sejak itu Umi gencar mengenalkan ku pada banyak calon. Sakit?" aku mendapati Anggar mengernyit dan menggerakkan kakinya dengan kesulitan. Entah apa yang ada dalam benaknya. Gerakan tak nyamannya seolah tengah menutupi perasannya. Sehingga aku menyimpulkan bahwa nilai Anggar sama dengan pria lain yang mendekatiku selama ini.

"Mau rebahan?" Tawarku, ia mengangguk. Entah kenapa terselip sedikit rasa kecewa di ulu hatiku.

Aku menurunkan sandaran pada tempat duduknya.

"Minum obat dulu" aku meraih ransel miniku dan mengeluarkan obat yang sudah telat beberapa jam dari jadwal seharusnya serta dengan penuh perhatian membukakan tutup botol air mineral untuknya.

"Kalau memiliki seorang istri begini menyenangkan, aku tak akan gegabah meninggalkanmu" Anggar berucap penuh humor sembari melengkungkan bibirnya, seolah apa yang dia katakan bukan dia dan aku alami sendiri.

Lagi - lagi aku tertawa, tak menyangka kami ada pada titik ini, menertawakan pernikahan aneh ini dalam situasi yang akrab. Meskipun, sekarang aku makin mantab dengan keputusanku bahwa aku ingin perpisahan ku dengan Anggar sah juga di mata hukum.

"Ayo menikah, Alika"

"Huh, ngomong apa!" Auto memutar bola mata, dalam hati memaki - makinya. Baru saja aku membulatkan tekad.

"Aku serius, tanpa warisan Umi, aku bisa menghidupi mu sekarang. Aku tak perlu menundukkan kepala di depanmu lagi karena merasa tak mampu"

"Hah, klasik sekali. Jangan bilang kamu meninggalkanku dulu karena merasa tak sepadan denganku, jangan naif deh" muak, marah, dan kesal sekali dengan apapun yang ada dalam pikiran pria ini. Ku akui hanya Anggar yang mampu membuatku merasakan berbagai macam rasa dalam waktu sekejap saja.

"Kamu tahu, aku sungguh tak bisa menolak Umi Herlina yang begitu baik. Beliau menyelamatkan ku dari ancaman penjara karena tuduhan salah alamat."

"Aku mendengar cerita itu. Dan sebelumnya, kamu telah menyelamatkan Umi dari perampokan bukan? Kalian berdua menggunakan ku sebagai media balas budi, dan aku benci itu"

"Maafkan aku, Alika" Anggar menggenggam tanganku kuat tapi tak menyakiti. Kaget tentu saja, hingga spontan mataku menatap penuh tanya tepat ke irisnya yang tengah mematri pandanganku. Kalimat yang meluncur dari bibirnya membuat keputusanku goyah karena aku tak melihat ada maksud lain di sana. "Ayo kita mulai dari awal lagi"

Yang tidak Anggar tahu, aku adalah tipe yang suka menilai dan menyimpulkan, paranoid, dan terlalu nyaman dengan diri sendiri. Hidup dalam kesendirian membuatku jadi suka meraba apakah orang lain juga nyaman denganku, hingga memasang topeng baik - baik saja demi agar orang lain tak tersakiti. Kadang aku jadi terlalu baik pada semua orang. Namun sepertinya Umi lupa mengajarkan tentang dendam kepadaku.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height