+ Add to Library
+ Add to Library

C7 7

Anggar hanya mengalami cidera bahu ringan, setelah mengikuti sesi terapi bahunya yang geser sudah sangat membaik meski tangan kanannya harus tetap digendong minimal 4 hari lagi. Ia berteriak nyaring tatkala terapist menarik paksa bahunya hingga bunyi kretek bisa ku dengar. Sementara tulang betis yang retak tak perlu dioperasi. Anggar bilang, obat mahal yang diresepkan dokter membuatnya tak terlalu merasakan sengatan nyeri luar biasa seperti di awal.

Jangan kaget kalau saat ini aku sedang makan siang yang kesorean di rumah masa kecil Anggar bersama ibu Anggar. Setelah 4 hari di Solo, Anggar memaksaku mengambil penerbangan lokal dari Jogja ke Malang. Perasaanku tak tergambarkan kala Anggar serius mengungkapkan ingin kembali. Jadi dengan senang hati aku ada disini, entah membuktikan pada diri sendiri kalau keputusan berpisah adalah jalan terbaik sejak lima tahun lalu atau justru aku sedang bermain - main dengan takdir yang berpotensi akan menyakiti ku lagi.

"Enak Nak..."

Aku mengangguk, "enak buk" bukannya aku tidak tahu rumah sederhana berhalaman luas ini, ini kali ke dua aku datang. Hanya saja tiap kali berkunjung ke Malang aku tak pernah sekalipun berpikir memasuki rumah ini lagi.

Anggar duduk tenang di sebelahku, sesekali aku menyuapkan sesendok nasi dan sayur bening, ada perkedel kentang juga otak - otak tongkol. Sederhana tapi bule ini doyan. Semua itu tak luput dari perhatian ibu Anggar. Kurang dari satu Minggu kebersamaan kami, namun aku susah biasa - biasa saja mengenakan satu sendok yang sama dengannya. Bermula dari Anggar yang tanpa risih meminta disuapi saat aku makan nasi liwet hasil pesan di gofood saat kami di Solo 3 hari lalu. "Kenapa mesti risih cuma bekas mu" jawabnya kala ku tanya. Beruntung aku menyaksikan Anggar menggosok gigi sebelumnya. Kalau nggak aku nggak akan ikut - ikutan dia seperti sekarang.

"Kapan kamu bisa makan sendiri, coba belajar donk, jangan manja, ih"

"Bener ini masih sakit, Dek" sumpah aku benci dia manggil aku Dek. Aku sempat ngamuk soal panggilan nggak banget itu. Udah kaya suami - suami sayang istri beneran. Iih jijay banget kata si Sri. Modelannya kayak nggak pernah nyuekin aku selama itu.

"Aku sudah bilang bakal kembali sama kamu, dan aku nggak butuh persetujuan kamu, Alika. Aku akan menebus semua kesalahanku dan waktu yang terlewat selama ini"

"Kamu nggak lagi bangkrut kan? Butuh modal sampai deketin aku, Umi udah meninggal ini, aku nggak bisa sebaik Umi. Atau kamu udah bosan sama cewek - cewek dekil itu, sampai menjilat ludah mu lagi" ucapku sengaja mengutarakan isi hatiku yang pasti menohok malam itu. Tapi aku tahu Anggar menahan emosinya yang jelas tersinggung dengan omonganku dan dia berbaik hati tak melayani provokasi ku.

"Aku salah, aku akui Alika" tangan kirinya terus menahan genggaman di tanganku, menahan dari keinginanku untuk kabur dari situasi yang membuatku merasa mual.

"Dek, kamu ngelamun? Ibuk nanya tuh" Suara bas Anggar menarik ku kembali pada kenyataan.

"Huh" mengerjap, "maaf buk, kayaknya aku masih kecapekan" menambah ringisan tak enak terasa tepat. Ibu Anggar tersenyum mafhum, kursi roda yang beliau tempati masih sama seperti lima tahun lalu aku datang sebagai menantu baru di rumah ini. Ibu Anggar menderita lumpuh permanen karena kerusakan syaraf pinggul. Beliau bilang tumor dipinggul yang berkembang jadi kanker telah mengambil kedua kakinya. Beruntung tak sampai merenggut nyawa. Beliau bersyukur akhirnya bisa survive dari kanker meskipun tak lagi bisa berjalan. Dan yang masih mengganjal di hati adalah 3x operasi yang beliau tempuh ditanggung oleh Umi alias nenek ku. Bagaimana aku bisa memandang Anggar dengan lebih baik sekarang? Ada ketakutan Anggar akan memanfaatkan ku kembali.

"Ibuk nanya apa?" Berusaha menetralkan sengatan perih di hati, aku tersenyum kalem yang dibawah ibu Anggar penuh pengertian.

"Bagaimana kalau kalian tinggal bareng ibuk disini?" Aku terdiam dengan pertanyaan ibu, pantaskah aku bilang aku nggak akan tinggal lama disini karena aku nggak pernah yakin putramu sungguh ingin kembali.

"Ibuk senang akhirnya kalian bisa akur begini. Ibuk sampai berkali - kali mimpi umi mu datang, Nak" tak siap dengan bahasan ini. Kalau Anggar mungkin saja berniat memanfaatkan ku, tapi ibu Luisa Willian ini tak akan mungkin tega. Umi tak akan mudah dekat dengan orang yang tak dikenalnya baik.

"Benarkah buk?" Aku berusaha mempertahankan senyumku. Bahasan tentang kepergian Umi selalu membuatku antusias dan sentimentil sekaigus. Beliau meninggal karena serangan jantung, tak ada tanda - tanda sakit juga keluhan berarti. Umi adalah pribadi yang sadar kesehatan, berat badannya juga normal tapi tiba - tiba seperti petir menyambar di musim kemarau, umi terjatuh saat hendak turun dari tempat sholat dhuhur di mushola kecil dekat ruang keluarga rumah kami. Jangan bayangkan tempat sholat itu tinggi, hanya satu undakan dari lantai. Teriakan lemahnya, membuatku berlari dari arah dapur dan mendapati beliau menutup mata untuk selama - lamanya. Sejak itu aku benar - benar sendirian.

Ibu mengangguk, memegang tanganku lembut."Maafkan Gara ya Nduk, maafkan ibuk juga tidak bisa mengunjungi mu langsung, sampai terkesan membiarkan masalah ini" entahlah, aku sendiri tak mengharapkan apa - apa dari pernikahan ini. Salah satu tujuanku mengikuti Anggar sampai kesini adalah keintahuan ku tentang mengapa untuk 5 tahun ku yang tidak ada tanggung jawab sama sekali.

"Ibuk berharap, kamu berubah Gar, kasian istrimu. Ingat umur tho Le... Andai bapakmu masih hidup, dia pasti kecewa sama kamu. Ajak istrimu mengunjungi makamnya kalau kamu sudah sembuh, biar bapakmu merestui dan pernikahan kalian langgeng, dijauhkan dari cobaan dan ujian" wejangan ibu membuat pikiranku adem. Meskipun logat Jawa ibuk yang aneh membuatku ingin tertawa.

Aku menelisik wajah ibu dan Anggar bergantian. Ekspresi yang bisa ku baca dari keduanya adalah ibu nampak tengah memohon dan Anggar terlihat tak berdaya.

Getar ponsel mengalihkan perhatian kami, ibu tak akan bisa melihat dari posisinya tapi aku bisa membaca nama seseorang "my beauty" terpampang dalam background hitam ponsel baru Anggar. Pemilik nama yang sama yang mengirimkan pesan "aku rindu" malam tadi.

Dikit....? Enggak juga 😄😆

Karena biasanya aku yang selalu nulisnya kepanjangan 🤣

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height