Sacrifice/C2 Anastasia Ramanova
+ Add to Library
Sacrifice/C2 Anastasia Ramanova
+ Add to Library

C2 Anastasia Ramanova

Seorang gadis cantik tertidur lelap diranjang queen size miliknya, seseorang membangunkan dari mimpi indahnya..

"bangun ana sayang...

Kau tak pergi kuliah?"

Ana mengerjap melihat sinar matahari menembus kaca kamarnya, seharusnya pagi ini ia bangun lebih awal.

"ayah membangunkanku dari mimpi indahku, aku bertemu dengan seorang pangeran yang tampan ayah.."

Kesal ana, Leonid menggeleng mendengar ocehan putrinya.

Baginya ana adalah satu-satunya hartanya, meskipun berpuluh cabang perusahaan miliknya takkan menandingi betapa berharga putri tunggal seorang Romanova..

Ana memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap lalu turun untuk mengambil sarapan. Saat tiba didapur dia melihat ayahnya sudah duduk disana membaca koran pagi, dihadapannya sudah tersedia secangkir kopi dan sepiring sarapan.

Ana mengecup pipi kiri ayahnya dan mengambil sepotong roti.

"aku pergi ayah, aku sudah kesiangan.."

"hati-hati sayang!"

***

Ana berjalan menyusuri koridor kampus, rambut pirang lurusnya sengaja ia kuncir kuda. Ia mendekap beberapa buku tebal untuk kepentingan observasi menuju ruangan dosen.

Tok..tok... "Ceklek"

Munculah seorang pria sekitar umur 29 dari dalam ruangan..

Sepasang mata elang itu menatapnya tajam, sang dosen mengerutkan alisnya tanpa mempersilakan ana masuk.

"ada keperluan apa?"

"kalau tidak ada silakan anda pergi!"

Ana gugup ia tak yakin bisa mengajukan tawaran pada dosen barunya ini.

"hmm... Anu sir...

Sayaa ingin mengajukan menjadi asisten dosen, saya merasa mampu sir..

Tolong dipertimbangkan, terimakasih"

Ana menggigit bibir bawahnya, wajah tampan nan rupawan itu hanya memandangnya datar.

"apa wajahku terlalu tampan nona? Ngomong-ngomong aku bukan dosenmu

Aku hanya sedang ada keperluan dengannya"

Ana tersenyum kikuk, bodoh..

Harusnya ia bertanya terlebih dahulu.

"maaf... Permisi!"

Ana berlalu dengan kesal sementara pria itu hanya menatap punggung mungil gadis tadi.

"not bad"

Ia menyeringai, tak seperti wanita pada umum nya dengan terang-terangan menggoda seorang Alexander. Dalam hidupnya wanita hanya datang dan pergi memenuhi kebutuhan masing-masing tak lebih dari sekedar One Night Stand. Yang satu ini sungguh berbeda walau ia tau gadis itu sangat gugup..

Ana membaringkan diri diatas sofa beludru diruang tengah, ia masih memikirkan wajah tampan itu. Apa ana terobsesi?

Hanya terobsesi karena ketampanan dan tubuh atletisnya..

Bukan lebih...

Ia memejamkan matanya sambil tersenyum membayangkan pangeran yang selalu ada dalam mimpinya adalah pria itu, pria dingin namun dapat membuat jantungnya berdegup kencang..

Membawanya kealam mimpi..

Dor!!!

Dor!!!

Ana terbangun mendengar suara ledakan entah dari apa suara tersebut.

Ia bangkit menuju halaman depan begitupun dengan para maid.

Ana tak mampu menahan tangisnya melihat ayahnya terbujur kaku dengan darah mengalir dibagian kepala.

Para maid mencoba menenangkan nona nya yang meronta ingin mengamuk..

Ayahnya telah pergi....

Isak tangis ana menghiasi upacara pemakaman leonid.

Keluarga satu-satunya yang ia miliki telah pergi menyusul sang ibunda..

Pengacara Leonid datang dikediaman Romanova, ana tercengang mendengar wasiat mendiang sang ayah..

Mendengar bahwa sang ayah meninggalkan hutang, ana merelakan semua aset ayahnya diambil alih oleh sang penagih...

Ia tak butuh harta apapun saat ini, baginya harta satu-satunya yang ia punya telah direnggut oleh tuhan..

Hidup memang tak selalu adil..

Ana memutuskan untuk tinggal di apartemen milik mendiang ayahnya. Ia harus berhemat dan bekerja paruh waktu demi kelangsungan hidupnya..

Bekerja disebuah kafe, tak terlalu buruk baginya. Hari ini seharusnya menjadi hari bahagianya..

Umurnya genap 20 tahun dan tak ada kado spesial seperti yang biasa ia terima dari sang ayah..

Kejadian ini begitu janggal baginya.

11.00 malam..

Ana pulang bekerja menuju apartemen sederhana miliknya, dengan berjalan kaki ana menyusuri pinggir jalan yang gelap,

Tiba-tiba ana melihat siluet pria dengan tubuh tinggi tegap.

Ana berhenti menyaksikan perkelahian dua orang pria dilorong gang yang cukup gelap.

Tak terlalu jelas oleh penglihatannya.

Aaaaarrrrrggggggg!!!!!

Ana melototkan matanya melihat pria yang lain datang dan menusukan sebuah belati kepria tadi, ia berlari ketakutan kearah tempat tinggalnya. Ana tak ingin menjadi saksi kasus pembunuhan. Ana mengunci pintu apartemennya seolah tak ingin sang pembunuh mengikutinya.

Ana menegak segelas air seperti barusan adalah mimpi. Ia sama sekali belum pernah melihat secara langsung pembunuhan tentu saja karena ana berasal dari keluarga baik-baik. Tubuhnya merosot dilantai masih memikirkan kejadian barusan tubuhnya penuh keringat dan gemetar.

"apa dia masih hidup?"

Ana menggumam dalam hati seolah hati kecilnya berkata ingin sekali menolongnya, namun apakah ia memiliki keberanian?

Bagaimana jika pembunuh itu masih disana?

Bagaimana jika pembunuh itu kembali?

Berbagai pemikiran berkecamuk dikepalanya. Bagaimanapun ia juga seorang manusia yang memiliki rasa peduli aja, ajaran ibunda yang selalu diingatnya..

Namun malam itu ana tertidur dilantai yang dingin tak dihiraukannya. Ia sangat lelah, lelah dengan pemikiran nya ditambah lagi kesedihan akan perginya sang ayah belum mereda..

.

.

.

.

Pukul 07.00

Ana terbangun dingin menusuk hingga tulangnya melihat jendelanya terbuka, ia bergegas mandi dan membuat sarapan..

Tak ada jadwal kuliah, ana memikirkan kegiatan yang akan dilakukannya hari ini.

Yang pastinya harus menghasilkan uang lebih

"toko bunga"

Ana beranjak dari kursinya mengganti pakaian dan menyambar tas selempangnya, jeans panjang dan shirt hitam longgar menjadi favoritnya. Ana bukan gadis yang suka memoles wajah seperti gadis seusianya.

Ia membuka pintu toko dan mencari pemilknya...

"ana.."

Ana melihat wanita yang sudah berumur terlihat jelas diwajahnya terdapat beberapa kerutan dan rambut yang sudah memutih. Ia telah lama tak melihat neneknya namun alena sudah ia anggap seperti nenek kandung.

"bagaimana kabarmu nenek?"

"baik, kenapa baru kelihatan?"

Alena menyususun beberapa mawar putih dan biru dalam satu wadah.

"sedang sibuk,

middlemist camellia?"

Ana melirik bunga dengan warna peach yang indah, ia heran pasalnya ia jarang sekali menemui bunga indah ini.

Alena tersenyum membiarkan ana menghirup dalam aroma khas bunga itu.

"seseorang mengirimkannya lusa kemarin..."

"seseorang?"

Tanya ana tanpa mengalihkan perhatiannya dari camelia tersebut.

"nenek tak mengetahui pengirimnya, namun dari pesannya ini hanya sebuah hadiah untuk toko bunga ini"

"jadi ini tidak dijual?"

Alena menggeleng dan tersenyum

"kau bisa membawa pulang beberapa jika kau suka?"

Ana melompat girang, ia sangat menyukai bunga camelia. Ana teringat akan ayahnya yang sering membawakannya middlemist camelia jika berkunjung keselandia baru, itu terakhir kalinya ana melihat bunga itu.

Seharian penuh bekerja ditoko bunga alena membuat ana sedikit lebih baik melupakan kejadian-kejadian yang mengerikan.

Hidup sebatang kara tidak lebih mengerikan dibanding melihat sang ayah mati mengenaskan.

Ana mencoba menghilangkan pikiran yang selalu muncul dalam benaknya, ia akan menata hidupnya lebih baik. Menyelesaikan studinya dan mendapat pekerjaan layak.

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height