Schatje/C1 Kenang dan lekang.
+ Add to Library
Schatje/C1 Kenang dan lekang.
+ Add to Library
The following content is only suitable for user over 18 years old. Please make sure your age meets the requirement.

C1 Kenang dan lekang.

Beberapa pria mendekat untuk merayu, membisikan kalimat-kalimat sanjungan bahkan menawarkan diri sebagai pemuas nafsu. Beberapa bahkan sampai menyentuh kulitnya hingga mengangkat dagu tanpa ragu, tapi tatapan dingin membeku yang ditunjukan Karenina membuat mereka semua mundur.

Perempuan itu bahkan masih kenakan pakaian formalnya saat berangkat ke kantor, ia belum pulang ke rumah meskipun angka jarum jam sudah tunjukan pukul sepuluh malam. Ia duduk sendirian di balik meja bartender, lima menit yang lalu gelas sloki berisikan vodka telah diteguknya hingga habis, kini kembali terisi sebelum disentuh tangan Karenina.

Detik-detik pun berlalu, suara musik beat yang dimainkan disk jockey masih terus berdentum menghibur para pengunjung klub malam yang disinggahi Karenina, telinganya sendiri seolah tak terganggu dengan suara keras yang membuat banyak orang berjoget ria, bahkan beberapa orang mengerumuni penari striptis yang berjoget di meja seraya melepas satu per satu pakaiannya tanpa tahu malu.

Tangan kanan Karenina terangkat untuk menopang kening yang terasa berdenyut, bukan hanya karena pengaruh dari segelas vodka yang diminumnya, tapi hari ini memang sesuatu membuat pening hebat menghampiri Karenina hingga ia sendiri frustrasi dan datang ke klub malam. Jika sang oma tahu, tamatlah riwayat seorang Karenina Hasan.

Beberapa juntai poninya jatuh menutupi sebagian wajah, awalnya bergeming hingga isak tangis perempuan itu terdengar mendayu, bertalu hingga mengusik perhatian laki-laki yang duduk di sudut meja bartender, jarak mereka tak terlalu jauh. Hanya saja laki-laki itu memang bukan salah satu dari orang-orang yang sempat menggoda Karenina tadi.

Sebenarnya tingkah laku Karenina sudah diperhatikan si laki-laki sejak gadis itu duduk menyendiri dan menolak semua tawaran yang datang padanya hanya dengan tatapan dingin tanpa rasa. Lalu, kini tiba-tiba isak tangis yang terdengar tanpa aba-aba.

Pasti lagi banyak masalah, dan bukan soal duit.

Denial harusnya langsung pulang ke rumah setelah sampai di bandara sore tadi, bukannya duduk di klub malam menunggu temannya yang tak kunjung datang. Hanya beberapa kopernya yang sampai di rumah, sedangkan pemiliknya keluyuran sesuka hati tanpa memusingkan kekhawatiran keluarga.

Denial memang masih tetap badung dan menyebalkan, berbuat suka-suka tanpa peduli perasaan siapa-siapa.

Kepulan asap membumbung usai keluar lewat lubang hidung Denial, ia sendiri benar-benar tak bisa alihkan fokus dari gadis yang telah dua jam diperhatikannya sejak Karenina lewat tanpa permisi dan duduk tak jauh dengannya. Beberapa gadis yang mendekat pada Denial pun tak diacuhkannya seolah tak ada yang lebih menarik dari Karenina sekalipun penampilannya sama sekali tak semenarik gadis-gadis penjual yang disewakan oleh bos pemilik klub malam.

Karenina hanya kenakan rok lipit hitam selutut dan kemeja merah maroon dengan tali pita di bagian leher, rambut perempuan itu terurai bebas.

Ketika Karenina digoda beberapa pria pun Denial hanya diam mengamati, dan kini ia mulai ikut frustrasi dengan segala pertanyaan yang memenuhi kepalaya.

Dia minum banyak, dia pasti mabuk terus nangis kayak gitu. Pasti lucu banget ini cewek sampai nggak musingin apa-apa.

Ponsel Denial berdering, ia tatap benda yang lama tergeletak di meja bartender, tertera nama sang ibu yang menghubungi, tapi tak disentuh sama sekali. Kepulan asap kembali mengapung di udara, utuh sebelum akhirnya mengabur.

Karenina teguk isi gelas sloki untuk terakhir kali, kini pening akibat reaksi alkohol serta masalah pelik hidupnya telah menyatu, menyerangnya hingga ubun-ubun.

Perempuan itu meraih sling bag yang ia letakan di meja bartender, matanya masih sanggup menatap beberapa pecahan uang ratusan ribu yang kini diletakannya di bawah gelas sloki.

"Ambil aja kembaliannya," ucap Karenina sebelum beranjak seraya menyentuh kening yang semakin sakit, tubuhnya juga jelas-jelas goyah dan ia paksakan terus melangkah hampiri pintu utama meskipun beberapa kali menabrak orang—bahkan sengaja dirangkul pria hidung belang karena berpikir gadis itu sengaja mendekat.

"Sori, dia pacar gue," ucap Denial yang tiba-tiba menarik Karenina hingga berpindah padanya, ia langsung beranjak begitu tahu Karenina melangkah terhuyung menubruk orang-orang.

"Oh, sori," sahut si hidung belang yang kini putuskan pergi.

Karenina sediri rasakan tubuhnya semakin lemas, ia tak tahu siapa yang kini merangkul pinggangnya, paling tidak cukup membantu hingga Karenina mencapai mobilnya di parkiran.

Sejak membantu perempuan asing itu hingga berhenti di dekat mobilnya, Denial sendiri sibuk memperhatikan ekspresi Karenina yang sudah berubah, tatapan perempuan itu kini sayu. Kentara dari wajahnya yang sembap, tangisan itu bukanlah omong kosong.

"Maaf, ambilkan kunci mobil di tas saya," ucap Karenina seraya menengadah tatap wajah laki-laki yang masih memapahnya dengan hati-hati.

Wajah Denial sepintas jelas di mata hingga fokusnya kembali mengabur saat pening menghunjam tiada henti, Karenina mendorong pelan Denial hingga tangan laki-laki itu melepaskan pinggang Karenina.

"Tolong carikan kunci mobil saya ya." Karenina sandarkan tubuhnya di pintu mobil, wajahnya memelas.

"Iya." Denial pun meraih sling bag yang menggelayut di bahu Karenina, ia rogoh dan dapatkan kunci mobil itu. "Ini."

"Terima kasih banyak." Tangan kanan Karenina meraih kunci mobil di tangan Denial, tangan lain sibuk memijat kening.

"Bisa nyetir sendiri? Yakin enggak bakal nabrak?" tanya Denial was-was, dilihat dari bahasa tubuh Karenina memang tak meyakinkan bisa setir mobil dengan benar.

Karenina yang kini membuka pintu mobilnya tertawa kecil tanpa menoleh. "Saya mati pun nggak bakal ada yang nyari, nguburin belum tentu mau."

Denial mengernyit. Dia lagi ngelantur.

Tiba-tiba saja Karenina ambruk dan terduduk di selasar, tubuhnya tak bisa diajak kompromi lagi.

"Gue bilang apa, gue antar lo pulang pakai mobil lo, oke?" Denial membungkuk dan bantu Karenina berdiri.

"Nggak usah, saya nggak apa-apa."

"Kalau lo mati, nanti gue yang bantu nguburin."

Deg!

Karenina berusaha membuka mata selebar-lebarnya untuk melihat seperti apa manusia yang mampu ucapkan kalimat itu, tapi lagi-lagi pening mendera.

"Masuk, gue yang setir." Denial buka pintu sisi kiri dan bantu Karenina duduk dengan benar, tak lupa ia pasangkan seat belt untuk perempuan mabuk itu. Lucunya, Denial semakin dibuat tak mengerti saat wajah mereka begitu dekat, aroma pekat alkohol yang keluar dari bibir Karenina sama sekali tak mengusiknya untuk fokus menatap netra yang sempat begitu dingin pada orang-orang.

Perempuan ini, gampang berubah haluan.

Denial mundur dan menutup pintu, ia putari kap mobil sebelum berakhir duduk di balik kemudi. Denial hela napas panjang begitu mobil yang kini dikemudikannya melaju tinggalkan area klub malam.

"Rumahnya di mana?" tanya Denial.

"Saya nggak mau pulang. Nggak punya rumah." Karenina memejamkan mata, kedua tangannya terlihat mengepal.

"Terus, kita?"

Bukannya kembali menjawab, Karenina justru menangis lagi meski matanya terpejam. Air mata jelas mengucur deras hingga wajah kuarsa itu kembali sembap.

Pastinya dia banyak masalah.

Denial tak bertanya lagi, ia kemudikan mobil sesuai keinginannya ketimbang menambah beban jika harus menanyai keinginan perempuan asing di sebelahnya.

***

"Lo serius bawa perempuan mabuk ke apartemen gue, Den? Lo gila! Nggak mau gue," tolak Yuda mentah-mentah, teman Denial itu berdiri di dekat pintu sisi kiri mobil milik Karenina.

"Gue cuma mau titip semalam aja, dia nggak mau pulang ke rumah, gue kasihan aja nanti mati di jalan. Mabuk berat gitu, lo nggak kasihan sama makhluk yang namanya perempuan? Dia kelihatan banyak masalah, Yud," bujuk Denial, tangan kanannya meraih tangan Yuda seraya pasang puppy eyes agar lebih menyakinkan.

"Jujur, Den. Sekalipun lo lebih ganteng dari gue, tapi gue sebel sama tatapan lo yang sok imut itu."

Denial angkat satu alisnya. "Nah gitu, pahala lo bakal banyak. Sekarang gue bisa pulang dengan keadaan tenang."

"Pulang? Yang nyuruh lo pulang siapa?"

"Diri gue sendirilah, masa mau pulang ke rumah sendiri harus minta izin ke elo."

"Nggak ada yang pulang, lo harus tanggung jawab buat jaga dia. Gue kalau malam suka ngelindur jalan sendiri, takutnya apa-apain dia aja." Yuda tersenyum miring, kini wajah masam milik Denial menjadi ekspresi paling lucu bagi Yuda.

Denial kalah telak.

***

Berusah payah Denial sendirian memapah Karenina hingga tiba di kamar tamu apartemen Yuda, ia baringkan tubuh Karenina di ranjang dan lepaskan flat shoes dari kakinya.

Denial hela napas seraya berkacak pinggang. "Baru kenal udah bikin repot, selamat tidur."

Denial memutar arah dan melangkah hampiri pintu, tapi baru dua langkah ia terhenti ketika tangisan Karenina kembali terdengar, kali ini bahkan lebih menyayat indra pendengaran.

Dia kenapa sih?

Denial memutar arah, ditatapnya Karenina yang sesenggukan tanpa membuka mata dengan tangan meremas kuat seprai di masing-masing sisi.

"Mama, ini Karen, ma ...," rintih Karenina, ia seperti tengah kesakitan hingga meringis dan terus meremas seprai.

"Dia ngigau atau apa?" gumam Denial, ia bergerak mendekati Karenina.

"Mama, Karen nunggu di sini. Mama ke mana?" Suara parau Karenina cukup menyakiti telinga Denial, laki-laki itu pun duduk di sisi Karenina dan menepuk bahunya beberapa kali.

"Hey, lo kenapa? Mimpi buruk?"

Tampak sebutir peluh menetes dari kening Karenina, dan Denial lupa belum nyalakan AC kamar. Laki-laki itu beranjak mencari remote AC di beberapa tempat hingga menemukannya pada laci nakas, kini AC sudah menyala dan siap menyejukan tubuh Karenina dengan pikiran yang gelisah itu.

"Tidur yang nyenyak," ucap Denial, ia kembali melangkah hampiri pintu.

"Jangan pergi."

Lagi-lagi Denial gagal, rintihan Karenina membiusnya hingga ia mengalah dan kembali beralih menghampiri Karenina. Mata perempuan itu terbuka meskipun sangat sayu.

"Tidur aja, lo aman di sini. Gue bakal di luar, mimpi buruk ya?" tanya Denial begitu tenangnya, ia duduk di sisi Karenina.

"Kalau kamu tinggalin saya, nanti orang-orang itu bisa tembak saya."

Dia emang lagi ngelantur, efek alkohol.

Denial menggeleng. "Nggak ada siapa-siapa, di sini aman seratus persen."

"Kamu jangan pergi." Karenina beranjak duduk meski tubuhnya benar-benar lemas, ia bahkan menyentuh lengan Denial. "Orang-orang janji lindungin saya, tapi mereka pergi satu-satu. Terus, kamu juga?"

Denial melongo, ia bahkan tak tahu apa-apa perihal masalah gadis itu. "Gue nggak akan pergi, gue jaga di depan."

Karenina menggeleng. "Saya takut."

"Takut apa?"

"Oma nggak akan maafin saya." Karenina kembali terisak sampai tangan Denial bergerak menghapusnya.

"Nanti gue jelasin semuanya ke nenek lo, sekarang istirahat."

"Saya butuh kamu." Aroma alkohol benar-benar menguar dari bibir Karenina, tatapan sayu dan keringat yang masih mengucur membuat pikiran Denial tiba-tiba goyah.

"Jangan mohon kayak gitu lagi, gue gampang kepancing." Denial singkirkan tangan Karenina dari lengannya. "Istirahat, oke?" Denial beranjak, tapi dengan gerakan spontan Karenina menarik tangan Denial hingga duduk kembali, tanpa aba-aba Karenina mendekat dan bertingkah agresif, ia mencium bibir Denial seraya merangkul lehernya.

Dia beneran nantangin gue.

"Oke kalau lo yang mulai duluan, kita selesaikan sekarang," ucap Denial di sela pagutan panas mereka, satu tangan Denial menekan tengkuk Karenina, tangan lain mulai sibuk lepaskan satu per satu kancing kemeja perempuan itu.

"Mm ...." Mata sayu Karenina benar-benar memabukan hingga Denial semakin tertekan, ia mendorong pelan Karenina tanpa melepas pagutannya, menyapu bibir mungil itu dengan lidahnya dan rasakan sisa-sisa alkohol tadi.

Denial melepas pagutannya, ia beralih mengendus leher Karenina dan membaui aroma manis parfum perempuan itu, beberapa kecupan dan gigitan kecil berlangsung hingga kissmark tercipta di mana-mana.

"Kalau lo setenang ini, gimana gue mau ngalah."

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height