Schatje/C4 Si mata dingin.
+ Add to Library
Schatje/C4 Si mata dingin.
+ Add to Library

C4 Si mata dingin.

Setengah jam berlalu, Denial hanya bisa bergeming tatap Karenina yang sedari tadi bergerak cukup enerjik menata ulang ruang kerjanya di lantai tiga. Selama beberapa hari ke depan, Karenina harus ikut mengurusi keperluan Denial di kantor setelah Zian sendiri yang memerintahkannya pada Karenina.

Lucu, Denial bisa saksikan sendiri ketika Karenina berinteraksi dengan Zian di depan matanya—gadis itu bisa pasang senyum dan singkirkan tatapan dingin pada bos besar, Karenina bisa menjadi gadis yang begitu ramah. Namun, ketika tak lagi berkomunikasi dengan Zian, sikap gadis itu kembali seperti semula—yang dingin mirip robot, bahkan senyumnya tak ada sama sekali.

Karenina terlihat menata beberapa tangkai tulip ke sebuah vas panjang yang kini diletakannya di sisi komputer meja kerja Denial, harusnya Denial memang berada di antara kubikel karyawan magang lainnya, tapi setelah Karenina masuk ke ruang kerja tadi pagi, Denial kembali ke ruangan sang ayah dan memohon ruangan pribadi baginya dengan banyak syarat.

Dia robot apa manekin sih, bisa beku banget kayak gitu. Emang gue salahnya di mana?

"Udah berapa lama jadi sekretarisnya papa?" tanya Denial pada akhirnya, ia memberanikan diri buka suara sejak setengah jam alami keheningan yang cukup kentara. Hanya suara ketukan flat shoes serta barang yang Karenina tata sebagai pengusik telinga, karakter Karenina benar-benar tenang dengan tatapan dingin yang khas.

Mungkin karena tuntutan pekerjaan, jadinya dia mau seramah itu sama papa. Maklumlah sekretaris.

"Dua tahunan," sahut Karenina tanpa menatap lawan bicaranya, perempuan itu sibuk menyapukan tisu ke sisi vas sebelum membuangnya ke tempat sampah. Kini beberapa map di meja menjadi bahan terakhir yang harus Karenina tata, setelah itu ia bisa kembali bekerja.

Tanpa sengaja Karenina menjatuhkan bolpoin, gadis itu pun membungkuk meraihnya hingga beberapa helai rambut jatuh menutupi wajah, ketika Karenina beranjak tangan kanannya menyelipkan rambut ke belakang telinga hingga wajah kuarsa itu terlihat dari sisi kanan.

Denial seakan takjub, bergeming tanpa mampu berkedip, ternyata menatap Karenina dalam keadaan tenang justru lebih menyenangkan. Sedangkan malam itu, mereka melupakan waktu.

"Semua urusan di sini udah kelar, saya permisi buat lanjut kerja," ucap Karenina.

"Ada satu lagi, sih." Denial menggaruk hidung dengan telunjuknya. "Kopi." Ia tampak ragu mengatakannya, menatap wajah Karenina dengan mata dingin itu membuat Denial cukup kikuk. Banyak gadis yang datang silih berganti, tapi untuk karakter yang seperti robot baru kali ini Denial temukan.

Lalu, anggap persoalan krusial seperti hubungan malam itu sebagai sesuatu yang sebaiknya dilupakan?

Jika hal itu terjadi pada perempuan lain, mereka jelas menuntut Denial untuk dinikahi—terutama status Denial Nuraga sebagai putra kedua Zian Nuraga sudah cukup jelas, cerah.

"Oke, saya ke pantry sebentar, permisi." Karenina melangkah keluar ruangan, sedangkan Denial sendiri baru bisa menghela napas lega setelah rasa canggungnya berakhir.

Kini bola mata Denial bergerak ke segala arah tatap kondisi ruangannya yang baru, laki-laki itu tersenyum tipis seraya raih bolpoin yang sempat jatuh oleh Karenina.

"Gue pikir magang di sini nggak bakal menyenangkan, tapi sekarang ada alasan lain. Mungkin," gumamnya.

Pintu terbuka tampilkan sosok Rega yang kini pamerkan senyum semringahnya, ia masuk begitu saja hampiri Denial.

"Gue kira Om Zian bohong, ternyata lo beneran bakal magang di kantor ini." Rega duduk di depan meja. "Gue juga pikir lo nggak bakal mau ngelakuin ini, nyatanya serius juga, kan?"

"Nanti ijazah kuliah gue nggak berguna," sahut Denial. Ia tatap pintu, berharap seseorang lekas datang.

"Karyawan magang, artinya elo bawahan gue dong." Rega terkekeh seolah puas menghina jabatan anak bos di kantornya sendiri.

"Kalau mau di atas emang harus dari bawah dulu, kan? Hati-hati buat yang di atas, nanti jatuh terus nyungsep. Sakitnya di sini, Man." Denial angkat pangkal hidung hingga dua lubangnya tampak, setelah itu tawa Denial yang lebih kencang.

"Parah lo, joroknya kebangetan."

Begitu pintu terbuka, Denial hentikan tawa bersamaan Rega yang menoleh dapati sosok Karenina. Perempuan itu membeku sejenak, raut keterkejutan langsung hilang begitu tatapan dinginnya muncul sejurus kemudian. Karenina berusaha bersikap normal, ia bukan tipikal manusia yang bisa campur-adukan urusan asmara dan kantor.

Karenina mendekat dan letakan kopi buatannya di depan Denial. "Kopi udah saya buat, sekarang saya bisa balik ke kerjaan, kan?"

Denial mengangguk cepat seraya tatap Karenina tanpa kedip, setelahnya perempuan itu berlalu. Denial alihkan fokus pada Rega yang justru pandangi pintu seolah bekas Karenina masih ada di sana.

"Kenapa lo? Kenal banget ya sama dia," terka Denial.

Rega menoleh dan menggeleng. "Lo langsung kerja hari ini?" Semudah itu Rega alihkan topik pembicaraan, Denial memang tak tahu perihal hubungan Rega dan Karenina yang sempat berjalan selama enam bulan sebelum akhirnya berakhir seminggu belakangan, sengaja Rega tak pernah katakan hubungan asmaranya ketika Denial masih di Korea. Mereka memang bersahabat sejak SMA, keluarga pun cukup akrab.

"Iya, langsung kerja biar keren jadi orang kantoran," ujar Denial.

"Gue kira lo mau jadi penghuni kasino, jadi tukang ngocok kartu sama tante-tante." Rega kembali terkekeh mendengar ucapannya sendiri.

"Lo sinting?" Denial lempar bolpoin yang sempat dipegangnya, tapi tak menyentuh Rega dan berakhir di lantai. "Mending lo balik ke kerjaan lo ketimbang recokin hari pertama gue sebagai karyawan teladan di kantor ini."

"Buset, bangga banget. Palingan baru seminggu langsung out, lo nggak tahu aja jadi karyawan magang itu berat. Gue tahu Om Zian bakal kasih aturan yang sama ke elo ataupun karyawan magang yang lain."

"Pintunya di sana." Denial menunjuk pintu.

"Oke, gue nyerah buat recokin hari pertama kerja Bapak Denial Nuraga yang terhormat, gue pamit undur diri." Rega beranjak keluar, begitu pintu tertutup Rega tak lantas lanjutkan langkah. Sikap Denial saat Karenina memberikan kopi tiba-tiba mengusik pikirannya.

Apa mungkin Denial tertarik sama Karenina? Jangan sampai, urusan gue harus cepat-cepat dikelarin sebelum Karenina jatuh ke tangan orang lain.

***

Ketika jam istirahat kantor berlangsung, sebagian karyawan beralih posisi ke kafetaria, sisanya pilih makan di luar. Sedangkan Karenina sendiri selalu makan di kafetaria, sendirian.

Sebenarnya gadis itu tidak galak sama sekali, banyak orang yang sudi berteman dengan Karenina. Hanya saja, ia lebih memilih habiskan waktunya sendirian--terutama sejak hubungannya dengan Rega diketahui banyak karyawan kantor selama mereka masih berpacaran, satu per satu gadis menyingkir karena cemburu. Bahkan tak sekadar menyingkir, tapi membicarakan Karenina di belakangnya hingga ada saat telinga Karenina mendengar jelas apa yang teman kantornya bicarakan ketika di toilet.

"Karenina itu sama kayak ibunya yang bakal hamil di luar nikah, pasti dia cuma dimanfaatin sama Pak Rega aja. Gue tunggu kabar memalukan itu beredar."

Seketika rasa percaya Karenina akan sebuah pertemanan langsung luntur, bahkan ia sendiri tak menyangka kalau yang ucapkan kalimat sejahat itu adalah teman dekatnya sejak SMA. Sekarang, Karenina tak ingin percaya pada orang-orang terutama mereka yang mengharapkan sebuah pertemanan karena status sosial.

Ia berhasil menjadi gadis tsundere sekaligus introvert bagi orang-orang, sebab rasa sakit dikecewakan seorang teman dekat jauh lebih menusuk ketimbang dikecewakan laki-laki.

Kini, gadis itu tengah menikmati makan siang favoritnya yakni dimsum jenis Har Gow dan Tofu Skin Roll ditemani segelas jus melon susu yang hampir setiap hari bisa dipesan Karenina.

Sepasang sumpit sudah ditangan, Karenina menyumpit salah satu dimsum Tofu Skin Roll dan mencelupkannya ke saus pulm sebelum berpindah ke dalam mulutnya hingga kunyahan lembut bisa Karenina nikmati, mata itu terpejam sesaat seraya tersenyum tipis rasakan nikmat dimsum yang meluruh lewati kerongkongannya.

Ekspresi makan dia kenapa bisa semenarik itu, batin Denial yang berdiri di ambang pintu kafetaria, tadinya ia cukup santai melangkah sendirian seraya mainkan ponselnya tanpa memikirkan tatapan orang-orang yang dilewatinya, tapi saat kepala itu menengadah bersamaan netra yang mengarah pada sosok perempuan di sudut kafetaria dengan ekspresi makan yang cukup menggoda—berhasil membuat Denial hentikan langkah dan mematung sejenak.

Emang apa yang dia makan sampai segitunya.

"Pak Denial Nuraga, kan, ya?" Perkataan seseorang berhasil mengusik Denial, laki-laki itu menoleh dan temukan seorang gadis yang hanya setinggi bahunya tersenyum ramah. "Saya Brisia, public relation di kantor Pak Zian ini."

"Oh, iya."

"Mau makan di dalam, kan? Bareng aja gimana?" tawar Brisia tanpa ragu.

Denial tatap Karenina dan Brisia bergantian sebelum senyum miringnya terbit dan mengangguk, membuat Brisia begitu senang.

"Serius, kan? Ya udah, langsung masuk aja. Masih banyak meja kosong kok," ajak Brisia penuh semangat.

"Duluan aja." Denial biarkan Brisia melangkah lebih dulu sebelum dirinya mengekor seraya lirik Karenina yang seakan nikmati dunia sendiri tanpa orang lain di sekitarnya, ekspresi gadis itu masih sama ketika dimsum berhasil meluruh lewati kerongkongannya.

"Duduk di sini aja, ya," ucap Brisia yang sudah pilihkan tempat duduk baginya dan Denial makan siang, untungnya tak jauh dari posisi Karenina duduk.

"Oke." Denial menarik kursi dan duduk, sedangkan Brisia masih berdiri di sebelah kirinya.

"Pak Denial mau pesan apa?"

"Emang yang paling enak di sini apa?"

"Banyak kok, ayam geprek atau—"

"Dimsum," sergah Denial begitu melihat jelas makanan yang tengah dinikmati Karenina, "mau makan dimsum."

"Oh, oke. Saya pesan dulu ya, Pak." Brisia pun berlalu.

Kini Denial bisa simpulkan dua hal yang memacu senyum milik Karenina. Pertama, berinteraksi dengan Zian. Kedua, makan dimsum.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height