Schatje/C5 Ruang hampa.
+ Add to Library
Schatje/C5 Ruang hampa.
+ Add to Library

C5 Ruang hampa.

Pintu kamar Karenina tiba-tiba dibuka, tanpa menoleh pun perempuan itu tahu jelas siapa yang bisa masuk kamarnya tanpa izin atau bahkan mengetuk pintu lebih dulu. Karenina sendiri masih duduk di sofa panjang dekat jendela seraya pangku laptopnya, ia sibuk urus pekerjaan yang diberikan oleh Zian.

"Kamu serius mau hadir di pertunangan Rega dan Salma?" tanya Lili tanpa basa-basi, sifat ingin tahu wanita itu memang sangat kentara, selalu to the point.

"Iya," sahut Karenina begitu singkat, ia sama sekali tak alihkan fokus dari laptop dan biarkan kedua tangannya terus menari di atas keyboard.

"Memangnya kamu nggak punya malu?" Lili yang berdiri di ambang pintu menerawang sejenak. "Ah iya, kamu kan nggak punya rasa malu, seperti ibumu."

Saliva itu rasanya seperti sulit ditelan, syaraf otak Karenina seketika beku, ia bergeming. Andai Karenina bisa tulikan telinganya tiap kali Lili katakan hal yang berbau ejekan atau sesuatu yang terhubung dengan Liana, tapi semua itu seolah tidak mungkin.

Dunia kejam, fakta.

Karenina tutup laptopnya, ia menoleh pada Lili yang seakan menanti jawab dari perkataan sarkasnya tadi.

"Kalau Rega bahagia, kenapa enggak? Karenina siap senang buat dia dan—"

"Omong kosong!" potong Lili, "jadi perempuan itu jangan munafik, kalau saya jadi kamu, saya nggak akan sudi datang. Lagipula kamu memang nggak punya harga diri, berwajah tebal. Jadi nggak takut buat malu, cih!" Setelah berkata cukup kasar, Lili tinggalkan kamar Karenina begitu saja tanpa memikirkan kalau ia sudah tinggalkan sayatan baru bagi Karenina, sayatan lama telah kering, kini sayatan basah satu per satu menghunjam tanpa ampun.

Dunia seolah mengajak Karenina bermain, sengaja curang dan biarkan gadis itu merasa malang.

Perempuan itu tersenyum tenang, menangis pun takkan pernah mengubah hidup Karenina yang seperti sayatan luka itu, sekalipun ditutup plester luka maka bekasnya tetap ada. Untungnya, tubuh itu masih sanggup menopang apa pun beban berat yang seolah gerogoti setiap inci bagian tubuh Karenina hingga ke akarnya, bahkan seringkali membuat empunya kesulitan bernapas saat rasa sakit menekan bagian dada.

Untungnya, detak jantungnya masih sanggup berdetak sekalipun banyak masalah yang hadirnya bagai sengatan petir, menyengat pada inti dan terus mengakar tanpa tahu kapan habisnya.

Karenina tertawa kecil, dia tidak menangis. "Oma benar, harusnya Karenina nggak datang ke acara bahagia laki-laki yang sudah tinggalkan Karenina untuk perempuan lain. Cuma, mama pernah bilang kalau Karenina nggak boleh membalas perbuatan buruk orang lain, Karenina harus berlaku sabar, semua ada timbal baliknya," gumam Karenina sebelum kembali buka laptop dan cek ulang file yang digarapnya tadi, terkadang Karenina benar-benar bisa setenang air.

***

"Lusa udah acara pertunangan elo sama Salma, kenapa masih main ke bar aja. Tobat sekali-kali," ledek Denial yang baru datang dan duduk di sisi Rega.

Rega tidak mabuk, hanya sesap selinting rokok yang membuatnya tenang sebentar, membuatnya tak dilanda kecemasan walaupun sesaat. Laki-laki itu duduk pada sofa navy yang tergeletak di sudut bar, kini Denial datang menemani rasa kacaunya sejak hubungan itu terpaksa diakhiri meski Karenina hanya tahu kalau Rega berkhianat di belakangnya.

Tidak, Rega takkan sejahat itu, ia hanya pion yang harus taat aturan.

Rega tak menoleh pada Denial yang menatapnya penuh tanya, Rega masih sibuk nikmati sesapannya yang seolah alihkan dirinya dari ribuan masalah di kepala.

"Nggak suka ya sama Salma?" terka Denial tiba-tiba, ia bukan tipikal manusia yang mudah ikut campur urusan orang lain, tapi sesuatu yang didengarnya siang tadi seakan mendorong Denial untuk tahu lebih jauh meski bukan ranahnya.

Rega tersenyum miring. "Kata siapa? Jadi peramal?"

"Nggak, lo aja nih enjoy gini. Emang udah finish persiapannya?"

"Kalau gue bilang sesuatu, apa lo mau paham, Den?" Rega menoleh, tatapan yang awalnya begitu sendu kini berubah serius.

"Tergantung, kalau lo mau cerita soal elo yang tergila-gila sama Maria Ozawa dan berharap jadi salah satu roommate dia sambil divideo, gue nggak akan percaya." Toyoran tangan menghampiri kepala Denial tanpa ragu-ragu. "Sakit!"

"Bukannya elo yang habis dari Korea terus ketemu Maria Ozawa?"

"Mana ada, dia kan Jepang. Kenapa kita jadi bahas dia?"

"Siapa yang mulai duluan?"

"Oke, lupain." Denial meraih sebungkus rokok milik Rega yang tergeletak di meja, terakhir kali Denial merokok adalah tiga tahun lalu sebelum keberangkatannya ke Korea. Kali ini makhluk itu merasa tergoda oleh embusan asap rokok yang membumbung dari bibir Rega, meski cukup kaku karena lama tak menyentuhnya, tapi Denial benar-benar nyalakan pemantik api hingga asap akhirnya keluar dari bibir.

"Cara lo ngerokok udah kayak anak SMP aja, bocah," cibir Rega saat matanya mengawasi gerak-gerik Denial.

"Biarin, di rumah nggak bakal ngerokok juga, nanti jabatan direktur enggak pidah ke tangan gue."

Rega memilih diam, Denial juga ikut diam seraya nikmati rokoknya, anggap saja ia seorang veteran yang kembali muncul setelah lama istirahat dan diwajibkan berperang lagi.

Saat Rega bergeming, bayang Karenina melintas lagi di kepalanya, ia tak ingin berhalusinasi untuk bayangkan Salma sebagai Karenina. Posisi gadis itu masih sama, di hatinya.

Melihat tatapan dingin Karenina padanya untuk pertama kali benar-benar membuat Rega sakit hati, tapi bukankah yang Karenina lakukan hanyalah sikap sederhana dari seseorang yang merasa asing dengan orang lain?

Rega sendiri yang mengubah jalan mereka, Rega yang membuat semuanya kacau, semua hal manis yang dikatakan hanyalah omong kosong, Rega memang penipu ulung terbaik. Jadi, Rega lakukan konspirasi dengan dunia untuk menipu Karenina hingga jatuh sedalam-dalamnya.

"Gue sayang sama dia, tapi gue yang jadi orang paling jahat buat dia, gue yang bikin semua orang gunjingin dia. Semua gue yang salah," tutur Rega mengawalinya.

"Dia siapa, Ga? Si Salma maksudnya? Elo sama Salma udah lama? Kenapa nggak pernah bilang ke gue soal itu." Denial juga mulai fokus pada Rega, dia memasang telinga dengan baik.

Rega tertawa kecil, membuat kerutan di dahi Denial muncul. Apa yang lucu?

"Gue sama Salma? Apa sih yang elo pikirin, apa yang bisa elo simpulin."

"Salma itu teman SMA kita, Man. Bukannya dia emang udah ngejar elo dari lama, kan? Sekarang malah mau jadi tunangan, sesingkat itu."

"Kalau gue cinta sama dia, ngapain gue di sini dan bukannya urus gladi resik buat pertunangan? Lucu otak lo." Rega kembali tertawa kecil seraya tekan ujung puntung rokok yang masih menyala ke asbak hingga asap benar-benar hilang. "Gue nggak pernah cinta sama dia, tapi tunangan juga." Beban berat kembali menggelayut di bahu Rega, ia sandarkan punggungnya pada bahu sofa seraya hela napas panjang.

"Terus, cewek yang lo bahas itu siapa?"

"Nggak ada, dia udah gue lepas. Dia benci banget sama gue."

"Kalau gitu, buat apa tunangan sama orang yang enggak lo cinta? Elo Rega apa bukan, sih?" Denial tatap temannya dari ujung kaki hingga kepala. "Kerasukan setan di mana?"

"Gue cuma bidak catur, Den. Semua demi bisnis keluarga, bukannya seorang anak harus berbakti sama orangtua, kan?" Rega seolah memberi clue dari inti masalah yang ia hadapi.

Denial manggut-manggut. "Gue sekarang paham, berat ya, Man." Tangan kiri Denial menepuk bahu Rega. "Ngomong-ngomong, dia yang lo maksud tadi itu ... mantan pacar elo?"

"Sebutan itu nggak bagus, Den. Dia nggak bakal maafin gue, dunia udah kejam buat dia, tapi malah gue tambahin sedihnya. Laki-laki macam apa yang nggak bisa lindungin perempuannya yang lemah." Rega tutup wajah dengan satu tangannya dan kembali tertawa kecil.

Kini Denial bergeming, ia lempar batang rokok yang masih sisa setengah itu ke asbak, matanya menerawang ke segala arah. Semua dipenuhi kerlap-kerlip lampu disko yang hiasi langit-langit bar, aroma alkohol serta gadis-gadis molek menjadi dua hal yang tak bisa dijauhkan dari suasana tempat itu. Lantas tiba titik fokus Denial terhenti, yakni salah satu kursi yang pernah Karenina duduki di balik meja bartender malam itu, malam yang sama sekali tak bisa Denial lupakan—terlebih akan melihat Karenina setiap hari.

Istirahat kantor telah berlalu, orang-orang mulai tinggalkan kafetaria menuju ruangan mereka. Karenina masih terlihat sendirian, tapi pembawaan perempuan itu sangatlah santai seolah selalu nikmati dunianya sendiri.

Karenina melangkah sendirian, tak jauh di belakangnya terlihat Brisia dan Denial yang tampak berbincang masalah seputar kantor hingga tanpa sengaja telinga Denial terusik ketika mendengar beberapa orang karyawati yang langkahnya mendahului ia dan Brisia terdengar berbisik sebut-sebut nama Karenina.

"Kasihan, gara-gara diselingkuhin terus putus, eh malah ditinggal tunangan. Pasti nangis darah si Karenina."

"Kenapa dia enjoy gitu ya, apa pasang topeng sok dinginnya itu?"

"Pak Rega memang nggak cocok buat Karenina, latar belakang mereka beda jauh."

Denial terus memperhatikan gerak-gerik sekitar tiga orang karyawati itu sebelum mereka masuk lift lebih dulu, sedangkan Denial dan Brisia menanti lift selanjutnya.

"Gosip ada di mana-mana," cibir Denial seraya tatap arlojinya.

Brisia tersenyum simpul. "Maklumlah, Pak. Gosip yang mereka omongin emang lagi hangat-hangatnya, gosip Pak Rega sama sekretarisnya Pak Zian."

"Hubungannya apa?" Denial langsung tertarik dengan arah pembicaraan mereka.

"Karenina sama Pak Rega kan pacaran, baru putus karena Pak Rega selingkuh, terus mau tunangan."

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height