Schatje/C6 Secangkir kopi dan hujan.
+ Add to Library
Schatje/C6 Secangkir kopi dan hujan.
+ Add to Library

C6 Secangkir kopi dan hujan.

Hari kedua Denial bekerja sebagai karyawan magang, semua masih terkendali ketika laki-laki itu memang serius melakoni pekerjaannya. Satu hal terlihat lucu ketika Denial yang notabene berada di lantai tiga terus saja bolak-balik ke lantai tujuh dengan segudang alasan, dan alasan terakhirnya adalah toilet lantai tiga kurang nyaman.

Zian sendiri mengernyit dapati sikap sang putra yang tampak aneh, hanya saja dia enggan ambil pusing menghadapinya. Pria itu tampak fokus dengan laptop dan beberapa map yang kini bertumpuk di sisi kiri laptop.

Zian meraih gagang telepon yang bersembunyi di balik map, ia menghubungi Karenina.

"Tolong langsung kirim file yang kamu kerjakan ya, saya butuh sekarang." Setelah berkata demikian panggilan berakhir, Zian kembali otak-atik laptopnya sebelum pintu tiba-tiba terbuka dan tampilkan sosok Denial untuk ke-sepuluh kalinya.

Zian menghela napas panjang. "Apa lagi? Mau alasan apalagi? Kerjakan urusan kamu, Den," ucap Zian seraya mengendurkan dasi hitamnya.

"Terakhir, Denial boleh minta tolong Karenina buatin kopi nggak? Soalnya OG yang ke pantry bikinnya nggak seenak itu," sahut Denial seraya pasang tampang polosnya.

"Terserah kamulah, ngomong sendiri ke Karenina. Papa sibuk."

"Oke, Pak Bos!" Denial kembali tutup pintu, kakinya ia tarik beberapa langkah hingga tiba di depan pintu ruang kerja Karenina. Laki-laki itu angkat tangan kanan seraya menelan saliva, antara maju atau mundur pun Denial ragu-ragu mengetuknya.

Namun, Denial memilih mundur dan turunkan tangan sebelum sembunyikannya di saku celana. Denial memutar arah dan bersiap pergi, tapi tiba-tiba pintu terbuka dan buat tubuhnya kaku di tempat, ia membeku sadari Karenina memergokinya di sana.

"Ada yang bisa saya bantu?" Suara lembut Karenina terdengar, membuat lengkungan samar di wajah Denial tercetak, ia kembali memutar tubuh berhadapan dengan Karenina.

"Gue sayang sama dia, tapi gue yang jadi orang paling jahat buat dia, gue yang bikin semua orang gunjingin dia. Semua gue yang salah," tutur Rega mengawalinya.

"Sebutan itu nggak bagus, Den. Dia nggak bakal maafin gue, dunia udah kejam buat dia, tapi malah gue tambahin sedihnya. Laki-laki macam apa yang nggak bisa lindungin perempuannya yang lemah." Rega tutup wajah dengan satu tangannya dan kembali tertawa kecil.

Dua dialog semalam tiba-tiba terlintas di kepala Denial ketika netranya berhasil menemukan eboni Karenina, masih dingin.

"Kopi," ucap Denial singkat.

"Sekarang?"

Denial mengangguk, setelahnya perempuan itu melangkah tinggalkan Denial yang tatap punggung Karenina hingga berlalu di balik pantry, laki-laki itu pun melangkah hampiri tempat berlalunya Karenina tadi. Denial berdiri di ambang pintu mengamati aktivitas Karenina saat menyeduh kopi, beruntungnya keadaan di pantry benar-benar sepi, hanya ada Denial dan Karenina di sana. Perempuan itu sendiri tak tahu kalau Denial sibuk mengamatinya.

Puzzle apa yang lagi gue hadapi, Ga. Untungnya lo nggak sebut nama Karenina, tanpa lo sebut pun gue tahu, batin Denial.

Tampak Karenina yang kini mengaduk kopi setelah alirkan air panas dari dispenser, perempuan itu meraih nampan dan letakan segelas kopi untuk Denial di sana, setelahnya memutar arah dan bergeming sejenak saat sadari kalau Denial ternyata mengikutinya.

"Perlu saya antar ke lantai tiga kopinya?" tawar Karenina agar suasana canggung mereka berakhir.

Denial menggeleng, ia melangkah hampiri Karenina di tempatnya sebelum ambil alih secangkir kopi itu dari nampan.

"Makasih udah dibuatin." Denial memutar arah tinggalkan Karenina yang kini kerutkan kening, ia letakan nampan di atas dispenser sebelum tinggalkan pantry.

***

Hujan deras mengguyur bumi Jakarta saat jam pulang kerja berlangsung lima belas menit sebelumnya, orang-orang pun sibuk mengeluh karena mereka kesulitan pulang—terutama yang hanya andalkan angkutan umum atau busway, bagi beberapa pemilik mobil masih sudi berlarian hampiri area parkir dan biarkan pakaian masing-masing disentuh air langit.

Banyak yang berlalu-lalang di lobi kantor, sedangkan Karenina sendiri justru bergeming seraya bersidekap tatap turunnya hujan di balik kaca lobi, ia berdiri sendirian tanpa memedulikan kesibukan orang-orang di sekitarnya, tatapan itu lebih dingin ketimbang kulit seseorang yang disentuh air hujan.

Denial sendiri baru keluar dari lift bersama Rega, obrolan mereka yang terdengar asyik tiba-tiba sunyi ketika Rega dapati Karenina yang berdiam seorang diri seperti manekin berwajah melankolis. Denial langsung ikuti arah pandang Rega dan merangkul pundaknya.

"Lihatin siapa langsung bisu gitu?" tanya Denial pura-pura tidak tahu.

"Bukan siapa-siapa, lo mau langsung pulang atau nunggu hujan berhenti?" Kini giliran Rega yang bertanya, sesekali ia melirik Karenina di antara banyaknya orang yang melewatinya. Gadis itu seperti tak terusik sama sekali, seperti tak miliki mata dan telinga.

"Nunggu bokap, lo duluan aja," sahut Denial, keduanya telah tiba di beranda hotel, Denial pun luruhkan tangan dari pundak Rega.

"Oke, gue terobos hujan ke parkiran, gue duluan, ya, Den." Rega benar-benar berlari tinggalkan beranda, sedangkan Denial menoleh ke arah Karenina berada, gadis itu terlihat dari balik jendela.

Diam dan beku, selalu begitu.

Kenapa Rega nggak bilang aja kalau itu Karenina, kenapa dia nggak kasih tahu namanya ke gue, batin Denial yang telah simpulkan masalah antara teman baiknya dan gadis sakit hati malam itu, sebuah kebetulan yang cukup rumit.

Denial putuskan kembali ke dalam, ia hampiri Karenina seraya abaikan tatapan beberapa orang padanya.

Karenina adalah puzzle yang sedang Denial usahakan setiap keping jawabnya.

Laki-laki itu sudah berdiri di sisi Karenina seraya masukan tangan ke saku celana, lucunya Karenina sama sekali tak menoleh seolah tak ada siapa-siapa di dekatnya.

Denial amati Karenina dari tepi, ujung kaki hingga kepala, ia ingin tertawa ketika mengingat pernah melihat keseluruhan tubuh Karenina malam itu, sedangkan sikapnya kali ini seperti laki-laki yang memang baru bertemu.

Dia sakit hati karena Rega sampai datang ke bar, Karenina, elo ....

"Kenapa nggak langsung pulang?" Denial mencoba bicara lebih dulu, ia paham gadis kutub itu tak sudi untuk memulai percakapan jika bukan karena urusan pekerjaan.

Karenina menoleh. "Belum ingin."

Kayaknya dia emang bisa sering ngomong, tapi seperlunya. Denial manggut-manggut, pelan dan pasti mencoba memahami karakter makhluk kutub di sebelanya.

"Kenapa? Bukannya bawa mobil? Kayak orang-orang aja terobos hujan," usul Denial.

Karenina kembali tatap keadaa di luar kaca lobi. "Saya nggak suka hujan, nggak mau disentuh hujan."

Oke, dia beda, nggak ribet.

"Oh ya, kopi yang lo buat itu ... takaran gula sama kopinya berapa sendok, gue mau buat sendiri di rumah."

Karenina kembali menoleh. "Rasanya nggak akan sama."

"Kenapa?"

"Beda tangan, beda rasa. Saya buat kopi seperti yang mama saya buat." Ia kembali tatap kaca lobi. "Waktu kecil saya suka lihat mama buat kopi, saya perhatikan apa pun yang dia lakukan, saya tiru caranya, tapi rasa nggak sama."

Maksudnya gue cuma harus minum seduhan kopi buatan dia gitu? Denial tersenyum miring, Karenina benar-benar membuatnya berpikiran yang tidak-tidak hanya karena secangkir kopi.

"Benar juga sih, beda barista kopi pasti beda rasa."

Karenina mengangguk sekali, matanya masih menerawang derasnya hujan, keadaan mulai sepi saat satu per satu karyawan kantor berlalu sekalipun hujan masih turun, kini hanya segelintir manusia yang berlalu-lalang di lobi.

Zian baru keluar dari lift, baru beberapa langkah kakinya bergerak, ia terhenti di dekat kubikel resepsionis saat bola matanya mengarah dapati sepasang manusia berdiri bersebelahan di balik kaca lobi.

"Denial sama ...." Zian tersenyum tipis. "Mending saya ke atas lagi, biarin mereka berdua." Pria itu memutar arah dan kembali masuk lift, hatinya menghangat begitu melihat putranya berada di sebelah Karenina.

"Mau sampai kapan di sini?" tanya Denial lagi, ia yang biasanya suka bercanda dengan teman, kini merasa kehilangan kata-kata untuk menghadapi seorang Karenina Hasan yang seakan mampu kontrol tiap lontaran kata yang diucapkan Denial, seolah Denial tak boleh berbicara terlalu banyak.

"Saya nggak minta ditemenin kamu, kalau mau pulang silakan," sahut Karenina tanpa menoleh, ada dinding kaca tebal yang sulit ditembus dari perempuan itu meski samar.

Anteng, tapi nyebelin juga. Denial mendesah pelan, ia tarik tangan kiri dari saku celana dan tatap arloji yang tunjukan pukul lima lewat tiga puluh menit.

"Gue lagi nunggu bokap, jadi pulang bareng dia." Denial menoleh ke belakang, tak ada manusia yang namanya Zian Nuraga dari beberapa orang di lobi. "Mungkin sebentar lagi dia turun."

"Iya, sebentar lagi."

"Pak Denial belum pulang?" seru Berisia yang baru keluar dari lift, wajahnya berbinar begitu dapati sosok yang dikaguminya masih di kantor, makan siang bersama Denial di kafetaria kemarin benar-benar menjadi kesan pertama yang menarik untuk Brisia, meski gadis itu tak menaruh curiga kala Denial sibuk mencuri pandang pada perempuan penyuka dimsum.

Denial dan Karenina kompak menoleh, Brisia sedikit terkejut saat tahu kalau perempuan di samping Denial adalah Karenina.

"Lo juga belum pulang?" Suara Brisia tak seheboh saat menanyai Denial, ia pasang raut tak suka pada Karenina.

"Nanti," sahut Karenina pendek.

"Gue juga pulangnya nanti, lagi nunggu bokap." Kini Denial yang bicara, ekspresi masam Brisia pun lantas berubah, senyum terukir untuk Denial.

"Oh gitu, besok Pak Denial datang ke acara pertunangan Pak Rega, nggak? Desas-desus kalian teman dekat ya." Sengaja Brisia melirik Karenina ketika sebut-sebut nama Rega, tapi Karenina sama sekali tak bereaksi.

"Datang kok." Laki-laki itu melirik Karenina, ia sadari perubahan ekspresi Karenina yang awalnya datar menjadi sendu, begitu kentara di binar matanya. Mungkin perkataan Brisia tadi cukup menyakiti Karenina meski tak menampakannya.

"Semua orang kantor diundang, pasti lebih ramai lagi kalau anak bos juga ada di sana. Saya tunggu besok malam, Pak Denial." Rasa suka Brisia memang tak bisa disembunyikan. "Kalau begitu saya duluan ya, sampai jumpa."

"Bye."

Brisia melenggang pergi, setidaknya Denial yang paling merasa lega, ia menoleh dapati ekspresi Karenina yang masih sendu.

Dia perempuan sama yang tidur sama gue, perempuan sama yang anggap semua nggak terjadi apa-apa, dan perempuan sama yang sanggup bikin perasaan gue bisa sekacau ini, Karenina Hasan.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height