Schatje/C7 Bukan Cinderella.
+ Add to Library
Schatje/C7 Bukan Cinderella.
+ Add to Library

C7 Bukan Cinderella.

Kawasaki Ninja hitam yang dikemudikan Denial membelah jalanan ibukota malam itu, jas putih yang dikenakannya tampak berkibar saat pemiliknya terus saja menerobos angin dengan kecepatan tinggi. Terakhir kali Denial menaiki motornya sebelum pergi ke Korea, kini ia akan lakukan semua aktivitas yang sering dilakukannya sebelum pergi ke Korea. Anggap saja nostalgia, lagipula motor kesayangannya selama ini hanya berdiam di sudut garasi dan tertutup kain putih seperti sesuatu yang usang.

Pemiliknya hanya bisa mengernyit tatap kendaraannya saat tiba di rumah kemarin malam, akhirnya ketika pagi tiba motor Denial jalani perbaikan di bengkel selama sehari sebelum malam ini akhirnya bisa dikemudikan oleh pemiliknya.

Bola mata di balik helm hitam itu tampak waspada, tangannya mengontrol kecepatan gas motor saat jalanan yang akan dilaluinya mulai ramai ketika memasuki area menuju gedung mewah tempat berlangsungnya acara.

Denial naikan kaca helmnya begitu motor berbelok melewati gapura megah gedung yang disewa Rega dan Salma, motor pun terhenti di area parkir khusus motor, Denial segera loloskan helmnya dan rapikan rambut seraya tatap spion kanan. Ia letakan helm di tanki dan beranjak turun, tatap arloji sejenak sebelum melangkah tinggalkan area parkir.

Terlihat begitu banyak karangan bunga tanda ucapan selamat dari rekan kerja, keluarga, sahabat Salma serta Rega. Langkah Denial terhenti di beranda, ia masukan kedua tangannya ke saku celana seraya tatap keadaan sekitar, semua orang yang datang kenakan gaun dan setelan jas terbaik mereka seperti pangeran dan puteri. Beberapa wajah bisa Denial kenali, ia pun hanya menyungging senyum saat orang lain menyapa.

"Woi! Denial Nuraga!" seru seorang laki-laki yang menggandeng tangan kekasihnya usai turun dari mobil, mereka melangkah hampiri Denial yang kini lebarkan senyum.

"Agam?" terka Denial, ia masih ingat betul teman SMA-nya yang suka menantang adu basket sekalipun hasilnya akan tetap kalah.

"Beneran Denial, kan, ya?" Tangan kanan Agam yang bebas menarik lengan Denial, ia tatap teman lamanya itu dari ujung kaki hingga kepala sebelum menggeleng seraya berdecak. "Masih keren aja kayak dulu sih, sekali-kali tampil ngebosenin gitu, Den."

"Mana bisa, gue udah terlahir sebagai laki-laki kece." Denial dan Agam terkekeh, Denial tatap gadis yang digandeng Agam. "Siapa? Istri?"

"Calon, kenalin namanya Eva." Agam biarkan calon istrinya dan Denial bersalaman. "Pasangan elo mana? Nggak mungkin datang sendirian, kan? Apalagi baru pulang dari Korea, semua orang tahu kabar itu, Den."

Denial tersenyum kikuk, ia usap tengkuknya seraya menggeleng. "Gue emang ke sini sendirian kok."

"Ah! Pasti cewek lo berangkat sendiri, terus nanti kalian ketemu di sini? Nggak mungkin Denial Nuraga jomlo."

"Tapi, gue emang—" Dialog selanjutnya seakan terbawa angin begitu Denial katupkan bibir usai melihat perempuan itu benar-benar datang ke acara mantan kekasihnya, Karenina terlihat sangat cantik dengan balutan gaun putih tanpa lengan, sedikit rambutnya dibuat kepangan kecil dan ditata mengitari kepala dari sisi kanan ke kiri, make up yang digunakan Karenina cukup simpel, tapi elegan. Inner beauty yang dimilikinya kini mencolok jelas hingga orang-orang yang baru datang atau hilir-mudik di beranda sampai berdecak kagum tanggapi kehadiran Karenina.

"Itu pasti ceweknya Denial!" terka Agam tanpa basa-basi lagi.

"Hah? Bukan!" Denial katupkan lagi bibirnya saat Karenina lewat begitu saja tanpa seulas senyum atau bahkan sapa, ekspresi gadis itu selalu sama, aroma parfum Karenina seolah tertinggal hingga Denial bisa menghirupnya dengan puas, aroma parfum sama seperti malam itu.

"Wah iya, bukan ternyata. Terus mana, Den?" Agam tepuk bahu Denial.

Ekspresi Denial sendiri seperti sedang kecewa. "Nggak ada, gue lagi free."

"Kalau gitu, deketin aja cewek yang tadi," ujar Agam seraya eratkan tangannya pada Eva, perempuan itu hanya mengangguk setuju.

Denial tak ingin memusingkan perkataan Agam, yang mengusik pikirannya kali ini adalah kehadiran Karenina sendiri.

Gue nggak bisa tebak yang disembunyiin sama ekspresinya itu. Gue harap semua baik-baik aja, Karenina.

***

Keadaan di dalam gedung jauh lebih ramai lagi, dresscode yang wajib dipakai adalah warna putih, jadi putih benar-benar mendominasi keseluruhan ruangan besar yang ditata begitu mewah. Furniture yang disewa pun semuanya benar-benar manjakan mata termasuk rangkaian mawar putih di sudut-sudut ruangan, lilin putih juga menghiasi setiap meja yang tersedia, belum lagi altar yang dibuat seapik mungkin.

Meski bukan acara pernikahan, tapi suasananya sudah menggambarkan sebuah pernikanan. Beberapa orang duduk dan saling berbincang, terdengar tawa atau bahkan bisik-bisik yang sama sekali tak lirih di telinga. Altar masih kosong saat acara baru akan dimulai lima belas menit lagi.

Denial sendiri berdiri di sudut ruangan seraya edarkan pandang, titik fokus yang kini sedang dicarinya hanya satu; Karenina Hasan. Entah kenapa batinnya terus saja bergejolak dan cemas melihat kehadiran gadis itu, tapi sejauh mata memandang pun Denial belum menemukan keberadaannya.

Sedangkan perempuan yang dicari-cari Denial justru berada di toilet, bergeming di depan wastafel seraya tatap pantulan dirinya yang tampak menyedihkan. Ekspresi melankolis itu Karenina tunjukan pada bayangnya.

Kenapa kamu harus datang, Karenina. Kenapa kamu harus datang, kamu melukai diri sendiri, harusnya kamu pulang.

Karenina mendesah, mau berdandan secantik apa pun takkan membuat Rega menoleh padanya. Bagi Karenina, mantan kekasihnya itu sudah sangat tertarik dengan Salma hingga bermain di belakangnya, menusuk punggung dan biarkan ceceran luka di mana-mana.

Apa saya perempuan paling bodoh yang datang ke sini? Apa semua orang akan menertawakan kehadiran saya? Apa salah kalau saya berusaha ikut senang buat Rega?

Karenina meremas sisi wastafel seraya menunduk dan menangis, air matanya hadir di saat yang tidak tepat. Rasa senang yang Karenina rencanakan sejak awal sejatinya adalah hal terbodoh yang ia pikirkan, tak ada hati yang baik-baik saja ketika sosok yang begitu dicintai justru meninggalkan dan mengikat janji dengan yang lain—apalagi hati perempuan memang rapuh.

Karenina meraih tisu yang tersedia sebelum mengusapkannya ke wajah basah itu, ia harus berusaha baik-baik saja di depan semua orang, berusaha tulikan telinga dari cibiran.

Ia pun membuka pintu, tapi membeku begitu melihat Rega yang juga baru keluar dari toilet laki-laki di sebrangnya.

"Karen?" Laki-laki itu sangat tampan dengan jas putih yang membalut tubuhnya, Rega mendekat saat kaki-kaki Karenina seolah mati rasa untuk bergerak. Konspirasi macam apa yang dimainkan semesta kali ini.

"Jangan mendekat," larang Karenina.

"Kenapa?" Rega tak mengidahkan perintah Karenina, kini ia sudah berdiri di depannya dan menarik Karenina hingga masuk lagi ke toilet sebelum pintu akhirnya ditutup.

"Kamu ngapain, Rega!" bentak Karenina pasang wajah paniknya, laki-laki itu tak menyahut dan justru memeluk Karenina dengan erat, menenggelamkan wajahnya di caruk leher dengan aroma parfum yang membaui indera penciuman Rega, aroma sama yang dulu selalu membuat Rega tenang.

"Maaf," ucap Rega.

Karenina memberontak, sekuat tenaga ia berusaha mendorong dada Rega hingga tubuh yang mendekapnya kini melepaskan dan terdorong ke tembok.

"Kamu nggak berhak seperti itu ke saya, kamu mau tunangan. Jangan main-main sama keputusan yang kamu buat, Rega!" Karenina membuka pintu dan melenggang tinggalkan Rega yang hanya bisa mematung, hatinya masih terpaku untuk Karenina.

Perempuan itu tak lagi bisa bendung air matanya, ia terus melangkah ke tempat acara, melewati orang-orang yang menatapnya dengan raut bingung sebelum pintu keluar menjadi keputusan terakhir Karenina.

Percuma datang, sakit hati jelas menyerang.

Karenina? Cukup lama mencari, Denial akhirnya temukan sosok itu terus melangkah dan berlalu di balik pintu, Denial putuskan mengejarnya hingga Karenina masuk mobil dan lanjutkan tangisan tak berujung itu.

Tok-tok-tok!

Kaca mobil sisi kanan diketuk Denial, ia berharap Karenina lekas membukanya.

Buru-buru Karenina meraih tisu yang tergeletak di dashboard untuk usapi air mata yang telanjur basahi wajah. Setelahnya ia turunkan kaca mobil ketika wajah panik Denial tak bisa disembunyikan.

"Lo nggak apa-apa?" Denial membungkuk amati wajah Karenina yang masih basah, mata merah itu cukup kentara.

"Saya nggak apa-apa, memangnya saya kenapa?"

"Lo yakin? Bisa geser nggak?"

"Kenapa saya harus geser?"

"Mau geser atau gue duduk di pangkuan elo?"

Karenina mengalah dan menggeser posisi duduk di jok sebelah kiri, sedangkan pintu sisi kanan kini dibuka Denial sebelum akhirnya duduk di balik kemudi.

Tiba-tiba saja tangan Denial memutar kontak, menarik perseneling dan menginjak gas.

"Kenapa mobilnya dijalanin?" tanya Karenina.

"Pergi aja dari sini, elo sedih gitu, kan?" Denial benar-benar kemudikan mobil Karenina tinggalkan area gedung mewah itu, entah kenapa lebih baik menemani Karenina ketimbang menyaksikan pertunangan Rega dan Salma.

"Kamu mau bawa saya ke mana?"

"Jalan aja, kalau mau lanjutin nangis silakan. Anggap aja gue nggak ada."

Karenina hela napas panjang, ia putuskan bergeming seraya pasang sabuk pengaman dan sandarkan punggung di jok seraya tolehkan kepala ke sisi kiri, Karenina tatap keadaan di luar jendela, dan sialnya air mata itu memang kembali meluncur.

Sekitar lima belas menit Denial kemudikan mobil hingga berhenti di sisi flyover, ia menoleh pada Karenina yang masih sibuk terisak tanpa mau memperlihatkan wajahnya.

Oke, Denial baru mengenal Karenina, tapi rasa simpati padanya begitu besar.

"Karenina, gue baru tahu kalau lo sama Rega ternyata pernah pacaran," tutur Denial mencoba sebuah obrolan.

"Lalu?"

"Ya, dia teman dekat gue. Nggak ada niat buat ngebela juga sih, cuma ya ... jangan buang air mata lo terus-terusan buat manusia yang campakin elo."

Karenina menoleh, wajah basahnya itu bisa Denial lihat, mengerikan.

"Saya bisa urus semuanya sendiri." Sedang sedih pun sikap Karenina masih menyebalkan, Denial hela napas pasrah.

"Oke, gue cuma kasih saran aja. Semoga besok nggak ada tangisan kayak gitu lagi, ya?"

"Kamu sebenarnya kenapa?"

Denial menggeleng. "Nggak tahu, rasanya mau bawa lo pergi aja dari sana."

Karenina kembali raih tisu untuk usapi wajahnya, perempuan itu tatap keadaan di luar jendela yang hanya tampilkan rimbun pepohonan di sisi flyover.

"Karenina," lirih Denial.

Perempuan itu kembali menoleh bersamaan tangan kanan Denial yang tiba-tiba menarik tengkuk Karenina dan berakhir dengan sebuah gerakan lembut dari bibir Denial.

Karenina sama sekali tak berkutik, ia hanya bisa rasakan tubuhnya menegang dan panas di sekujur tubuh. Matanya pun tak sanggup tertutup seperti yang Denial lakukan.

Laki-laki itu melepas pagutannya, ia tatap mata Karenina seraya menarik napas. "Don't cry, Baby." Wajahnya kembali mendekat dan lanjutkan ciuman yang sempat terhenti.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height