Schatje/C8 Sepercik kisah.
+ Add to Library
Schatje/C8 Sepercik kisah.
+ Add to Library

C8 Sepercik kisah.

Secangkir kopi serta surat kabar edisi terbaru tengah temani Minggu pagi Zian yang masih menyukai berita dalam bentuk kertas ketimbang berita online yang bisa dia lihat dari ponselnya. Zian memang memiliki sisi kuno yang masih kental, pria kelahiran Yogyakarta itu bahkan tak melupakan bahasa jawa yang cukup khas dari kota kelahirannya meski ia sendiri jarang mengatakan—sebab Anne kurang mengerti, Anne sendiri adalah wanita berdarah tionghoa yang telah dipersunting Zian sejak tiga puluh tahun lalu, rumah tangga mereka sanggup kokoh berdiri hingga hari ini dan dikaruniai tiga orang anak.

Pertama, Elang Nuraga yang telah miliki keluarga kecil sendiri, Elang tinggal terpisah dari orangtuanya. Kedua, si bengal Denial Nuraga. Ketiga, Elita Pranata yang masih berstatus pelajar SMA. Elita sendiri mengikuti marga sang ibu sebagai 'Pranata', dan bukan seperti sang ayah yang notabene 'Nuraga'.

Zian bahkan gunakan kacamata baca hingga tampak seperti kakek-kakek muda, disebut kakek pun seperti kurang pantas, cucu saja baru satu. Pria itu duduk di sofa ruang tamu seraya fokus pada kabar karhutla yang tengah menimpa Indonesia, apa pun yang ada di surat kabar akan Zian baca hingga habis seraya sesap kopi hitamnya.

Tampak Denial yang kini menuruni anak tangga seraya usap rambut basahnya dengan handuk kecil, kaus polo dan celana pendek hitam membalut tubuh beraroma citrus itu.

"Mama sama Elita mana?" tanya Denial yang kini duduk di sebelah ayahnya.

"Car Free Day," sahut Zian tanpa alihkan fokus dari koran.

"Masa udah jam sembilan enggak pulang-pulang."

"Nggak tahulah, urusan perempuan. Tadi kenapa nggak ikut biar tahu kegiatan mereka."

Denial angkat sebelah alisnya seraya beri ekspresi cengo. "Yang benar aja, mending tidur lagi, paling juga emak-emak militan yang bahas tas hermes."

Zian lirik sang putra. "Kok tahu? Pasti kamu pernah bahas gituan ya?"

"Malah tambah ngelantur, nebak aja nebak. Perempuan paling yang dibahas kayak gitu, kan? Nyesel udah tanya." Denial berdecak dan beranjak.

"Mau ke mana? Enggak ngopi dulu?"

Denial menoleh. "Segelas berdua? Biar romantis." Kekehan geli pun terdengar.

"Pulang dari Korea malah tambah aneh kamu, Den. Sini duduk lagi, papa mau tanya."

"Oke, Pak Bos!" Denial duduk di tempat tadi, terlihat sang ayah lepas kacamata serta letakan koran yang kini dilipatnya di atas meja. Jika tak memakai kacamata baca, wajah Zian sepuluh tahun lebih muda dari usianya, pantas saja jika ikut Car Free Day bersama Anne masih saja jadi perbincangan hot emak-emak militan yang sibuk banding-bandingkan popularitas suami mereka.

Zian kembali seruput kopi hitamnya yang tak lagi panas, uapnya telah menyingkir pergi. "Kenapa semalam pergi dari acara? Rega cari-cari kamu."

"Aku ...." Denial tatap ayahnya seraya tersenyum penuh arti, ia jadi teringat malam bersama Karenina yang menangis, bagaimana perempuan itu lantas diam usai dua kali ciuman yang Denial berikan.

"Apa?"

"Aku pergi sama Karenina."

"Kamu suka sama Karenina?"

Denial mengernyit. "Kenapa langsung simpulin kayak gitu, emang harus banget suka baru bisa jalan bareng. Enggak, kan?"

"Papa kan cuma tanya, kenapa mikirnya lebih jauh lagi. Jadi, lebih penting temenin Karenina daripada kontribusi di acara Rega, ya?"

"Papa mau marah? Ya silakan." Denial memutar bola matanya seraya sandarkan tubuh dan tumpukan kaki kanan di atas paha kirinya, ia tampak santai sekali.

Zian berdecih. "Marah kenapa? Kok kamu sensitif gitu, lagi PMS ya?" Kini kekehan geli Zian yang muncul, bapak tua itu masih miliki sisi humoris.

"Apa sih, lagian kenapa Papa enggak pernah cerita kalau Rega sama Karenina itu pernah ada hubungan?" Denial mulai protes.

"Lho, bukannya kamu yang enggak pernah tanya. Lagipula urusan papa sama mereka apa? Anak juga bukan."

"Tapikan Karenina—" Denial mendengkus dan meraup wajahnya, ia sedikit membungkuk tatap Zian lebih serius. "Oke, dia cuma sekretaris Papa, terus—"

"Terus kamu suka sama dia, kan? Makanya jadi seperhatian itu, nggak ada alasan buat sanggah omongan papa, sikap kamu udah kelihatan. Kamu lebih memilih pergi sama Karenina ketimbang bertahan di acara Rega."

"Pa, Karenina itu nangis, siapa sih yang tega lihat cewek nangis di acara tunangan mantan pacar yang baru dua mingguan putus."

Zian mengibas tangan kanan. "Ini debat kalau diterusin nggak akan kelar, Den."

"Yang mulai duluan siapa?"

Zian tertawa tanggapi perdebatan kecil mereka di pagi hari, debat dengan Denial memang menjadi sesuatu yang cukup Zian rindukan ketika begitu lama laki-laki itu tak singgah di rumah. Biasanya hampir setiap hari mereka berdebat meski sekadar masalah sepele, meski ujung-ujungnya Zian yang tertawa karena ia mengaku sengaja memancing emosi Denial yang lebih menggemaskan jika sedang marah.

Zian akhiri kekehannya dan teguk sisa kopi hingga habis, sekadar sisakan ampas saja. "Oke, papa mau bahas sesuatu sama kamu. Lupakan debat tadi, papa masih suka kalau kamu emosi, mirip perempuan."

"Masih aja ngeledek." Denial berdecak kesal.

"Udahlah, ngambek terus malah bikin kamu lebih condong ke mama kamu itu." Ucapan itu dibalas kibasan tangan oleh Denial. "Kamu masih ingat SMA papa yang di Yogya nggak?"

"Oh, yang itu. Masihlah, untung nggak jadi sekolah di sana, untung di Jakarta." Denial memang pernah hampir bersekolah di Yogyakarta karena ranking semasa SMP begitu buruk, bukankah Yogyakarta terkenal dengan sebutan Kota Pelajar-nya? Zian berharap dengan menyekolahkan Denial di kampung halaman bisa membuat sikap anak itu sedikit dewasa, tapi Denial yang saat itu terus merengek pada Anne membuat sang ibu kasihan dan takkan pindahkan Denial ke Yogyakarta.

"Hm, kamu aja yang nggak tahu kalau dulu papa sama Liana kan teman dekat," tutur Zian.

"Liana? Siapa itu Liana? Baru dengar namanya."

"Mendiang ibunya Karenina."

Denial berkedip beberapa kali, ada sesuatu yang seolah menukik tajam di depan matanya.

"Mendiang? Maksud Papa itu orangnya udah meninggal?"

Zian mengangguk. "Kalau nggak salah waktu Karenina masih umur enam tahun, papa juga datang ke acara pemakamannya."

"Meninggal sakit apa?"

Zian tersenyum miring, nyatanya sang putra jelas akan tertarik dengan arah pembicaraan mereka, apalagi terhubung dengan Karenina.

"Bunuh diri."

Denial makin menganga, kenapa setiap pengakuan yang Zian bagi membuat dada Denial mulai sesak. Ada sekelumit rasa sakit yang tak bisa dijelaskan.

"Kami pernah satu SMA di Yogya, teman dekat karena satu angkatan paskibra waktu itu. Setelah lulus ternyata Liana lebih dulu pindah ke Jakarta, nggak berselang lama juga papa pindah dan nikah sama mama kamu, pernah ketemu Liana beberapa kali, tapi waktu itu dia belum menikah. Katanya lagi dekat sama laki-laki, tapi enggak direstui sama orangtua pasangannya.

"Waktu itu umur Elang masih kecil, kamu juga masih di kandungan. Terus nggak berselang lama ada kabar kalau Liana hamil di luar nikah, waktu itu kamu udah lahir. Sampai beberapa tahun dia seolah ditelan bumi, ternyata Liana depresi karena perlakuan ibu mertuanya yang nggak pernah setuju punya menantu Liana. Setelah itu, papa dengar dia bunuh diri dan tinggalin Karenina kecil yang nggak tahu apa-apa."

Denial makin membeku, sorot matanya meredup, langit cerah pagi itu seakan berubah abu-abu hanya di mata Denial. Kenapa ia harus mendengar kisah yang membuatnya terenyuh, kenapa pagi-pagi sang ayah sudah mencabik-cabik perasaan Denial lewat kisah melankolis seseorang bernama Liana?

Kenapa dan kenapa, keduanya saling bergeming beberapa saat. Zian sendiri sibuk menerka apa yang tengah Denial pikirkan, sedangkan Denial justru tak mengerti kenapa hatinya harus sesakit itu hanya karena sosok asing yang tiba-tiba masuk hidupnya di hari pertama Denial kembali ke Jakarta.

"Kamu sedih? Papa nggak akan lanjutin," tutur Zian seraya pasang lagi kacamatanya dan meraih koran.

"Lanjutin aja semuanya sampai tuntas, jangan nanggung-nanggung."

"Apa jaminannya?"

Denial mengernyit. "Kok jaminan? Jadi, ini harus bayar gitu? Gaji pertama aja belum turun."

"Kamu kebiasaan, Den. Diajak bercanda dikit langsung tancap gas, bikin papa takut aja."

"Ini tuh lagi serius, ngapain malah ngeledek, enggak lucu."

"Oke, sori." Zian letakan koran pada pangkuannya, ia lepas kembali kacamata dan letakan di meja. "Papa ingat kalau Liana dulu pernah bilang sesuatu, papa anggap itu permintaan terakhir sebelum dia benar-benar pergi."

"Apa?" Ekspresi Denial kembali serius.

"Dia bilang kalau ketemu Karenina sewaktu-waktu, Liana berharap kalau papa juga bisa jaga Karenina.Dia ragu sama sikap ibu mertua dan suaminya, Rahadian itu lemah, dia dikendalikan sama ibunya seolah dicuci otaknya."

"Itu alasan Papa jadiin Karenina sekretaris di kantor?"

Zian mengangguk. "Dia perempuan yang cerdas, enerjik, terus cuek. Papa suka sama sikap dinginnya, papa kan nggak suka sama perempuan genit."

"Jangan-jangan Papa yang naksir Karenina, ya?" Kini giliran Denial yang menggoda. "Om-om hidung belang kalau lihat yang kayak Karenina pasti mau."

Zian mencebik bibir. "Jangankan om-om hidung belang, yang kayak kamu aja pasti mau." Ledekan sang putra langsung diputar balik ke Denial, pria itu beranjak membawa serta koran dan kacamatanya tinggalkan Denial yang kembali kesal.

"Bapak-bapak tua hobinya ngebully anak sendiri," cibir Denial seraya beranjak hampiri anak tangga.

Laki-laki itu masuk kamar dan rebahkan tubuhnya di ranjang, ia biarkan handuk tetap di bahu. Denial raih ponsel yang tergeletak di bantal, sebuah chat dari nomor Rega membuat Denial lantas membukanya.

Lo di mana?

Kita hangout ke mana kek, gw males jalan sama Salma.

"Lo itu laki-laki yang kayak gimana sih, Ga? Bisa selembek itu urus masalah sendiri," gumam Denial sebelum balas chat untuk Rega.

Sejam lagi otw.

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height