Schatje/C9 Semangkuk mie ayam.
+ Add to Library
Schatje/C9 Semangkuk mie ayam.
+ Add to Library

C9 Semangkuk mie ayam.

Tangan-tangan kurus itu sibuk meletakan beberapa pack pembalut ke dalam keranjang merah minimarket yang kini berada di tangan kiri Karenina, ia terlihat kasual dengan rok jeans selutut dan sweater pelangi serta rambut yang diikat rendah, penampilannya jauh berbeda dengan Karenina ketika pergi ke kantor, ia lebih pantas disebut anak SMA kali ini.

Kakinya bergeser pada rak berisikan pengharum ruangan serta obat nyamuk semprot, Karenina suka pengharum ruangan aroma lemon, ia juga suka obat nyamuk semprot aroma lavender. Kini barang-barang itu mulai memenuhi keranjang belanjaannya.

Kakinya kembali bergerak hampiri showcase, kali ini tangan kanan yang diminta bekerja membuka pintu showcase sebelum meraih beberapa softdrink berkarbonasi. Karenina memang suka meminumnya sewaktu-waktu jika di rumah, ia simpan dalam kulkas.

Lirikan mata itu beralih pada tempat es krim, siapa yang tak suka es krim? Mungkin nenek-nenek dan penderita gigi sensitif, untung saja Karenina belum rasakan keduanya, jadi ia bebas memilih varian apa pun sekarang. Pilihannya jatuh pada satu cup kecil rasa avocado chocolate yang tengah marak dalam iklan televisi.

Beres, Karenina bawa keranjang belanjaannya hampiri meja kasir.

"Pulsanya sekalian, Mbak?" tawar perempuan berhijab yang sibuk masukan belanjaan Karenina dalam sebuah kantung besar.

"Enggak. Berapa?"

"Totalnya jadi 150ribu."

Karenina keluarkan dua lembar seratusan ribu dari saku rok jeans, ia ulurkan pada si kasir.

Karenina membawa kantung belanjaan usai transaksi pembayaran selesai, ia hampiri mobilnya di halaman minimarket sebelum duduk di balik kemudi dan letakan kantung belanjaannya di jok kemudi. Namun, perempuan itu tak lantas hidupkan mesin mobil, ia keluarkan es krim miliknya sebelum mencair.

Tembang lawas milik Ruth Sahanaya kini mengalun merdu setelah pemiliknya hidupkan radio dalam mobilnya, kebetulan hari Minggu menjadi waktu favorit Karenina untuk dengarkan lagu-lagu lawas yang selalu diputar oleh salah satu stasiun radio sekitar pukul sepuluh pagi.

Setiap orang miliki selera masing-masing sekalipun Karenia lahir di tahun 90-an, tapi ia masih bisa menikmati lagu-lagu yang terkenal di era 80-an.

Lagu dengan judul Layu Sebelum Berkembang itu seringkali Karenina dengarkan, dulu saat ia masih kecil-lebih tepatnya ketika mendiang Liana masih ada, lagu itu adalah kesukannya.

Es krim Karenina nikmati dengan tenangnya hingga suara petir di langit begitu cepat mengubah keadaan, langit memang sudah mengabu sejak Karenina putuskan keluar rumah untuk datang ke minimarket, sudah memberi tanda-tanda akan turunnya hujan pada para penghuni bumi.

Waktu tenang Karenina lenyap dalam sekejap, buru-buru ia habiskan es krimnya dan matikan radio sebelum putar kunci mobil dan tarik persneling. Karenina letakan cup es krim yang kosong di atas dashboard.

Kini mobil melaju pelan tinggalkan halaman minimarket hampiri jalan besar yang ramai lalu-lalang kendaraan, nyatanya tetesan kecil dari langit memang bergerak turun menyentuh selasar semesta, membuat panik siapa-siapa yang belum berlindung darinya.

Dari kejauhan terlihat seseorang sibuk mendorong motor besarnya saat ban bagian belakang kempes setelah tertusuk paku di jalan beberapa menit lalu. Karenina seperti familier dengan punggung serta gaya langkah laki-laki yang kenakan jaket denim serta helm hitamnya.

Itu Denial?

Karenina melewati Denial begitu saja tanpa si pemilik motor tahu kalau salah satu pengemudi dari beberapa mobil yang melewatinya adalah Karenina Hasan.

Berhenti, Karenina. Dia pernah tolong kamu.

Perempuan itu akhirnya iba setelah rasa bersalah merasuk tepat waktu, alhasil Karenina menepikan mobilnya dan berhenti. Ia hela napas sebelum turunkan kaca mobil sisi kanan, sejenak bergeming menunggu si pemilik motor lekas lewat.

Jarak tiga meter telah Denial pangkas hingga ia mulai melewati mobil Karenina tanpa menoleh saat Denial terlalu sibuk mengurusi kepanikannya begitu rintik gerimis itu mulai memperbanyak debit airnya.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Motor beserta pemiliknya berhenti tepat di samping kap mobil yang dikemudikan Karenina. Denial pun menoleh tatap perempuan yang kini turun dari mobil sebelum membalas tatapannya.

"Elo?" Denial cukup terkejut.

"Ada yang bisa saya bantu?" Karenina mengulang pertanyaannya.

"Bantu?" Denial tatap motornya. "Nggak mungkin kan kalau elo bisa tambal ban bocor, nggak usah."

Karenina masih berdiam di sisi pintu mobil tanpa berniat hampiri Denial yang berdiri tak jauh darinya.

"Saya memang nggak bisa, tapi montir bengkel bisa." Perempuan itu rogoh ponsel dari saku sweater, menghubungi seseorang dan berkomat-kamit tanpa peduli kalau gerimis bertubi-tubi menghunjam tubuhnya.

"Lo ngapain?" tanya Denial setelah Karenina akhiri teleponnya.

"Masuk ke mobil saya dulu, hujan tambah deras, saya nggak mau ulang dua kali," ucap Karenina sebelum masuk mobil dan kembali duduk di balik kemudi.

"Maksud dia gimana sih." Denial berdecak. "Ah, ya udahlah nurut aja." Laki-laki itu menepikan motornya ke sisi trotoar, ia lepas helm dan meletakannya di spion kanan sebelum mengikuti perintah Karenina untuk masuk mobil.

Nyatanya, hujan memang lebih deras sekarang. Beruntungnya Denial dan Karenina sanggup berlindung di bawah atap mobil.

"Terus, ini ngapain?" tanya Denial seraya menggaruk bagian belakang kepalanya, "ngelihatin motor gue sampai hujan berhenti?"

Karenina menggeleng, kedua tangannya berada di kemudi. "Nggak, sebentar lagi orang bengkel langganan saya ke sini bawa motor kamu. Tapi, kalau mau hujan-hujanan ya silakan, saya nggak larang."

Denial mengernyit, jadi maksudnya dia lagi tolongin gue, gitu?

Laki-laki itu tersenyum tipis, ia keluarkan ponsel dari saku celana dan ketik chat yang ditujukannya pada nomor Rega.

Sori, kayaknya gw nggak bisa ke situ.

Ban bocor, hujan, mager.

Beres, sekarang Denial bisa nikmati waktu berdua dengan Karenina. Semesta teramat bijaksana.

Tampak motor matic yang dinaiki dua orang laki-laki serta kenakan jas hujannya kini menepi di dekat motor Denial, salah satunya turun hampiri mobil Karenina sekadar meminjam kunci motor Denial.

"Kasih ke dia, nanti saya kasih tahu kamu di mana bengkelnya, jadi nanti kamu tinggal ambil," ucap Karenina.

"Oke." Denial berikan kunci motor pada pria yang berdiri di dekat pintu mobil sisi kanan, setelahnya pria itu berlalu, salah satunya kemudikan motor Denial yang tak punya daya lagi.

Hujan makin deras saja, beberapa kali petir terdengar membelah langit tanpa ragu, tapi dua manusia yang berlindung di bawah atap mobil kini sama-sama membeku.

Benda yang tergeletak di atas dashboard menarik perhatian Denial, ia lirik perempuan yang kini sandarkan punggungnya seraya pejamkan mata.

"Ini mau di sini sampai kapan?" Denial akhirnya angkat bicara, ia yang jelas kalah jika harus mengikuti lomba siapa lebih lama bisa diam melawan Karenina.

Perempuan itu membuka mata. "Kalau kamu mau pulang sekarang, saya bisa antar."

"Enggak, gue lapar," ujar Denial seperti anak kecil yang meminta makan pada sang ibu.

"Lalu?" Karenina menoleh.

"Lalu, lo udah bantuin gue urus motor, gimana kalau gue traktir elo."

"Nggak usah."

"Kenapa? Ini terserah elo kok mau makan apa, di mana."

Karenina tatap lekat iris mata hitam itu. "Terserah saya?"

Denial mengangguk. "Iya, lo mau apa terserah. Pasta, tom yum, dim-"

"Mie ayam." Dua kosa kata yang dilontarkan Karenina berhasil membuat Denial katupkan bibir, ada sesuatu yang seolah menggelitik perut hingga empunya tertawa.

"Gue tawarin apa tadi, kenapa maunya mie ayam? Nggak ada yang lain?"

"Kalau kamu nggak bisa traktir saya semangkuk mie ayam juga nggak apa-apa, saya antar pulang aja ya." Karenina putar kunci mobilnya.

"Eh, enggak! Gue mau kok!" Sorot mata Denial perlihatkan kalau ia yakin untuk mengikuti keinginan Karenina.

***

Warung mie ayam sederhana yang Karenina dan Denial singgahi tampak ramai oleh banyaknya pelanggan, sebuah spanduk bertuliskan Mie Ayam Ceker Mang Karim terlihat cukup jelas menghiasi bagian luar warung itu.

Hujan justru menambah animo orang-orang untuk datang berkunjung nikmati semangkuk mie ayam buatan Mang Karim yang telah menyajikan makanan sederhana itu hampir dua puluh tahun lamanya.

Denial sedikit kikuk saat pertama kali memasuki area lesehan yang tersedia, kebetulan hanya bagian pojok kiri paling belakang yang kosong, alhasil dua manusia yang baru datang itu duduk di sana. Mereka bersebelahan, Karenina duduk di sisi tembok yang tampilkan beberapa pigura foto kenangan Mang Karim dengan para pelanggannya dari tahun ke tahun.

Perempuan itu letakan ponselnya di meja seraya benarkan ikatan rambut, sedangkan Denial sibuk mengedar pandang amati keadaan asing di sekitarnya.

"Sering ke sini?" tanya Denial.

"Ya."

Setelah itu tak ada lontaran dialog lagi, Karenina memang pintar membuat Denial kehilangan kosa kata.

Tak lama berselang seorang pelayan laki-laki berusia sekitar dua puluh tahunan terlihat membawa nampan berisikan dua mangkuk mie ayam serta dua gelas es teh ke meja Karenina.

Denial menatap makanan itu tanpa kedip seolah baru melihatnya. Sedangkan Karenina meraih sepasang sumpit dan sebuah sendok di meja, tak lupa ia campurkan saus serta sambal pada makanannya sebelum diaduk menggunakan sumpit.

Denial cengo, ia sama sekali tak meraih apa pun. Bola matanya sibuk memperhatikan gerak-gerik Karenina yang kini menyendok kuah mie ayam sebelum berakhir di mulutnya.

Ekspresi perempuan itu terlihat biasa saja, tak katatonik seperti biasanya.

Kini sumpit yang bergerak memindahkan mie ke mulut Karenina, ia mulai asyik menikmatinya.

Gue kira ekspresinya bakal sama kayak pas makan dimsum. Denial manggut-manggut, rasa laparnya seolah hilang hanya dengan menatap Karenina yang makan.

"Kamu nggak suka, ya?" tanya Karenina berhasil buyarkan lamunan Denial.

"Suka nggak suka, gue jarang banget makan mie ayam. Bisa dihitung pakai jari tangan," tutur Denial.

Karenina letakan sumpitnya, ia seruput es teh sebelum raih saus dan sambal yang kini dituangkannya pada mangkuk mie ayam milik Denial.

Laki-laki itu mendelik saat melihat Karenina begitu banyak campurkan sambal.

"Saya nggak suka lihat orang yang makan aja pilih-pilih." Karenina meraih sumpit, tangan kirinya raih dagu Denial hingga mulut laki-laki itu refleks terbuka saat mie mendekat ke mulutnya.

Begitu hasil kunyahan Denial meluruh lewati kerongkongannya, ia benar-benar rasakan pedas sekaligus panas bersamaan. Buru-buru segelas es teh miliknya ia seruput hingga sisa setengah.

"Kenapa pedes banget!" protes Denial sedikit keras hingga orang-orang menoleh padanya, Karenina sendiri tatap datar laki-laki yang tampak marah dengan ulahnya.

Perempuan itu menukar mangkuk Denial dengan miliknya. "Makan punya saya, itu nggak terlalu pedas. Sori."

***

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height