Shadow of The Past/C3 [2] Solusi
+ Add to Library
Shadow of The Past/C3 [2] Solusi
+ Add to Library

C3 [2] Solusi

TINGGAL DI LINGKUNGAN baru tidaklah mudah. Sejak meninggalkan Tokyo dua belas tahun lalu, Airi jadi lupa seberapa disiplinnya orang-orang dari negara ini. Disiplin yang dimaksud Airi merujuk pada sesuatu yang baik. Jepang menjadi salah satu negara maju di Asia dan di dunia bukan tanpa alasan. Warga di negara ini begitu sopan dan patuh pada aturan.

Di sini, kau takkan melihat orang-orang berdebat dan menyumpah satu sama lain akibat insiden lalu lintas, kau juga takkan mendapati perkelahian antar orang mabuk di sebuah gang sempit. Banyak hal yang disukai Airi dari negara ini. Namun, rasa sukanya juga sebanding dengan rasa tidak sukanya terhadap upah yang tidak setimpal, banyaknya formalitas, dan budaya senioritas yang begitu kental.

Dari tiga ketidaksukaan itu, Airi telah merasakan dua di antaranya. Hari ini, dia baru saja memenuhi undangan pertemuan dengan Presdir Kage Summit Cinema, Akito Shigaki. Beliau adalah kaki tangan dari Presdir Kage Summit Studios, perusahan induk yang mewadahi bagian perfilman. Berada di posisi tinggi membuat Shigaki begitu disegani. Airi paham. Dia berusaha menghormatinya. Dia bukan seseorang yang tak tahu sopan santun.

Akan tetapi, memiliki etika bukan berarti dia tak punya hak untuk mengeluarkan opini. Raut tersinggung atasannya—yang sangat mengintimidasi karena Shigaki-san benar-benar terlihat garang—itu masih terbayang-bayang oleh Airi. Bahkan setelah mereka selesai melakukan pertemuan dan lanjut melakukan pertemuan lain dengan sekretaris barunya.

Rasa asam jus apel terasa hambar di mulut Airi. Dia sedang terpekur, memikirkan nasib karier barunya yang berawal buruk, sangat buruk.

"Aku hanya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Dia memang agak sedikit sensitif."

Ucapan seseorang membuat Airi mendongak. Dia menatap sosok perempuan di hadapannya, perempuan dengan rambut ombre bercat ungu mencolok. Penampilan tersebut terlihat amat menantang jika dibandingkan dengan rata-rata karyawan perempuan di perusahaan mereka.

"Yugao-san, yang kulakukan hanyalah memberi tahu bahwa tuntutan yang dia minta takkan dapat diselesaikan dalam waktu dekat," balas Airi, masih tidak menyangka. "Terakhir kali kulihat berkasnya, kita sedang memegang dua seri televisi. Dua-duanya memiliki kurva rating penonton yang negatif. Artinya, pada setiap episode baru, jumlah penonton kita semakin turun. Aku harus memperbaikinya untuk menghindari kerugian. Tapi, dia juga menyuruh kita menerima lima proyek film baru untuk perilisan di tahun depan. Padahal, sekarang tiga proyek film yang kita tangani sedang mandek."

Airi menatap Yugao dengan heran campur frustrasi.

"Karyawan Hiraishin Picture hanya sekitar seratus. Permintaannya tidak masuk akal. Aku hanya sedikit memberi tahunya. Tapi, dia malah memarahiku yang terlalu pesimis," lanjut Airi dengan nelangsa.

"Harusnya Anda mengiakan saja seluruh ucapannya."

"Mengiakan sama saja memberi janji. Dengan pertimbangan yang sekarang kita hadapi, bagaimana mungkin aku menjamin seluruh kesuksesan proyek tanpa adanya konsekuensi? Dia bahkan tak menanyakan alasanku mengatakan hal itu."

Airi mengembuskan napas pelan.

"Maaf karena membuatmu mendengar seluruh keluhanku," ucapnya, merasa tidak enak. "Aku hanya sedikit tidak mengira kalau kondisi kita separah ini." Tawa Airi sedikit dipaksakan. Dia menunjuk makanan mereka dengan sumpit. "Mungkin kau ingin tambah, Yugao-san?"

Yugao menolaknya. Mereka kemudian menyelesaikan makan selagi berbincang untuk sedikit mengenal satu sama lain. Pada suapan terakhir, Yugao memberitahukan jadwal rapat untuk esok hari, rapat pertama Airi di perusahaan tersebut. Sudah tiga hari dia masuk kerja. Tiga hari pula dia mencoba mengenali para karyawannya. Jika dibanding kolega-kolega kerjanya yang dulu, orang-orang sini memang cenderung lebih kaku dan formal. Airi bertekad untuk mengubah dinamika interaksi mereka secara perlahan, terutama interaksi dengan para petinggi alias senior yang tampak masih belum rela dipimpin oleh anak baru yang sialnya berdarah campuran,dan lebih muda dari mereka.

Pertemuan dengan Yugao berakhir di sore hari. Airi bergegas ke stasiun untuk kembali ke apartemen. Dia tak mendapati Kazuki ketika sampai. Sehari yang lalu, Airi menyerahkan Kazuki pada Ethan. Pria itu mengajak Kazuki berjalan-jalan mengelilingi Tokyo, sekaligus untuk melihat-lihat sekolah di musim liburan ini. Kegiatan belajar mengajar akan dimulai dua pekan depan. Kazuki masih punya waktu untuk memilih sekolah.

Masalah akademik Kazuki sama sekali tak dikhawatirkan Airi. Berbeda dengan orang tua khas Asia pada umumnya, dia takkan terlalu menekan Kazuki untuk mencetak prestasi akademik. Dia membebaskannya mengeksplor hal-hal yang menurutnya menarik. Cara ini telah dia terapkan sejak dulu dan hasilnya tidak mengecewakan. Kazuki mengembangkan banyak hobi baru, salah satunya membaca. Siapa sangka kalau anak laki-laki, di usia muda, sudah menggemari lembaran kertas?

Membersihkan diri sejenak, Airi kemudian menghubungi Ethan, memberi tahu agar mereka tidak pulang terlalu larut. Dia mengikat rambut dengan asal dan membawa secangkir kopi panas ke dalam ruang kerja. Pertemuannya dengan sang atasan berhasil menggelitik egonya. Citra diri Airi tampak menurun di hadapan Tuan Shigaki. Dia ingin memperbaiki kesalahpahaman itu dan menunjukkan bahwa dia kompeten. Tidak lucu jika dia langsung diturunkan dari posisi baru ini ketika baru memulai tiga hari lalu.

Layar laptop mulai menyala. Airi membuka email berisi dokumen yang dikirimkan oleh rekan-rekan barunya. Waktu berlalu dengan cepat selagi Airi mencurahkan perhatian pada layar. Minuman berkafein yang menemaninya ikut berkurang sedikit demi sedikit. Airi mengernyitkan dahi selagi mempertimbangkan sesuatu. Dia menyender pada kursi kerjanya, mengistirahatkan punggung selagi berpikir.

Setelah terdiam beberapa saat, dia membuka ponsel untuk menghubungi Yugao. Sambungan telepon diangkat pada nada dering ketiga.

"Tolong siapkan proposal kerja sama untuk beberapa perusahaan yang kemarin kubicarakan."

"Proposal kerja sama untuk Suna Studios, Soni Film Entertainment, Wamner Cros Picture, dan Izanami Film, benar?"

"Ya. Tolong siapkan proposalnya agar besok bisa langsung dikirimkan pada jam kerja."

Di seberang sana, Yugao menyanggupi. Airi mengucapkan terima kasih sebelum menutup panggilan. Dia termenung sesaat, tiba-tiba teringat profil perusahaan yang hendak mereka hubungi. Dari empat perusahaan itu, tiga di antaranya pernah menjalin kerja sama dengan cabang perusahaan Kage Summit Cinema. Hanya satu yang belum pernah menjalin produksi kerja sama dengan mereka. Perusahaan yang dimaksud adalah Izanami Film, sebuah cabang perusahaan produksi film dari Izanami Studios—salah satu divisi sebuah perusahaan hiburan, Izanami Entertainment.

Hasil produksi film dari perusahaan tersebut hampir selalu sukses. Mereka bekerja sama dengan banyak perusahaan multinasional dan menghasilkan jejeran film populer. Airi merasa bodoh karena baru mendengar nama mereka, padahal dia menggeluti bidang yang sama. Ketidaktahuan itu mendorongnya untuk mencari informasi perusahaan tersebut dengan lebih banyak lagi. Hasil yang dia dapat pada laman profil perusahaan langsung membuatnya bungkam.

Airi menatap kosong layar laptopnya. Dia bangkit berdiri dan bergegas membukakan pintu saat mendengar suara bel. Sosok Kazuki dengan ekspresi puas segera menyambut Airi. Ketika ditanya ada apa, dia hanya menyeringai dan memberikan plastik berisi ramen hangat pada Airi. Sosoknya telah menghilang di balik pintu kamar sebelum Airi sempat memanggilnya.

Menoleh pada Ethan, Airi bertanya, "Apa saja yang kalian lakukan?"

Ethan mengedikkan bahu. "Jalan-jalan."

"Apa yang kautunjukkan?" Airi meralat pertanyaannya.

Senyuman separuh merambat di bibir Ethan.

"Pameran Robot Internasional."

Airi mengerjap. Dia lalu mendengkusan tawa.

"Pantas saja," komentarnya. "Dia takkan sesemangat itu kalau bukan untuk ... robot?" Airi mengerling pada ramen hangat yang dia terima. "Kelihatannya kau memberi tahu Kazuki banyak hal tentangku."

"Justru aku heran kenapa kau bisa tak memberitahukan kegilaanmu terhadap ramen."

Mengedikkan bahu, Airi membalas, "Ramen bukan makanan yang baik untuk pertumbuhan. Aku tak ingin dia bermasalah seperti ibunya."

Ethan mendengkuskan tawa. Dia menolak tawaran Airi untuk mampir.

"Aku ada shift malam," jelasnya.

Airi mengangguk. Dia masih membuka pintu sampai Ethan berbalik. Namun, alih-alih segera pergi, pria itu kembali menghadapnya. Dia menanyakan kegiatan Airi hari ini.

"Beberapa meeting dan hal-hal lain, klise."

"Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Ethan dengan tiba-tiba.

Airi mengerjap, tak mengantisipasi datangnya pertanyaan itu.

"Yeah, aku baik-baik saja."

"Kau kelihatan sedang bermasalah." Dia menatap Airi lamat-lamat. "Apakah dia—"

Airi segera menggeleng.

"Tidak. Tidak. Pertemuanku dengan bos besar sedikit tidak lancar dan aku sedang memikirkannya," ungkap Airi.

Ethan kentara sekali masih terlihat ragu. Airi kembali meyakinkannya dengan beralasan bahwa dia sedang merancang rencana proyek barunya. Setelah merasa cukup yakin pada kondisi Airi, pria itu pada akhirnya mengangkat kaki.

Sepeninggalan Ethan, Airi mengembuskan napas pelan. Banyak orang yang kesulitan memahaminya, tapi Ethan bukanlah salah satu dari orang itu. Mereka berdua telah bersama sejak kecil. Tepatnya sejak mereka memasuki sekolah dasar. Ethan adalah kakak kelasnya. Dia anak laki-laki yang baik, satu-satunya anak yang melerai dan membelanya ketika dia terlibat keributan dengan anak lain.

Sama seperti Airi, Ethan berasal dari panti asuhan. Mereka adalah yatim piatu. Ethan merasakan beban yang juga dirasakan Airi sehingga dia dapat bersimpati padanya. Mereka mungkin dekat karena kesamaan tersebut. Hanya saja, tak seperti Airi, saat itu Ethan telah mendapatkan orang tua baru. Dia diasuh oleh keluarga berkecukupan dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Bersama dengan Ethan, Airi mengenal banyak orang, salah satunya Shizune Tatsuki, seorang dokter yang menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya tinggal. Shizune memang tak mengadopsi Airi secara langsung. Namun, dia membiayai sebagian besar kebutuhan Airi, termasuk pendidikan. Dia pulalah yang membantu Airi mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri meski Airi sedang menghadapi kondisi sulit.

Ethan mungkin terlalu lama mengenalnya hingga membuat Airi kesulitan menyembunyikan keresahannya.

Ketika mendengar masalah yang dihadapi perusahaan, Airi langsung tahu bahwa salah satu solusinya adalah dengan mengajukan tawaran kolaborasi produksi. Dari situ, Airi mulai mengenal Izanami Entertainment, sebuah industri hiburan yang sekarang dipimpin oleh sosok bernama Juan Hasegawa.

Nama Hasegawa berhasil mematik rasa penasaran Airi. Sesaat setelah mencoba mengulik lebih jauh tentang perusahaan tersebut, dia langsung mengerti, Izanami adalah saudara dari perusahaan telekomunikasi multinasional yang bernama Izanagi Communication Inc. Jika industri hiburan ternama itu dipimpin oleh Juan Hasegawa, maka industri telekomunikasi raksasa yang satunya dipimpin oleh sang adik, Kei Hasegawa, seorang pria yang menjadi benang penghubung masa lalu Airi.

Airi selalu tahu bahwa Kei akan menjadi orang sukses. Dia hanya tak menyangka bahwa Kei Hasegawa akan ... sesukses itu.

Keterkejutan ini membuatnya urung untuk merancang rencana kerja sama dengan anak perusahaan Izanami. Airi dilanda keraguan akibat kekhawatiran yang ternyata masih terpendam dalam dirinya. Padahal, dia hanya membutuhkan kerja sama dengan Izanami Entertainment, bukan saudara dari perusahaan tersebut. Jika proposalnya diterima, mereka akan menjalankan proyek film bersama. Dia akan bekerja, bukan melakukan hal lain atau terlibat dalam masalah lain.

Airi mengambil napas dalam. Dia menutup pintu, bergegas ke dapur, dan duduk di dekat pantri untuk menyantap makanan favoritnya.

Rasa khas ramen langsung memenuhi indra perasanya, membawanya pada memori masa muda yang telah berlalu, memori yang telah dia terima, memori yang telah menjadi bagian hidupnya dan tak lagi akan dia coba untuk dihindari.

Kenangan itu mengingatkannya bahwa dia tak lagi takut, khawatir, ataupun risau.

Ketika kembali ke ruang kerja, Airi tahu bahwa dia memang baik-baik saja. Kemungkinan untuk kembali bertemu tidak lagi meresahkannya, sebab mereka telah lama selesai. Airi tak lagi bermasalah dengan sosok itu, begitu pula sebaliknya. []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height