Shadow of The Past/C4 [3] Sisi Lain
+ Add to Library
Shadow of The Past/C4 [3] Sisi Lain
+ Add to Library

C4 [3] Sisi Lain

MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama.

Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua.

Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah.

Meja berbentuk oval di sebuah ruangan megah tengah dikelilingi oleh dua orang wanita dan tiga orang pria. Di atas meja berbalut kaca itu tersaji hidangan makan yang akan membuat orang yang tak berkesempatan mencicipnya menelan saliva. Sosok yang tampak seperti kepala keluarga melambaikan tangan pada tiga orang pelayan, mengisyaratkan bahwa mereka sudah dibolehkan pergi.

Keheningan yang merambat di udara terasa menyesakkan. Namun, tak ada dari mereka yang memperlihatkan ketidaknyamanan. Mereka semua telah terbiasa. Di dalam rumah besar ini seolah telah tercantum peraturan tak tertulis yang meminta para anggota keluarganya untuk tak menunjukkan perasaan tersebut.

Kei sendiri terlalu enggan untuk berbasa basi. Diminta hadir pada acara makan malam keluarga berarti menyiratkan masalah. Dia takkan angkat bicara kecuali memang ditanya. Suara sang ibu, Mei Hasegawa, terdengar samar di telinganya. Dia sedang mengajak bicara sang menantu tercinta yang tak kunjung mendapatkan momongan bahkan setelah tiga tahun pernikahan.

"Izumi masih belum diperbolehkan mengandung setelah operasi itu, Ibu," jawab sang putra sulung, Juan Hasegawa. Nada suaranya terdengar amat monoton dan tak beremosi.

Perempuan berparas manis dengan rambut hitam panjang yang duduk di sebelah Juan menoleh pada sang ibu mertua. Senyuman bersalah tersemat di bibirnya.

"Aku akan berusaha untuk mempercepat penyembuhannya," kata Izumi.

Kalimat tadi adalah pernyataan retoris. Meskipun tanpa kerelaan, sudah seharusnya Izumi melakukan itu. Mei membalas senyum Izumi. Dia memberitahunya untuk tak perlu buru-buru.

"Kesehatanmu jauh lebih utama, Sayang," ungkapnya. "Aku dan ayah kalian sama sekali tidak mempermasalahkannya. Tapi, banyak orang-orang yang penasaran. Skandal akan selalu menodai nama sebuah keluarga. Kita tidak boleh merusak reputasi keluarga ini. Benar begitu, Yah?"

Pria paruh baya yang duduk di samping Mei pun mengangguk.

"Jaga istrimu baik-baik, Juan. Apakah kalian sudah mengunjungi Nakada-sensei?"

Juan mengiakan. "Beliau menanyakan kesehatanmu. Sebaiknya kau juga mengunjunginya."

Daiki kembali mengangguk. Ekspresinya tampak tak berubah, tapi kedua putranya tahu bahwa ayah mereka kelihatan puas atas informasi yang didapatnya.

"Sudah saatnya kami berbicara lebih serius agar Rodo tak selalu merasa di atas angin," ujar Daiki. "Kesehatan kakek kalian mulai memburuk. Dia bersikeras untuk menuliskan surat warisan." Dia menatap kedua putranya. "Aset Hasena Group sebagian besar akan jatuh di tangan Rodo sebagai putra sulung. Dia juga sepertinya akan mendapatkan seluruh warisan keluarga ini karena kakek kalian menghendaki penerus dari anak buyutnya, bukan cucu-cucunya. Dengan Juan dan Izumi yang belum dikaruniai keturunan, kita tak bisa berbuat banyak."

Kuyahan Kei terhenti seketika. Dia sudah mendengar berita kesehatan kakeknya, Tajima Hasegawa, tapi dia tak tahu tentang kriteria pewaris yang dimaksudkan. Pertanyaan Kei atas tujuan dari makan malam ini pun segera terjawab. Dia menatap piring dengan kosong ketika kembali mendengar ucapan ayahnya.

"Apa yang akan kalian lakukan jika Rodo mendapatkan semuanya?"

Pertanyaan tersebut bukan hanya ditujukan untuk Kei. Namun, tatapan sang ayah yang terpatri pada Kei menyiratkan bahwa pertanyaan itu diutarakan khusus untuknya.

Kei merasakan kemuakkan yang mulai memuncak. Dengan suara rendah dan terkesan tidak peduli, dia berujar, "Mungkin kita perlu membunuhnya? Seperti yang kaulakukan pada Kepala Polisi Shuji Harada—"

"Kei," tegur Mei. Dia tidak membentak ataupun meninggikan suara, tapi sudah cukup dikenali Kei sebagai bentuk peringatan.

Kei menatap kedua orangtuanya. Dia mengulas senyuman palsu.

"Aku bercanda," ujarnya pendek, benar-benar tidak peduli pada peringatan sang ibu. Dia memilih untuk menegaskan sesuatu sebelum dipojokkan oleh orang tuanya. "Jika kalian ingin aku menikah, semuanya akan sia-sia saja. Kesehatan kakek sudah memburuk. Aku juga tak bisa mendapatkan seorang keturunan dalam waktu instan." Dengan sengaja, dia memberi jeda sesaat sebelum berkata, "Jangka waktu untuk mengandung adalah sembilan bulan. Bukankah begitu, Ayah?"

Merah di telinga Daiki menunjukkan kemarahan. Dia menyelesaikan makan dengan cepat dan langsung beranjak dengan alasan kepentingan kerja. Sebelum pergi, dia sempat mengerling pada istrinya, memintanya mengurus sisa makan malam yang gagal ini.

Kei menahan dengkusan. Dia menurut saja ketika sang ibu memintanya tinggal sementara Juan dan Izumi meninggalkan ruangan. Mereka telah menghabiskan hidangan yang disajikan. Acara makan malam ini telah selesai. Namun, kelihatannya Kei harus mempertahankan kesabarannya lebih lama lagi.

Dia menyender di punggung kursi selagi mendengar ucapan Mei.

"Keluarga Huang akan langsung bersedia membagi sahamnya dengan sukarela jika kau menikahi putri tunggal mereka," kata Mei terang-terangan. "Apa yang membuatmu terus menunda pertunangan itu? Dia perempuan baik-baik, sopan, beretika, dan yang jelas takkan mempermalukanmu. Apa lagi yang kurang darinya?"

Kei menarik napas pelan, mencoba menata emosi. Ketika yakin untuk tidak terpancing kemarahan, dia berujar, "Kecerdasan."

Mei Hasegawa menatap putra bungsunya lurus-lurus.

"Dia adalah lulusan Oxford University—"

"Dengan mengandalkan bantuan seorang penerima beasiswa yang sekarang menjadi profesor di sana," timpal Kei. Dia mengerling pada ibunya. "Dia beruntung karena berasal dari keluarga berada. Mungkin aku akan lebih menghargainya kalau dia berhenti memohon padamu untuk membuatku menikahinya."

Mei tak terpancing dengan ucapan Kei. Dia masih kelihatan tenang, terlalu tenang sampai ketenangan itu terasa menyeramkan.

"Apakah kau masih berhubungan dengan artis murahan itu?"

"Siapa yang kaumaksud?" ujar Kei dengan kaku.

Mei melipat kedua tangannya di depan dada. "Perempuan yang dulu sering menggoda kakakmu." Dia mengamati Kei lamat-lamat. "Apakah sekarang dia menargetkanmu? Foto kalian yang baru keluar dari hotel telah beredar di kalangan kita. Apa lagi skandal yang harus ibu bersihkan?"

"Kami hanya berteman."

"Tentu saja kalian berteman. Dulu kakakmu juga mengatakan hal yang sama."

Seruak emosi telah menggumpal dalam dada. Kei berusaha mengosongkan pikiran selagi mengingatkan bahwa dia takkan mendapatkan keuntungan apa pun dengan meluapkan rasa marahnya. Yang perlu dia lakukan adalah menyudahi pembicaraan ini.

"Selama ini, aku telah mengikuti segala kenginanmu, termasuk membiarkanmu menentukan jalan karierku. Kau telah membuat Juan melakukan hal yang sama dengan ikut campur kehidupan pribadinya. Seperti yang kau tahu, aku akan tetap menuruti kemauanmu dan ayah jika kalian tak mencampuri kehidupan pribadiku. Aku bukan Juan yang bersedia mengorbankan keinginannya agar dapat membalas budi.” Tak mengindahkan ekspresi masam lawan bicaranya, Kei melanjutkan, “Aku ada janji malam ini, selamat malam, Ibu."

Menyambar jas hitamnya, Kei melenggang pergi dari ruang makan. Dia menarik pintu geser yang terbuat dari kayu spesial dan mengenakan alas kaki sebelum bergegas keluar. Halaman luas yang dihiasi kolam ikan segera terpampang di hadapannya. Kei memasuki mobil yang terparkir di halaman luas itu dan menutup pintunya dengan cukup keras. Embusan napas panjang keluar dari bibir. Dia hendak menghidupkan mobil ketika mendapatkan sebuah pesan singkat dari Juan.

"Kau masih waras?"

Kei mendengkus. Dia mengetikkan balasan.

"Kakak berengsek.

Katakan di depanku kalau kau berani.

Sebaiknya kau segera menggunakan otak brilianmu untuk mengatasi bencana ini."

Sebuah balasan segera didapatkan Kei.

"Nikahi Jia."

Kening mengerut. Kei mengetikkan kata 'Fuck u. Sialan, kau memasang penyadap lagi?'

"Nope," tulis Juan.

Kei berdecak dan kembali mengetik.

"Bullshit

Aku menemukannya

Mau menitip salam pada Yukie?"

Lima menit berlalu, Kei tak mendapatkan balasan. Dia menahan tawa, membayangkan ekspresi datar Juan yang tak bisa membalas ucapannya karena satu nama itu. Kei meletakkan ponsel di atas dashboard. Dia menghidupkan mobil dan hendak berjalan ketika kembali mendapatkan beberapa pesan masuk.

"Aku akan pergi ke London selama tiga hari.

Gantikan aku untuk menghadiri rapat dengan para co-production.

Kita akan mendapatkan proyek besar dari anak buah Shigaki."

Sejak kapan Akito Shigaki mau menurunkan gengsinya untuk bekerja sama dengan mereka?

Kei ingin bertanya, tapi yakin bahwa Juan takkan membalas akibat candaan tadi. Pada akhirnya, dia hanya mengetikkan kata 'ya'. Dalam perjalanan, dia mencoba menelan rasa penasarannya karena besok dia akan tetap mendapat jawaban. []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height