Shadow of The Past/C5 [4] Melihat
+ Add to Library
Shadow of The Past/C5 [4] Melihat
+ Add to Library

C5 [4] Melihat

AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka.

Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan.

"Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan.

Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sudah begitu rapi. Dia mengenakan celana kain kecokelatan dan blus putih. Rambut pirang sepunggungnya tergerai lurus, tampak tertata dengan indah.

Ketika Airi menyajikan sandwich ke atas konter, Kazuki menjawab, "Kogakuen Junior High."

Airi duduk di seberang Kazuki. Alisnya mengernyit.

"Sekolah swasta?" tanyanya.

Menegakkan diri. Kazuki mengangguk. "Ibu lulusan sana juga, 'kan?"

"Iya, waktu SMA," balas Airi pendek. "Yayasan Sekolah Kogakuen terdiri dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pada jenjang sekolah dasar, kau masih bisa berpindah sekolah. Tapi, ketika SMP, kau akan direkomendasikan untuk tetap meneruskan SMA di sana."

"Tak masalah." Kazuki meraih potongan sandwich di hadapannya. "Hanya saja ... apakah nanti aku harus memakai seragam?"

Airi baru ingat, dia belum mengenalkan Kazuki pada sistem sekolah di negara ini.

"Ya, seragam tanpa aksesoris." Airi menunjuk gelang tali di pergelangan tangan putranya. "Itu jelas tidak boleh."

"Ini kenang-kenangan dari teman-temanku."

"Kalau begitu simpan saja."

"Aku akan tetap memakainya."

Airi ingat, dulu dia sempat mengenakan gelang yang serupa, di tangan dan kaki. Keduanya adalah hadiah dari ... seseorang. Dia akan selalu diteriaki oleh guru bimbingan konseling ketika mereka bertemu. Apalagi saat sang guru melihatnya di jam olahraga.

Kenangan itu menerbitkan seulas senyum di bibirnya. Airi ikut memakan menu sarapan mereka.

"Kalau begitu pakai saja," ujarnya. "Kau hanya akan diteriaki oleh guru konseling."

"Memakai aksesoris takkan mengurangi kepintaran siswa," komentar Kazuki.

Airi mengerjap. Sebuah ingatan samar terngiang di kepalanya, ingatan ketika dia menolak menerima hadiah itu dan diyakinkan dengan kalimat serupa seperti yang baru saja diucapkan Kazuki.

"Ibu tidak kelihatan seperti siswa yang bakal menuruti peraturan," lanjut Kazuki lagi.

Perhatian Airi kembali pada putranya. Dia mendengkuskan tawa dan menambahkan porsi sarapannya pada Kazuki.

"Yang penting nantinya kau tidak terlibat masalah besar, oke?"

Dia berdiri dan menaruh bekas perabotan makan ke dalam wastafel. Kazuki masih duduk di belakangnya. Airi mencuci tangan dan mengeringkannya. Dia menyambar blazer abu-abu yang sempat dia taruh di atas kursi, kemudian menoleh pada Kazuki, memintanya mencucikan piring-piring kotor dan memberi tahu tentang agenda pendaftaran sekolah.

"Siang nanti ibu akan mengantarmu mendaftar. Jadi, tetaplah di apartemen. Jangan main-main dulu dengan Ethan."

Kazuki hanya mengiakan. Dia menarik diri ketika hendak mendapat pelukan.

"Ah, tidak, tidak. Pergilah. Kau sudah terlambat."

Airi tidak mendengarkannya. Dia merangkul Kazuki erat dan menepuk punggungnya pelan.

Kazuki mengerang protes. Ketika Airi berbalik menuju pintu utama, dia berseru, "Aku sudah besar, Bu! Jangan lakukan itu lagi, apalagi ketika aku sedang bersama teman-teman!"

Tetap berjalan menuju ruang depan, Airi membalas, "Iya, aku juga mencintaimu."

"Berikan cintamu untuk orang lain!"

Airi menahan tawa. Dia mengambil tas dan bergegas keluar apartemen. Angka di jam tangannya menunjukkan pukul tujuh. Dia punya waktu dua jam sebelum mempresentasikan proyek besar dari Hiraishin Picture kepada pihak Izanami Studio. Sebelum ini, dia akan melakukan rapat singkat bersama beberapa koleganya. Semoga saja nanti dia tidak dirundung ketidakberuntungan. Keberhasilan penawaran kerja sama ini akan menjadi penentuan kariernya di dunia kerja. Dia jelas-jelas tidak boleh gagal.

oOo

Pagi hari adalah waktu krusial yang dapat menentukan suasana hati seseorang selama sehari penuh. Kei tidak dijengkelkan oleh apa pun pagi ini. Dia cukup menikmati pagi cerah di musim semi. Sampai kemudian Shou Hisaya memutuskan untuk menemuinya dengan tujuan memberikan informasi buruk. Dia adalah salah satu dari sedikitnya orang yang dianggap teman oleh Kei. Selain menjadi teman, dia juga merupakan kolega kerja yang dapat diandalkan. Shou merupakan roda utama dari Hisaya Inc.—salah satu perusahaan real estate multinasional terbesar di Jepang.

Sebagai teman yang sama-sama menjadi eksekutif muda, mereka berdua tentu saja telah menjalin kerja sama. Baik Kei maupun Shou telah menanamkan saham pada masing-masing perusahaan. Kei bahkan memiliki saham yang lebih besar di perusahaan sang kawan dibanding dengan miliknya sendiri. Jadi, ketika Shou memberi tahu tentang percikan masalah di perusahaannya, masalah itu sudah pasti ikut menjadi tanggung jawabnya.

Mereka berdua sedang duduk berhadapan di ruang kantor Kei. Setiap kalimat yang terucap dari bibir temannya itu berhasil merusak pagi cerah Kei.

"... tidak lagi kompeten sehingga harus diganti. Padahal, pada rapat dewan komisaris akhir tahun lalu tak ada yang meragukan hasil kerjaku," ungkap Shou selagi menahan kekesalan. "Aku dijebak."

Kei menyilangkan kaki. Dia menatap Shou lurus-lurus.

"Kau mengencani sekretarismu sendiri."

Kalimat tadi adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.

"Kami tidak berkencan."

"Kau tidur dengannya?" tanya Kei dengan suara monoton.

"I was drunk."

"But sober enough to fuck her."

Shou mengumpat pelan, pada akhirnya menyerah untuk kembali mengelak.

"Yeah, I'm fucking messed up. Kami memang berkencan dan aku hendak membantunya mendapatkan pekerjaan lagi agar kami tak berada di satu perusahaan yang sama. Tapi, mereka mengatahui ini sebelum aku sempat memindahkannya. Bisa kaulihat? Mereka pasti telah mengintaiku sejak lama. Jika tidak, kenapa masalah ini tiba-tiba datang tepat sebelum rapat evaluasi awal tahun?" Shou menautkan kedua telapak tangan dan menumpukannya di atas paha. "Aku punya dugaan. Ini adalah ulah investor baru itu. Dia memberikan pendanaan proyek di Shanghai tahun lalu."

Kei mencoba mengingat-ingat. Sebuah nama langsung hadir di kepalanya.

"Subaru Kato," gumamnya. "Pimpinan dari cabang perusahaan farmasi nasional." Kening Kei mengernyit. "Aku bahkan ragu untuk mengeluarkan dana sebanyak itu. Bagaimana bisa dia mendanai seluruh proyek di Shanghai?"

Shou menghela napas panjang dan menyugar rambut dengan lelah.

"Perusahaannya baru saja mendapatkan suntikan dana dari Shinsei."

Shinsei adalah perusahaan makanan dan minuman terbesar di Asia yang sekarang dikelola oleh saudara sepupu Kei, Takeo Hasegawa—putra bungsu Rodo Hasegawa.

Keterkaitan Shinsei dengan masalah yang menimpa Shou sudah pasti mencurigakan, terlebih untuk Kei. Dia teringat pembicaraan pada acara makan malam kemarin, mengenai Rodo yang akan dipastikan mendapatkan seluruh aset Hasena Group jika mereka tidak melakukan apa pun. Untuk mengantisipasi keadaan itu, Kei telah melakukan berbagai antisipasi dengan memperbanyak koneksi pada korporasi lain. Dengan begitu, meskipun Rodo tetap menguasai sebagian besar aset Hasena Group, dia takkan dapat menyingkirkannya maupun Juan.

Meskipun begitu, rencana Kei sepertinya telah diprediksi oleh sang paman. Dia kembali kecolongan.

Kei menahan diri untuk tak memijat pelipisnya. Dia menatap Shou lurus-lurus, kentara sekali menahan geram.

"Kenapa harus sekretaris?"

Shou kelihatan bersalah, tapi dia tetap membela diri dengan berujar, "Karena hanya dia wanita yang kulihat selama berhari-hari. Aku tak mau ambil risiko dengan bermain-main bersama public figure. Tak semua orang sepertimu yang bisa mendapatkan Yukie Kazahana, aktris terpanas dan terpopuler selama lima tahun terakhir yang mau menjalin hubungan tanpa status dan tanpa tuntutan komitmen apa pun, Berengsek."

Kei hanya berdecih pelan. Dia menyesap minuman berkafein yang tersaji di hadapannya. Jam dinding telah menunjukkan pukul setengah sembilan. Dia kembali menatap Shou untuk memintanya tenang.

"Aku masih bisa membelamu di rapat dewan komisaris nanti," kata Kei. "Persentase keberhasilannya takkan begitu besar. Prediksiku, kau bakal lengser dari jabatanmu yang sekarang. Para orang tua tak pernah menoleransi skandal semacam ini meskipun dulu mereka juga sering terlibat kasus serupa, mungkin sampai sekarang pun masih." Kei mengembuskan napas pelan. "Hanya saja, dewan komisaris di perusahaanmu didominasi oleh keluargamu sendiri. Paman dan ayahmu takkan membiarkan perusahaan keluarga jatuh ke tangan orang asing. Mungkin sekarang saatnya kau menyerahkan posisi itu pada dia."

Ekspresi Shou teramat kaku. Dia kentara sekali tak menyukai gagasan yang diajukan Kei.

"Hisaya lebih baik dikelola oleh sepupumu daripada orang lain," komentar Kei. Dia mengerling pada jam tangannya. "Hiroki berbeda dengan kita. Dia tak berambisi besar. Kau bisa merebut posisinya setelah kasus ini reda."

Sebelum membicarakan semua ini, Kei telah mengatakan bahwa dia harus bergegas ke Izanami. Shou kehabisan waktu. Dia mengerti bahwa pembicaraan mereka sudah selesai, Kei hanya akan membantunya lewat cara tadi. Yang dapat dilakukan Shou hanyalah menunggu hingga musibahnya berlalu. Waktu akan membuat orang-orang lupa dengan skandal kecil semacam ini. Kei benar, dia hanya perlu menunggu.

"Sebesar apa pun usaha kita untuk berhati-hati, lawan akan selalu menemukan celah," kata Shou ketika mereka berada di dalam elevator. "Sebaiknya kau berhati-hati. Dulu Juan sudah pernah tersandung. Sekarang giliranku. Kau benar-benar harus menjauhi masalah semacam ini. Setidaknya sampai kita menyingkirkannya."

Senyuman separuh tersemat di bibir Kei.

"Aku bukan kalian." Kei menoleh pada temannya. "I don't fall in love."

Dentingan elevator terdengar, menandakan pintu yang terbuka.

Shou mendengkus pelan.

"Yeah, you better be. It suck to be controlled by emotion."

Mereka berpisah setelah memasuki mobil masing-masing. Kei menyetir dengan cepat ketika melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sembilan. Jalanan Tokyo tak sepadat ibu kota pada umumnya karena penggunaan kendaraan umum yang efektif. Dia memanfaatkan jalanan lengang untuk menaikan kecepatan mobil. Tak sampai lima belas menit, dia telah mencapai halaman sebuah gedung pencakar langit. Ukiran nama Izanami Entertainment terpampang di atas gedung. Kaca-kaca ruangan dalam bangunan itu tampak mengilap oleh pantulan cahaya.

Kei mengarahkan mobilnya menuju basement. Dia bergegas masuk ke dalam gedung, menggunakan elevator untuk mencapai lantai yang dituju, dan beberapa kali mengangguk maupun membalas sapaan karyawan di sana.

Di depan sebuah ruangan konferensi, berdiri seorang karyawan yang dikenal Kei sebagai eksekutif asisten dari Juan. Dia tampak sedang menunggunya. Di tangan si asisten tergenggam berkas-berkas untuk keperluan rapat. Kei diberi tahu bahwa para peserta rapat telah menunggunya meskipun Kei datang lima menit lebih awal. Dia hanya mengangguk pada si asisten dan menerima berkas-berkas itu.

Karena tak punya waktu untuk membaca berkas tersebut di sini, dia hanya sempat melihat kelengkapan berkas sebelum memasuki ruang konferensi.

Mata Kei mengedar sekilas, melihat jejeran kursi yang telah dipenuhi oleh para kolega kerja. Sebuah meja panjang dengan desain semi-kotak berada di tengah-tengah ruangan. Di bagian meja yang menghadap langsung ke layar presentasi, tertata tiga buah kursi yang berdampingan. Dua di antaranya sudah terisi. Hanya kursi paling tengah yang masih kosong. Kei bergegas menghampiri. Dia mengulas senyum formal selagi sedikit membungkukkan badan sebagai bagian dari etika.

Dua pria paruh baya yang duduk di samping Kei merupakan direktur dari Izanami Studio dan Izanami Publishing, perusahaan cabang milik Izanami Entertainment. Mereka berbincang kecil, sedikit berbasa-basi, sebelum Kei duduk dan membuka acara tersebut.

Kala itu, Kei hanya menatap sekilas calon-calon kolega kerja Juan. Dia tak terlalu peduli pada identitas pribadi mereka. Para karyawan ini bekerja atas nama perusahaan. Kei hanya perlu melabeli mereka atas nama perusahaan alih-alih mengenal dan menghafalkan nama seluruh orang.

Kenalan kerja akan selalu datang dan pergi. Dia tak punya waktu untuk mengenal masing-masing wajah mereka.

"Sebelum memulai, saya berterima kasih untuk rekan-rekan yang telah memilih Izanami sebagai partner kerja sama. Atas nama Izanami, saya mengucapkan selamat karena proposal yang kalian tawarkan telah berhasil menarik perhatian kami sehingga kita dapat melihatnya lebih jauh melalui presentasi di rapat ini," tutur Kei.

Nada suara Kei terdengar profesional alih-alih monoton ataupun datar seperti biasa. Dibanding dengan pribadi Kei yang sesungguhnya, Kei yang sekarang terlihat cukup ramah, tidak terkesan dingin ataupun mengintimidasi. Bekerja selama lebih dari satu dekade di ranah ini telah berhasil menyempurnakan topeng dari seorang Kei Hasegawa.

Dia lanjut berbicara dengan mengutarakan alasan di balik kehadirannya. Di sela perkataan, dia sempat menyebutkan bahwa tingkat kinerjanya dan Juan tidaklah jauh berbeda, jadi mereka tak perlu merisaukan hasil penilaiannya.

"Kami tetap seorang kakak beradik. Sejauh-jauhnya perbedaan kami mungkin hanya untuk urusan pasangan hidup," gurau Kei, begitu sadar bahwa pembicaraan tentang dia yang masih juga melajang—ketika sang kakak telah menikah—sangatlah populer di kalangan para pengusaha dan orang-orang elite.

Tawa rendah mengisi kesenyapan ruang.

Kei lanjut berbicara selagi membuka-buka berkas yang berisi profil singkat perusahaan dan garis besar proyek yang diajukan oleh mereka. Di sana tertera nama-nama petinggi perusahaan itu, sekaligus nama perwakilan pihak yang akan menjelaskan proyek yang ditawarkan.

Terdapat empat bekas yang tersedia. Kei memutuskan untuk memulai dari bagian perfilman.

"Proyek adaptasi sebuah cerita populer ke dalam film aksi layar lebar memang sangat riskan. Banyak perusahaan produksi film yang gagal mengadaptasi karya hebat semacam itu dan malah mendapat banyak kerugian. Padahal proyek tersebut sangat berpotensial untuk menguasai pasar," awal Kei. "Izanami akan sangat berkenan menerima tawaran ini setelah mempertimbangkan presentasi yang akan disampaikan. Untuk mengawali pengenalan proyek tersebut, saya mempersilakan perwakilan dari Hiraishin Picture untuk membawakan presentasinya."

Kei memindai dan membaca nama-nama petinggi cabang perusahaan tersebut. Sebuah nama di kolom presenter berhasil membuatnya bungkam.

The executive producer as presenter

Ms. Airi Ishihara

Kedua mata mengerjap. Kei termangu sesaat sebelum membacakan nama tersebut. Suara tepukan tangan memenuhi ruangan. Tapi, saat itu Kei masih menatap kertas di kedua tangannya, memastikan bahwa dia tidak salah baca.

Nama yang tertera di sana masih sama.

Kei mengalihkan pandangan. Dia mendongak dan benar-benar terpaku ketika mendapati sosok wanita berambut pirang yang tengah berdiri di hadapan mereka semua. Suara di sekitar Kei terasa berdengung. Seluruh indranya seolah macet. Dia hanya mampu melihat dia, dia yang berdiri tegak dan berwibawa. Dia yang telah bertambah dewasa, anggun, dan jelita. Hangat aura yang melingkupi masih sama. Kalaupun berbeda, hangatnya terasa lebih menenangkan—lebih nyaman.

Blazer lengan kerja Airi sedikit dilipat, memperlihatkan jam tangan standar yang melingkar di pergelangan tangan. Dia tak mengenakan sepatu berhak tinggi, tapi figurnya tetap menjulang dari kebanyakan perempuan. Riasan di wajahnya amat sederhana, tetapi berhasil memoles dan memperindah rupanya. Dia mengikat rambut panjangnya di belakang kepala, sengaja menyisakan helaian yang tak ikut terikat untuk menggantung di sisi wajah.

Kei mendapati senyum dan mendengar ucapan terima kasih yang terucap dari bibir Airi. Detik ketika kembali melihat safir itu, Kei tahu dia akan terlibat dalam masalah besar.

Kei mengatupkan mulut. Konsentrasinya buyar ketika mulai mendengar alunan suara sang wanita.

Kenapa dia harus kembali di saat-saat ini? []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height