Shadow of The Past/C6 [5] Serpihan Kenang
+ Add to Library
Shadow of The Past/C6 [5] Serpihan Kenang
+ Add to Library

C6 [5] Serpihan Kenang

MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.

Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.

Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademiknya sedikit lebih baik dari perempuan itu.

Lolos seleksi di sekolah tersebut masih bagaikan mimpi. Namun, seiring berjalannya waktu, Airi berhasil beradaptasi—meskipun dia hanya memiliki segelintir teman, khususnya teman perempuan.

Bersosialisasi dengan orang-orang yang hanya mau mengajak main ke tempat-tempat mahal tidaklah mudah. Airi juga kesulitan untuk mengimbangi percakapan anak-anak cewek yang hampir selalu membicarakan lelaki tampan, brand sepatu terbaru, maupun liburan musim panas di luar negeri. Topik pembicaraan mereka begitu asing. Ketika tahu bahwa Airi berasal dari panti asuhan—bukan dari keluarga kaya seperti mereka—dia mulai dijauhi. Parahnya lagi, dia mulai dibenci karena bergaul dengan anak-anak cowok saja, padahal pihak yang mulai menjauhinya dan membuatnya mencoba mencari teman lain adalah mereka.

Kondisi ini sudah biasa bagi Airi. Dia tak merasa terganggu dan lanjut bergaul dengan anak lelaki yang untungnya tak melulu membicarakan merk produk mewah terbaru. Airi pandai berolahraga. Dia bisa ikut bermain bola, voli, basket, maupun permainan olahraga lain. Terima kasih untuk Ethan yang membuatnya terbiasa bermain dengan anak-anak cowok. Dibandingkan anak-anak perempuan, anak-anak cowok lebih mudah menerima Airi, meskipun Airi juga masih punya beberapa teman perempuan yang memang sangat baik sehingga tak menjauhinya hanya karena dia berbeda kelas dengan mereka.

Tahun pertama di Kogakuen High School tak terlalu buruk. Dia sering diajak mengobrol dan bercanda. Mereka kelihatan nyaman-nyaman saja menjadikan Airi teman. Bahkan, mereka tak segan untuk membagi cerita dengannya, termasuk cerita tentang seorang anak pindahan bernama Kei Hasegawa.

"... di kelas yang sama denganku," kata salah satu teman dekat Airi, Nomura. "Dia selalu menyendiri dan tak mau didekati. Di pelajaran Sejarah tadi, kami satu kelompok. Tapi, kalian tahu? Dia tak mau diajak mengobrol. Dia bahkan menyuruhku diam karena terlalu banyak bicara. Bah! Menjengkelkan sekali!"

Seseorang menimpali. "Maklum saja. Dia adalah yang terkaya dari yang terkaya. Ayahku memang pemimpin perusahaan, tapi perusahaan kecilnya sama sekali tak sebanding dengan milik Hasena Group. Kalian tahu universitas seni dan telekomunikasi swasta itu? Sekolah yang akan langsung menjamin karier para mahasiswanya?"

Nomura mengernyit. Dia bertanya, "Izanagi & Izanami University?"

Sosok yang tadi menjelaskan pun mengangguk. Dia menjentikkan jari.

"Yup. Kampus swasta itu adalah milik Hasena Group."

Pembicaraan mereka terdengar asing di telinga Airi. Dengan polosnya, dia bertanya, "Hasena Group ini ... siapa? Apakah hanya aku yang tidak kenal mereka?"

Itsuki, yang sejak tadi menjadi sumber informasi mereka, segera menatap Airi dengan tidak percaya.

"Kau serius?" tanyanya.

Airi mendelik.

"Oh, terima kasih banyak, aku tak kenal mereka karena kebetulan aku tak punya orang tua yang bekerja di perusahaan besar," sinisnya.

Nomura segera menimpali, tak ingin kembali menengahi perdebatan bodoh teman-temannya.

"Hasena Group adalah salah satu keluarga paling kaya di Jepang," jelas Nomura. Beberapa saat kemudian dia meralat. "Uh, di Asia, bukan lagi hanya di Jepang."

Kening Airi mengerut samar.

"Bukankah kalian juga orang kaya?" Dia menunjuk Itsuki. "Keluargamu punya rumah sakit sendiri." Dia juga menunjuk Nomura. "Kakekmu membangun kuil, keluargamu banyak yang bekerja di pemerintahan, dan ada juga yang menjadi pemimpin perusahaan." Matanya menatap Itsuki dan Nomura. "Kalian kaya. Maksudku, tak semua orang memiliki rumah sakit pribadi dan membangun kuil sebagai bentuk kebaktian kepada dewa, ‘kan?"

Itsuki, yang sejak tadi sedang bermain-main dengan bola, meloncat dan melemparkannya tepat pada ring basket.

"Kami cuma orang biasa dibandingkan mereka. Percayalah," ujarnya. Dia menoleh, menatap perempuan yang tengah duduk di lantai gedung olahraga. "Kartu perdana yang kaupakai dibuat oleh Izanagi. Saluran televisi dan radio yang kaudengar, dikelola oleh Izanami. Camilan yang kaumakan tiap kali kita main game di rumahku? Itu semua produk dari Shinsei, perusahaan cabang Hasena Group."

Bola basket menggelinding menjauh. Itsuki berlari untuk mengambilnya.

"Kereta di beberapa stasiun yang mengantarkanmu ke sekolah? Hampir semuanya berada di bawah label Sunshin Railway." Itsuki melemparkan bola pada Nomura. "Liburan kemarin, aku ikut pamanku ke Australia. Kami menggunakan Ninshu Air, agen penerbangan yang juga berada di bawah nama Hasena Group. Lalu ...." Dia menarik Airi berdiri, memintanya ikut bermain dengan mereka. "Kau ingat dua anak kelas tiga yang kena skorsing karena ketahuan booking hotel? Tempat itu dibangun dan dikelola oleh Rinne Construction, perusahaan kontruksi yang lagi-lagi milik Hasena Group."

Nomura mendengkuskan tawa.

"Aku sekarang mengerti. Level kita jauh berbeda dengannya. Aku jadi sedikit lebih lega karena tahu alasan di balik kesombongannya." Nomura mengoper bola pada Airi. "Di mata mereka, aku dan Itsuki masih termasuk orang fakir. Jadi, kau tak boleh memeras uang jajan kami lagi, Aishi! Ayahku sangat pelit!"

Airi hanya menyeringai. "Kalau begitu, kupersilakan kalian untuk kembali menantangku. Bagi yang kalah harus membayar jatah makan siangku selama sebulan penuh!"

Keduanya langsung tertantang, tiba-tiba ingin mengalahkan seorang cewek yang sejak semester pertama telah mempermalukan ketua klub basket sekolah. Airi tak lagi memikirkan Kei Hasegawa pasca pembicaraan itu. Selain karena sikap antipati kedua temannya, yang jengkel karena mendapatkan perlakuan dingin, tapi juga karena dia tak mau terlibat masalah dengan para pemuja Hasegawa.

Mereka bersekolah di tempat yang sama. Namun, tak pernah sekalipun Airi berinteraksi dengannya. Dia hanya pernah melihat Kei beberapa kali, melihatnya tidur di perpustakaan ataupun UKS, melihatnya bermain basket seorang diri sampai malam tiba, dan tak jarang melihatnya tengah berjalan-jalan di koridor sekolah ketika jam pelajaran berlangsung. Peraturan sekolah yang cukup ketat tampak tidak berdampak untuk Kei. Airi memastikan efek itu dengan memberi tahu guru mereka bahwa ada seorang murid yang selalu menggunakan loteng pada jam istirahat.

Reaksi sang guru seperti ini, "Biarkan saja. Dia punya akses khusus buat memakai loteng."

Airi merasa terdiskriminasi. "Tapi, Sensei, aku sering melihatnya membolos kelas. Dia juga tidur di UKS. Padahal, Ayame-san selalu mengusirku kalau aku mampir tidur di sana."

Guru kelasnya membalas dengan lugas, "Dia berbeda dengan kalian, Airi-chan. Dibandingkan kakak-kakak sepupunya dulu, dia sama sekali tidak bermasalah. Kami tidak ingin mengurus masalah kecil seperti ini."

Airi memberi tahu Nomura dan Itsuki tentang masalah yang sama. Reaksi mereka berdua tak jauh berbeda dengan sang guru. Hanya saja, saat itu Itsuki menambahkan, "Dia sulit didekati. Mungkin saja, dia tahu bahwa tujuan orang-orang mendekatinya hanya untuk kekayaannya saja. Aku kenal seseorang yang mengatakan hal yang sama. Untuk sekarang aku beruntung karena dia masih mempercayaiku."

Usaha Airi untuk menegakkan keadilan pun luntur secara perlahan. Dia menyerah dan tak peduli dengan keistimewaan yang didapat si siswa baru. Dunia mereka berbeda, Airi tak mau ikut campur. Jika Kei menganggap Itsuki dan Nomura sebagai orang fakir, akan jadi apa Airi di matanya? Gelandangan yang kebetulan nyasar di sekolah mewah?

Airi sampai malas membahasnya dengan Ethan. Dia benar-benar tidak peduli. Paling tidak, sampai dia melihat Kei babak belur.

Saat itu sudah sangat sore, bahkan hampir malam. Airi baru bisa pulang setelah kebagian piket klub voli. Dia diberi tugas untuk merapikan alat-alat yang habis digunakan untuk latihan. Dia kelelahan dan sedang memikirkan repotnya kembali ke panti yang begitu jauh dari stasiun kereta, sebab minggu ini dia disuruh untuk mengunjungi panti. Lampu-lampu sekolah sudah mulai dimatikan oleh para satpam.

Airi tengah mengembalikan buku paket ke dalam loker ketika dia mendengar kehadiran seseorang. Mereka tidak berpapasan karena Airi menghindarinya. Namun, sore itu, Airi melihat Kei tengah menyender di koridor depan. Napasnya menderu, buku-buku tangannya berdarah. Dia masih mengenakan seragam sekolah, minus jas biru dongker yang selalu dipakai di atas kemeja. Melalui pantulan cahaya redup, Airi melihat memar yang cukup kentara di kulit pucatnya.

Sejak saat itu, Airi tak bisa untuk tak memikirkan Kei. Dia terus terbayang dan tanpa sadar selalu memeriksa kondisinya, mencoba melihat bekas memar yang selalu muncul di beberapa bagian tubuh. Dia punya kesempatan untuk melihat karena selalu bermain-main ke depan ruang ganti anak laki-laki ketika menunggu Itsuki dan Nomura.

Airi sedikit menyinggung masalah ini pada kedua temannya. Mereka kelihatan tidak peduli. Katanya, keluarga kaya sering menyewa pengawal. Keluarga mereka juga sangat ketat dalam mengurus anak-anaknya. Jadi, sudah sangat lumrah jika beberapa dari mereka mendapatkan hukuman.

"Aku diberi tahu ayah, kehidupan orang-orang atas sangat berbahaya," kata Itsuki. "Hasena Group menjadi sponsor utama pemilu tahun lalu. Kutebak, mereka pasti punya orang di pemerintahan."

"Kalau sekarang masih zaman monarki absolut, aku bisa membayangkan mereka sebagai bagian keluarga kerajaan," tambah Nomura. "Dan aku hanya prajurit rendahan dari kerajaan sebelah yang miskin."

Mereka berdua tertawa. Tapi, tidak untuk Airi. Mendapatkan hukuman berupa kekerasan semacam itu tidaklah benar. Kekerasan pada anak-anak tidakah benar, meskipun mereka sudah masuk masa-masa akhir remaja.

Hidup di panti asuhan mengajari Airi banyak hal. Dia punya banyak teman yang kembali mengunjungi panti untuk mengeluhkan masalah di keluarga yang mengadopsi mereka. Banyak di antara mereka yang menjadi korban pemukulan dan hal-hal lain yang membuat Airi merasa beruntung bisa dikelilingi orang-orang baik. Airi memang tak mengenal Kei. Tapi, dia tak bisa berdiam diri saat punya kesempatan untuk membantu.

Dari mana aku memulai? pikir Airi.

Dia menaruh bola terakhir ke dalam keranjang. Net voli di tengah lapangan sana telah dilepaskan. Airi merenggangkan tubuh dan menyampirkan tas sekolahnya di sebelah bahu. Dengan masih mengenakan pakaian olahraga plus kemeja yang diikatkan di pinggang, dia berjalan keluar setelah menutup lampu gelanggang. Lingkungan sekolah sudah sepi, kecuali para satpam dan beberapa penjual di kantin.

Seperti biasa, dia menaruh buku paketnya—untuk meringankan tas—ke dalam loker. Kedua kaki melangkah menuju koridor depan. Dia sedang memikirkan jadwal keberangkatan kereta ketika mendapati sosok yang beberapa saat lalu sempat menguasai pikirannya.

Mendapatinya di sekolah pada jam-jam ini sudah tak lagi mengejutkan Airi. Hanya saja, tak seperti dulu, dia kini tidak berbalik arah untuk mencari jalan keluar lain. Airi memang menghentikan langkahnya seperti biasa. Tapi, sekarang dia tak memutar badan untuk pergi.

Kei tengah duduk di sebuah gazebo di bawah pohon. Dia menunduk, menatap paving yang dijejakinya. Kedua tangan Kei tampak mengepal dengan lemah. Airi menarik napas pelan. Dia berjalan mendekat, menghampiri Kei, dan tanpa ragu langsung duduk di sampingnya.

Tak ada reaksi yang berarti. Kei hanya diam, sama sekali tak mencoba untuk mengusir ataupun beranjak pergi.

Airi ikut diam, mencoba memikirkan bahan pembicaraan.

Sebelum sempat menata ulang pikirannya, dia sudah berujar, "Luka memar akan lama hilang kalau tidak segera dikompres."

Masih tak ada reaksi apa pun.

"Memar memang lebih baik daripada luka berdarah," tambahnya, tak peduli jika tetap diabaikan. "Tapi, keduanya sama-sama merepotkan dan menjengkelkan. Bukan karena rasa sakitnya, tapi karena orang-orang akan melihatku dengan tatapan aneh, seolah aku kena penyakit menular atau apa. Mungkin mereka memang tidak pernah melihat bekas luka ataupun terlibat dengan orang-orang bermasalah yang membuatmu ingin menonjoknya dengan keras."

Hanya embusan angin yang menjawab ucapannya.

Airi membuka ponsel, melihat waktu yang telah menunjukkan pukul tujuh. Dia memasukkan ponselnya pada saku celana training.

"Kompres dengan es batu yang dibungkus kain atau apa. Jangan menempelkannya langsung pada bekas luka. Dua hari setelahnya, kompres dengan air hangat. Memar memang akan hilang dengan sendiri, tapi kompresan bisa membantu menghilangkannya dengan lebih cepat." Airi berdiri. Dia menepuk kemeja yang membalut pinggang. "Kedai Paman Watabe di kantin masih buka. Kau bisa membeli es batu di sana. Dia sedikit pelit, tapi takkan tega membiarkan anak-anak babak belur."

Ponsel Airi berdering. Dia melihat nama kontak Ethan di sana. Saat menerima panggilan, dia langsung mendengar seruan tidak sabaran.

"Kau terlambat tiga puluh menit! Kereta terakhir akan datang sepuluh menit lagi. Aku akan meninggalkanmu kalau kau tak segera sampai."

"Aku akan segera sampai."

"Larilah!"

"Aku lari."

"Kau tidak berlari."

"Aku lari, Sialan! Tahan pintu kereta untukku!"

Dari balik kegelapan, sang pemuda berambut hitam menolehkan kepala, melihat sosok yang berlari cepat ke gerbang utama. Pikirannya kosong, tak mengerti pada motif tindakan perempuan itu. Orang-orang tak pernah peduli. Mereka tak pernah mau terlibat pada masalahnya, pada keluarganya. Bahkan para guru sekalipun. Mereka tidak pernah mau repot-repot menegurnya ketika dia melanggar aturan, menasihati ketika dia melakukan kesalahan, ataupun menanyakan alasan di balik luka-luka memar yang hampir selalu menghiasi wajah maupun tangan.

Kei termangu, memperhatikan sosok yang telah menghilang di balik gerbang, memikirkan seorang siswa yang masih memerlukan kereta untuk bertransportasi. Dia tak terdengar seperti perempuan-perempuan yang haus akan perhatiannya. Dibandingkan perempuan asing ini, mereka akan selalu gagap saat bicara pada Kei. Mereka akan tampak malu-malu selagi mendapatkan sorakan semangat dari anak-anak lain di belakang sana. Dibanding dengan mereka, sosok itu sendirian, berpakaian training, berambut pendek, dan berlari tergesa hanya untuk mengejar keberangkatan kereta.

Siapa?

Esok hari dan hari-hari selanjutnya, dia pun tahu identitas perempuan itu. Bukan karena repot mencari tahu, tapi karena dia tak berhenti untuk datang bahkan setelah berkali-kali diabaikan.

Pertahanan Kei tak sekuat itu. Dia penasaran dan tak bisa untuk tetap diam ketika seseorang berkali-kali menyelinap ke tempat khusus yang seharusnya tak terjamah oleh siswa selain dia sendiri.

"Siapa kau?" tanya Kei pada akhirnya.

Yang ditanya tertawa. Tawanya sangat lepas dan ringan, bagaikan embusan angin di musim panas.

“Ternyata kau bisa bicara juga," komentarnya, tak peduli pada ketiadaan ekspresi di wajah Kei. "Airi. Airi saja. Nama belakangku tak begitu penting." Dia menoleh dan sedikit memiringkan kepala. "Namamu?"

Kei yakin, sosok bernama Airi ini sudah tahu namanya.

Namun, jawaban atas nama tadi sedikit mematik sesuatu di diri Kei, sesuatu tentang motif yang mungkin akan berbeda dengan yang lain.

Pada akhirnya, dia menjawab, "Kei. Hanya Kei."

Airi mengulaskan senyum.

Sejak saat itu, Kei lebih dapat menoleransi masalah di keluarganya. Airi mengenalkan Kei pada dunia yang tak sempat dia lihat. Dia mengenalkannya pada harapan yang selama ini tak dia percayai.

Kei dan Airi berteman—hanya berteman. Paling tidak, itulah yang mereka pikirkan hingga sebuah batasan dilanggar, sebuah awal yang akan sangat membekas di masing-masing diri mereka meskipun keduanya telah mencoba untuk melepaskan. []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height