Shadow of The Past/C7 [6] Awal
+ Add to Library
Shadow of The Past/C7 [6] Awal
+ Add to Library

C7 [6] Awal

AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei.

Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin.

Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain.

Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya dia cukup perhatian dan baik—sangat baik karena dia tak pernah membuat Airi kelaparan.

Airi tidak menyesali keputusan yang telah dia buat. Bahkan ketika Kei masih belum mau membagi cerita padanya. Airi tak ingin ikut campur dan malah membuat masalah. Dia tahu batasan privasi seseorang, jadi dia memilih untuk diam dan tak ikut campur. Setidaknya, sampai dia putus kontak dengan Kei selama lebih dari seminggu. Kei tak bisa dihubungi. Dia juga tidak masuk sekolah.

Sehari setelahnya, berita duka tentang kematian Miko Hasegawa—ibu kandung Kei—merebak di media masa. Di sana disebutkan bahwa Miko Hasegawa telah sakit-sakitan. Beliau meninggal dunia akibat komplikasi dan serangan jantung.

Airi hanya dapat termenung. Dia mengabaikan keributan di kelas atau bahkan di sepenjuru sekolah. Sebagai sekolah yang didominas olehi anak para petinggi, mereka mengenal baik siapa itu Hasegawa. Berita semacam ini termasuk berita besar, bukan lagi sekadar berita miring yang kebenarannya tak bisa dipastikan.

Hari itu masih pagi. Airi berkali-kali mencoba menghubungi Kei. Akan tetapi, sebanyak apa pun dia mencoba, nomor yang dipanggilnya tetap tidak tersambung. Kondisi ini bertahan hingga tiga hari ke depan. Airi masih belum mendengar kabar dari Kei. Dia sangat khawatir, terlampau khawatir sampai tak bisa fokus mengikuti latihan klub voli.

Airi yang tidak pernah melakukan kesalahan di permainan itu, mencetak skor kesalahan dengan berkali-kali mengabaikan bola yang mengarah padanya.

Dia ditanyai macam-macam oleh pelatih mereka. Yang dapat dilakukan Airi hanya mengangguk dan beralasan sedang tidak enak badan. Airi diperbolehkan pulang lebih awal. Akan tetapi, alih-alih pulang, dia kembali menghubungi Kei, bahkan mengirimkan pesan suara padanya, mengatakan bahwa dia akan ke rumah Kei kalau masih tak mendapatkan kabar apa pun.

Sepuluh menit setelahnya, ketika Airi sedang menunggu bus di sebuah halte, dia mendapatkan pesan singkat dari nomor asing. Pesan itu berisikan alamat penginapan atas nama Kei.

Airi tak berpikir dua kali ketika dia menaiki bus ke stasiun dan mengambil keberangkatan shinkansen dari Tokyo ke Nagano, sebuah kota yang akan memakan waktu tiga jam jika dikunjungi dengan menggunakan bus. Jika menggunakan shinkansen, perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Airi menggunakan uang simpanannya untuk memesan tiket kereta.

Dia membalas pesan dari nomor asing itu, berharap untuk kembali mendapatkan jawaban. Sayangnya, sampai dia tiba di tempat tujuan, belum ada jawaban masuk. Airi mengeratkan jas sekolah, merasakan angin musim gugur yang lebih dingin dari yang dia kira. Dia menggunakan taksi untuk mengunjungi alamat yang dimaksud. Dengan bayaran cukup besar—bagi standarnya—Airi sudah kehabisan uang tabungan yang sengaja dia kumpulkan selama dua bulan terakhir.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Airi tak merasa ragu untuk menggunakan uang tabungan.

Dia sampai di tempat tujuan sekitar dua puluh menit dari stasiun. Penginapan yang dimaksud Kei adalah sebuah vila yang jauh dari keramaian kota. Matahari telah terbenam di luar sana. Akan tetapi, sebuah taman di hadapannya masih tampak indah. Daun-daun dari jejeran pepohonan berwarna serupa dengan langit senja. Airi berdiri di hadapan sebuah gerbang tinggi. Dia didatangi oleh seorang pria paruh baya, kelihatannya merupakan orang yang diamanahi untuk menjaga vila.

"Saya ingin menemui Kei ...." Airi berdeham pelan untuk meralat ucapan. "Maksud saya Hasegawa-san."

Pria paruh baya itu memandangnya curiga. Airi menambahkan. "Saya teman satu sekolahnya." Dia menunjuk logo Kogakuen High School yang terjahit di jas sekolah. "Dari Kogakuen."

"Siapa namamu?" tanyanya.

Kei pernah memperingati Airi untuk menyembunyikan namanya dari keluarga ataupun orang yang bekerja di keluarga Hasegawa. Oleh karena itu, dia berujar, "Aiko," sebutnya, "Aiko Ishikawa."

Pada akhirnya, dia diperbolehkan masuk ke pekarangan vila. Luas halaman taman dan megah bangunan bergaya tradisional di sana hampir mengalihkan perhatian Airi. Dia membungkuk sopan pada seseorang yang tampaknya merupakan seorang pelayan. Beliau kelihatan sudah agak sepuh. Tatapannya cukup tajam, dia memandang Airi awas selagi mengatakan bahwa Tuan Muda Hasegawa tidak punya teman dekat.

"Saya temannya," kata Airi dengan keras kepala, "kami benar-benar teman. Saya tahu kalau dia maniak tomat—"

Dia langsung dipercaya.

Airi diperbolehkan masuk dan menunggu di ruang depan. Ruangan itu memiliki empat pasang sofa panjang yang sangat empuk. Lebar ruang tamunya kira-kira setara dengan keseluruhan rumah sewa Airi. Dia sedang mengamati sebuah guci raksasa yang berdiri bangga di pojok ruangan. Warnanya keemasan dan ukirannya tampak begitu kompleks, tapi kelihatan indah—bahkan untuk orang awam yang sama sekali tak mengerti seni sepertinya.

Suara langkah kaki membuat Airi menoleh. Dia terpaku saat melihat penampilan Kei yang begitu pucat, seolah tak ada sedikit pun aliran darah di wajahnya. Dengan hanya memakai celana selutut dan kaus hitam, dia hampir tak dikenali Airi. Apalagi ditambah dengan rambut yang lebih berantakan dari biasa.

Mata mereka bertemu sesaat kemudian. Kei tak banyak berekspresi, tapi suaranya terdengar jelas ketika berkata, "Kau gila?" dengan nada rendah. "Kenapa kau ke sini?" tambahnya.

Airi merasa ingin menangis saat mendengar suara serak sang kawan. Dia yakin sekali Kei kelihatan lebih kurus dari dua minggu lalu.

"A-aku khawatir," timpal Airi dengan sedikit tergagap, "menurutmu aku akan diam saja?"

Di hadapan Airi, Kei mengembuskan napas lewat mulut, masih tak habis pikir. Dia mengedikkan dagu, meminta Airi mengikutinya. Dia mengunci pintu kamar setelah mereka sampai di dalam. Ruangan tersebut begitu luas untuk ukuran kamar. Airi melihat tas sekolah Kei yang tergeletak di samping kaki tempat tidur double size. Di sana terdapat sebuah hoodie hitam yang biasa dipakai Kei. Ada dua ponsel yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Kei tidak mengatakan apa pun setelah membiarkan Airi masuk. Dia kembali duduk di tepi tempat tidur, memandang kosong lantai kayu. Kondisinya serasa meremukkan Airi. Dia bagaikan wadah kosong yang retak. Airi merasakan sesak di dada, ikut merasakan sakit hanya dengan melihat kondisinya.

Melangkah mendekat dan sama-sama meletakkan tas di atas lantai, Airi tak tahan untuk tak merangkul Kei. Dia berdiri di hadapannya yang sedang duduk di tepi ranjang. Airi merasakan deru napas Kei, juga tubuh yang sedikit gemetar. Airi menarik napas pendek, mengusap punggung sang pemuda, sangat mengerti untuk tak sembarangan bicara.

Gumaman Kei cukup didengar oleh Airi.

"Kenapa selalu kau yang menyaksikan kondisi terendahku?"

Saat itu, Airi baru sadar bahwa rambut hitam Kei terasa halus di jemarinya. Dia tak menjawab pertanyaan Kei. Melihat Kei baik-baik saja sudah sangat membuatnya lega. Airi tengah menahan seruak emosi itu. Sejak kehilangan kontak dengan Kei, dia sudah sangat khawatir. Dia khawatir jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dia takut jika dia tak bisa membantu seorang teman.

Suara Kei kembali terdengar beberapa saat kemudian. Dia mencengkeram tepi jas sekolah Airi. Kaku dalam suaranya amat kentara, seolah dia memaksakan kalimat yang sejak lama terkunci di dalam mulut.

"Kematiannya bukan karena sakit," kata Kei dengan nada rendah, "bukan komplikasi atau serangan jantung. Semuanya omong kosong."

Napas Kei seolah tersendat di tenggorokan.

"Dia bunuh diri setelah depresi selama lima tahun terakhir." Cengkeramannya di jas Airi semakin erat. "Dia bunuh diri ... dan aku tak bisa melakukan apa pun."

Remasan di jantungnya seolah menguat. Airi menarik napas pelan. Pelukan sedikit diuraikan. Dia menunduk dengan kedua tangan bertumpu di masing-masih bahu lebar sang kawan. Mata Kei tampak merah, tapi tidak berlinang atau menunjukkan tanda-tanda menangis.

"Mereka selalu bertengkar setelah saling berkhianat," kata Kei lagi, tampak tak lagi peduli bahwa dia sedang membocorkan masalah keluarga yang telah mati-matian ditutupi banyak media. "Semuanya berengsek. A fucking mess. Mereka tak pernah tidak bertengkar saat berada di satu ruangan yang sama. Bajingan itu memang tidak memukulnya. Dia hanya memukuliku dan Juan. Tapi, dia merusak barang-barang, membuatnya ketakutan."

Rahang Kei mengeras.

"Dan wanita itu, dia pengecut, penakut. Terlalu takut untuk meminta cerai pada suaminya. Takut dengan hancurnya reputasi keluarga. Dia meninggal karena lemah, tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Dia meninggal dengan memberiku rasa bersalah ini." Napas Kei memberat, dia mendengkus pahit dengan kedua tangan mengepal. "Bajingan itu bahkan masih menyalahkanku yang menambah masalah. Aku sangat ingin membunuhnya," tandas Kei. Dia menunduk selagi mengulangi kalimat terakhirnya. "Aku sangat ingin membunuhnya."

Airi merasakan kemarahan, rasa frustrasi, hingga kesedihan Kei. Dia tak tahu cerita lengkap kehidupan sosok itu. Dia memang tak tahu banyak mengenai keluarga Kei ataupun berbagai masalah di dalamnya. Kenapa seorang ayah memukuli anak-anaknya? Kenapa sepasang orang tua saling berkhianat, tapi tetap mempertahankan ikatan suci yang telah rusak? Kenapa reputasi keluarga begitu penting sampai melampaui keselamatan seseorang?

Ada banyak pertanyaan yang tak mampu dijawab Airi. Dia tidak mengerti mengapa sekumpulan orang yang sudah diberi kemudahan ekonomi masih juga mempersulit diri. Sebagian orang mungkin akan menganggapnya adil karena paling tidak mereka punya banyak uang.

Mengembuskan napas pelan, Airi kembali merangkul Kei, membiarkannya tahu bahwa dia tak lagi sendirian. Terlalu banyak informasi baru yang memenuhi kepala Airi. Dia cukup lega karena Kei berkenan mengutarakan semua itu. Tapi, dia juga ikut sakit karena tak bisa berbuat apa pun untuk membantu.

Inikah yang sudah dia tahan selama ini?

Airi menguraikan pelukan ketika merasakan tubuh Kei mulai merileks. Dia duduk di sampingnya, ikut menatap lantai kayu di bawah kaki mereka.

"Menurutku, kau hanya perlu menahannya lebih lama lagi," kata Airi tiba-tiba. "Menahannya selagi mencari apa yang bisa membuatmu bertahan. Untukku, aku selalu memiliki satu tujuan. Aku sering diremehkan oleh orang-orang sehingga aku sangat ingin menunjukkan bahwa mereka salah." Dia memperhatikan jendela kaca di kamar itu, melihat langit senja yang telah menggelap sepenuhnya. "Terkadang, kubiarkan saja mereka meremehkanku. Dengan begitu, mereka akan langsung kalah waktu melihatku menang."

Airi menyelipkan helaian rambutnya yang mulai panjang ke belakang telinga. Dia kembali meneruskan ucapan.

"Aku tak bisa mengatakan kalau aku sepenuhnya mengerti apa yang kaulalui, sebab aku memang tak merasakannya." Airi menoleh, melihat sosok pemuda yang duduk di sampingnya. "Hanya saja, kupikir akan lebih baik kalau kau bertahan selagi mencapai ... suatu tujuan? Aku tak tahu, soalnya aku juga tak punya gambaran pasti untuk apa yang mau kulakukan nanti. Saat berbagai masalah memutuskan untuk mengeroyokku, aku cuma ingin bertahan agar nantinya, di masa depan, ketika aku teringat momen-momen itu, aku hanya akan menertawakannya."

Kei balik menatapnya. Dia mengerjap pelan.

"Kedengaran bagus."

Senyuman lemah menghiasi bibir Airi.

Mereka belum sempat bercakap-cakap lagi akibat deringan ponsel Airi. Nama Ethan muncul pada layar, mengingatkan Airi bahwa dia belum sempat menghubungi ataupun memberi tahu posisinya yang sedang berada di Nagano alih-alih Tokyo. Rentetan ceramah Ethan sudah terngiang di telinga Airi. Dia sudah bersiap-siap untuk menerimanya ketika layar ponsel menggelap. Deringan berhenti, bersamaan dengan daya ponsel yang mati.

Menit selanjutnya mereka habiskan untuk mencari pengisi baterai. Airi ingin meminjamnya dari Kei, tapi dia juga tak membawanya.

"Mungkin ada di nakas," kata Kei pada Airi.

Mengerling pada empat jejer nakas pada masing-masing sisi tempat tidur, Airi bertanya, "Yang mana?"

Kei seolah baru sadar bahwa kamar ini memiliki empat nakas yang masing-masing dilengkapi lima buah laci. Dia mengedikkan dagu, menyuruh Airi mengecek nakas di seberang tempat tidur sementara dia mencarinya di dua nakas lain.

Selagi mengeceknya satu per satu, Airi hanya mendapati buku-buku dan kertas entah apa yang bacaannya akan memerlukan banyak daya pikir. Dia sudah hendak bangkit berdiri ketika membuka laci terakhir kalau saja sesuatu tidak membuatnya mengerjap. Keinginan untuk memastikan membuatnya mengulurkan tangan untuk mengambil kotak kecil itu. Airi melebarkan mata saat mengonfirmasi kecurigaannya. Telinganya sedikit memerah.

Dia hampir terlonjak ketika mendengar suara Kei yang memanggilnya.

Benda yang dia pegang segera dikembalikan ke dalam laci. Dia mendorong laci dengan gegabah sebelum berdiri dan berbalik.

Kepalanya terantuk dagu seseorang yang tak lain adalah Kei.

Airi mengusap dahinya pelan. Ketika mendongak, dia mendapati Kei yang sedang mengernyit heran.

"T-tidak ada charger," ujar Airi. Dia berdeham pelan, tiba-tiba terlihat gugup. "Oh, mungkin aku pinjam ponselmu saja. Nomornya ... ah, aku hafal nomornya."

Dia kemudian melangkah mundur dan beranjak dari depan Kei. Tingkahnya yang demikian membuat Kei bertanya-tanya. Cukup tahu bahwa Airi takkan menjawab langsung pertanyaannya, dia mencoba memeriksa laci yang tadi sempat ditutup Airi dengan gegabah. Dia mengumpat pelan saat mendapati satu bungkus ... kondom. Kemungkinan besar milik Juan yang beberapa kali menginap di sini.

Rasa malu ikut merayapi. Dia menghampiri Airi yang telah kembali duduk di tepi tempat tidur. Suasana di sekitar mereka terasa memberat akibat ditemukannya benda tadi. Airi jelas sekali tampak gugup, mungkin saja baru tersadar bahwa dia sedang berada di sebuah kamar yang terkunci bersama seorang laki-laki. Sejak beberapa saat lalu, dia selalu menghindari kontak mata Kei. Dia bahkan salah memasukkan nomor Ethan dan berakhir menghubungi nomor pribadi seorang polisi.

Kei mendengkuskan tawa ketika melihatnya semakin kewalahan karena mendapatkan ceramah panjang si polisi. Selama ini, Airi tak pernah merasa gugup, canggung, atau bahkan malu. Dia selalu menguasai diri dan tak membiarkan orang lain melihat ketidaknyamanannya. Ketika cewek-cewek lain berteriak takut karena melihat seekor serangga, Airi akan dengan mudahnya menangkap serangga tersebut dengan tangan kosong, seolah hal yang demikian sudah sangat lumrah.

Selama enam bulan mengenalnya, baru kali ini Kei melihat sisinya yang seperti ini. Dengan ekspresi bingung dan gugup itu, dia kelihatan ... manis, tiba-tiba membuat Kei ingin meledeknya.

Berbicara dengan Airi selalu terasa mudah. Mereka tak pernah benar-benar bertengkar meskipun sering mendebatkan sesuatu. Jadi, sedikit meledek juga tidak masalah, 'kan?

Hanya saja, reaksi dan suasana yang kemudian tercipta ternyata sama sekali tak sesuai dengan prediksi Kei. Airi memang mengelak tanpa sedikit pun keraguan ketika ditanya, "Kau takut bersamaku di dalam kamar?" Namun, dia hanya mematung ketika pergelangan tangannya ditahan oleh Kei. Mereka saling menatap dengan jarak wajah yang cukup dekat.

Kei sendiri ikut terpaku. Dari jarak sedekat ini, dia bisa melihat manik biru kristal Airi dengan lebih jelas. Mata itu tampak jernih, menggambarkan kepolosan dan sekaligus tekad kuat yang akan selalu membuatnya bersinar.

Ada sesuatu dalam diri Airi yang selalu terlihat menarik. Bukan hanya karena figur tinggi—untuk ukuran perempuan—dan perawakan terlatih. Tapi juga karena pembawaan dewasa dan kekanakan dalam waktu bersamaan. Ketika sudah mengerjakan sesuatu, dia akan sangat terfokus sampai lupa waktu. Dia tak pernah menganggap remeh hal-hal kecil. Baginya, semua hal dan semua orang sama-sama berharga.

Kei tidak tahu kapan dia mulai mengalihkan pandangan pada bibir ranum di hadapannya. Dia juga tidak tahu sejak kapan dia berkeinginan untuk mencoba mencicipnya.

Di sisi lain, Airi hanya bisa menahan napas ketika merasakan harum sabun dari Kei. Pandangan sang lelaki sedikit tertutup rambut ketika dia mendekatkan wajah lebih dekat, seolah memberi Airi waktu untuk menolak.

Nyatanya, Airi hanya terdiam, seakan memberi izin nonverbal.

Batasan tak kasat mata di antara mereka seolah meluruh dengan perlahan ketika pada akhirnya bibir saling menyatu, memagut dan merasakan rasa satu sama lain selagi mencoba melupakan beban berat di pundak mereka. []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height