Shadow of The Past/C9 [8] Keputusan II
+ Add to Library
Shadow of The Past/C9 [8] Keputusan II
+ Add to Library

C9 [8] Keputusan II

KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.

Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.

Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.

Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.

Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san."

"Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada protes Airi.

"Bukankah kau ada jadwal operasi sore ini?"

Shizune meletakkan nampan berisi mangkuk sup dan nasi hangat ke atas nakas.

"Masih satu jam lagi," katanya dengan santai. Dia mengerling pada Airi, memperhatikan wajahnya yang pucat. "Jangan makan ramen dulu. Aku sudah membuatkan bubur hangat di dapur. Kau bisa memanaskannya untuk makan malam nanti."

Airi mengangguk sekenanya. Dia mendorong Shizune menjauh, memintanya segera pergi.

"Nyawa seorang pasien ada di tanganmu sekarang. Jangan terlambat datang! Segeralah ke rumah sakit!"

"Kau tak perlu berdiri—"

"Bagaimana kalau kau disalahkan karena terlambat?!"

"Tidak akan terlambat—"

Airi telah berdiri dan mendorongnya sampai keluar kamar. Shizune pada akhirnya mengalah. Dia kembali memberi pesan tentang makanan dan yang lain sebelum menghilang di balik ruang tamu.

Kepala Airi masih cukup pening. Dia sedang memijit pelipis dan berpegangan pada kosen pintu ketika mendengar seruan Shizune dari depan sana.

"Jangan membeli pembalut lagi kalau persediaanmu masih banyak! Habiskan dulu sebelum beli yang baru. Benda itu tetap memiliki masa penggunaan!"

Untuk beberapa saat, Airi hanya diam, mencoba meresapi ucapan Shizune.

Dia mengernyit, merasakan kejanggalan. Detik berikutnya, dia telah kembali ke dalam kamar untuk melihat kalender—hanya untuk mengetahui bahwa sudah hampir dua bulan dia tidak datang bulan.

Tubuh Airi kontan mematung. Dia mencoba kembali menghitung angka pada kalender tersebut, tapi jumlah yang dihasilkan tetap sama.

Airi mengambil napas dalam. Dia duduk di tepi ranjang dan mencoba mencari indikasi lain yang mengarah pada suatu prediksi di kepalanya. Ketika dilanda stres, siklus bulanannya memang tidak lancar. Jadi hal semacam ini pasti bukan ....

"Kau yakin tak mau diperiksa Shizune-san? Sudah berapa lama kau mual-mual?"

Ucapan Ethan yang terngiang di kepala segera membuatnya berdiri dan menyambar jaket musim dingin. Airi bahkan tak sempat mengunci pintu ketika bergegas ke sebuah apotek terdekat. Dia dilayani oleh seorang wanita paruh baya dan langsung ditatap curiga ketika menyebutkan benda yang akan dia beli.

"Aku disuruh oleh kakak sepupuku," jawab Airi dengan lugas.

Sorot curiga si pelayan apotek langsung meluruh. Begitu mendapatkannya, Airi segera kembali ke apartemen. Dia tak sempat melepas jaket ketika menghilang di balik kamar mandi.

Degup jantung Airi tidak karuan. Dia berjalan bolak-balik selagi menunggu satu menit terlama dalam hidupnya. Selama empat bulan terakhir, dia yakin bahwa mereka tak pernah kecolongan. Mereka bukan bocah naif yang tak tahu kegunaan alat kontrasepsi.

Airi yakin dia hanya terlalu banyak pikiran. Baik karena ujian seleksi mendatang ataupun karena dilema yang dia rasakan pada Kei.

Jadi, tidak mungkin jika ....

Dua garis melintang yang muncul serta-merta merutuhkan harapan Airi. Dia membuangnya ke tempat sampah sebelum duduk dengan kasar di atas closet. Hanya tatapan kosong yang terpancar dari matanya. Tak ada teriakan, tangis, ataupun tawa. Dia hanya mengusap wajah dengan kasar selagi mengembuskan napas dalam-dalam. Kedua tangan menyugar helaian rambut, sedikit menariknya guna mengurai rasa pening yang semakin menjadi.

Ketika kembali ke dalam kamar, dia segera menghabiskan sup buatan Shizune dan memakan obat penurun demam. Satu jam selanjutnya, dia telah kembali di depan bangunan yang kemarin dia tinggalkan selagi menahan tangis. Airi mengusap kedua tangannya, mencoba menghilangkan sengatan udara dingin. Dia berhenti melangkah saat melihat keberadaan sebuah mobil hitam. Terdapat logo merk ternama pada figur mobil itu.

Airi menoleh. Dia melewati gerbang dan melangkah mendekati pintu masuk yang sedikit terbuka. Tangan yang tersembunyi di saku jaket tanpa sadar mencengkeram kain di dalamnya ketika mendengar percakapan—tepatnya perdebatan—yang tengah terjadi di dalam sana.

"... tidak seperti ini! Kau harus sadar siapa dirimu. Apakah kau tidak belajar dari anak bungsu Rodo?!"

"Dia hanya temanku!" seru Kei. Baru sekarang Airi mendengarnya semarah ini. "Urusanku bukan lagi urusanmu! Kenapa kau masih mengirimkan orang-orang sialan itu? Apakah kau juga menyuruh mereka mengikutinya, hah?!"

"Mereka sudah tidak diberi tugas untuk mengikutimu," balas sosok yang terdengar seperti pria dewasa. "Kemarin Yashiro sempat melihatnya keluar dari apartemenmu. Apakah kau sering membawanya ke sini? Ada berapa anak yang kaumainkan? Siapa saja anak-anak perempuan itu?"

Suara pukulan terdengar, disusul dengan suara pukulan lain yang disertai dorongan meja.

"Lawan ayah dengan benar ketika kau sedang tak dibutakan oleh kemarahan," tegas sosok itu. "Kapan kau belajar?"

Airi menahan napasnya. Dia semakin menyembunyikan diri di balik pintu.

"Sudah waktunya kau berhenti bermain-main. Indra sebentar lagi menggantikan ayahnya. Dengan Juan yang masih melanjutkan pendidikan master, dia akan kerepotan untuk menangani Kasai."

Tak ada sedikit pun perlawanan dari Kei.

"Agar tidak membebani kakakmu, kau harus berhenti bermain-main. Jangan ciptakan masalah yang akan merusak reputasi keluarga. Putuskan dia. Kau boleh memacari banyak wanita ketika sudah mampu mengambil alih saham dari pamanmu. Tidak akan ada yang menolak lelaki mapan dan berkuasa."

Airi mengepalkan tangan yang tersembunyi dalam saku jaket.

"Jangan samakan aku denganmu." Suara Kei terdengar pahit. Dia berdecih. "Darahmu mungkin menjadi bagian dariku. Tapi, aku bukan pembunuh—"

Erat kepalan tangan Airi semakin kuat ketika mendengar pukulan lain.

"Jaga ucapanmu, Kei," tandas si pria dewasa. "Aku ke sini untuk memastikan kau tidak kembali berulah. Sejauh ini firasatku selalu benar. Kau ternyata telah kembali bertindak sesukamu." Suara decitan meja kembali terdenngar, seolah benda tersebut baru saja didorong menjauh. "Jika kau benar-benar terlibat dalam masalah besar, aku takkan ragu untuk mencabut marga Hasegawa dari namamu. Tanpa nama keluarga kita, kau takkan mendapatkan apa pun, termasuk riwayat pendidikan yang telah dan akan kautempuh."

Airi segera menepi ke sebuah gang kecil di samping bangunan apartemen. Suara pukulan, bentakan, dan ketegangan yang tercipta di dalam sana cukup membuat dia terguncang. Sejak mendengar perkataan Kei di vila empat bulan lalu, dia tahu bahwa ada yang salah dengan keluarga konglomerat itu. Kei sendiri sempat kembali menyinggungnya meski tidak secara keseluruhan.

Airi menahan napas ketika merasakan kehadiran pria yang dia tebak sebagai ayah Kei. Sosok itu keluar dari apartemen. Tak lama setelahnya, suara mesin mobil yang dihidupkan terdengar. Airi menyenderkan punggung pada dinding bangunan. Dia mengambil napas pelan selagi meresapi percakapan yang barusan sempat didengar. Kepalan tangan Airi memudar. Tubuhnya merosot dengan perlahan hingga dia jatuh terduduk.

Ancaman pria itu kepada Kei kembali terngiang di telinga Airi. Kedua telapak tangan menangkup wajah. Airi menunduk, merasakan hangat air yang merembes dari matanya. Di bawah guyuran salju, Airi menangis. Tak ada suara yang terdengar, tak ada isak yang keluar. Jantungnya serasa diremas. Kali ini lebih kuat dari yang kemarin dia rasa, lebih sakit dan lebih sesak dari penolakan yang sempat dia terima.

Yang dia inginkan hanyalah membicarakan ini pada Kei. Dia takkan menuntut lebih, karena yang dia butuhkan hanya tanda tangan Kei untuk meluruhkan janin yang mulai tumbuh dalam rahimnya ini. Itu pun kalau Kei setuju. Airi belum siap untuk menjadi seorang ibu. Dia juga tidak ingin menyerahkan calon putranya nanti ke panti asuhan. Jika mendatangi rumah sakit bersama Kei, dan memutuskan hal ini bersama-sama, dia mungkin takkan terlalu dilanda rasa bersalah.

oOo

Satu minggu setelahnya, Airi benar-benar menghindari Kei. Dia menghindarinya di sekolah dan memblokir kontaknya agar mereka tak perlu berhubungan. Pikiran Airi cukup kacau hingga dia memutuskan untuk memberi tahu Ethan.

Reaksi lelaki itu tepat seperti dugaan Airi. Dia marah, marah besar dan menuntutnya untuk memberitahukan nama ayah dari sang janin. Airi tentu saja tak memberi tahu. Dia takkan mengungkapkannya pada siapa pun, termasuk Ethan, sosok yang telah dia kenal sejak bangku sekolah dasar.

"Bukan salahnya," ujar Airi sore itu. Dia masih mengenakan seragam sekolah. "Bukan salahku juga. Kami mencegahnya. Aku memberitahumu bukan untuk mendapatkan penghakiman," tandas Airi, suaranya terdengar pahit. "Aku tahu apa yang harus dilakukan. Itulah alasanku memberitahumu, agar kau mau menggantikan tanda tangannya saat—"

"Saat kau melakukan aborsi?!" tandas Ethan, tidak lagi tahan pada pembicaraan ini. "Kau ingin membunuh nyawa seorang bayi yang tidak bersalah?! Kau ingin aku menjadi wakil dari dosa kalian berdua?"

Airi mengepalkan tangan. Pada akhirnya, dia menyentak juga.

"Aku tidak punya pilihan!" seru Airi, suaranya sedikit bergetar. "Hanya ini yang bisa kulakukan. Memangnya, apa solusi yang kauajukan? Memintaku untuk tetap melahirkannya? Biaya hidupku bahkan ditanggung oleh Shizune-san! Aku tak bisa merawat, membesarkan, dan mendidik seseorang ketika kondisiku sendiri masih seperti ini. Aku belum pantas menjadi ibu! Aku tak punya kemampuan untuk itu!"

Napas Airi menderu. Dia mengatupkan mulut.

"Kau bisa menitipkannya ke panti asuhan—"

"Dan membiarkan dia hidup seperti kita?" Airi mendengkus. Dadanya memanas oleh rasa marah dan emosi lain yang membuatnya sesak. "Siapa yang menjamin bahwa dia akan menemukan orang tua yang tepat? Bagaimana jika dia bernasib buruk seperti Nami-chan yang menjadi bulan-bulanan keluarga barunya? Bagaimana jika dia dikucilkan dan dipermainkan oleh kawan sebayanya? Aku takkan membiarkan dia hidup sepertiku! Lebih baik dia tak hadir di dunia ini daripada harus menderita. Lebih baik aku yang menerima semua dosa."

Airi menyambar ponselnya. Dia bergegas keluar dari apartemennya sendiri.

"Jangan beri tahu Shizune-san kalau kau masih menganggapku teman dekat," tegas Airi. "Aku akan mencari orang lain untuk menandatangani formulir persetujuan."

Ethan memanggil Airi, tapi dia diabaikan.

Airi menemui Nomura dan Itsuki. Mereka bermain basket hingga malam tiba. Airi mempunyai banyak waktu untuk membicarakan masalahnya, tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Dua hari kemudian, Airi hendak mendatangi rumah sakit. Operasi aborsi di Jepang berada di bawah perlindungan hukum. Jadi, tindakan ini dinilai legal.

Di rumah sakit, ketika melakukan check-up, dia diberi tahu bahwa kandungannya baru berusia dua bulan. Dia belum terlambat jika memang ingin melakukan operasi.

"Ishihara-san, kau masih harus melengkapi formulirnya jika ingin meneruskan proses ini," kata seorang pegawai rumah sakit bagian administrasi.

Airi hanya mengangguk, memberi tahu bahwa dia akan segera menyerahkan formulir.

Lima hari sudah dia mengunjungi rumah sakit. Selama itu pula, Airi melewatkan ujian seleksi kampus. Ethan masih belum mendatanginya sejak pertengkaran mereka. Airi mengembuskan napas pelan. Dia telah yakin pada keputusannya—paling tidak sampai dia menyelamatkan seorang anak yang hampir tertabrak.

Ibu dari anak itu masih tampak muda. Dia mungkin berada di awal dua puluhan. Ketika Airi mengantarkan putrinya yang baru selesai menangis, dia langsung berterima kasih berkali-kali. Entah siapa nama panjang sosok itu. Namun, dia meminta Airi memanggilnya dengan nama depan.

"Namaku Kaneda," katanya. Mereka sedang berada di sebuah restoran kecil. Dia bersikeras ingin membayar budi baik Airi, setidaknya dengan makanan, katanya. "Kau sendiri?"

"Airi," balasnya.

Kaneda tersenyum. Dia sedang memangku sang putri. "Aku menyuruhnya untuk menunggu selagi aku mengambil barang yang sempat tertinggal." Dia menghela napas pelan. "Mungkin, jika dia kenapa-napa, aku takkan memaafkan diriku sendiri." Kaneda mengecup puncak kepala anaknya. "Dia sangat berarti bagiku. Kami sudah melalui banyak hal bersama-sama selama lima tahun terakhir. Waktu itu, aku masih delapan belas tahun sepertimu. Aku dan ayahnya berpacaran, tapi dia kecelakaan sebelum tahu aku mengandung."

Tawa ringan terdengar dari mulut Kaneda.

"Aku sempat ingin menggugurkannya karena sangat sedih, tidak ingin dia kembali mengingatkanku pada ayahnya. Pikirku, aku mungkin takkan bertahan jika harus menghabiskan hari-hariku dengan mengingat orang yang tak bisa bersamaku."

Airi terdiam sepanjang percakapan. Dia hanya menatap gelas berisikan minuman hangat yang masih mengepulkan asap.

"Ayahku sangat marah saat tahu aku mengandung. Aku hanya dibesarkan olehnya dan dia orang yang sangat keras dan konservatif. Saat kubilang bahwa aku ingin menggugurkannya, dia semakin marah." Kaneda tersenyum masam. "Tapi, sekarang aku lega karena dia menahanku. Bukan hanya untuk menyelamatkanku dari beban rasa bersalah. Tapi juga karena ternyata Mirai memberiku kekuatan untuk melanjutkan hidup. Ingatan tentang ayahnya tak bisa kulupakan begitu saja. Aku membiarkan kenangan itu tetap ada. Aku mencoba menerimanya, bukan memusuhinya. Sekarang, aku merasa lebih baik."

Mereka kemudian kembali bercakap-cakap tentang Airi, seperti tentang sekolahnya. Pada akhir pertemuan, Kaneda meminta maaf karena terlalu banyak bicara tentang dirinya sendiri. Airi tentu saja tak mempermasalahkan hal itu. Dia kembali ke apartemen dengan lunglai. Ucapan Kaneda tak mau hilang dari kepalanya. Airi sama sekali tidak bisa fokus.

Dua hari berikutnya, dia kembali ke rumah sakit. Dia kembali bukan untuk menyerahkan formulir persetujuan, tapi untuk membatalkan janji operasi. Untuk pertama kali sejak dia berurusan dengan si pegawai rumah sakit, baru kali itu dia melihat senyumnya. Airi menahan dengkusan jengkel. Tapi, mau tak mau dia tersenyum masam ketika mendengar ucapan semacam, "Syukurlah. Dengan begini, mungkin angka kelahiran di Jepang bisa sedikit meningkat."

Airi memberi tahu Shizune yang kelihatannya sudah tahu, terima kasih untuk Ethan yang mengkhianatinya. Shizune tidak menyalahkan Airi, dia hanya memeluk dan memintanya untuk tak perlu mengkhawatirkan masalah biaya. Airi berucap bahwa dia akan mendaftar kuliah tahun depan karena untuk sekarang dia sudah terlanjur melewatkan ujian seleksi. Lagi-lagi, Shizune memberi tahu agar dia tak perlu mengkhwatirkan masalah kuliah.

"Gunakan waktumu dengan baik," katanya. Dia menatap Airi lamat-lamat. "Siapa lelaki itu?"

Ketika Airi menggeleng, Shizune hanya memeluknya.

"Maret nanti aku diminta ke New York untuk bertugas selama tiga tahun," kata Shizune lagi. "Bagaimana jika kau ikut? Bahasa Inggrismu lancar dan kau juga berdarah campuran, meski sekarang kau mengecat rambutmu menjadi hitam. Orang-orang di sana takkan terlalu melihatmu sebagai orang Asia, jadi kau tak perlu takut pada diskriminasi atau semacamnya."

Airi langsung menerima tawaran Shizune.

Pada upacara kelulusan di bulan Maret, dia tidak hadir akibat jadwal penerbangan yang diambil. Tiga hari sebelumnya, dia telah memberi tahu Nomura, Itsuki, dan Ethan. Khusus untuk Ethan, dia sangat jengkel karena mendapatkan berita yang sangat mendadak.

"Karena kau melanggar janji untuk tidak memberi tahu Shizune-san," jelas Airi.

"Aku tidak berjanji," bela Ethan. "Lagi pula—"

Airi menyuruhnya untuk ikut membantu mereka membawa koper ke dalam taksi. Ethan kelihatan ingin menendangnya, tapi Airi tidak peduli. Mereka sampai di bandara sebelum siang tiba. Selama menunggu keberangkatan, Airi tampak melamun. Dia sempat tersentak ketika ditawari minuman oleh Shizune.

Tingkah Airi mau tak mau membuat Shizune heran. Tapi, dokter muda itu tak mau memojokkannya. Dia tak mau membuat Airi tidak nyaman.

Sampai kemudian, mereka diperbolehkan masuk pesawat. Tanpa dugaan Shizune, Airi ingin meminjam ponselnya.

Dia membuka aplikasi email dan mengirimkan pesan yang langsung dihapus sebelum ponsel dikembalikan pada Shizune.

oOo

Di dalam aula sekolah yang dipenuhi ratusan siswa, ponsel Kei bergetar. Sebuah pesan elektronik muncul di layar ponselnya. Dia segera membuka pesan tersebut begitu melihat nama si pengirim.

From : Airi Ishihara • [email protected]

To : [email protected]

Date : March 21, 10:27 AM

Hallo, Kei

Selamat Hari Kelulusan untuk kita!

Aku memblokir nomormu karena kau berengsek, iya berengsek dan bajingan, jadi aku sengaja memblokirnya. Semua itu bukan karena apa yang sekarang kaupikirkan, kok, tenang saja. Aku tidak selemah itu setelah dijahati anak cowok, apalagi orang sepertimu, haha! :) aku sudah memaafkanmu, tenang saja. Apa yang kurasa sudah tidak penting lagi. Waktu itu aku hanya berdelusi karena terlalu sering bersamamu, sekarang aku sudah lebih yakin bahwa aku hanya terbawa suasana karena—silakan buka kamera depan dan lihat wajahmu sendiri. Iya, aku memujimu, itu adalah bayaran untuk semua traktiran ramen yang kauberikan. Sangat setimpal, bukan?

Aku sebenarnya ingin memberi tahu langsung, tapi aku sibuk, jauh lebih sibuk darimu. Orang yang sudah seperti kakakku mengajakku ke New York. Kemungkinan besar, aku bakal melanjutkan sekolah di sana. Kabar ini mungkin tidak penting. Tapi, aku cuma ingin mengabari biar tak terkesan kurang ajar. Mau bagaimanapun juga kau tetap orang yang kukenal selama SMA. Untuk sekarang dan selanjutnya, mari jalani hidup masing-masing. Semoga kau sukses untuk studimu di London. Kau juga harus bertahan di keluarga yang merepotkan itu. Jangan mau menderita karena mereka.

Terima kasih telah mengizinkanku mengenalmu.

Tolong jangan mencari atau mencoba menghubungiku lagi. Aku ingin mengakhirinya dengan baik-baik. Buat kebaikanmu dan buat kebaikanku juga.

Salam hangat (soalnya sekarang sudah masuk musim semi),

Airi. []

Report
Share
Comments
|
Setting
Background
Font
18
Nunito
Merriweather
Libre Baskerville
Gentium Book Basic
Roboto
Rubik
Nunito
Page with
1000
Line-Height